Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Hegemoni dan ...
294 downloads
1429 Views
4MB Size
Report
This content was uploaded by our users and we assume good faith they have the permission to share this book. If you own the copyright to this book and it is wrongfully on our website, we offer a simple DMCA procedure to remove your content from our site. Start by pressing the button below!
Report copyright / DMCA form
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Dodi Mantra
Mantra, Dodi Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme— Dodi Mantra, Bekasi: MantraPress, Oktober 2011 254 halaman, i -xiv, 16 x 23 cm ISBN: 978-602-19076-0-3
1. Hegemoni 2. Diskursus 3. Neoliberalisme 4. ASEAN 5. Ekonomi-Politik I. Judul
Cetakan Pertama, Oktober 2011 Diterbitkan oleh: MantraPress Jl. Gemak B. 153 RT03/09 Jaka Setia Bekasi Selatan Jawa Barat - 17147 085880909505
Daftar Isi
Daftar Isi
v
Daftar Tabel
vii
Daftar Gambar
xi
Kata Pengantar
xiii
Pendahuluan
1
Bab 1 Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN: Komitmen dan Semangat Tanpa Langkah Berarti
3
Ketidaksiapan Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
8
Teori Kritis dan Pendekatan Gramscian-Foucaldian
16
Bab 2 Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi Negara-Negara Berkembang Sistem Bretton Woods, Jejak Awal Liberalisasi Ekonomi Internasional Akhir dari Bretton Woods, Liberalisasi dalam sebuah Kondisi Tanpa Sistem
21 22 28
Washington Consensus, Liberalisasi Mendalam dan Sistematis Negara-Negara Berkembang
32
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), World Trade Organization (WTO) dan Liberalisasi Perdagangan
38
Kesepakatan Perdagangan Bebas (Free Trade Agreements/FTAs) dan Gelombang Kedua Regionalisme sebagai Wujud Transformasi Strategi Liberalisasi Keterpurukan Ekonomi, Buah Liberalisasi Perekonomian Negara-Negara Berkembang
45 56
vi
Daftar Isi
Bab 3 Masyarakat Ekonomi ASEAN: Neoliberalisme dan Gelombang Kedua Regionalisme Transformasi Regionalisme Asia Tenggara Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Prinsip Neoliberalisme Bab 4 Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN
77 77 83
97
Daya Saing dan Kinerja Industri Manufaktur Indonesia
98
Daya Saing Industri Pariwisata Indonesia Potret Komparatif Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia
118 121
Permasalahan Kualitas Tenaga Kerja dan Pengangguran di Indonesia Iklim Investasi Indonesia Menuju Liberalisasi Arus Investasi Masyarakat Ekonomi ASEAN Bab 5 Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme dalam Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN Pendekatan Gramscian-Foucauldian Hegemoni Ideologis Neoliberalisme dalam Formasi Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju Terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN Praktik Diskursif Neoliberalisme dan Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
142 149
161 162 181 203
Kedalaman Hegemoni dalam Formasi Diskursif: Praktikalitas, Inevitabilitas dan Optimalitas dalam Menghadapi Agenda Neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN
226
Perjuangan Hegemoni dan Praktik Diskursif melalui Tiga Pusat Kekuatan (Power Centers) dan Blok Historis Neoliberalisme
227
Kaburnya Paradigma dan Arah Kebijakan Pembangunan Nasional
230
Kesimpulan
234
Daftar Pustaka Indeks
240 247
Daftar Tabel
Tabel 2.1 Delapan Putaran Negosiasi Perdagangan di bawah GATT Tabel 2.2 Jumlah Regional Trade Agreements yang telah berjalan berdasarkan Jenis Kesepakatan Tabel 2.3 Kesepakatan Perdagangan Bebas Amerika Serikat (sampai dengan Maret 2009) Tabel 2.4 Kesepakatan Perdagangan Kawasan sampai dengan tahun 2005 Tabel 2.5 Kesepakatan IMF-Negara-Negara Anggota, Jumlah Kesepakatan dan Dana yang Dialokasikan, Negara-negara Berkembang dan Transisi Periode 1988/1989 – 1992/1993 Tabel 2.6 Skenario Liberalisasi Perdagangan di Negara-Negara SAPRI/CASA Tabel 2.7 Ringkasan Dampak Implementasi Program Penyesuaian Struktural di Negara-Negara Berkembang SAPRI/CASA
41
47
53 55
60 64
68
Tabel 3.1 Paket CEPT bagi Negara ASEAN-9 sampai tahun 1998
85
Tabel 3.2 Empat Model Relasi Globalisasi-Regionalisme
95
Tabel 4.1 Perubahan Struktur Perdagangan berdasarkan Kelompok Negara tahun 1990 dan 2005
100
Tabel 4.2 Spesialisasi Sektor Manufaktur Negara-Negara Berkembang
104
Tabel 4.3 Nilai Ekspor Kelompok Barang Manufaktur Tabel 4.4 Indikator Sektor Industri Pengolahan Indonesia 1996-2002
106 108
viii
Daftar Tabel
Tabel 4.5 Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha (Sektoral)
109
Tabel 4.6 Peringkat Negara-Negara Kawasan Asia Timur dan Pasifik berdasarkan Indeks Competitiveness Industrial Performance (CIP) tahun 2000 dan 2005
112
Tabel 4.7 Enam Indikator Kinerja Industri, Negara-Negara ASEAN tahun 2000 dan 2005
115
Tabel 4.8 Perkembangan Kunjungan Wisatawan Tahun 2004-2008
120
Tabel 4.9 Peringkat Daya Saing Pariwisata Negara ASEAN
121
Tabel 4.10 Indeks Pembangunan Manusia Negara-Negara ASEAN 2007
126
Tabel 4.11 Human Development Report 2009: Human development index 2007 and its components ASEAN Countries
127
Tabel 4.12 Human Development Report 2007/2008, Human and Income Poverty: ASEAN Countries
128
Tabel 4.13 Human Development Report 2007/2008, Commitment to health: resources, access and services (ASEAN Countries)
132
Tabel 4.14 Human Development Report 2007/2008, Water, sanitation and nutritional status (ASEAN Countries)
133
Tabel 4.15 Human Development Report 2007/2008, Commitment to Education: public spending (ASEAN Countries)
134
Tabel 4.16 Human Development Report 2007/2008, Literacy and enrolment (ASEAN Countries)
135
Tabel 4.17 Human Development Report 2007/2008, Technology: diffusion and creation (ASEAN Countries)
139
Tabel 4.18 Indeks Daya Saing Negara-Negara ASEAN 2008-2009 dan 2009-2010
141
Daftar Tabel
ix
Tabel 4.19 Persentase Penduduk yang Bekerja Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, 2008-2010
144
Tabel 4.20 Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009
147
Tabel 4.21 Tingkat Pengangguran Negara-Negara ASEAN
148
Tabel 4.22 Korelasi antara Pertumbuhan PDB dan FDI dalam tahun sebelum, selama dan sesudah, 1981-2005
153
Tabel 4.23 Peringkat Indeks Kinerja dan Potensi FDI ke dalam, 1990-2007 Tabel 4.24 Arus Investasi Asing Langsung (FDI) ke ASEAN 2008-2009 Tabel 5.1 Komunitas Epistemis Liberal
156 157 187
Daftar Gambar
Gambar 2.1 Krisis Utang Internasional 1982-1985 Gambar 2.2 Sumber Ekspor Dunia 1953-2006 Gambar 2.3 Area Perdagangan Bebas di Dunia
34 45 48
Gambar 2.4 Kesepakatan Perdagangan Bebas dan 50 Peringkat Atas Pasar Ekspor Dunia 50 Gambar 2.5 Kemitraan FTA Negara Maju dan Berkembang 51 Gambar 2.6 Difusi FTA 1948-2008 51 Gambar 2.7 Persentase Output Ekonomi dan Populasi Dunia berdasarkan GDP per Kapita Negara tahun 2004
56
Gambar 2.8 Sejarah Pinjaman IMF – Dana Pinjaman IMF dalam Proporsi Eskpor Dunia 1948-2006
59
Gambar 4.1 Struktur Perdagangan Dunia 2005
102
Gambar 4.2 Struktur Sektoral Perdagangan Dunia berdasarkan Kawasan tahun 2006
103
Gambar 4.3 Pertumbuhan Ekspor Nonmigas Gambar 4.4 Indikator Sektor Industri Pengolahan Indonesia 1996-2009 Gambar 4.5 Jumlah Paten yang Didaftarkan di Direktorat Jenderal HKI Gambar 5.1 Relasi Kekuatan, Antonio Gramsci Gambar 5.2 Relasi Politik dari Hegemoni, Antonio Gramsci
107 108 137 169 169
xii
Daftar Gambar
Gambar 5.3 Model Analisis Gramscian-Foucauldian
180
Gambar 5.4 Fase dan Mekanisme Perjuangan Hegemoni IMF terhadap Pemerintah Indonesia 1997-2004
183
Kata Pengantar
Terlihat sesuatu yang berbeda ketika menyusuri jalan protokol ibukota Jakarta di paruh pertama tahun 2011 ini. Hampir di setiap kantor instansi pemerintah terpampang spanduk yang berisikan tulisan “Selamat atas Keketuaan ASEAN – Indonesia 2011, Ciptakan Masyarakat ASEAN yang Saling Peduli dan Berbagi,” “Indonesia Mampu Pimpin ASEAN 2011.” Semangat dan komitmen pemerintah Indonesia menuju terwujudnya Masyarakat ASEAN memang terasa semakin kuat seiring dengan jabatan Ketua ASEAN yang diemban pemerintah di tahun 2011 ini. Kontradiksi dengan antusiasme pemerintah, rasa khawatir dan kegelisahan justru semakin memuncak di dalam dada penulis menyaksikan fenomena semangat tanpa dasar ini. Laporan hasil penelitian penulis mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2010 lalu, akhirnya dengan segera dikemas menjadi sebuah buku yang saat ini ada di tangan pembaca. Kegelisahan penulis berangkat dari suatu pemahaman atas realitas dan jejak historis percobaan neoliberalisme di berbagai negara yang selalu berujung pada keterpurukan ekonomi. Kemiskinan, pengangguran, kesenjangan ekonomi, bahkan kematian industri adalah persoalan yang melekat seiring dengan implementasi neoliberalisme. Terlepas dari nyata dan parahnya derita yang harus ditanggung rakyat sebagai imbas dari neoliberalisme, pemerintah Indonesia justru memperlihatkan langkah-langkah yang semakin nyata mengikatkan diri ke dalam bentuk kesepakatan perdagangan bebas, terutama Masyarakat Ekonomi ASEAN. Neoliberalisme jelas menjadi dasar dari integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Aliran bebas dalam lima elemen yang menjadi pilar integrasi ekonomi ASEAN menjadi bukti nyata betapa kekuatan pasar menjadi pendorong utamanya. Lebih dari itu, agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN memiliki kekuatan mengikat secara hukum (legally binding), seiring dengan ditandatangi dan telah diratifikasinya Piagam ASEAN. Ironis memang, jika kita mengamati semangat gegap gempita pemerintah Indonesia menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN dibandingkan dengan tidak berartinya langkah-langkah persiapan yang substantif dan riil. Langkah-langkah pemerintah Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN selama ini lebih besar difokuskan pada persoalan teknis implementasi langkah-langkah yang terkandung dalam Cetak Biru perwujudan agenda ini. Sementara itu, dari sisi langkah persiapan yang bersifat substantif dan riil bagi perekonomian Indonesia, fakta empiris
xiv
Kata Pengantar
justru memperlihatkan betapa sektor-sektor penting dalam perekonomian negeri ini berada dalam posisi yang jauh tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya. Buku ini berupaya untuk mengulas persoalan tidak berartinya langkah substantif dan riil pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan perekonomian menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Tentu saja, buku ini hanyalah satu bagian kecil dari pemaknaan terhadap realitas agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Masih banyak kekurangan dan persoalan yang terkandung dalam buku ini. Setidaknya, buku ini dapat memberikan pemahaman terhadap agenda neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan membawa dampak nyata bagi kehidupan rakyat Indonesia, yang jika kita mau jujur, sebagian besar tidak mengetahui atau bahkan mengerti tentang agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu terbitnya buku ini. Semoga dapat menjadi bagian dalam upaya untuk membebaskan rakyat, membangun umat dan bangsa menuju kemajuan yang sejati.
