D
edisi 1 — 2009
Dia
Dia
ialektika
tera
menumbuhkan kebebasan berfikir
Semacam Perkenalan “akan lebih baik kebebasan yang liar daripada ketertiban yang dipasung” (Bang Imad)
I
ni bukanlah pengantar. Hanya sebuah tabik, permohonan maaf serta sedikit pembelaan alakadarnya atas kesompralan kami sehingga kumpulan tulisan ini (yang dengan maksud bergagah-gagahan kami namai “jurnal”) ada di tangan anda. Mudah-mudahan untuk dibaca. Jurnal ini merupakan muara dari majelis pertongkrongan kami yang sering dilakukan dengan memperbincangkan banyak hal mulai dari politik, ekonomi, kesenian, kesusastraan dan hal lainnya yang dalam konstelasi politik Orde Baru dapat disingkat IPOLEKSOSBUDHANKAMNAS, yang malah lebih sering berujung dengan curhat mengenai cinta, pacar dan sangat sedikit masalah akademis (kalaupun ada paling hanya sekedar berbagi tips bagaimana menyiasati ancaman DO). Kami pikir akan lebih baik untuk menuangkan hasil pemikiran kami dalam bentuk tulisan, dibandingkan dengan hanya memendamnya dalam kepala pening kami yang sering membuat sulit tidur, sedangkan bangsa dan keadaan tidak akan pernah berubah. Tetapi satu hal yang pasti, walaupun kami membicarakan banyak hal dan terdiri dari beragam manusia yang tentu saja memiliki ragam sudut pandang dalam mengamati masalah, kami selalu berbicara dalam bahasa kegelisahan serta kegundahan yang sama, dengan “dinamisasi”, “kebebasan berpikir”, “kebhinekaan” serta “menolak penyeragaman” sebagai kosakatanya. Jurna Ya, kosakata-kosakata itu yang sepertinya banyak sekali tereduksi dari iklim pemikiran kita, # apalagi di tengah menguatnya politik identitas baik itu yang berfondasikan etnis, agama atau lebih
D
parah lagi, “perasaan berbeda” yang jarang sekali disertai komunikasi sehat antar pelbagai kelompok yang ada. Padahal justru banyak ide-ide menggugah serta perubahan-perubahan besar lahir dari dialog-dialog antar kelompok, antar golongan serta perorangan, dalam kerangka kemajuan. Sebuah dialektika. Sepertinya terlalu berlebihan jika kami berharap akan terjadinya revolusi pemikiran dalam benak anda (walaupun tentu saja itu sangat kami idam-idamkan). Dengan cukup terbukanya pemikiran anda melalui banyak jendela yang kami tawarkan dalam memandang dan mencandrakan dunia, itu sudahlah cukup bagi kami. Akhirul kolom, bacalah tulisan-tulisan dalam jurnal ini sebagai sebuah “sikap tidak mau diam” dalam menghadapi carut marutnya kondisi kita, yang tentu saja tak pernah terlepas dari kosakatakosakata di atas. Selamat membaca. (A. Kombatan)
1
D
tera
ialektika
menumbuhkan kebebasan berfikir
Redaksi: Ahmad Kombatan, Fatkurrahman Abdul Karim, M. Faesal Rakhman Khakim, Erry Wd Kurniawan, Hery Sucks, Ace, Syuhada, Fachruddin Surahmat. Kontributor: B. A. Yulianto Alamat Redaksi: Komunitas Wahana Telisik Sastra (WTS), Balumbang Jaya No. 8 Rt 2/7, Bogor Barat, Kota Bogor, 16680 (
[email protected])
teraDialektika
1
Geruduk Massa Ke IPB
S
etelah beberapa hari sebelumnya Kampus IPB Baranangsiang diserang oleh massa yang kabarnya preman, Selasa (27 Oktober 2009) malam, giliran Mal Botani Square yang sahamnya sebagian dimiliki IPB digeruduk oleh massa. Meski sampai hari ini penyebab kejadian itu masih diselidiki oleh pihak yang berwajib, namun ada beberapa hal yang bisa menjadi bahan refleksi bagi IPB atas kejadian itu. Diantaranya perihal problematika pengelolaan perguruan tinggi pasca diberlakukannya UU Badan Hukum Pendidikan, dan yang kedua problematika posisi perguruan tinggi di tengah sirkulasi kepentingan pasar dan masyarakat. Ketimbang kita berkutat pada persoalan siapa yang salah atas terjadinya kasus penyerangan itu, jauh lebih baik apabila kita mencari persoalan-persoalan mendasar apa yang melatarbelakangi fenomena yang dimaksud. Oleh karenanya, dengan menempatkan proses penyerangan massa ke IPB dan Mal Botani Square sebagai satu gejala kecil dari sebuah fenomena gunung es, pertanyaan yang muncul kemudian adalah, realitas sosial seperti apa yang sesungguhnya tengah berlangsung dibalik aksi penyerangan warga terhadap kampus IPB dan Mal Botani Square. Dengan didorong oleh keinginan agar perguruan tinggi yang ada di Indonesia mampu bersaing di kancah global, pemerintah Indonesia mensyaratkan agar perguruan tinggi diberikan otonomi melalui pembentukan badan hukum pendidikan. Semua ini diatur dalam Undang Undang Badan Hukum Pendidikan yang baru saja disahkan pada akhir tahun lalu. Pasca diberlakukannya Undang Undang Badan Hukum Pendidikan, perguruan tinggi di Indonesia mendapat beban tambahan untuk bisa mengurusi sendiri kebutuhan keuangannya. Meskipun pemerintah melalui Depdiknas masih memberikan dukungan melalui APBN, namun hal itu bukan lagi dimaknai sebagai kewajiban negara dalam memenuhi kebutuhan dasar pendidikan seperti yang diamanatkan oleh konstitusi 45, melainkan wujud dari investasi pemerintah dalam rangka komersialisasi institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Jika sebelumnya nafas pendidikan di Indonesia adalah kewajiban negara untuk mendidik rakyatnya, saat ini negara adalah investor yang berorientasi pada keuntungan. Dengan adanya hal tersebut, tidak salah apabila banyak pihak lantas menuding bahwa ada agenda besar pemerintah dalam meliberalisasi pendidikan di Indonesia. 2
teraDialektika
Seperti halnya perguruan tinggi lain, IPB tidak luput dari sapuan gelombang liberalisasi pendidikan, bahkan jauh hari sebelum diberlakukannya UU BHP, IPB lebih dahulu melakukan berbagai exercise dalam rangka mencapai target-target liberalisasi yang dimaksud. Disamping beragam agenda kerja untuk mencapai target sebagai badan hukum pendidikan, hal ini juga ditandai dengan dipasangnya emblem IPB-BHMN di jas almamater mahasiswa IPB sejak beberapa tahun lalu. Di tengah apatisme masyarakat terhadap proses liberalisasi pendidikan di Indonesia, muncul optimisme dari IPB bahwa proses itu adalah satu keharusan apabila kita menginginkan peningkatan kualitas serta daya saing lulusan IPB. Salah satu dampak nyata dari diberlakukannya kebijakan itu adalah bergesernya relasi sosial antara perguruan tinggi dan masyarakat. Dengan kata lain, munculnya keteganganketegangan dalam relasi antara IPB dan masyarakat lebih disebabkan oleh adanya iklim liberalisasi pendidikan di Indonesia yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat yang secara langsung mengingkari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pengingkaran Tri Dharma Perguruan Tinggi Peranan perguruan tinggi di Indonesia secara ringkas bisa dilihat dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni penelitian, pendidikan dan pengembangan serta pengabdian pada masyarakat. Tidak terkecuali IPB, ketiganya menjadi ruh dari terselenggaranya pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan didasari oleh keinginan negara untuk menyediakan pendidikan kepada rakyat Indonesia, prinsip-prinsip dasarnya kemudian dituangkan dalam bentuk-bentuk penelitian untuk memproduksi pengetahuan-pengetahuan baru, kemudian menjalankan proses pendidikan dan pengembangan yang berorientasi pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, serta pengabdian kepada masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab sosial perguruan tinggi. Dari ketiganya, bisa kita lihat bahwa tidak ada satupun yang menyebutkan perihal upaya mencari keuntungan dalam menjalankan kegiatan pendidikan. Dengan kata lain, mencari keuntungan bukanlah ruh dari institusi pendidikan. Sehingga, apabila kegiatan itu dilakukan, maka besar kemungkinan akan melahirkan kontradiksikontradiksi yang rumit yang justru bisa menghalangi untuk tercapainya tujuan-tujuan utama dari berlangsungnya proses pendidikan itu.