Bekasi, Mei 2011
Dodi Mantra
Pendahuluan
Berangkat pada sebuah posisi pemikiran bahwa percobaan neoliberalisme akan selalu berujung pada keterpurukan ekonomi, buku ini berupaya untuk membongkar faktor-faktor yang melatarbelakangi minimnya langkah-langkah atau upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan perekonomian secara substantif dan riil guna menghadapi terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015. Fakta historis mengungkapkan bahwa implementasi pilar-pilar neoliberalisme telah berhasil membuahkan persoalan-persoalan mendasar bagi perekonomian negara-negara di berbagai belahan dunia. Kemiskinan, pengangguran, kesenjangan dan deindustrialisasi, menjadi warna dominan yang melekat dalam implementasi neoliberalisme. Bahkan episode krisis menjadi bagian yang tidak dapat terlepaskan dari perekonomian global yang berjalan atas dasar aturan main neoliberal. Sementara itu, langkah dan komitmen negara-negara Asia Tenggara semakin kuat menuju terwujudnya sebuah agenda neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015. Prinsip-prinsip dasar neoliberalisme dalam wujud liberalisasi, privatisasi dan deregulasi, menjadi roh dari terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Langkah-langkah implementasi strategis dengan tahapan yang spesifik dalam Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN, mencerminkan betapa neoliberalisme menjadi landasan dari integrasi ekonomi regional Asia Tenggara ini. Pemerintah Indonesia memiliki komitmen dan semangat besar dalam mewujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Semangat gegap gempita menuju pertarungan dalam arena neoliberal ini seharusnya berjalan seiring dengan langkah-langkah substantif dan riil untuk mempersiapkan perekonomian. Ironisnya, pemerintah Indonesia justru terfokus pada langkah-langkah persiapan teknis neoliberal sejalan dengan implementasi cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dengan menggunakan pendekatan Gramscian-Foucauldian–sebuah pendekatan analisis yang mengkombinasikan konsep hegemoni Antonio Gramsci dan diskursus Michel Foucault– yang dikembangkan oleh Richard Peet, analisis dalam buku berupaya untuk membongkar fenomena minimnya langkah persiapan substantif dan riil dari pemerintah Indonesia tersebut. Analisis yang terkandung dalam substansi buku ini memperlihatkan bahwa neoliberalisme telah berada dalam posisi hegemoni dalam perekonomian Indonesia. Dengan kata lain, neoliberalisme telah menjadi konsensus tidak tertulis sebagai landasan paradigmatis bagi pembangunan
2
Pendahuluan
ekonomi Indonesia yang kebenaran dan manfaatnya diyakini oleh para pengambil kebijakan ekonomi di negeri ini. Analisis dalam buku ini juga mengungkapkan bahwa tercapainya posisi hegemoni neoliberal tersebut tidak terlepas dari keberhasilan perjuangan hegemoni yang dilakukan oleh komunitas epistemis liberal Indonesia yang tersebar di berbagai ranah, baik itu ranah intelektual atau bahkan ranah pengambil kebijakan. Langkah-langkah persiapan teknis yang kontras dengan langkah substantif dan riil menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN berjalan seiring dengan diskursus keyakinan dan optimisme akan manfaat dari agenda neoliberal ini. Praktik diskursif yang dijalankan oleh aktor-aktor sosial dengan modalitas enunsiatif (para ahli/pakar ekonomi dengan spesialisasi dan reputasi yang diakui) dalam apa yang disebut Foucault sebagai formasi diskursif (disiplin ilmu pengetahuan) ekonomi, diyakini sebagai kunci keberhasilan bagi naturalisasi makna positif dari agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Alhasil, kedalaman hegemoni dalam formasi diskursif ekonomi di Indonesia, telah melahirkan fenomena praktikalitas, inevitabilitas dan optimalitas dalam memaknai formasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Praktikalitas mewujud dalam batasan-batasan makna positif saja yang boleh dibicarakan terkait Masyarakat Ekonomi ASEAN. Inevitabilitas mewujud dalam sikap yang memandang bahwa agenda liberalisasi dan integrasi ekonomi regional ini merupakan sesuatu yang tidak dapat terhindarkan. Sementara itu, optimalitas mewujud dalam keyakinan mendalam akan manfaat dari perwujuan agenda integrasi ekonomi regional berbasis neoliberal. Posisi hegemoni neoliberalisme dengan topangan praktik diskursif yang massif, menyebabkan kaburnya paradigma dan arah kebijakan pembangunan nasional. Negara mengalami pelemahan kapasitas dalam menjalankan fungsinya sementara kebijakan-kebijakan pemerintah berjalan secara parsial dan tumpang tindih dalam berbagai dimensi. Ketika neoliberalisme telah berada dalam posisi hegemoni, praktik diskursif pun berada dalam demarkasi makna yang positif atas neoliberalisme, maka tidak mengherankan jika langkah-langkah pemerintah Indonesia yang substantif dan riil untuk memajukan perekonomian menjadi sangat minim dalam menghadapi terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Hal ini terjadi tidak terlepas dari komitmen kuat dan keyakinan mendalam pemerintah Indonesia akan manfaat besar dari perwujudan Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang lahir dari proses panjang keberhasilan perjuangan hegemoni dan praktik diskursif neoliberalisme dalam formasi diskursif perekonomian Indonesia. Hegemoni dan diskursus neoliberalisme berada di balik langkah pemerintah Indonesia menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Secara sistematis, analisis yang membongkar kekuatan hegemoni dan diskursus neoliberal akan dituangkan pada bab lima. Bab kedua dari buku ini mengulas secara historis jejak liberalisasi perekonomian negara-negara berkembang beserta dampak-dampak negatif yang dihasilkannya. Pada bab ketiga diuraikan secara kritis dan spesifik prinsipprinsip neoliberal yang menjadi roh dalam agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Realitas ketidaksiapan dan minimnya langkah pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan perekonomian Indonesia secara sunstantif dan fundamental diungkapkan pada bab keempat dari buku ini.
Bab 1 Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN: Komitmen dan Semangat Tanpa Langkah Berarti
Disepakatinya Visi ASEAN 2020 pada bulan Desember 1997 di Kuala Lumpur menandai sebuah babak baru dalam sejarah integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Dalam deklarasi tersebut, pemimpin negara-negara ASEAN sepakat untuk mentransformasikan kawasan Asia Tenggara menjadi sebuah kawasan yang stabil, sejahtera dan kompetitif, didukung oleh pembangunan ekonomi yang seimbang, pengurangan angka kemiskinan dan kesenjangan sosio-ekonomi di antara negaranegara anggotanya.1 Komitmen untuk menciptakan suatu Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) sebagaimana dideklarasikan dalam visi tersebut, kemudian semakin dikukuhkan melalui ASEAN Concord II pada Pertemuan Puncak di Bali Oktober 2003, atau yang lebih dikenal sebagai Bali Concord II, di mana para pemimpin ASEAN mendeklarasikan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) sebagai tujuan dari integrasi ekonomi kawasan pada 2020.2 Dalam Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN (ASEAN Economic Ministers Meeting – AEM) yang diselenggarakan pada bulan Agustus 2006 di Kuala Lumpur, komitmen yang kuat menuju terbentuknya integrasi ekonomi kawasan ini diejawantahkan ke dalam gagasan pengembangan sebuah cetak biru menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN yang kemudian secara terperinci disahkan dan diadopsi oleh seluruh negara anggota ASEAN pada November 2007. Bahkan, sebelumnya dalam Pertemuan Puncak ASEAN ke-12 pada Januari 2007, komitmen yang kuat para pemimpin negara-negara ASEAN terhadap pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN ini, semakin tercermin dari disepakatinya upaya percepatan terwujudnya komunitas tersebut pada tahun 2015. Pada pertemuan tersebut, para pemimpin ASEAN sepakat untuk mempercepat pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dan mentransformasikan ASEAN menjadi sebuah kawasan di mana barang, jasa, investasi, pekerja terampil, dan arus modal dapat bergerak dengan bebas. ASEAN Vision 2020, http://www.aseansec.org/1814.htm, diakses pada tanggal 2 Maret 2009, pukul 11:33 wib. 2 ASEAN Concord II/Bali Concord II, http://www.aseansec.org/15159.htm, diakses pada tanggal 2 Maret 2009 pukul 11:45 wib. 1
4
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Dengan demikian, Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan suatu tujuan akhir dari integrasi ekonomi yang ingin dicapai masyarakat ASEAN sebagaimana tercantum dalam Visi ASEAN 2020, di mana di dalamnya terdapat konvergensi kepentingan dari negara-negara anggota ASEAN untuk memperdalam dan memperluas integrasi ekonomi. Sebuah perekonomian yang terbuka, berorientasi keluar, inklusif dan bertumpu pada kekuatan pasar merupakan prinsip dasar dalam upaya pembentukan komunitas ini. Berdasarkan cetak biru yang telah diadopsi oleh seluruh negara anggota ASEAN, kawasan Asia Tenggara melalui pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN akan ditransformasikan menjadi sebuah pasar tunggal dan basis produksi; sebuah kawasan yang sangat kompetitif; sebuah kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata; dan sebuah kawasan yang terintegrasi penuh dengan perekonomian global.3 Sebagai sebuah pasar tunggal dan basis produksi, terdapat lima elemen inti yang mendasari Masyarakat Ekonomi ASEAN, yaitu (1) pergerakan bebas barang; (2) pergerakan bebas jasa; (3) pergerakan bebas investasi; (4) pergerakan bebas modal; dan (5) pergerakan bebas pekerja terampil. Kelima elemen inti dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi ini dilengkapi lagi dengan dua komponen penting lainnya, yaitu sektor integrasi prioritas yang terdiri dari dua belas sektor (produk berbasis pertanian; transportasi udara; otomotif; e-ASEAN; elektronik; perikanan; pelayanan kesehatan; logistik; produk berbasis logam; tekstil; pariwisata; dan produk berbasis kayu) dan sektor pangan, pertanian dan kehutanan.4 Dalam konteks penciptaan perekonomian kawasan yang kompetitif, beragam langkah strategis telah ditetapkan dalam cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN, seperti pengembangan kebijakan persaingan, perlindungan konsumen, kerjasama regional dalam Hak Kekayaan Intelektual, dan langkah-langkah lainnya seperti kerjasama regional dalam pembangunan infrastruktur. Begitu juga halnya dalam upaya transformasi ASEAN menuju sebuah kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, kesepakatan negara-negara di kawasan ini mengupayakan percepatan pengembangan usaha kecil dan menengah serta perluasan Inisiatif Integrasi ASEAN (Initiative for ASEAN Integration) dalam rangka menjembatani jurang kesenjangan pembangunan di antara negara-negara anggotanya. Sementara itu, langkah-langkah menuju integrasi ekonomi Asia Tenggara ke dalam perekonomian global ditempuh melalui penerimaan suatu pendekatan yang koheren terhadap hubungan ekonomi eksternal, termasuk negosiasi dalam pembentukan kawasan perdagangan bebas dan kemitraan ekonomi strategis. Cetak biru inilah yang melandasi pembangunan Masyarakat Ekonomi ASEAN melalui langkah-langkah spesifik dengan periode waktu yang terperinci, di mana terciptanya suatu perekonomian kawasan yang terintegrasi atas dasar prinsip perekonomian pasar bebas dan terbuka menjadi cita-cita besar yang ingin dicapai. Tercermin dari beragam langkah-langkah strategis yang dicanangkan dalam cetak biru dan hakikat dari Masyarakat Ekonomi ASEAN itu sendiri, neoliberalisme sebagai metamorfosa paradigma liberal merupakan ruh yang mendasari ger ASEAN Economic Community Blueprint, , http://www.aseansec.org/21083.pdf, diakses pada 15 Maret 2009, pukul 20:47 wib. 4 ASEAN Economic Community Blueprint, http://www.aseansec.org/21083.pdf, diakses pada 15 Maret 2009, pukul 20:47 wib. 3
Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
5
ak semangat dari terbentuknya komunitas ekonomi kawasan ini. Sebagai sebuah paradigma pembangunan ekonomi, neoliberalisme berasumsi bahwa entitas pasar merupakan aktor yang paling relevan dan efektif dalam menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi di dalam suatu negara. sebaliknya, mereka memandang bahwa intervensi negara dalam hal ini pemerintah terhadap perekonomian, melalui subsidi misalnya, merupakan hambatan yang mendistorsi berjalannya mekanisme pasar. Neoliberalisme mencuat sebagai sebuah paradigma pembangunan yang dominan pada tahun 1980-an dan 1990-an menggantikan paradigma Keynesian dalam pembangunan ekonomi yang dianut oleh sebagian besar negara-negara berkembang. Neoliberalisme atau yang sering disebut juga sebagai “Washington Consensus”, dirancang sebagai respon terhadap persoalan ekonomi negara-negara Amerika Latin yang menerapkan paradigma Keynesian. Berdasarkan asumsi Keynesian, pembangunan di negara-negara ini diselenggarakan atas dasar peranan negara atau pemerintah yang sangat besar dalam bidang ekonomi, di mana kebijakan ekonomi pemerintah tersebut diarahkan kepada penyerapan tenaga kerja dan pengurangan tingkat pengangguran serta pemerataan distribusi pendapatan. Namun pada tahun 1980-an, negara-negara di kawasan Amerika Latin mengalami defisit neraca pembayaran yang sangat besar. Krisis ekonomi ini diyakini oleh padangan neoliberal sebagai dampak dari kerugian yang dialami perusahaan-perusahaan pemerintah yang tidak efisien dan langkah-langkah proteksionis yang diberlakukan pemerintah sehingga perusahaan swasta yang tidak efisien memaksa konsumen untuk membayar dengan harga mahal serta kebijakan moneter yang sangat longgar yang menyebabkan laju inflasi tidak terkendali.5 Kegagalan dari paradigma Keynesian ini kemudian memuculkan paradigma neoliberal untuk menggantikan posisinya sebagai paradigma dominan. Neoliberalisme memandang keynesian gagal karena paradigma ini tidak efektif dalam menyelesaikan persoalan ekonomi pada tahun 1980-an dan karena intervensi negara dalam perekonomian tidak cukup mendisiplinkan sistem moneter dan perdagangan internasional. Terdapat tiga pilar utama paradigma neoliberal, yaitu disiplin fiskal (fiscal austerity), privatisasi dan liberalisasi pasar bebas. Kebijakan-kebijakan pembangunan dari paradigma ini didasarkan pada sebuah model sederhana ekonomi pasar, model ekuilibrium kompetitif, yang berakar pada prinsip “invinsible hand” Adam Smith yang diasumsikan bekerja dengan sempurna. Adapun asumsi-asumsi dasar dari paradigma ini antara lain adalah meletakkan pasar sebagai aktor atau pelaku utama dalam ekonomi; liberalisasi pasar dalam bentuk kebebasan pergerakan barang, jasa, investasi dan modal tanpa adanya intervensi negara; menghilangkan semua pengeluaran negara untuk pemenuhan kebutuhan publik (public goods) atau meminimalisirnya secara bertahap; deregulasi semua kebijakan negara yang membatasi mekanisme pasar; privatisasi dengan menjual aset-aset negara kepada pasar. Neoliberalisme juga menjadi paradigma yang dianut oleh trinitas rezim ekonomi internasional yang sangat berpengaruh, yaitu IMF, Bank Dunia dan World Trade Organization (WTO). Washington Consensus atau neoliberalisme menekankan pada penciptaan per5
Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents (London: Penguin Books, 2002), 53.