Dari kesemuanya itu, yang paling mengkhawatirkan adalah, apabila perilaku bisnis ini kemudian justru menghegemoni seluruh kegiatan pendidikan yang dilangsungkan. Atau dalam menjalankan aktivitas penelitian, pendidikan dan pengembangan serta pengabdian kepada masyarakat, perguruan tinggi menjadikan bisnis sebagai landasan utama dari kegiatan yang dimaksud. Jika hal ini benar terjadi, maka esensi dari dilakukannya pendidikan sebagai satu proses pencerdasan kehidupan bangsa bisa hilang, berganti menjadi upaya meraih sebesar-besarnya keuntungan. Dalam konteks seperti ini perguruan tinggi akan menjadi komoditas investasi yang sangat menarik mengingat pangsa pasarnya begitu besar. Perihal inipun UU BHP telah memfasilitasinya dengan memperbolehkan perguruan tinggi untuk melakukan investasi dalam bentuk portofolio di pasar saham. Oleh pihak perguruan tinggi seperti IPB, peluang itu kemudian dilihat sebagai satu obat mujarab yang mampu mengatasi berbagai hambatan finansial dalam mencukupi kebutuhan pengelolaan pendidikan di kampus. Meskipun berbagai pihak tetap optimis bahwa kepentingan memajukan pendidikan nasional bisa bersinergi dengan kepentingan perguruan tinggi dalam mencari pendanaan melalui berbagai kegiatan bisnis, pada prosesnya, terjadi kontradiksi dalam menjalankan amanat tri dharma perguruan tinggi yang ketiga, yakni pengabdian masyarakat. Salah satu strategi yang dijalankan oleh IPB untuk menggenjot pendapatan institusi adalah bekerja sama dengan pihak luar membangun beberapa buah pusat perbelanjaan di Bogor. Dua pusat perbelanjaan terbesar di Bogor, yakni, Mal Botani Square dan Ekalokasari Plaza adalah contoh betapa IPB begitu massif dalam menjalankan agenda bisnisnya. Pusat perbelanjaan yang pertama, didirikan di areal yang sebelumnya merupakan ruang kelas serta lapangan olah raga bagi mahasiswa IPB. Sementara pusat perbelanjaan yang kedua dibangun diatas tanah yang sebelumnya adalah asrama mahasiswa IPB. Kedua areal itu memiliki sejarahnya sendiri-sendiri. Saat ini praktis di kedua tempat itu sama sekali tidak tersisa tandatanda yang bisa menunjukkan bahwa di tempat itu
pernah digunakan oleh mahasiswa untuk belajar, berdiskusi, berdebat, berunjuk rasa, berkreativitas, berkesenian dan berolah raga layaknya dunia mahasiswa. Mungkin saja hal ini dimaknai oleh IPB sebagai satu bentuk upaya pengabdian pada masyarakat, mengingat saat ini begitu banyak warga Bogor yang memanfaatkan tempat itu untuk berbelanja ataupun sekedar berjalan-jalan. Jika logika berpikir seperti ini yang diterapkan oleh IPB dalam memaknai aktivitas pengabdian kepada masyarakat, maka tidak heran apabila dalam perjalanannya aktivtas itu justru memicu ketegangan dan pertentangan dari masyarakat. Pendek kata, logika berpikir seperti itu adalah logika berpikir yang sesat, karena pengabdian kepada masyarakat sejatinya menyangkut dua hal penting, yaitu, dimensi keberpihakan kepada kelompok masyarakat marjinal dan aspek pemberdayaan masyarakat. Ketiadaan dua hal itu menyebabkan program pengabdian masyarakat versi IPB dengan mendirikan pusatpusat perbelanjaan mewah di Bogor menjadi irrelevan. Yang perlu digaris bawahi disini adalah dalih memperoleh pendanaan untuk menjalankan kegiatan pendidikan telah menjauhkan IPB dari realitas sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Asumsi-asumsi bisnis yang digunakan untuk menjalankan sistem organisasi IPB telah menciptakan IPB sebagai perusahaan pendidikan yang berorientasi pasar dan menjadi lawan dari masyarakat sekitarnya. Bukan dalam konteks membenarkan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat, namun sebagai satu kritik, kiranya IPB mesti melihat kembali orientasiorientasi mendasar mereka dalam menjalankan agenda-agenda kerjanya yang secara terang telah mengingkari point ketiga dari Tri Dharma perguruan tinggi, yakni pengabdian pada masyarakat.