6
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
tumbuhan ekonomi sebagai imperatif dalam menyelesaikan persoalan ekonomi dan kemiskinan. Dalam pencapaian pertumbuhan tersebut, paradigma ini meletakkan prioritas pada pertambahan input kapital dan tenaga kerja semata-mata, di mana faktor kemajuan teknologi dipandang sebagai faktor eksogen dan mengabaikan faktor-faktor di luar ekonomi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan.6 Melalui pertumbuhan ekonomi ini diyakini akan terjadi apa yang disebut sebagai trickle down effect, yakni efek penetesan ke bawah, di mana pertumbuhan ekonomi akan meneteskan kesejahteraan ke seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat miskin juga akan memperoleh manfaat dari pertumbuhan ini.7 Nafas neoliberalisme terasa sangat kental sekali dalam proses integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara, di mana entitas pasar diagung-agungkan sebagai landasan gerak perekonomian. Beragam hambatan yang membatasi pergerakan pasar perlahan-lahan dihilangkan dalam upaya menuju terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kebebasan bergerak dari beragam faktor ekonomi menjadi inti dari integrasi ekonomi ASEAN. Peranan pemerintah dalam perekonomian melalui proteksi yang menjelma dalam berbagai bentuk hambatan perdagangan, subsidi dan intervensi secara bertahap dihilangkan dalam proses integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara ini. Namun demikian, fakta membuktikan bahwa entitas pasar tidak selamanya dapat bekerja dengan sempurna tanpa celah. Krisis secara periodik yang tanpa henti melanda dunia memperlihatkan dengan sangat jelas adanya kecacatan inheren yang melekat di dalam tubuh entitas pasar. Hakikat dari pasar adalah peranan utama dari keberadaan harga relatif dalam keputusan alokatif. Pada dasarnya, pasar memiliki empat kegagalan mendasar yang menjadi landasan mengapa pada kenyataannya entitas ini tidak dapat berperan sebagai cara yang paling efektif dalam mengelola perekonomian. Pertama, adanya “spillover” dari aktifitas ekonomi, di mana aktifitas salah satu aktor ekonomi dapat membawa dampak negatif bagi aktor lain, terutama misalnya dalam hal dampak lingkungan. Kedua, kecenderungan monopoli yang sangat besar dengan adanya peningkatan keuntungan dan biaya marginal dari salah satu pelaku ekonomi. Ketiga, kekakuan pasar dan kurangnya informasi yang dimiliki oleh informasi. Keempat, pasar tidak dapat menjamin adanya distribusi kesejahteraan yang merata.8 Krisis yang menghantam negara-negara Asia di penghujung tahun 1990-an lalu, merupakan wujud nyata dari gagalnya pasar sebagai entitas yang diagung-agungkan oleh pendukung liberalisme. Bahkan krisis keuangan global yang melanda dunia selama dua tahun terakhir merupakan imbas dari eksistensi sistem keuangan global yang sangat liar dan rapuh yang lahir sebagai hasil dari proses liberalisasi keuangan global tanpa henti selama lebih dari tiga dekade. Melalui kondisionalitas yang diberlakukan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund IMF), komponen-komponen kunci liberalisasi keuangan (deregulasi suku bunga; penghapusan kontrol kredit; swastanisasi bank dan institusi keuangan milik negara; liberalisasi hambatan masuknya sektor swasta dan bank-bank serta institusi keuangan asing ke pasar keuangan dalam negeri; pemberlakuan instrumen-instrumen Robert Gilpin, Global Political Economy: Understanding the International Economic Order (New Jersey: Princeton University Press, 2001), 112-116. 7 Robert Gilpin, Global Political Economy, 78. 8 Robert Gilpin, Global Political Economy, 68. 6
Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
7
kontrol moneter berbasis pasar; liberalisasi lalu lintas devisa) dapat dengan mudah menemui realisasinya di negara-negara yang berada dalam krisis likuiditas. Liberalisasi keuangan selalu menjadi komponen yang termaktub dalam kondisionalitas IMF dalam berbagai program yang diberikan di banyak negara. Implementasi dari kondisionalitas tersebut menjadi prasyarat bagi kucuran dana bertahap yang dibutuhkan negara-negara pengutang dari IMF. Krisis global yang tengah melanda dunia dewasa ini merupakan dampak dari liar dan rapuhnya sistem keuangan global yang berlandaskan pada liberalisme. Kasus liberalisasi pertanian pasca Agreement on Agriculture (AoA) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO) merupakan satu dari sekian banyak bukti nyata kegagalan kebijakan liberalisasi ekonomi di Indonesia. Bertepatan dengan berdirinya WTO di tahun 1995, Indonesia menyepakati Agreement on Agriculture, di mana Indonesia harus meliberalisasi sektor pertanian domestik. Beragam implementasi kebijakan neoliberal diimplementasikan terhadap sektor pertanian Indonesia, seperti pengurangan subsidi pupuk, dibukanya keran impor beras, dibebaskannya investasi asing untuk memasuki pasar domestik, bahkan pencabutan status BULOG sebagai perusahaan negara, sehingga kehilangan kekuatan untuk memproteksi stabilitas harga produk petani Indonesia. Dampaknya, produksi dan distribusi pupuk domestik dikuasai oleh korporasi transnasional raksasa seperti Monsanto dan Syngenta. Sementara itu, ketergantungan Indonesia terhadap produk pertanian asing menjadi semakin kuat, bahkan pada periode 19901999 Indonesia mengimpor rata-rata 1,5 juta ton beras per tahun.9 Terlebih lagi dampak negatif liberalisasi yang dirasakan petani yang secara langsung kalah bersaing dengan produk-produk asing membanjiri pasar dalam negeri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 1999, jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan yang notabene adalah petani meningkat dua kali lipat dari 17,8 juta di tahun 1990 menjadi 32,3 juta. Meningkatnya angka kemiskinan di daerah pedesaan selama periode tersebut merupakan bukti nyata bagaimana implementasi kebijakan liberalisasi telah gagal dalam menciptakan kesejahteraan di Indonesia. Terlebih dari itu, pengalaman integrasi ekonomi kawasan berlandaskan pada liberalisme tidak sepenuhnya melahirkan kisah sukses di mana setiap negara dapat menjadi pemenang di dalamnya. Beberapa kasus integrasi ekonomi regional justru menunjukkan hasil yang sebaliknya. Pembentukan Kesepakatan Perdagangan Bebas di Kawasan Amerika Utara (North American Free Trade Agreement – NAFTA) pada tahun 1994 mencerminkan pengalaman bagaimana integrasi ekonomi regional membawa dampak negatif bagi perekonomian salah satu negara yang terlibat di dalamnya. Kesepakatan perdagangan bebas yang membukakan pintu perekonomian negara terkaya di dunia Amerika Serikat kepada Meksiko ini merupakan kawasan perdagangan bebas terbesar di dunia pada saat itu, penduduk sebesar 376 juta dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) mencapai US$9 triliun.10 Janji-janji kesejahteraan yang ditawarkan liberalisasi perdagangan dalam integrasi di kawasan ini tidak menemui realisasinya. Salah satu argumen penciptaan perdagangan bebas Identifikasi: Periode Liberalisasi Perdagangan dalam Kasus Beras Indonesia, http:// www.fspi.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=161&Itemid=38, diakses pada tanggal 17 Maret 2006, pukul 20:44 wib. 10 Joseph Stiglitz, Making Globalization Work: the Next Step to Global Justice (London: Penguin Books, 2006), 61. 9
8
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
di kawasan Amerika Utara adalah untuk mengurangi kesenjangan kesejahteraan terutama antara Amerika Serikat dan Meksiko serta untuk menekan laju imigrasi ilegal.11 Akan tetapi, alih-alih terjadi perbaikan ekonomi, kesenjangan pendapatan di antara kedua negara selama satu dekade pertama NAFTA justru meningkat lebih dari 10 persen.12 Selama dekade pertama NAFTA, pertumbuhan ekonomi Meksiko sangatlah suram, hanya sebesar 1,8 persen pada basis per kapita riil. Memang pada kenyataannya, lebih baik jika dibandingkan dengan pencapaian negara-negara Amerika Latin lainnya, namun jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang dicapai Meksiko selama periode 1948-1973, angka pertumbuhan sebesar 1,8 persen sangatlah buruk, di mana pada periode tersebut angka pertumbuhan ratarata mencapai 3,2 persen.13 Faktanya, NAFTA justru menjadikan Meksiko semakin tergantung kepada Amerika Serikat. Dengan kata lain, jika performa ekonomi Amerika Serikat memburuk, begitu juga halnya dengan yang akan dialami oleh Meksiko.14
Ketidaksiapan Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN Fakta gagalnya pasar dan tidak berhasilnya neoliberalisme melandasi integrasi ekonomi di tingkat regional menyiratkan suatu pesan yang sangat kuat bahwa upaya penciptaan perekonomian berbasiskan peranan entitas pasar dan neoliberalisme tidak dapat membawa hasil yang positif jika tidak dilandasi oleh kesiapan ekonomi internal negara yang ada di dalamnya. Kesiapan fundamental ekonomi, eksistensi institusi dan regulasi yang kuat, adalah syarat mutlak yang harus dimiliki suatu negara secara matang sebelum menerapkan prinsip ekonomi pasar bebas. Dengan kata lain, implementasi kebijakan neoliberalisme dalam berbagai bentuk seperti liberalisasi, privatisasi dan deregulasi tidak dapat diterapkan secara prematur. Dibutuhkan suatu upaya kesiapan yang matang dari suatu negara untuk menghindari dampak negatif dari implementasi neoliberalisme. Dampak negatif tidak hanya pada dimensi ekonomi tetapi juga sosial dan politik, sebagaimana yang dialami Indonesia di bawah program terapi kejut neoliberalisme IMF, menjadi bukti yang sangat nyata bahwa kesiapan sebelum menuju liberalisasi adalah suatu hal yang mutlak. Pada dasarnya arah perkembangan perekonomian dunia ke arah prinsip pasar bebas neoliberalisme bukanlah merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan (inevitable). Kegagalan mekanisme pasar yang berujung pada kehancuran ekonomi dan kemiskinan seharusnya menjadi landasan bagi lahirnya pilihan-pilihan kebijakan ekonomi baru yang lepas dari peranan pasar bebas. Terdapat banyak alternatif sistem ekonomi yang dapat dipilih dan diterapkan oleh suatu negara. Pasar bebas bukanlah satu-satunya pilihan yang tidak dapat dihindari. Akan tetapi komitmen kuat pemerintah Indonesia akan neoliberalisme yang menjelma ke dalam agenda integrasi ekonomi kawasan Asia Tenggara tampaknya memperlihatkan suatu wujud pandangan mengenai “ketidakterhindaran” dari neoliberalisme. Sayangnya, seman 13 14 11
12
Joseph Stiglitz, Making Globalization Work, 64. Joseph Stiglitz, Making Globalization Work, 64. Joseph Stiglitz, Making Globalization Work, 64. Joseph Stiglitz, Making Globalization Work, 64.
Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
9
gat dan komitmen kuat terhadap neoliberalisme ini dilakukan secara membabi-buta tanpa diiringi oleh pertimbangan yang menyeluruh dan matang terhadap kesiapan ekonomi dan antisipasi dampak negatif nyata dari perekonomian pasar bebas. Dengan demikian, dalam menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN, di mana neoliberalisme dan kekuatan pasar bebas menjadi penggerak utamanya, kesiapan perekonomian internal yang matang dari negara-negara Asia Tenggara adalah bersifat imperatif. Terutama bagi Indonesia sebagai penggagas yang memiliki komitmen kuat terhadap integrasi ekonomi kawasan tersebut, seharusnya fundamen ekonomi negeri dengan wilayah terluas di kawasan ini telah benar-benar siap menuju integrasi. Terlebih lagi sebagai negara dengan populasi terbesar, dampak negatif dari integrasi yang berlandaskan pada liberalisasi prematur akan secara langsung dirasakan oleh rakyat yang jumlahnya lebih dari 220 juta jiwa. Ironisnya, di balik optimisme dan komitmen yang kuat terhadap integrasi ekonomi kawasan, kondisi perekonomian Indonesia masih jauh dari kata siap secara faktual dalam menghadapi terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Optimisme pemerintah Indonesia yang terlihat dalam pernyataan Menko Perekonomian Boediono dan Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu kepada media massa pada saat KTT ASEAN di Jakarta tahun 2007 lalu,15 tampaknya tidak berpijak pada kondisi faktual kesiapan perekonomian Indonesia untuk menjadi bagian dari Masyarakat Ekonomi ASEAN. Jika kita cermati secara mendalam, terlihat bahwa pemerintah Indonesia pada kenyataannya tidak memiliki suatu peta jalan yang jelas dalam meningkatkan kesiapan perekonomian Indonesia menghadapi integrasi regional Asia Tenggara. Lebih-lebih jika kita bandingkan dengan performa perekonomian negara-negara ASEAN lainnya, terutama Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam, optimisme yang diindikasikan oleh pemerintah Indonesia benar-benar harus dipertanyakan kembali dasar pijakannya. Secara lebih terperinci akan kita telaah bagaimana realitas kesiapan dan upaya persiapan yang dilakukan pemerintah Indonesia menuju integrasi ekonomi ASEAN. Telaah kritis atas kondisi riil kesiapan ekonomi dan persiapan pemerintah Indonesia ini difokuskan pada lima karakteristik dasar Masyarakat Ekonomi ASEAN berdasarkan cetak biru yang disepakati, yaitu ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan basis produksi, sebuah kawasan dengan daya saing tinggi, sebuah kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, dan sebuah kawasan yang terintegrasi penuh dengan perekonomian global. Telaah kritis pertama dilakukan mengenai kesiapan ekonomi dan strategi pemerintah Indonesia dalam menghadapi pembentukan ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan basis produksi. Terdapat lima elemen inti dalam upaya penciptaan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi (pergerakan bebas arus barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil), ditambah dengan integrasi 12 sektor prioritas (produk berbasis pertanian; transportasi udara; otomotif; e-ASEAN; elektronik; perikanan; pelayanan kesehatan; logistik; produk berbasis logam; tekstil; pariwisata; dan produk berbasis kayu) dan sektor pangan, pertanian serta kehutanan. Pembentukan kawasan Asia Tenggara sebagai sebuah pasar tunggal dan basis produksi ini bermakna dihapuskannya segala bentuk hambatan Boediono: Indonesia Siap Jadi Bagian AEC, http://www.antara.co.id/arc/2007/11/5/ boediono-indonesia-siap-jadi-bagian-aec/, diakses pada 19 Maret 2009, pukul 15:36 WIB. 15
10
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
bagi pergerakan barang dan jasa serta faktor produksi dalam melintasi batas-batas negara-bangsa di Asia Tenggara. Bebasnya pergerakan aktifitas ekonomi dalam integrasi sebuah kawasan, membutuhkan daya saing ekonomi yang tinggi untuk menghindari dampak negatif menurunnya performa ekonomi dalam negeri karena serbuan produk-produk dari negara lain yang berdaya saing lebih tinggi. Namun demikian, pada kenyataannya produk barang Indonesia justru memiliki daya saing yang lemah, baik dari sisi kualitas ataupun harga. Khususnya di bidang manufaktur, garmen dan tekstil, peringkat daya saing produk Indonesia di dunia semakin lemah. Beragam kebijakan ekonomi pemerintah di bawah paradigma neoliberalisme dalam bentuk pencabutan subsidi dan liberalisasi perdagangan, semakin melemahkan kekuatan produk Indonesia dalam bersaing dengan produkproduk asing. Dalam sektor tekstil misalnya, meningkatnya harga bahan bakar dan tarif dasar listrik sebagai imbas dari kebijakan penghapusan subsidi menyebabkan industri tekstil dan produk tekstil Indonesia terbebani dengan mahalnya biaya produksi di tengah daya beli masyarakat yang masih lemah. Diperparah lagi dengan serbuan produk tekstil dari Cina sebagai hasil dari dibukanya keran impor, semakin menekan kondisi pengusaha tekstil dalam negeri. Belum lagi ditambah dengan masuknya produk tekstil selundupan dari Cina, Korea dan Taiwan, menjadikan tekstil sebagai “sunset industry” yang kontribusinya terhadap PDB semakin menurun. Bahkan produk batik yang merupakan produk andalan Indonesia, justru telah dapat diproduksi oleh Cina dalam skala massal dan telah membanjiri pasar dalam negeri.16 Tidak heran jika banyak dari industri tekstil Indonesia akhirnya gulung tikar, dalam arti sama sekali menghentikan kegiatan produksinya. Di sektor perdagangan jasa, laporan World Economic Forum (WEF) dalam Global Competitiveness Report 2008-2009 yang mengelompokkan perekonomian Indonesia dalam fase pertama, menunjukkan bagaimana sektor jasa Indonesia kalah bersaing dengan Malaysia dan Thailand yang telah mengukuhkan diri dalam fase kedua pembangunan.17 Terdapat tiga kelompok negara berdasarkan fase pembangunan yang dilaporkan oleh WEF. Fase pertama, yaitu fase awal pembangunan, di mana proses ekonomi sepenuhnya tergantung pada faktor-faktor keunggulan komparatif yang ada atau didorong oleh faktor-faktor alam, seperti kekayaan sumber daya alam, jumlah tenaga kerja dalam jumlah banyak dan murah (didominasi oleh tenaga kerja tidak terdidik), iklim yang baik, lokasi yang strategis, dan faktor alami lainnya.18 Pada fase kedua, pembangunan ekonomi didorong oleh efisiensi dan produktifitas dalam pemakaian semua faktor-faktor alam tersebut. Dengan kata lain, pada fase ini, teknologi dan pendidikan mulai berperan, karena untuk meningkatkan efisiensi atau produktifitas diperlukan teknologi dan pekerja dengan pendidikan atau keahlian tinggi. Fase terakhir, proses dan daya saing ekonomi sepenuh Polemik Globalisasi (2) Kuncinya Peningkatan Daya Saing, http://news.okezone.com/ index.php/ReadStory/2008/10/06/217/151293/kuncinya-peningkatan-daya-saing, diakses pada tanggal 19 Maret 2009, pukul 15:38 WIB. 17 Tulus Tambunan, Daya Saing Global Indonesia 2008-2009 versi World Economic Forum (WEF), http://www.kadin-indonesia.or.idenmimagesdokumenKADIN-98-2737-14042008. pdf, diakses pada 15 Maret 2009, pukul 23:08 WIB. 18 Tulus Tambunan, Daya Saing Global Indonesia 2008-2009 versi World Economic Forum (WEF), http://www.kadin-indonesia.or.idenmimagesdokumenKADIN-98-2737-14042008. pdf, diakses pada 15 Maret 2009, pukul 23:08 WIB. 16
Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
11
nya didorong oleh inovasi. Faktor-faktor keunggulan kompetitif, seperti teknologi, sumber daya manusia berkualitas tinggi, ketersediaan infrastruktur yang baik, iklim usaha yang kondusif, dan faktor inovatif lainnya, jauh lebih penting daripada faktor-faktor keunggulan komparatif.19 Posisi Indonesia yang dikelompokkan pada fase pembangunan pertama menunjukkan bagaimana sektor jasa di negeri ini belum memainkan peranan yang penting, karena perekonomian masih didominasi oleh faktor-faktor alami, di mana keberadaan tenaga kerja di sektor jasa yang terdidik dan terampil masih sangat terbatas. Bahkan dalam peringkat berdasarkan ukuran neoliberal ini sekalipun (WEF dan Global Competitiveness Report), sektor jasa perekonomian Indonesia berada dalam keadaan yang tertinggal. Salah satu elemen inti lainnya dalam penciptaan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi adalah kebebasan investasi. Bebasnya ruang gerak di kawasan ini, diasumsikan dalam pandangan neoliberal, akan menyebabkan investasi bergerak ke tempat-tempat yang dinilai menjanjikan keuntungan. Dengan kata lain, investasi akan mengalir deras ke wilayah-wilayah dengan iklim investasi yang dinilai baik. Ironisnya, di balik komitmen yang kuat menuju integrasi ekonomi ASEAN, iklim investasi Indonesia justru masih berada di bawah peringkat negara-negara lainnya di Asia Tenggara, terutama Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam dan Filipina. Laporan Bank Dunia dalam Doing Business 2009, peringkat kemudahan berinvestasi Indonesia berada pada posisi 129, jauh berada di bawah Singapura (peringkat 1), Thailand (13), Malaysia (20), Brunei (88) dan Vietnam (92).20 Upaya perbaikan iklim investasi yang dilakukan pemerintah Indonesia selama beberapa tahun terakhir, untuk dapat bersaing dalam wilayah neoliberal ini juga tidak menunjukkan keseriusan yang optimal, sehingga perubahan peringkat kemudahan berinvestasi di Indonesia tidak mengalami perubahan yang berarti. Peringkat kemudahan berinvestasi dalam Doing Business 2009 mencerminkan kondisi iklim investasi Indonesia per Juni 2008 yang menurun enam peringkat dari tahun 2007, di mana Indonesia berada pada posisi 123 dari 178 negara. Pencapaian tahun 2007, yang berhasil mendongkrak peringkat Indonesia dari 135 di tahun 2006 dan posisi 131 tahun 2005 tidak dapat dipertahankan Indonesia pada tahun 2008.21 Dalam kondisi seperti ini, dapat kita bayangkan pada saat pasar tunggal ASEAN telah terwujud di tahun 2015 nanti, jika iklim investasi Indonesia tidak juga mengalami perbaikan dan masih tetap ketinggalan dibandingkan dengan beberapa negara Asia Tenggara lainnya, tidak menutup kemungkinan jika nanti investor domestik sekalipun justru akan memilih berinvestasi di negara-negara seperti Singapura, Thailand, Malaysia, Brunei, Filipina, bahkan Vietnam dan Kamboja. Dalam sebuah kawasan yang terintegrasi di mana gerak investasi diberi kebebasan luas, kekhawatiran ini sangat mungkin akan terealisasi. Tulus Tambunan, Daya Saing Global Indonesia 2008-2009 versi World Economic Forum (WEF), http://www.kadin-indonesia.or.idenmimagesdokumenKADIN-98-2737-14042008. pdf, diakses pada 15 Maret 2009, pukul 23:08 WIB. 20 The World Bank, Doing Business 2009 (Washington: The World Bank, 2008), 85-146. 21 Doing Business 2008: Indonesia is number two reformer in East Asia but still lags behind major regional economies, http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/ EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0,,contentMDK:21486695~pagePK:14976 18~piPK:217854~theSitePK:226309,00.html, diakses pada tanggal 26 Maret 2006, pukul 22:25 WIB. 19
12
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Kondisi yang serupa juga terjadi dalam menghadapi salah satu elemen inti penciptaan pasar tunggal ASEAN yaitu liberalisasi tenaga kerja terampil. Keberadaan tenaga kerja terampil yang berkualitas dan dalam jumlah besar merupakan faktor kunci yang menentukan daya saing sumber daya manusia suatu negara. Sementara itu, terciptanya angkatan kerja yang terampil tidak terlepas dari kualitas pendidikan yang diperoleh masyarakatnya. Ironisnya, berdasarkan data United Nations Development Program (UNDP) mengenai peringkat negara-negara di dunia berdasarkan daya saing kualitas sumber daya manusia atau dikenal dengan istilah Human Development Index (HDI) di tahun 2008, Indonesia berada di peringkat 109 dari 179 negara.22 Lagi-lagi daya saing sumber daya manusia Indonesia masih jauh berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya, bahkan peringkat di tahun 2008 ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya di mana Indonesia berada di peringkat 107 dari 177 negara. Berdasarkan laporan HDI tahun 2008 tersebut, Brunei berada pada posisi 27, disusul Singapura di peringkat 28, Malaysia 63 dan Thailand 88.23 Dikarenakan kondisi daya saing SDM Indonesia yang rendah ini, tidak mengherankan jika tenaga kerja asing yang terampil dan terdidik, merajai bursa kerja di sektor jasa dan industri negeri ini.24 Selama lima bulan pertama tahun 2008 jumlah tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia tercatat sebesar 21.267 orang.25 Sementara di tahun 2007 lalu, terdapat sebanyak 40.204 tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia, sehingga diasumsikan terdapat 3.350 pekerja asing setiap bulannya.26 Pekerjaan di sektor jasa yang paling diminati oleh tenaga kerja asing ini, terutama jasa konstruksi, pendidikan swasta, jasa hiburan dan jasa penunjang pertambangan.27 Memang di satu sisi Indonesia mengirimkan juga tenaga kerja dalam jumlah besar ke luar negeri, terutama di Asia Tenggara. Namun, tenaga kerja yang berasal dari Indonesia mayoritas adalah tenaga kerja tidak terampil yang memiliki daya saing rendah. Sebaliknya, di sisi lain, lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja terampil di Indonesia justru didominasi oleh tenaga kerja asing yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Yang lebih menyedihkan lagi, penyerapan tenaga kerja asing yang cukup besar di Indonesia justru terjadi seiring dengan semakin tingginya angka pengangguran di dalam negeri. Pada tahun 2006, angka pengangguran di Indonesia tercatat yang paling tinggi di Asia Tenggara, yaitu sebesar 10.5 persen.28 Ketidaksiapan ekonomi dan minimnya persiapan pemerintah Indonesia dalam menghadapi terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN juga terlihat dari sektor Human Development Indices: A statistical update 2008 - HDI rankings, http://hdr.undp. org/en/statistics/, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 17:57 WIB. 23 Human Development Indices: A statistical update 2008 - HDI rankings, http://hdr.undp. org/en/statistics/, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 17:57 WIB. 24 Tenaga Kerja Asing di Indonesia Meningkat, http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/jasa-transportasi/1id63281.html, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 23:03 WIB. 25 Tenaga Kerja Asing di Indonesia Meningkat, http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/jasa-transportasi/1id63281.html, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 23:03 WIB. 26 Tenaga Kerja Asing di Indonesia Meningkat, http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/jasa-transportasi/1id63281.html, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 23:03 WIB. 27 Tenaga Kerja Asing di Indonesia Meningkat, http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/jasa-transportasi/1id63281.html, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 23:03 WIB. 28 ASEAN Finance and Macro-economic Surveillance Unit Database dan ASEAN Yearbook 2006. 22
Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
13
industri. Sektor industri hilir kelapa sawit misalnya, belum terlihat jelas adanya strategi atau program nyata dari pemerintah untuk mengembangkan industri strategis dalam perekonomian Indonesia ini. Suatu hal yang sangat disayangkan memang, di satu sisi Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), namun di sisi lain, minyak sawit yang kita ekspor tersebut diimpor kembali dalam bentuk produk-produk turunannya. Hal ini terjadi dikarenakan tidak berkembangnya industri pengolahan minyak sawit dalam negeri untuk dapat menghasilkan produk derivatif CPO yang merupakan bahan mentah bagi banyak produk lainnya. Pengusaha menilai bahwa iklim usaha industri hilir sawit belum mendukung mereka untuk melakukan pengolahan minyak sawit mentah.29 Keluhan dari pengusaha ini sayangnya tidak mendapat tanggapan yang berarti dari pemerintah. Sampai saat ini, belum terlihat adanya langkah serius dari pemerintah, khususnya Kementerian Perindustrian, untuk mendorong pengembangan industri pengolahan minyak sawit. Kondisi yang berbeda terjadi di Malaysia, negeri tetangga ini telah mengolah produk turunan minyak sawit hingga 90 persen.30 Jangankan memiliki jaringan pasar produk turunan minyak sawit, pengembangan industri ini pun masih sangat rendah.31 Terlebih lagi dalam menghadapi integrasi ekonomi ASEAN di tahun 2015 nanti, jika tidak ingin tergantung pada produk turunan minyak sawit dari Malaysia di tengah arus liberalisasi yang sangat deras, pemerintah seharusnya telah menyusun suatu rencana strategis dan komprehensif untuk mengembangkan industri pengolahan produk turunan minyak sawit nasional. Lemahnya posisi Indonesia sektor pariwisata sekali lagi menunjukkan bagaimana ketidaksiapan dan kurangnya persiapan dari pemerintah menuju integrasi ekonomi kawasan. Dilihat dari indikator jumlah wisatawan yang berkunjung, harus diakui Indonesia kalah jauh bersaing dengan Singapura, Malaysia dan Thailand. Selama periode 2004-2007, jumlah wisatawan yang datang ke Indonesia sebesar 19,3 juta masih jauh berada di bawah Malaysia, yang mencapai 69 juta wisatawan, Thailand 47,5 juta, dan Singapura sebanyak 37,3 juta wisatawan.32 Bahkan jumlah wisatawan yang datang selama tiga tahun tersebut secara konsisten mengalami penurunan, dari 5,3 juta di tahun 2004 menjadi 5 juta di tahun 2005, 4,9 juta tahun 2006 dan 4,1 juta wisatawan di tahun 2007.33 Kondisi ini mencerminkan rendahnya komitmen dan upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan daya saing sektor pariwisata Indonesia. Minimnya anggaran untuk alokasi promosi pariwisata semakin memperlihatkan kalahnya persiapan yang dilakukan pemerintah Indonesia dibandingkan Singapura, Malaysia dan Thailand. Untuk mempromosikan pariwisatanya, Thailand mengalokasikan sedikitnya 200 juta dolar AS, Malaysia tidak Iklim Usaha Tak Dukung Industri Hilir: Perluasan Lahan Sawit Ditunda, http://cetak. kompas.com/read/xml/2008/11/26/02133769/iklim.usaha.tak.dukung.industri.hilir, diakses pada 19 Maret 2009, pukul 20:40 WIB. 30 Potensi Industri Hilir Sawit Terabaikan: Dininabobokan Ekspor CPO, http://cetak. kompas.com/read/xml/2008/11/25/00365371/potensi.industri.hilir.sawit.terabaikan, diakses pada 19 Maret 2009, pukul 20:44 WIB 31 Potensi Industri Hilir Sawit Terabaikan: Dininabobokan Ekspor CPO, http://cetak. kompas.com/read/xml/2008/11/25/00365371/potensi.industri.hilir.sawit.terabaikan, diakses pada 19 Maret 2009, pukul 20:44 WIB.. 32 ASEAN Tourism Database 33 ASEAN Tourism Database 29