Dengan kata lain, munculnya ketegangan-ketegangan dalam relasi antara IPB dan masyarakat lebih disebabkan oleh adanya iklim liberalisasi pendidikan di Indonesia yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat yang secara langsung mengingkari Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Diantara Dorongan Pasar dan Masyarakat Pemberlakuan UU BHP telah mendorong perguruan tinggi menjadi satu institusi semi-swasta yang disamping berorientasi pada pendidikan dan pengabdian masyarakat, dia juga mesti memiliki orientasi mendatangkan keuntungan agar bisa membiayai proses pendidikan yang dilakukannya. Bersambung ke hlm.8 teraDialektika
3
GYMNASIUM
A
khirnya melalui SK no...IPB mengajarkan kepada kita sesuatu hal yang sangat penting: Dibutuhkan biaya yang mahal untuk menjadi sehat. Itu didapatkan melalui kenaikan harga sewa Gymnasium yang hampir dua kali lipatnya dan berlaku bagi seluruh penggunanya -dimana sebagian besar merupakan mahasiswa aktif IPB. Gymnasium merupakan sarana pengajaran seperti halnya ruang kuliah, ruang laboratorium juga laboratorium lapangan yang merupakan salah satu dari pengejawantahan Tri Dharma Perguruan Tinggi: Pendidikan. Dengan ditandatanganinya SK itu oleh Direktur Bisnis dan Kemitraan IPB, kita seharusnya sudah dapat mencium logika berpikir yang rancu dari para pimpinan IPB. Selain itu, dengan dijauhkannya akses mahasiswa terhadap salah satu sarana pendidikan, kita juga diberi tahu apa makna sebenarnya dari “Mencari dan Memberi Yang Terbaik”. Mungkin ada yang berapologia bahwa hal itu dilakukan sebagai upaya dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan sarana-sarana IPB (hal itu dikuatkan dengan desas desus yang beredar bahwa akan segera dilakukan perbaikan pada fasilitas yang ada di Gymnasium). Tetapi ada pertanyaan ikutan dari pernyataan itu: apakah memang hanya itu yang bisa dilakukan oleh pihak IPB? Jika naiknya harga sewa adalah dalam kerangka peningkatan kualitas, lalu mengapa hal itu dilakukan lebih dahulu dibandingkan perbaikan fasilitas? Juga mengapa sekarang "diharuskan" membayar sewa tempat parkir di Gymnasium yang sejatinya merupakan fasilitas pendukung? Dalam konteks yang berbeda, hal ini mengingatkan pada teori “jendela pecah” yang diperkenalkan oleh James Q Wilson dan George L Keling. Nama pertama adalah seorang Profesor Pemerintahan Harvard, sedangkan yang kedua pernah menjabat direktur di sebuah yayasan Kepolisian dan ketika menulis artikel itu sedang mendapat beasiswa riset di John F Kennedy School of Government Harvard. Teori Jendela Pecah kira berbunyi seperti ini 4
teraDialektika
(saya kutip langsung dari Kolom Kamisan Batam Pos edisi 26 Februari 2009, tulisan Hasan Aspahani) : Bayangkan sebuah bangunan dengan beberapa jendelanya pecah. Jika jendela tersebut tidak diperbaiki, maka ada kecenderungan para vandalis memecah kaca jendela yang lain. Bahkan, mereka bisa saja merusak bangunan tersebut, dan bila itu tak tertangani juga, maka mungkin mereka akan membakar gedung tersebut. Bayangkan juga ada sebuah jalan di sana ada sampah menumpuk. Pasti, segera akan lebih orang membuang sampai di sana. Nanti, orang akan membuang karung-karung sampah dari restoran di sana, atau mengantar sampah pakai mobil ke sana. Mari kita analogikan bahwa gedung yang dimaksud adalah IPB, dengan salah satu jendela yang pecah itu adalah Gymnasium beserta kenaikan harga sewanya. Bisa jadi nanti setelah naiknya harga sewa gymnasium beserta harus bayarnya sewa "lahan parkir di IPB" (tolong ingatkan saya bahwa hal itu tidak hanya terjadi di Gymnasium saja, tetapi terjadi juga di lokasi lain di kawasan kampus IPB), mungkin akan terjadi hal yang lebih parah: memperlakukan aset pendidikan sebagai komoditas yang dapat memberikan keuntungan (dalam hal ini adalah keuntungan finansial) bagi IPB. Dan hal itu hanya akan terjadi dengan satu syarat mutlak: tiadanya kontrol bagi pimpinan IPB yang dilakukan oleh mahasiswa IPB. atau dengan kata lain: kita bersikap untuk diam. Saya yakin jika hal itu terjadi, maka bukankah melupakan konsep pertanian modern, pengelolaan hutan yang lestari, optimalisasi sumberdaya laut berkelanjutan yang akan mendefinisikan IPB, tetapi Botani Square juga Ekalokasari Plaza. ( A. Kombatan)