14
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
kurang dari 150 juta dolar AS, Singapura 60 juta dolar AS, sedangkan Indonesia hanya sebesar 3 juta dolar AS.34 Belum lagi di tingkat kebijakan, banyak kebijakan yang tumpang tindih sehingga membawa dampak negatif bagi pariwisata.35 Indonesia memang lebih unggul dalam persoalan potensi, seperti luas wilayah, jumlah penduduk dan keanekaragaman sosial budaya, namun negeri yang indah ini masih jauh tertinggal dari aspek inovasi produk.36 Produk yang ditawarkan Indonesia sebatas sumber daya alam dan etnis serta budaya. Indonesia juga hanya mengandalkan paket perjalanan alam dan wisata yang konvensional, sementara di negaranegara pesaing telah mengembangkan unit-unit bisnis seperti makanan, minuman, olahraga, hiburan, belanja, bahkan kesehatan dan gaya hidup.37 Kedua, melalui integrasi, ASEAN diproyeksikan akan menjadi sebuah kawasan ekonomi dengan daya saing yang tinggi. Salah satu upaya yang dinyatakan dalam cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah melalui kerjasama di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Sekali lagi, yang menjadi persoalan di sini adalah Indonesia juga belum siap dalam mengelola HKI sebagai daya saing yang potensial. Berdasarkan data paten Direktorat Jendral HKI Indonesia, selama 13 tahun (19932006) permohonan paten lokal yang disetujui hanya sekitar 1,15% (212 paten) dibandingkan dengan permohonan paten luar negeri yang mencapai 18.331 paten. Jika dibandingkan dengan Thailand, Singapura dan Malaysia, dari aspek permohonan paten dalam negeri, Indonesia masih berada di posisi terakhir. Pada tahun 2000, Thailand terdapat sebanyak 615 paten dan desain lokal, Singapura 624, Malaysia 322 dan Indonesia 228 paten dan desain lokal.38 Ketiga, salah satu aspek penting dalam perwujudan Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah penciptaan kawasan dengan pembangunan yang merata. Pemerataan yang dimaksud dalam integrasi ekonomi Asia Tenggara ini lebih mengarah kepada upaya untuk mengurangi kesenjangan kesejahteraan antar negara anggota dalam wujud PDB dan pertumbuhan ekonomi yang setara. Sementara strategi pemerataan kesejahteraan rakyat dikembalikan kepada masing-masing negara anggota. Sebuah langkah yang ditempuh untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang merata ini adalah melalui percepatan pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM). Namun demikian, secara kritis dapat kita amati bahwa UKM di Indonesia pada kenyataannya masih sulit bersaing dalam integrasi ekonomi ASEAN. Deputi Menuju Penguatan Kawasan ASEAN-Pariwisata Indonesia Harus Mampu Manfaatkan Momentum, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/4/27/pa1.htm, diakses pada 19 Maret 2009, pukul 20:57 WIB 35 Menuju Penguatan Kawasan ASEAN-Pariwisata Indonesia Harus Mampu Manfaatkan Momentum, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/4/27/pa1.htm, diakses pada 19 Maret 2009, pukul 20:57 WIB 36 Menuju Penguatan Kawasan ASEAN-Pariwisata Indonesia Harus Mampu Manfaatkan Momentum, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/4/27/pa1.htm, diakses pada 19 Maret 2009, pukul 20:57 WIB 37 Menuju Penguatan Kawasan ASEAN-Pariwisata Indonesia Harus Mampu Manfaatkan Momentum, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/4/27/pa1.htm, diakses pada 19 Maret 2009, pukul 20:57 WIB. 38 Menuju Penguatan Kawasan ASEAN-Pariwisata Indonesia Harus Mampu Manfaatkan Momentum, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/4/27/pa1.htm, diakses pada 19 Maret 2009, pukul 20:57 WIB. 34
Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
15
Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha Kementerian Negara Koperasi dan usaha Kecil Menengah Indonesia mengakui bahwa khususnya UKM di sektor makanan paling mengkhawatirkan mampu bersaing dengan negara ASEAN lainnya, terutama dengan Malaysia karena negeri jiran itu lebih siap untuk memproduksi makanan dengan sertifikasi halal.39 Selain itu, teknologi yang dimiliki UKM sektor makanan di Indonesia relatif masih tertinggal dengan negara lain, terutama Malaysia.40 Sementara itu, 40 persen UKM di Indonesia didominasi oleh unit-unit usaha yang bergerak di bidang makanan. Langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah untuk meningkatkan daya saing UKM juga masih jauh dari yang diharapkan. Langkah yang ditempuh pemerintah melalui Kementerian UKM adalah dengan memberikan bantuan dana ataupun alat kepada pengusaha kecil dan menengah sektor makanan yang tergabung dalam koperasi yang memenuhi kategori pemerintah. Dan sejauh ini baru ada 10 koperasi yang mendapatkan bantuan hanya sebesar masing-masing Rp. 50 juta.41 Ditambah lagi dengan banyak hambatan lainnya dalam pengembangan UKM. Seperti halnya otonomi daerah juga dapat menghambat pengembangan UKM, dikarenakan berbagai fasilitas yang diserahkan pusat ke daerah justru tidak diberdayakan secaya optimal oleh pemerintah daerah.42 Keempat, dalam proses menuju terintegrasinya ASEAN ke dalam perekonomian global, langkah-langkah diambil untuk meningkatkan partisipasi ASEAN dalam jaringan pasokan global. Jika kita melihat karakteristik ekspor Indonesia yang masih didominasi oleh produk-produk keunggulan komparatif yang bersifat alamiah, tampaknya negeri ini masih belum dapat memainkan peranan penting dalam perekonomian global. Perekonomian Indonesia yang masih berada dalam kelompok fase pembangunan pertama akan sangat sulit bersaing dalam sebuah kawasan ekonomi yang terintegrasi secara mendalam dengan ekonomi global. Terlebih lagi, daya saing produk Indonesia yang masih lemah, akan menjadi hambatan tersendiri untuk berperan aktif dalam jaringan pasokan global, di mana standar-standar produksi dan distrbusi internasional mensyaratkan kualifikasi yang sangat tinggi. Demikianlah wujud ketidaksiapan perekonomian dan kurangnya persiapan pemerintah Indonesia dalam menghadapi terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Seharusnya, pemerintah Indonesia melakukan percepatan kesiapan ekonomi menuju integrasi ekonomi regional berlandaskan neoliberalisme dan prinsip pasar bebas, yang justru dapat mendatangkan petaka ekonomi yang sangat buruk jika dilakukan secara prematur dan cepat. Akan tetapi, pada kenyataannya pemerintah masih terdapat banyak sekali persoalan yang melanda perekonomian Indonesia sehingga melemahkan daya saing dan menyimbolkan ketidaksiapan menuju integrasi regional. Ditambah lagi dengan minimnya langkah-langkah dari pemerintah untuk dapat dengan segera meningkatkan kesiapan ekonomi negeri ini dalam rangka menghindari dampak-dampak negatif yang melekat di dalam tubuh sistem UKM Makanan Sulit Bersaing di Pasar Tunggal ASEAN, http://www.sinarharapan.co.id/ berita/0609/02/eko08.html, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 13:03 WIB. 40 UKM Makanan Sulit Bersaing di Pasar Tunggal ASEAN, http://www.sinarharapan.co.id/ berita/0609/02/eko08.html, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 13:03 WIB. 41 UKM Makanan Sulit Bersaing di Pasar Tunggal ASEAN, http://www.sinarharapan.co.id/ berita/0609/02/eko08.html, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 13:03 WIB. 42 UKM Makanan Sulit Bersaing di Pasar Tunggal ASEAN, http://www.sinarharapan.co.id/ berita/0609/02/eko08.html, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 13:03 WIB. 39
16
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
pasar bebas. Karenanya, upaya-upaya untuk mencari faktor-faktor yang melatarbelakangi minimnya persiapan yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam menghadapi integrasi ekonomi kawasan Asia Tenggara menjadi sangat penting untuk dilakukan. Langkah-langkah untuk menyelami akar persoalan di balik lemahnya persiapan ini dapat membantu menyingkapkan celah-celah kelemahan yang mendasari sebagai landasan untuk perbaikan di masa datang. Dengan mengidentifikasi penyebab ketidaksiapan tersebut, waktu yang tersisa menjelang 2015 diharapkan dapat benarbenar dimanfaatkan untuk melakukan percepatan peningkatan kesiapan ekonomi demi menyelamatkan bangsa ini dari kegagalan pasar yang menjadi landasan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Gagasan utama yang melandasi penulisan buku ini adalah adanya perbenturan antara idealitas dan realitas yang terkait dengan kesiapan perekonomian Indonesia menuju integrasi ekonomi kawasan dalam bentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pada tataran idealitas, fakta empiris kegagalan integrasi ekonomi di kawasan lain yang berdasarkan pada paradigma neoliberalisme dan prinsip pasar bebas memberikan peringatan kepada kita bahwa dibutuhkan kesiapan ekonomi yang benar-benar matang untuk dapat berhasil di dalamnya. Namun sebaliknya, pada tataran realitas, secara faktual, perekonomian Indonesia justru tidak menunjukkan adanya kesiapan yang matang dalam menghadapi integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara ini. Kondisi ini diperparah lagi dengan minimnya langkah-langkah atau bahkan program yang ditempuh pemerintah Indonesia untuk lebih mempersiapkan perekonomian negeri menuju terciptanya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Sebagai hasilnya, lahirlah sebuah pertanyaan besar yang kemudian menjadi permasalahan yang diulas dalam buku ini. Mengapa pemerintah Indonesia selama periode 2003-2008 tidak memiliki langkah-langkah yang berarti untuk mempersiapkan perekonomian Indonesia menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015, sementara fakta membuktikan bahwa kesiapan ekonomi adalah mutlak diperlukan dalam proses integrasi ekonomi kawasan yang berlandaskan pada neoliberalisme dan prinsip pasar bebas?
Teori Kritis dan Pendekatan Gramscian-Foucauldian Upaya analisis untuk membongkar faktor-faktor di balik ketidaksiapan dan minimnya langkah pemerintah Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN dalam buku ini dilandaskan pada Teori Kritis (Critical Theory), sebagau salah satu paradigma penting dalam Ilmu Hubungan Internasional. Teori kritis mulai berpengaruh dalam Hubungan Internasional terutama sejak pertengahan 1980-an. Pendekatan ini membuat kita untuk secara mendalam memikirkan praktik kehidupan sehari-hari dan hubungan di antara ‘teori’ dengan cara kita bertindak.43 Pandangan utama teori kritis, mungkin secara ringkas dapat disarikan dalam sebuah perkataan Karl Marx yang terkenal mengenai tugas seorang filsuf tidak hanya untuk menggambarkan dunia, tetapi yang penting adalah bagaimana merubahn-
Jill Steans & Lloyd Pettiford, International Relations: Perspectives and Themes (London: Pearson Education, 2001), 101. 43
Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
17
ya. Dalam pandangan teori kritis, kaum intelektual terlibat dalam kegiatan memproduksi pengetahuan atau kebenaran mengenai dunia, baik untuk mendukung hubungan sosial yang dominan atau untuk menantang, bahkan menggantikannya. Termasuk di dalamnya institusi sosial dan praktik-praktik yang menciptakan serta melestarikan ketidakadilan. Dalam konteks ini, pengetahuan adalah secara inheren bersifat sosial dan politik.45 Hubungan erat antara teori atau gagasan dengan praktik sosial yang aktual merupakan persoalan penting dalam pandangan teori kritis. Hal ini terjadi karena adanya sebuah kontradiksi antara gagasan dominan mengenai sifat dasar sistem sosial dan ekonomi dengan kondisi aktual atau material kehidupan manusia. Dalam sudut pandang kelas kapitalis, liberalisme benar-benar dapat menggambarkan realitas kehidupan mereka.46 Namun demikian, bagi kelas pekerja yang termiskinkan, realitas kehidupan sehari-hari mereka sangat berbeda, di mana mereka lebih suka menggunakan istilah opresif, atau eksploitatif dan melihat diri mereka hanya memiliki sedikit pilihan dan kesempatan untuk mengendalikan kehidupan mereka sendiri.47 Dengan demikian, liberalisme tidak memberikan gambaran mengenai sebuah kebenaran akan sifat dasar manusia dan masyarakat, gagasan ini hanya merefleksikan sudut pandang dari kelas yang dominan.48 Ciri utama dari perspektif teori kritis dalam disiplin hubungan internasional dapat disederhanakan ke dalam enam asumsi. Pertama, dunia seharusnya dipahami terutama dalam konteks kekuatan sosial dan ekonomi utama yang dihasilkan oleh kapitalisme, yang saat ini memiliki ruang lingkup internasional, bahkan global. Kedua, negara dan institusi juga harus dipahami dalam konteks fungsi yang dimainkannya dalam mendukung kapitalisme global. Ketiga, sementara dunia “nyata” itu ada, pemahaman kita tentang dunia selalu dimediasi melalui gagasan, konsep dan teori yang merupakan produk dari pemikiran dan refleksi kritis. Keempat, semua pengetahuan bersifat ideologis, yaitu merupakan sebuah refleksi nilai-nilai, gagasan, dan terutama kepentungan dari kelompok sosial tertentu. Kelima, budaya dan ideologi merupakan suatu kekuatan yang penting yang bekerja untuk mendukung atau menentang tatanan ekonomi dan sosial yang berlaku. Keenam, hubungan internasional atau politik internasional, terdiri dari suatu pertentang di antara beragam kelompok dan pergerakan sosial, atau kekuatan sosial, yang di satu sisi memiliki kepentingan untuk mempertahankan status quo, sementara di sisi lain berupaya melakukan perlawanan untuk mengubahnya.49 Dengan demikian, pendekatan teori kritis memandang bahwa gagasan mengenai integrasi ekonomi kawasan berlandaskan pada liberalisme tidak terlepas dari kepentingan kelompok-kelompok sosial dan ekonomi tertentu, terutama kelas pemilik modal. Sementara peranan pemerintah memainkan fungsi tertentu untuk mendukung keberadaan sistem kapitalis di tingkat kawasan. Beragam upaya liberalisasi ekonomi yang digalang pemerintah Indonesia di tingkat ASEAN dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk melestarikan eksistensi kapitalisme regional. 44
46 47 48 49 44 45
Jill Steans & Lloyd Pettiford, International Relations, 101. Jill Steans & Lloyd Pettiford, International Relations, 101. Jill Steans & Lloyd Pettiford, International Relations, 102. Jill Steans & Lloyd Pettiford, International Relations, 102. Jill Steans & Lloyd Pettiford, International Relations, 102. Jill Steans & Lloyd Pettiford, International Relations, 102.