“Searching for a Life” suatu interpretasi Esai Pengiring Pameran Foto UKF-IPB pada tanggal 14-16 Oktober 2009 di Koridor Pinus Fakultas Pertaninan IPB
S
Andi N. Cahyana
aya bayangkan Andi N. Cahyana membidik benih itu dengan takjub yang tersimpan. Saya bayangkan benih itu dulunya biji yang terperangkap dalam celah, lantas beberapa tetes air yang tergenang mengusap lembut berulang, seperti bayi yang menggigil kedinginan lantas menangis, kemudian selimut tipis yang lembut itu menyelimutinya. Begitulah perkecambahan itu bermula, sebelum pada akhirnya ia menyongsong secercah cahaya dari ufuk yang lembut. Saya bayangkan, Andi N. Cahyana dengan kamera di tangan terperangkap dalam laku “tata” cahaya dan perputaran pengatur fokus yang terhimpun dalam sunyata dan harap sebuah dunia, yang berbicara dengan bentuk dan berbagai rupa warna. Tidak hanya itu, seolah sang fotografer masih bergerak untuk meretas berbagai alur meditasi sebagai sebuah dunia yang sepi. Ia melaju dengan gerak khusuk dan menangkap warna redup pada suatu prosesi rukuk dan kesunyian gubuk di antara belantara yang sedih dan memar, di mana keterasingan adalah bahasa purba yang mengisyaratkan kepada kita untuk lebih banyak berbicara pada diri sendiri, perihal tanya, “Siapakah saya?”. Di sinilah Andi N. Cahyana seperti tengah bercengkrama dengan perangkat kameranya dengan takjub dan segala ihwal yang personal dan sentuhan eksistensial. Barangkali yang eksil itu masih menempuh gerak yang jauh, seperti objek Andi N. Cahyana
yang ditawarkan oleh Erry Wd Kurniawan, ada seseorang sedang Erry Wd Kurniawan berperahu dalam kemelut warna biru danau dan bukit yang berselimut kabut, seperti gelombang terpendam, tersimpan dalam kubangan sukma yang tak biasa tapi akrab, haru, lalu luruh dalam deru kalbu. “Getar ini” mungkin masih dalam satu garis dimensi alam yang liris dengan si penunggang kuda yang asing dan sendiri di kaki gunung Batok. Lanskap pegunungan memang penuh dengan gerik dan getar yang bungkam tapi riuh oleh mitologi ruh moyang kita yang bertapabrata sebagai suatu pelenyapan diri seperti awan hitam sehabis hujan. Barangkali di situlah prosesi penyucian terjadi, seperti kisah Sotasoma yang berkelana untuk mencapai yang hakiki dan abadi. Pesona ini, juga, “dibahasakan” dalam bidikan Rhama B dengan panorama bentang pegunungan Bromo-TenggerSemeru yang terkenal itu. Bentang alam dengan arus yang menErry Wd Kurniawan ghunus batas semacam saujana adalah kaki langit yang berjabat tangan dengan akanan, latar mahaluas, tanpa detak, seperti bunyi yang tertetak, lirih. Tapi dari itu seperti ada gema yang membisikkan sesuatu dan kita tak pernah tahu, namun ada kesadaran yang mengungkapkan akan haru dan rindu. Di sisi lain, semuanya itu seperti tak pernah memaktub senoktah atau “ada” yang hadir tapi hanya jejak -jejak “makna”, itupun kalau nomena adalah gerak yang simetris dengan konsep fenomena. “Tapi, tidak demikian”, demikianlah Derrida menyanggah, “mungkin pengertian atau apapun itu yang sejenis, teraDialektika
5