18
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Dan minimnya persiapan yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi integrasi ekonomi regional dipengaruhi oleh gagasan liberalisme yang diyakini merupakan gambaran dari realitas atau kebenaran akan keadaan sosial dan ekonomi, sehingga muncul optimisme di kalangan pemerintah akan kesiapan ekonomi Indonesia dalam menghadapi terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015 nanti. Secara lebih spesifik, analisis dalam buku ini menggunakan pendekatan Gramscian-Foucauldian, sebuah model analisa yang dikembangkan oleh Richard Peet, dalam bukunya yang berjudul The Unholy Trinity: the IMF, World Bank and WTO. Pendekatan ini mengkombinasikan konsep hegemoni dan civil society Antonio Gramsci dan konsep diskursus Michel Foucault, menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi tidak berasal dari kemampuan ilmu pengetahuan untuk mencerminkan struktur realitas sosial yang pasti di dalam sebuah struktur pernyataan kebenaran yang disebut sebagai teori pasti. Sebaliknya, kebijakan diproduksi secara sosial oleh sebuah komunitas ahli yang menyepakati, lebih melalui konvensi atau persuasi politik ketimbang latar belakang faktual, untuk menghasilkan sebuah tipe pemikiran dan perkataan tertentu yang bersifat ‘rasional’.50 Civil society atau masyarakat sipil, menurut Gramsci adalah sebuah sistem sosial dan institusi budaya (keluarga, gereja, sekolah, dll.) yang berada di luar dan paralel terhadap negara di dalam sebuah konsepsi luas mengenai ‘superstruktur politik dan sipil’. Gramsci meyakini bahwa hegemoni ideologi terbentuk terutama oleh masyarakat sipil ketimbang institusi negara. Dalam formulasi ini, hegemoni merupakan sebuah konsepsi tentang realitas, disebarluaskan oleh institusi sipil, yang menginformasikan nilai-nilai, kebiasaan dan prinsip-prinsip spiritual, yang membentuk konsensus terhadap status quo di dalam semua strata masyarakat. Hegemoni merupakan sebuah pandangan terhadap dunia, yang ketika diinternalisasikan menjadi ‘pemikiran yang masuk akal’ (common sense).51 Termasuk di dalamnya formasi perilaku ekonomi di dalam masyarakat. Dengan demikian, Gramsci memandang rasionalitas ekonomi memenuhi kebutuhan materi dengan membentuk sebuah kompleks keyakinan, dari mana tujuan-tujuan kongkrit diajukan kepada kesadaran kolektif. 52 Berdasarkan konsep Gramsci ini, Richard Peet kemudian memindahkan analisis mengenai kebijakan ekonomi dari level ideologis (produksi sosio-politik mengenai apa yang dipikirkan manusia) ke level hegemoni (produksi sosio-kultural mengenai cara manusia berpikir). Wilayah kebijakan terkait erat dengan sistem produksi pemikiran ekonomi ‘yang baik’ yang terformalisasikan secara partikular. Ini merupakan sebuah area produksi kultural-politik yang dihuni oleh individu yang berpengalaman dan terlatih (para ahli) dan institusi yang mapan dan ditopang oleh pendanaan dalam jumlah besar, departemen pemerintah, think tank, lembagalembaga yang ditopang kemapanan finansial dan sejenisnya.53 Model analisa ini kemudian dikombinasikan lagi dengan konsep diskursus (discourse) Michel Foucault untuk menganalisa bagaimana proses hegemoni di Richard Peet, Unholy Trinity: the IMF, World Bank and WTO 1st Edition (London: Zed Books, 2003), 16. 51 Richard Peet, Unholy Trinity, 16. 52 Antonio Gramsci, Selection from the Prison Notebooks (New York: International Publisher, 1971), 412-413. 53 Richard Peet, Unholy Trinity, 16. 50
Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
19
terjemahkan ke dalam praktik. Foucault melihat bahwa ilmu pengetahuan manusia sebagai sebuah sistem diskursus yang berdasarkan aturan. ��������������������� Diskursus adalah pernyataan yang terperinci, rasional dan terorganisasi, yang dibuat oleh para ahli.54 Foucault menemukan sebuah tipe yang tidak diperhatikan sebelumnya mengenai fungsi lingusitik, ”serious speech act”, atau pernyataan dengan prosedur validasi yang dibuat di dalam komunitas para ahli. Pada satu titik, tindakan berbicara (speech act) ini menunjukkan keteraturan sebagai apa yang disebut Foucault sebagai formasi diskursif. Formasi ini memiliki sistem aturan internal yang menentukan apa yang dikatakan dan mengenai apa. Diskursus memiliki struktur sistematis yang dapat dianalisa secara arkeologios (mengidentifikasi unsur-unsur dan relasi utama yang membentuk pernyataan secara keseluruhan) dan genealogis (bagaimana diskursus dibentuk oleh institusi kekuasaan). Dengan demikian, diskursus merupakan sistem pernyataan yang rasional dan terorganisasi, ditopang oleh prosedur validasi, dan diikat ke dalam formasi oleh komunitas para ahli.55 Ketika klaim atas rasionalitas itu telah diterima secara luas, dan ketika sekelompok ahli dianggap membicarakan kebenaran, diskusi selanjutnya akan terbatas pada topik ekonomi dalam cakupan yang sempit, berpikir dengan sekumpulan teori yang telah ditentukan, menggunakan sekumpulan istilah yang ditentukan. Di dalam sistem pemikiran yang sempit ini, analisis formal menggunakan sebuah kode intelektual yang memperinci kategori-kategori dan istilah-istilah yang disetujui. Secara sederhana menggunakan istilah-istilah ini membatasi apa yang dapat dipikirkan, dikatakan dan dibayangkan. Karenanya, kedalaman dari sebuah hegemoni terletak di dalam kemampuan dari sebuah formasi diskursif untuk memperinci parameter praktis, realistis dan masuk akal di antara sekelompok teorisi, praktisi politik dan pembuat kebijakan.56 Menurut Richard Peet, bagian penting dari pembatasan pemikiran dan ekspresi ini terletak pada produksi institusional mengenai apa yang dapat disebut sebagai sebuah ’praktikalitas’, melalui mana kita memaknai sebuah pemikiran sosial dari isi dan batasan pragmatis. Terkait dengan ranah kebijakan, hal ini merupakan sebuah bentuk kebijakan yang tepat sebagai respon atas situasi ekonomi tertentu yang berasal dari sekumpulan teori dan cakupan alternatif yang terbatas yang dirancang secara sosial dan institusional dapat dipraktikkan (praktis). Posisi praktis ini dibentuk berdasarkan kesepakatan di antara para ahli yang menentukan suatu keadaan yang tidak terhindarkan (inevitability) dan optimalitas, tergantung daripada tingkat keparahan dari krisis yang dihadapi.57 Keadaan inilah yang sangat sering dihadapi negara berkembang ketika berhadapan dengan kondisionalitas yang diajukan IMF, dengan kondisi di mana tidak terdapat alternatif lain, sehingga tidak dapat terhindarkan. Dan ketika berhadapan dengan kegagalan dari kebijakan kondisionalitas tersebut, maka kondisi yang mendominasi adalah optimalitas, bahwa apa yang telah dilaksanakan adalah yang terbaik dan maksimal. Keberhasilan dari hegemoni ini terletak pada strategi untuk mengkonversikan politik, yang merepresentasikan kepentingan kelas tertentu, dan terdiri dari sekumpulan opini esensial, ke dalam sebuah praktikalitas yang berasal dari teori dan yang tampak mengekspresikan ke 56 57 54 55
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge (New York: Harper and Row, 1972). Richard Peet, Unholy Trinity, 16. Richard Peet, Unholy Trinity, 17. Richard Peet, Unholy Trinity, 17.
20
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
baikan bersama ketimbang kepentingan sepihak.58 Dengan kata lain, model analisa Gramscian-Foucauldian yang dikembangkan Richard Peet, menunjukkan bahwa hegemoni yang diproduksi secara kulturalpolitik oleh suatu komunitas tertentu membentuk diskursus yang diformasikan ke dalam batasan-batasan spesifik mengenai tindakan dan pemikiran sehingga menciptakan praktik dalam bentuk kebijakan yang ’dianggap’ baik, dalam suatu kondisi inevitabilitas dan optimalitas. Optimisme pemerintah Indonesia akan kesiapan perekonomian negeri ini dalam menghadapi integrasi ekonomi ASEAN, mempengaruhi minimnya upaya penyiapan perekonomian Indonesia secara lebih matang dalam sektor-sektor yang sangat penting. Keyakinan pemerintah indonesia akan ideologi neoliberalisme mencerminkan eksistensi hegemoni yang melahirkan praktik-praktik kebijakan yang bertumpu pada peranan entitas pasar, sehingga pemerintah tidak merasa perlu memainkan peranan yang strategis dalam mendorong kemajuan ekonomi, dengan asumsi melalui liberalisasi daya saing ekonomi akan berkembang dengan sendirinya melalui mekanisme pasar yang bekerja tanpa terlihat. Hegemoni dan diskursus neoliberalisme berada di balik langkah pemerintah Indonesia menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Secara sistematis, analisis yang membongkar kekuatan hegemoni dan diskursus neoliberal akan dituangkan pada bab lima. Bagian kedua dari buku ini mengulas secara historis jejak liberalisasi perekonomian negara-negara berkembang beserta dampak-dampak negatif yang dihasilkannya. Pada bagian ketiga diuraikan secara kritis dan spesifik prinsip-prinsip neoliberal yang menjadi roh dalam agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Realitas ketidaksiapan dan minimnya langkah pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan perekonomian Indonesia secara sunstantif dan fundamental diungkapkan pada bagian yang keempat dari buku ini.
Richard Peet, Unholy Trinity, 18.
58
Bab 2 Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi Negara-Negara Berkembang
Liberalisme yang kemudian bermetamorfosa menjadi neoliberalisme telah menjadi prinsip yang tertanam kuat di dalam tata kelola perekonomian global pasca berakhirnya Perang Dunia Kedua. Sampai detik ini, belum ada suatu alternatif paradigma yang dapat secara total menggantikan peranan dominan dari liberalisme/neoliberalisme pada tataran global. Analisis di dalam sub-bab ini berlandaskan pada suatu asumsi kritis bahwa posisi dominan paradigma liberalisme/neoliberalisme di tingkat global tidaklah dapat dilepaskan dari kepentingan aktor-aktor tertentu. Sebagai hasilnya, dampak positif dari implementasinya hanya akan dirasakan secara maksimal oleh segelintir aktor yang berada di balik kokohnya posisi paradigma tersebut. Analisis dalam bab ini memperlihatkan jejak sejarah upaya penanaman prinsip liberalisme dalam tata kelola perekonomian dunia, sepak terjang institusi internasional dalam liberalisasi perekonomian negaranegara berkembang dan dampak negatif dari penerapan prinsip liberalisme tersebut. Berlandaskan pada perspektif kritis, bab ini dibagi ke dalam enam bagian. Pada bagian pertama, akan ditelusuri jejak sejarah awal ditanamkannya prinsip liberalisme yang mencerminkan hegemoni visi dan kepentingan segelintir negara tertentu dalam tata kelola perekonomian dunia. Dilanjutkan pada bagian kedua dan ketiga yang mendeskripsikan upaya penanaman prinsip liberalisme secara sistematis di negara-negara berkembang oleh institusi finansial internasional. Pada bagian keempat dan kelima berisikan irisan kritis skema-skema strategi liberalisasi perdagangan dalam berbagai bentuk, baik secara multilateral melalui World Trade Organization (WTO), kesepakatan perdagangan bebas bilateral ataupun regional. Di bagian terakhir akan dijelaskan secara kritis bagaimana dampak sesungguhnya dari implementasi liberalisme/neoliberalisme di negara-negara berkembang. Secara keseluruhan, bab ini memperlihatkan bahwa implementasi liberalisme/neoliberalisme merupakan akar dari tiga persoalan besar ekonomi yang melekat di dalam perekonomian negara-negara berkembang dalam bentuk kerentanan fundamen ekonomi terhadap krisis, kemiskinan dan ketimpangan. Berlandaskan pada hasil analisis tersebut, bab ini diposisikan sebagai suatu pelajaran penting bagi agenda-agenda perekonomian lainnya, khususnya di tingkat regional yang berlandaskan pada liberalisme/neoliberalisme. Sekaligus sebagai suatu bentuk pemahaman awal mengenai pentingnya fundamen ekonomi yang kuat dan kesiapan ekonomi suatu negara dalam menghadapi arus liberalisasi ekonomi yang tak kunjung henti, mengingat betapa pahitnya beban yang harus ditanggung oleh kelompok masyarakat miskin di negara-negara berkembang sebagai imbas dari laju liberalisasi.