sebenarnya selalu tertunda dan berjarak dengan sesuatu yang mengada, dan kita dengan Rhama B segala sesuatu yang ada, boleh jadi hanya teks belaka”. Teks Derrida adalah segala sesuatu yang ada dan mengada di dunia ini. Begitulah hamparan cakrawala dari konsep perspektif, ia, seakan menyapu apa saja menuju keleluasaan yang sulit dibatasi. Namun dalam kemurnian getar dan gerak alam, hutan yang ada di dalamnya menyuguhkan denyut hidup yang frontal ataupun samar. Seperti ketegangan perburuan mangsa harimau, kijang, juga bisikan serangga yang tak terdengar oleh manusia. Siklus ini seperti tersisih dan terlupakan. Padahal apa yang hadir adalah sembahyang masal flora fauna dalam lingkup ekosistem yang suci. Komponen ini begitu khusyuk memuji, seolah tanpa jeda dengan berbagai cara.”Semua makhluk yang melata di atas bumi semua menyembahKu” kata sepenggal ayat dalam suatu kitab suci. Tapi, dalam sejarah “kejatuhan” manusia di bumi, seperti dalam konsep sistem “mengada” Heidegger, ”ada” yang diluar dasein adalah ”ada” yang selalu terenggut dan terepresif. Di sini Heidegger seolah mengkhotbahkan sesuatu di luar manusia yang tidak mudah didefinisikan tapi memaksa hakekat kemanusiaan kita untuk menghayati dan menghormati eksistensinya. Berangkat dari disain yang tidak mudah ini, barangkali siklus ekologis dengan perputaran yang lebih banyak enggan kita campuri, memaksa kita untuk hadir secara penuh dalam garis yang simetris dengan alur yang alamiah itu. Itupun kalau kesadaran bathiniah kita mampu berucap pada detak sejarah diri yang paling primordial: “Ada keberadaan makhluk lain di luar kita, yang mungkin lebih mengerti tentang yang ilahi, juga sangat berarti bagi kelangsungan generasi manusia. Walaupun tidak berperangkat akal“. Sebagai sebuah analogi yang paling mendekati kita bisa menyebut berbagai nama: binatang, satwa, fauna atau yang lainnya, karena sistem penanda dan petanda hadir di sana, seperti dalam terminologi linguistik de Sausure. Dalam posisi dengan kondisi yang natural barangkali makhluk itu tidak jadi soal. Ia mampu untuk berbicara dalam bahasa yang kita tidak perlu 6
teraDialektika
ambil bagian di dalamnya tapi kita cukup bisa merasakan sentuhan spiritualnya. Toh ia akan paham kodrat eksistensinya kenapa ia diciptakan. Tapi keberlangsungan atau tata yang koheren ini terusik maka akan ada suatu kesetimbangan baru yang akan dicapai dan sering menimbulkan malapetaka pada manusia. Walaupun dalam rentang akibat yang lama. Pada aral yang tidak biasa itu, terekam pilu seekor harimau, dari bidikan kamera Rama B., makhluk garang dan terkenal paling berwibawa di rimba tapi seolah tak berdaya di dalam kandang. Ironi ini segaris dengan monyet yang meminum soft drink, sebagai indikasi ketidakalamiahnya lagi, begitulah objek Andi P. Sayogo berbicara. Namun Andi P. Sayogo menyuguhkan konsepsi ekologi yang romantis, kuntul kerbau berada pada punggung kerbau dalam lanskap hijau persawahan. Dengan demikian tertera gambar mutualis, puitis sekaligus ironis. Pada sisi yang lebih banal barangkali, orangutan Hery Sudarno dan Eko Prasetyo adalah wujud yang lian itu berbicara tentang sebuah harapan sekaligus hamparan kecemasan. Mungkin ini yang terjadi pada warna hijau kemilau seekor bunglon di atas daun dengan latar hitam sebagai Hery Sudarno konsepsi tentang denyut ekologis yang diliputi ketegangan yang kelam, begitulah objek Kuntoro Bayu Aji seperti sedang berkisah. Boleh jadi “alur” dan “latar” dalam pameran foto kali ini adalah drama perjalanan batin dalam suatu persemedian di puncak lensa dan berbagai pengungkapan yang bercampur aduk, antara kekhusyukan dan kecemasan, koherensi dan fragmentasi. Mungkin saja masih ada sisi lain yang tak terjangkau dan tersimpan rapat dalam misteri gambar seperti sebuah simbol suatu ritus, ia hadir dalam kekinian tapi berbicara dalam rentang dimensi yang tidak mau beranjak dari masa lalu dan masa yang akan datang. Pada akhirnya yang mengada dan hadir di hadapan kita hanyalah sebuah tafsir dan interpretasi yang tidak pernah selesai. (F.A. Karim)
SOKRATES DALAM TETRALOGI PLATO SEBUAH PENGANTAR DAN TERJEMAHAN TEKS Oleh : Ioanes Rakhmat (13,5 x 20 cm, 321 hal) “Sokrates dalam Tetralogi Plato, Sebuah Pengantar dan Terjemahan Teks”. Sebuah buku yang mengulas tentang filsafat Sokrates (Filsuf Yunani 469-399 SM) dari sudut pandang Plato (427-347 SM), murid Sokrates sendiri. Buku ini terdiri dari lima bab, dengan sebuah pengantar dan empat buah karya Plato. Euthyfro, Apologi, Krito, dan Phaedo. Karya-karya Plato tersebut berbentuk dialog yang berisikan hal-hal yang memerdekakan manusia untuk berlogika. Euthyfro merupakan dialog Sokrates dengan Euthyfro (dialog Sokrates sebelum diadili). Dialog ini menceritakan tentang konsep kesalihan dan ketuhanan Sokrates. Apologi, uraian Sokrates dalam pembelaannya sebelum diadili. Uraian Sokrates ini mengandung kebebasan berpendapat yang dilandasi keberanian tentang kebenaran yang diusungnya. Krito, dialog Sokrates dengan sahabat
seumur hidupnya yaitu Krito (percakapan Sokrates dengan sahabatnya di dalam penjara). Pada bab ini, Sokrates bercerita tentang ilmu politik dan pemerintahan. Faedo, percakapan terakhir Sokrates sebelum minum racun. Percakapan Sokrates dengan para sahabatnya, salah satunya adalah Faedo, berbicara tentang konsep kehidupan jiwa setelah berpisah dengan raganya. Tetralogi ini merupakan, karya yang mengkaji secara serius tentang ajaran-ajaran filsafat Sokrates. Dengan dialog-dalog ringan, karya ini menyampaikan landasan-landasan berlogika yang mudah diserap dan dipahami. Bahkan bagi orang awam dalam karya flsafat. Memang dalam dialog-dialog tersebut terkadang terdapat dialog yang terkesan membosankan. Namun terlepas dari kelebihan dan kelemahan buku tersebut, tidak mengurangi esensi yang diusung, yaitu kemerdekaan berpendapat. Dan karya ini pun memperkaya khazanah teks-teks filsafat bagi kita. (M. Faesal. R. K.)
THE CATCHER IN THE RYE
Oleh : J. D. Salinger (12,5 x 19 cm, 300 hal) Novel “The Catcher in The Rye” dicetak pertama kali pada tahun 1945. Salinger sang novelis menuangkan karakter yang unik dalam novel ini. Menceritakan Holden Caulfield, seorang remaja SMU yang memiliki karakter kuat sebagai remaja pemberontak. Bisa juga karya ini merupakan sosok penulis di masa remajanya. Karya Salinger ini merupakan karyanya yang fenomenal. Beberapa produser film pernah menawarkan untuk mengangkat karya ini untuk difilmkan, namun selalu ditolak oleh Penulis sendiri. Memasuki isi novel, pembaca langsung mendapatkan kepemberontakan si Caulfield. “Jika kalian memang benar-benar ingin mendengar semua ini, mungkin yang pertama yang ingin kalian ketahui adalah di mana aku lahir, seperti apa masa kecilku yang payah, bagaimana orangtuaku harus bekerja keras serta segala macam sebelum aku lahir, dan semua kisah sampah ala David Copperfield itu, tetapi aku sama sekali tidak ingin membahasnya, itulah yang sebenarnya jika kalian ingin tahu”. To-
koh utama merupakan pelajar yang beberapa kali dikeluarkan dari beberapa sekolah, karena keengganannya terhadap segala tetek bengek yang ada di sekolah. Mulai dari pergaulan, konvensi dan sistem di sekolah yang membuatnya jengah bahkan “muak”. Kebahagiaan Caulfield hanya ada pada diri Phoebe, adik tercintanya yang polos. Dan penghormatan hanya pada sang guru sejarah, si Tua Spencer. Namun demikian, sosok Caulfield merupakan tokoh yang berani dalam mengambil sikap dan tegas. Karya Salinger ini memiliki provokasi yang cukup kuat terhadap pembaca. Bahkan bisa membuat pembaca larut merasakan, lebih parah lagi masuk ke dalam kemuakkan-kemuakkan Caulfield terhadap segala hal. Permainan psikologis yang cukup mengena. Mungkin ini yang menjadikan tulisan cover belakang bertajuk “Mengapa buku ini disukai para pembunuh?”. Semakin kuat dengan bahasa kebencian yang jor-joran. Tidak ada buruknya kita membaca karya yang satu ini sebagai bantuk simulasi perlawanan kita terhadap sistem yang mungkin mencekik kita dalam keseharian. Entah itu dunia perkuliahan, kerja, pergaulan, dan semacamnya. (M. Faesal R. K.) teraDialektika
7