22
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Sistem Bretton Woods, Jejak Awal Liberalisasi Ekonomi Internasional Kokohnya prinsip liberalisme yang tertanam di dalam tata kelola perekonomian dunia tidaklah terwujud melalui proses yang alami. Prinsip liberalisme yang sampai detik ini menjadi landasan perekonomian global dapat tertanam sebagai hasil dari campur tangan kekuatan kepentingan-kepentingan segelintir aktor yang meraup keuntungan dari lestarinya prinsip ini dalam tata kelola perekonomian dunia. Berbagai realitas negatif dan kepedihan yang merupakan imbas dari penerapan prinsip ini di berbagai belahan dunia seakan tidak terlihat dan tidak terdengar tertelan oleh kuatnya komitmen global untuk mempertahankan posisi dominan dari prinsip ini. Bretton Woods, New Hampshire, 1-22 Juli 1944, 44 negara yang dipelopori oleh Amerika Serikat dan Inggris mengadakan suatu konferensi untuk membahas rancangan perekonomian dunia pasca perang di tengah Perang Dunia II yang masih berkecamuk. Momentum inilah yang menandai titik awal ditanamkannya prinsip liberalisme sebagai landasan dari tata kelola perekonomian global. Pemerintah negara-negara yang bertemu dalam konferensi tersebut bersepakat untuk menjadikan kerjasama ekonomi internasional sebagai kunci bagi terciptanya perdamaian dan kesejahteraan dunia.1 Suatu hal yang menjadi catatan sejarah penting dari konferensi ini terletak pada kesepakatan bahwa kerjasama ekonomi internasional harus berlandaskan pada suatu pasar dunia, di mana barang-barang dan modal dapat bergerak dengan bebas.2 Pada titik inilah tercermin komitmen yang kuat terhadap peranan entitas pasar yang menjadi inti dari liberalisme ditanamkan sebagai landasan tata kelola perekonomian dunia. Namun demikian, fase Bretton Woods bukanlah merupakan satu-satunya fase dalam upaya penanaman prinsip liberalisme di tingkat global secara mendalam. Dialektika antara entitas negara dan pasar belumlah sepenuhnya dimenangkan oleh pasar pada fase Bretton Woods ini. Kesadaran akan kegagalan entitas pasar (market failures) dalam mengelola perekonomian dunia telah melahirkan suatu kesepakatan untuk menciptakan tiga institusi regulatoris yaitu the International Monetary Fund (IMF), the International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dan International Trade Organization (ITO).3 Ketiga institusi inilah yang kemudian berperan sebagai institusi regulatoris untuk mengelola perekonomian dunia yang berlandasakan pada kebebasan pasar. Landasan tata kelola yang dihasilkan dari Konferensi Bretton Woods merupakan sintesis antara pemikiran yang mengedepankan peranan entitas negara dan pasar. Pada satu sisi, rezim ekonomi internasional yang dilahirkan melalui Konferensi Bretton Woods merupakan suatu reaksi atas proteksionisme negara yang diterapkan pada tahun 1930-an.4 Pemikiran ekonomi klasik Adam Smith memainkan pengaruh besar dalam proses negosiasi Konferensi Bretton Woods. Keyakinan bahwa perdagangan yang bebas dari hambatan dapat mencegah perang melahirkan perdamaian dunia menjadi landasan bagi ditetapkan kerjasama internasional yang berlandaskan pada kebebasan pasar dalam tata kelola perekonomian pasca Perang Dunia II. Ker Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO (London: Zed Books, 2003), 27. 2 Richard Peet, Unholy Trinity, 27. 3 Richard Peet, Unholy Trinity, 27. 4 Richard Peet, Unholy Trinity, 32. 1
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
23
jasama ekonomi pasca Perang Dunia II dimungkinkan dengan adanya perubahan ideologi proteksionisme yang berlaku pada tahun 1930-an.5 Kebijakan-kebijakan protektif yang diambil negara dalam bentuk tarif, kuota impor, kontrol mata uang, pembatasan ekspor kapital, diyakini sebagai akar dari bencana ekonomi.6 Pemikiran liberal yang memberikan ruang penting bagi peranan atau campur tangan pemerintah ala John Maynard Keynes, berada pada sisi dialektika lain dari negosiasi tatanan ekonomi dunia pada Konferensi Bretton Woods. Pertemuan yang berlangsung selama 22 hari di Bretton Woods untuk menentukan tatanan ekonomi dunia pasca perang menjadi momentum bagi perluasan pemikiran Keynes pada skala internasional. Pada tataran nasional, pemikiran Keynes mengenai intervensi negara dalam perekonomian, berlandaskan pada suatu asumsi mengenai pentingnya peranan pemerintah dalam pengelolaan kebijakan ekonomi domestik.7 Pemikiran ini memandang bahwa pengeluaran defisit pemerintah merupakan suatu langkah yang efektif, terutama dalam kacamata liberal untuk meningkatkan pelayanan sosial bagi masyarakat.8 Selain itu, pengalaman depresi ekonomi di tahun 1930-an juga memperlihatkan bagaimana prinsip pasar bebas tidak dapat menciptakan kesejahteraan manusia secara spontan.9 Dengan kata lain, berlandaskan pada pemikiran ini, tata kelola perekonomian dunia pasca perang membutuhkan peranan pemerintah (negara) dalam menciptakan stabilitas. Pemerintah harus memainkan peranan atau tanggung jawab kolektif dalam mengelola sistem perekonomian dunia.10 Sintesis di antara kedua pemikiran yang pada dasarnya memiliki akar yang sama inilah yang kemudian menjadi landasan bagi lahirnya arsitektur finansial internasional yang dikenal dengan istilah Sistem Bretton Woods. Meskipun sistem ini tidak dapat menjadi model yang mendamaikan persoalan “trilema” finansial internasional dalam bentuk nilai tukar yang stabil, mobilitas modal dan otonomi kebijakan nasional,11 namun model ini mampu mensinergiskan kepentingan pemikiran liberalisme klasik dengan pemikiran Keynesian yang memberikan ruang bagi peranan pemerintah dalam ekonomi. Jacob Viner misalnya, seorang pemikir liberal klasik dapat menerima model Bretton Woods dikarenakan keyakinan akan kesepakatan timbal balik merupakan satu-satunya cara untuk menciptakan perdagangan dan mobilitas kapital yang lebih bebas.12 Selain itu, peluang untuk kembali kepada kondisi pra-1914, di mana intervensi pemerintah sangat besar dalam perekonomian domestik dan internasional sudah dipandang tidak mungkin terjadi, semakin menegaskan keyakinan kepada model Bretton Woods ini.13 Atas dasar sintesis pemikiran inilah lahir Sistem Bretton Woods yang berangkat Henry Hazlitt, From Bretton Woods to World Inflation: A Study of Causes and Consequences (Chicago: Regnery Gateway, 1984), 53. 6 Henry Hazlitt, From Bretton Woods to World Inflation, 53. 7 Richard Peet, From Bretton Woods to World Inflation, 34. 8 Richard Peet, From Bretton Woods to World Inflation, 35. 9 Richard Peet, From Bretton Woods to World Inflation, 35. 10 Richard Peet, From Bretton Woods to World Inflation, 36. 11 Bill Dunn, Global Political Economy: A Marxist Critique (London: Pluto Press, 2009), 209. 12 Razeen Sally, Classical Liberalism and International Economic Order: Studies in Theory and Intellectual History (London & New York: Routledge, 1998), 97. 13 Razeen Sally, 97. 5
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
24
dari standar tukar emas berlandaskan pada tiga prinsip fundamental.14 Pertama, nilai tukar yang dipatok namun dapat disesuaikan terkait dengan kondisi tertentu terutama ketika terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium). Kedua, diperbolehkannya kontrol untuk membatasi arus kapital internasional. Ketiga, diciptakan suatu institusi baru, yaitu IMF, untuk mengawasi kebijakan ekonomi nasional dan menjadi penopang dana bagi negara-negara yang mengalami masalah ketidakseimbangan neraca pembayaran.15 Ketiga elemen di dalam Sistem Bretton Woods ini dalam fungsinya saling melengkapi satu sama lain. Nilai tukar yang dipatok dan dapat disesuaikan dapat berjalan hanya ketika kontrol terhadap arus kapital dimiliki di mana terdapat ruang untuk melindungi nilai tukar arus kapital yang tidak stabil.16 Sementara itu, IMF menyediakan sumber dana untuk mempertahankan nilai tukar tetap di tengah tekanan pasar, IMF juga memainkan fungsi pengawasan bagi langkah-langkah kebijakan negara yang menyalahi aturan di dalam sistem.17 Secara lebih spesifik terdapat beberapa prinsip yang menjadi landasan bagi model Bretton Woods:18 1.
2.
3.
4. 5.
Prinsip kontrol internasional terhadap nilai tukar mata uang negara-negara di dunia. Berangkat dari depresiasi kompetitif mata uang di tahun 1930-an, Sistem Bretton Woods melahirkan suatu mekanisme yang dikenal dengan istilah “fleksibilitas terkelola” (managed flexibility). Dalam mekanisme ini, nilai tukar mata uang ditentukan berdasarkan standar emas, dengan nilai yang bervariasi, namun dapat dilakukan penyesuaian nilai tukar ketika berada dalam situasi drastis dan atas persetujuan IMF. Terdapat suatu cadangan dana yang dapat disetorkan negara-negara kepada IMF dan dapat ditarik sewaktu-waktu ketika negara mengalami defisit neraca pembayaran atas persetujuan dari IMF. Dana yang disetorkan ini jumlah berdasarkan kuota yang telah diatur dalam kesepakatan dan terkait juga dengan hak suara masingmasing negara di dalam IMF. Untuk menciptakan perdagangan multilateral, setelah lima tahun periode transisi, seluruh negara anggota harus menghapuskan kontrol nilai tukar sehingga mata uang dapat ditukarkan satu sama lain pada tingkatan resmi tanpa ada batasan atau diskriminasi kecuali mendapat persetujuan dari IMF. Diciptakan suatu “mata uang langka” (scarce currency) untuk mengurangi instabilitas sebagai hasil dari surplus neraca pembayaran suatu negara. IMF memiliki wewenang terkait pengaturan dalam prinsip ini. Dibentuknya suatu institusi permanen untuk memajukan kerjasama moneter internasional dan menyediakan mekanisme di mana negara-negara dapat berkonsultasi dan bekerjasama. Institusi tersebut adalah IMF, yang merupakan sebuah badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang juga merupakan bagian dari institusi Bretton Woods bersama-sama dengan IBRD dan ITO.
Prinsip-prinsip tata kelola ekonomi internasional yang diatur berlandaskan Sistem Bretton Woods mencerminkan bagaimana sinergi antara pemikiran liberal Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History of the International Monetary System, 2nd Edition (Princeton & Oxford: Princeton University Press, 2008), 91. 15 Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History of the International Monetary System, 91. 16 Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History of the International Monetary System, 92. 17 Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History of the International Monetary System, 92. 18 Richard Peet, Unholy Trinity, 49-50. 14
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
25
isme ekonomi klasik dengan pemikiran Keynesian. Tata kelola perekonomian internasional pasca Perang Dunia II banyak yang menyebutnya sebagai era Keynesian, meskipun pada dasarnya pengaruh pemikiran terhadap kebijakan ekonomi sangatlah kecil di luar Inggris dan Skandinavia.19 Terlebih jika, dicermati secara kritis dan mendalam, Sistem Bretton Woods lahir sebagai suatu pilihan jangka pendek pendukung liberalisme klasik untuk menanamkan secara mendalam prinsip liberalisasi jangka panjang dalam tata kelola perekonomian dunia. Sepanjang sejarah, hegemoni selalu melekat dalam upaya tata kelola perekonomian dunia. Terkait dengan posisi negara-negara berkembang dalam jejak liberalisasi perekonomian internasional melalui penciptaan Sistem Bretton Woods, terdapat beberapa fenomena menarik yang muncul sebagai hasil irisan kritis terhadap sejarah. Pertama, Sistem Bretton Woods lahir sebagai hasil kompromi dan formalisasi kesepakatan Amerika Serikat dan Inggris. Sistem Bretton Woods merupakan wujud dari kompromi visi tatanan ekonomi pasca Perang Dunia II di antara kedua negara tersebut. Dalam pertemuan di Bretton Woods 1944, Amerika Serikat meletakkan prioritas pada kebijakan moneter yang stabil sebagai pelajaran dari goncangan ekonomi di tahun 1930-an.20 Sebaliknya, Inggris justru memprioritaskan kebebasan kebijakan moneter, terkait dengan pengalaman di tahun 1920-an, di mana bank sentral Inggris tidak memiliki kebebasan ruang gerak untuk menyesuaikan kebijakan dengan kebutuhan ekonomi.21 Lahirnya prinsip nilai tukar tetap yang dapat disesuaikan dan prinsip kontrol kapital merupakan buah kompromi dari dua visi yang bertentangan di antara kedua negara besar tersebut.22 Proses menuju tercapainya kompromi di antara keduanya, pada dasarnya tidaklah terjadi pada saat Konferensi Bretton Woods. Konferensi ini lebih merupakan suatu wujud formalisasi kesepakatan dari kedua negara yang telah melakukan serangkaian pertemuan sebelumnya. Konferensi Bretton Woods merupakan bagian akhir dari proses negosiasi di antara departemen keuangan Amerika Serikat dan Inggris yang telah berjalan selama dua setengah tahun sebelumnya.23 Menurut Raymon Mikesell, yang merupakan ekonom Divisi Penelitian Moneter, Departemen Keuangan Amerika Serikat dari tahun 1942-1947, konferensi Bretton Woods merupakan sebuah pertemuan penyusunan rancangan, di mana substansinya sebagian besar telah ditetapkan sebelumnya oleh delegasi Amerika Serikat dan Inggris dengan dukungan dari Kanada.24 Bahkan, lebih jauh lagi, kesepakatan finansial di antara Amerika Serikat dan Inggris didasarkan pada kesepakatan politik sebelumnya di antara Presiden Franklin Delano Roosevelt dan Perdana Menteri Winston Churcill.25 Kesepakatan ini semakin menunjukkan adanya agenda tersembunyi di balik konferensi Bretton Woods. Melalui serangkaian kesepakatan bilateral, Amerika Serikat dan Inggris bersama-sama membentuk tatanan dunia berlandaskan pada perdagangan bebas dan prinsip per Bill Dunn, Global Political Economy, 135. Barry Eichengreen, Global Imbalances and the Lessons of Bretton Woods (Cambridge, Massachusetts: The MIT Press, 2007), 9. 21 Barry Eichengreen, Global Imbalances and the Lessons of Bretton Woods, 9. 22 Barry Eichengreen, Global Imbalances and the Lessons of Bretton Woods, 9-10. 23 Richard Peet, Unholy Trinity, 40. 24 Raymond Mikesell, The Bretton Woods Debates: A Memoir, Essays in International Finance, No. 192, March, (New Jersey: Princeton University Press, 1994), 34. 25 Richard Peet, Unholy Trinity, 40. 19 20
26
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