Sambungan dari hlm. 3 Situasi ini menempatkan perguruan tinggi pada posisi yang problematik di tengah gencarnya dominasi kepentingan pasar. Perguruan tinggi sejatinya memiliki posisi dan peranan yang sangat unik dalam konteks trikotomi negara-pasar-masyarakat. Jika sebelumnya perguruan tinggi identik dengan institusi yang berada pada domain negara-masyarakat, dikarenakan dukungan operasional pendidikan yang bersumber dari APBN dan entitas mahasiswa yang independen yang ada di dalamnya. Setelah diberlakukannya UU BHP, perguruan tinggi menjadi institusi yang semi swasta yang juga harus berorientasi pada mencari laba, yang dengan kata lain merubah posisinya menjadi berada pada domain pasar-negaramasyarakat. Situasi ini seperti telah disebutkan sebelumnya mendorong IPB untuk menggunakan segala sumberdaya yang ada untuk sebesar-besarnya mendatangkan pemasukan. Salah satunya adalah mengkomersialisasikan aset-aset yang dimilikinya. Diantaranya adalah tanah, karena aset yang memiliki tingkat likuiditas yang cukup cepat adalah tanah. Apalagi jika letak tanah itu berada pada daerah-daerah yang strategis seperti di Baranangsiang, ataupun di Dramaga. Tanpa harus menawarkan kepada berbagai pihak, tawaran menggiurkan untuk mengkomersialisasikan tanah-tanah yang dimiliki IPB marak berdatangan. Dari mulai tanah di depan kampus Dramaga yang telah dikonsesikan kepada BNI dan BRI. Kemudian tanah di kampus Baranangsiang yang lokasinya sangat strategis diubah menjadi pusat pertokoan, perbelanjaan, hotel dan gedung pertemuan. Semua itu dikelola oleh IPB bekerjasama dengan berbagai pihak dengan metode share keuntungan. Meski belum ada evaluasi atau audit investigatif mengenai keterkaitan antara komersialisasi aset-aset kampus IPB dengan peningkatan mutu pendidikan di IPB, namun hal yang paling pasti adalah turunnya peringkat IPB dalam jangka waktu satu semester,menurut data Webiometric, ranking IPB pada Januari 2009 berada pada posisi 2063, sementar apada Juli 2009, peringkatnya melorot menjadi 2215. Sementara dari jajaran 500 universitas top dunia versi QS World University Ranking, IPB sama sekali tidak masuk, padahal tahun seblumnya IPB masuk ke dalam 500 besar dunia. Fakta pendek ini mungkin bisa menggambarkan betapa upaya jor-joran IPB untuk mengkomersialisasikan aset-aset mereka membawa satu kenyataan bahwa kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh IPB telah terde8
teraDialektika
gradasi. Dari penjelasan diatas, kiranya ada beberapa hal pokok yang bisa diambil sebagai satu bahan refleksi, yakni, bahwa dengan adanya proses liberalisasi pendidikan di Indonesia, perguruan tinggi seperti IPB, ternyata gagal untuk mengabdikan dirinya kepada masyakat, gagal untuk meningkatkan kualitas belajar mengajar dan yang masih berupa kekhawatiran adalah kegagalan mereka dalam mencapai otonomi, karena komersialisasi aset-aset mungkin bukan jalan keluar untuk menutupi biaya pendidikan yang sedemikian besar. Dengan kata lain IPB saat ini berada dalam satu situasi kegamangan yang akut, kegamangan dalam menatap realitas dan membangun orientasi masa depan, kegamangan dalam berpihak kepada kepentingan pasar atau kepentingan masyarakat, serta kegamangan dalam memaknai identitas dirinya sendiri. Oleh karena itu, menjelang dies natalis yang ke-46 ini, sudah selayaknya IPB melakukan refleksi kritis atas segala capaian dan permasalahan yang menyertai dirinya demi cita-citanya untuk mencari dan memberi yang terbaik. (B.A. Yulianto)
rubaiyat sebuah mata* 1 mata itu menampung tiris gerimis seperti sebidang tundra menelan rusa saat menyesap air asat di sela semak sehabis bersitegang, bersiasat menerka jerat. 2 mata itu selimut beku pemuda kaku setelah sekian waktu dicengkram radang paru. 3 mata itu ranggas semboja wanita memeram durja sekian lama meregang dera menisik koyak sukma. 4 mata itu semburat kilat jerit pahit langit pekat buta gradasi secercah noktah dan gema sabda melingkap. 2009 (F.A. Karim) *Pernah dimuat di harian Jurnal Bogor, 8 November 2009