tukaran mata uang, yaitu sebuah dunia yang seusai dengan kepentingan ekonomi mereka sendiri sebagai negara industri dominan.26 Kedua, aturan yang berlaku di dalam institusi Bretton Woods, khususnya IMF sangat mencerminkan kepentingan dari Amerika Serikat dan Inggris. Pengaturan hak suara di dalam institusi ini didasarkan pada kuota deposito dan iuran dalam dana stabilisasi IMF, bukan berdasarkan pada prinsip demokrasi di mana satu negara memiliki hak satu suara. Amerika Serikat dan Inggris memastikan memiliki hak suara dominan atas kebijakan-kebijakan di dalam IMF. Dengan iuran sebesar US$ 2.750.000.000, Amerika Serikat menguasai sepertiga dari total kuota.27 Sementara Inggris berada pada posisi kedua teratas dalam jumlah iuran yaitu sebesar US$ 1.300.000.000.28 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, IMF merupakan institusi yang memainkan peranan penting dalam tata kelola moneter internasional berdasarkan Sistem Bretton Woods. IMF menjadi institusi yang mengendalikan keputusan penyesuaian nilai tukar, pengawasan kebijakan dan pengucuran dana penyelamatan. Dengan posisi hak suara dominan di dalamnya, Amerika Serikat dan Inggris telah menanamkan visi dan memastikan dominasinya dalam tata kelola perekonomian global pasca Perang Dunia Kedua. Ketiga, terwujudnya Sistem Bretton Woods dalam pengelolaan perekonomian dunia juga tidak dapat dilepaskan dari adanya kepentingan-kepentingan finansial dari Amerika Serikat dan Inggris. Bretton Woods pada dasarnya lebih merupakan salah satu bentuk nafsu agresif pasar kapitalis pada skala global melampaui batasbatas negara-bangsa.29 Hal ini tercermin dari dukungan kepentingan-kepentingan finansial di kota London terhadap kesepakatan yang dicapai di Bretton Woods pada Juli 1944.30 Keempat, tujuan dari pertemuan Bretton Woods dinyatakan untuk menciptakan landasan tatanan dunia yang lebih aman pasca Perang Dunia II, yang dapat menghindarkan dunia dari terulangnya kembali bencana di tahun 1930-an.31 Konferensi ini mencerminkan suatu komitmen terhadap pasar bebas yang dijadikan sebagai landasan dari tatanan dunia pasca perang. Dalam ranah politik, muncul kesediaan dari Amerika Serikat untuk menjadi anggota PBB dan dalam ranah ekonomi terdapat suatu komitmen terhadap pasar bebas (yang terkendali).32 Untuk memajukan perdagangan bebas, harus diciptakan suatu mata uang yang diterima secara internasional sebagai instrumen perdagangan internasional. Di sisi lain, jika suatu negara mengalami defisit perdagangan maka akan muncul ketidakmampuan untuk membayar kebutuhan impornya.33 Dalam kondisi ini, perdagangan internasional dapat mengalami goncangan. Untuk itu dalam kesepakatan Bretton Woods didirikanlah institusi yang menyediakan dana pinjaman untuk menyelamatkan negara Richard Peet, Unholy Trinity, 40. Michael Hudson, Super Imperialism: The Origins and Fundamentals of U.S. World Dominance (London: Pluto Press, 1972), 280. 28 Michael Hudson, Super Imperialism, 280. 29 Richard Peet, Unholy Trinity 33. 30 Bill Dunn, Global Political Economy, 37. 31 Ray Kiely, Empire in Age of Globalization: US Hegemony and Neoliberal Disorder (London: Pluto Press, 2005), 89. 32 Ray Kiely, Empire in Age of Globalization, 89. 33 Ray Kiely, Empire in Age of Globalization, 89. 26 27
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
27
yang mengalami defisit perdagangan dan menyelamatkan perdagangan internasional secara keseluruhan. Persoalan inilah yang menjadi inti dari terbentuknya Sistem Bretton Woods, di mana komitmen terhadap perdagangan bebas sebagai prinsip liberalisme menjadi landasan bagi terciptanya suatu sistem yang menjadi landasan penataan perekonomian dunia. Masa Bretton Woods juga diwarnai oleh suatu bentuk “kedermawanan” dari Amerika Serikat melalui program pendanaan pembangunan kembali dunia pasca perang. Meskipun pada kenyataannya sikap Amerika Serikat tersebut tidaklah cukup dermawan dengan adanya kepentingan bagi negara pemenang perang tersebut untuk merekonstruksi perekonomian dunia guna menciptakan pasar bagi kepentingan perekonomiannya yang berlandaskan pada produksi skala besar yang hanya akan meraup keuntungan melalui pasar yang dapat menyerap produksi massif mereka.34 Kelima, dalam konteks posisi negara-negara berkembang dalam penciptaan tata kelola perekonomian global, kenyataannya kelompok negara ini sedari awal berada posisi yang tersubordinasi oleh kepentingan-kepentingan negara maju. Suatu fakta tercatat dalam sejarah bahwa di dalam Konferensi Bretton Woods negara-negara berkembang dipandang hanya menjadi beban bagi negara-negara maju dalam mengelola perekonomian dunia. Yang menjadi persoalan dalam konferensi ini bukanlah terletak pada ketidakmampuan negara-negara berkembang dalam menawarkan gagasan yang menjadi landasan tata kelola perekonomian, akan tetapi lebih kepada terbatasnya ruang yang diberikan negara-negara maju bagi negara-negara berkembang untuk menanamkan sudut pandang mereka. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kesepakatan yang dicapai dalam Konferensi Bretton Woods lebih merupakan wujud kompromi visi dari Amerika Serikat dan Inggris, sementara posisi negara berkembang hanya menjadi alat legitimasi dari kesepakatan yang menjadi landasan aturan yang berskala internasional tersebut. Konferensi Bretton Woods dihadiri oleh delegasi dari 44 negara Sekutu, di mana Departemen Keuangan Amerika Serikat bertindak sebagai tuan rumah. Kondisi Perang Dunia II yang masih berkecamuk, menyebabkan hanya 15 negara yang dapat mengirimkan menteri keuangan mereka ke konferensi tersebut. Indikator yang menunjukkan posisi negara berkembang sebagai alat legitimasi dalam konferensi ini terlihat melalui terbatasnya ruang dan waktu bagi kelompok negara ini untuk mempelajari dan memposisikan sudut pandang mereka dalam penataan perekonomian dunia. Suatu pernyataan Keynes yang bernada arogan menjadi fakta menyedihkan bagi jejak sejarah peranan negara berkembang dalam proses penataan perekonomian dunia. Keynes mendeskripsikan konferensi tersebut, dalam pernyataan, ‘dua puluh satu negara yang diundang (ke Bretton Woods) tidak memiliki kontribusi apapun dan hanya akan menjadi beban.’35 Meskipun menyakitkan, pernyataan Keynes tersebut adalah fakta, di mana pada konferensi Bretton Woods tersebut 44 negara menandatangani suatu kesepakatan tanpa memiliki waktu atau kesempatan untuk membacanya.36 Keenam, meskipun kenyataannya negara-negara berkembang tidak diberikan ruang yang cukup untuk menanamkan visi mereka dalam penciptaan suatu sistem Ray Kiely, Empire in Age of Globalization, 89. Samuel E. Sanderson, The Politics of Trade in Latin American Development (Stanford: Stanford University Press, 1992), 30). 36 A. Van Dormael, Bretton Woods: Birth of a Monetary System (New York: Holmes and Meier, 1978), 226. 34 35
28
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
dalam perekonomian global melalui Konferensi Bretton Woods, namun kelompok negara ini berpartisipasi secara penuh di dalam sistem tersebut.37 Sebagian besar negara berkembang mempertahankan penerapan nilai tukar tetap sejalan dengan pembatasan perdagangan dan kontrol kapital.38 Dalam kondisi ini semakin jelas posisi negara berkembang yang hanya menjadi obyek bagi sistem di mana mereka tidak berperan besar dalam pembentukannya. Persoalan utama terletak pada kondisi perekonomian negara berkembang yang diwarnai oleh ketidakseimbangan neraca pembayaran. Dalam Sistem Bretton Woods, IMF memainkan peranan yang sangat besar dalam pengawasan dan upaya penyelamatan negara-negara anggota yang sedang mengalami kesulitan neraca pembayaran. Sementara itu, adalah Amerika Serikat dan Inggris melalui sistem yang mereka rancang, yang memiliki pengaruh besar melalui kekuatan veto yang mereka miliki untuk menentukan arah kebijakan dari IMF. Dengan demikian, Sistem Bretton Woods menjadi ruang bagi semakin dalamnya ketergantungan negara-negara berkembang terhadap negara maju dan menjadi landasan awal bagi pengaruh besar negara maju dalam menentukan arah kebijakan perkeonomian negara-negara berkembang. Meskipun prinsip liberalisme belum tertanam secara penuh melalui penciptaan Sistem Bretton Woods, dengan masih dipertahankannya peranan penting negara dan prinsip regulasi, namun melalui sistem ini untuk pertama kalinya prinsip liberalisme ditanamkan secara formal sebagai landasan tata kelola perekonomian dunia. Peranan entitas pasar diyakini dapat menjadi landasan bagi terciptanya perdamaian dunia. Jejak sejarah dalam Konferensi Bretton Woods mencerminkan suatu proses awal upaya liberalisasi secara sistematis perekonomian dunia, di mana kepentingan negara-negara maju menjadi mesin penggerak di balik upaya ini. Posisi negara berkembang terletak di pinggir arena, bukan menjadi pemain yang menentukan arah dari perekonomian dunia. Negara berkembang hanya menjadi bagian yang dikendalikan melalui sistem yang berlandaskan pada visi liberalisme negara-negara maju yang ditanamkan di dalamnya.
Akhir dari Bretton Woods, Liberalisasi dalam Sebuah Kondisi Tanpa Sistem Awal 1970-an menandai suatu fase sejarah baru dalam penataan perekonomian dunia dengan runtuhnya Sistem Bretton Woods. Menurunnya hegemoni Amerika Serikat, perubahan peranan dollar, kompetisi yang semakin intensif dan internasionalisasi produksi dan keuangan merupakan beberapa faktor yang saling terkait satu sama lain di balik berakhirnya Sistem Bretton Woods.39 Masa Bretton Woods pasca Perang Dunia II dikenal dengan suatu masa di mana Amerika Serikat memainkan peranan sebagai kekuatan hegemoni dalam menciptakan stabilitas (hegemonic stability).40 Peranan kunci dollar dalam sistem moneter internasional memfasilitasi sistem aliansi Amerika dan berfungsinya perekonomian Barry Eichengreen, Globalizing Capital, 116. Barry Eichengreen, Globalizing Capital, 116. 39 Ray Kiely, Empire in Age of Globalization, 92. 40 Robert Gilpin, Global Political Economy: Understanding the International Economic Order (Princeton: Princeton University Press, 2001), 237. 37 38
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
29
dunia. Peran internasional dollar sebagai cadangan devisa dan mata uang transaksi menjadi landasan bagi posisi ekonomi politik global Amerika Serikat.42 Dalam kondisi ini Amerika Serikat menikmati posisi istimewa dalam perekonomian internasional, sebagai negara penyedia mata uang bagi perekonomian internasional.43 Dengan posisi istimewa ini, tidak mengherankan jika kemudian selama periode 1964-1968 Amerika Serikat dapat membiayai tindakan-tindakan militer (perang) di Korea, Vietnam Selatan, Kamboja dan Laos.44 Bahkan Michael Hudson, menyebut fenomena ini sebagai suatu bentuk pembiayaan perang Amerika Serikat dengan menggunakan sumber-sumber dana dari negara lain.45 Berlandaskan pada mekanisme Sistem Bretton Woods, Amerika Serikat menyuntikkan dollar ke dalam perekonomian dunia, menciptakan utang dan menghalalkan segala cara untuk menghindari pembayarannya kembali.46 Dengan mekanisme inilah Amerika Serikat dapat mendanai perang di berbagai belahan dunia. Tidak hanya itu, negara ini juga dapat membeli perusahaan-perusahaan di negara lain dan dapat menumpuk utang tanpa khawatir dengan konsekuensi negatifnya.47 Namun demikian, munculnya persoalan tidak dapat dihindarkan. Pasokan dollar di dunia sangat bergantung kepada defisit neraca pembayaran Amerika Serikat, sementara stabilitas dollar bergantung kepada kembalinya perekonomian Amerika Serikat kepada kondisi surplus.48 Hal inilah yang menjadi kontradiksi di dalam Sistem Bretton Woods, dengan peran ganda dollar sebagai mata uang Amerika Serikat sekaligus sebagai mata uang internasional.49 Nilai tukar dollar terhadap mata uang negara-negara lain bergantung kepada keberlangsungan perekonomian Amerika Serikat.50 Jika perekonomian memburuk atau pemerintah Amerika Serikat mengambil kebijakan fiskal yang inflasioner, maka akan terjadi devaluasi terhadap nilai tukar dollar.51 Dari sudut pandang Amerika Serikat, di satu sisi defisit neraca pembayaran dapat memastikan supremasi militernya di dunia. Namun di sisi lain, hal ini bermakna melemahnya kekuatan produktif pada perekonomian domestik.52 Beberapa ekonom telah memprediksikan sebelumnya bahwa kepercayaan terhadap dollar sebagai mata uang internasional akan mengalami penurunan seiring dengan bergeseranya neraca pembayaran Amerika Serikat dari surplus menuju defisit.53 Kondisi akut krisis kepercayaan terhadap dollar akhirnya terjadi di penghujung tahun 1960-an seiring dengan meningkatnya eskalasi Perang Vietnam dan kebijakan inflasioner pemerintah Amerika Serikat.54 Seiring dengan penurunan kepercayaan terhadap dollar, secara perlahan fondasi dari Sistem Bretton Woods 41
43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 41 42
Robert Gilpin, Global Political Economy, 236-237. Robert Gilpin, Global Political Economy, 236-237. Robert Gilpin, Global Political Economy, 237. Michael Hudson, Super Imperialism, 291. Michael Hudson, Super Imperialism, 291. Michael Hudson, Super Imperialism, 291. Robert Gilpin, Global Political Economy, 237. Ray Kiely, Empire in Age of Globalization, 93. Ray Kiely, Empire in Age of Globalization, 93. Ray Kiely, Empire in Age of Globalization, 93. Ray Kiely, Empire in Age of Globalization, 93. Ray Kiely, Empire in Age of Globalization, 93. Robert Gilpin, Global Political Economy, 237. Robert Gilpin, Global Political Economy, 237.
30
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
mengalami keruntuhan.55 Ditambah dengan persoalan spekulasi terhadap nilai dollar dan semakin membengkaknya defisit neraca pembayaran dan perdagangan Amerika Serikat, pada 5 Agustus 1971, pemerintahan Richard Nixon akhirnya memutuskan untuk mendevaluasi nilai tukar dollar.56 Momentum ini menandai akhir dari Sistem Bretton Woods. Secara de facto, terjadi perubahan dari sistem moneter internasional dari sistem nilai tukar tetap menjadi fleksibel.57 Berbagai upaya untuk menciptakan suatu sistem nilai tukar baru mengalami kegagalan sejalan dengan perbedaan pandangan fundamental antara Amerika Serikat dan Eropa Barat.58 Robert Gilpin menggambarkan situasi ini sebagai sebuah keadaan “tanpa sistem” dikarenakan tidak ada aturan yang secara umum diterima yang menjadi landasan mekanisme nilai tukar tetap ataupun kebijakan terkait persoalan moneter di tingkat internasional.59 Akan tetapi, runtuhnya Sistem Bretton Woods tidak bermakna pada terhentinya agenda liberalisasi ekonomi pada tingkat global. Justru dengan berakhirnya sistem ini, berbagai agenda liberalisasi dan geliat penciptaan perekonomian dunia yang semakin liberal berjalan dengan sangat deras dengan ketiadaan sistem regulasi. Berakhirnya Sistem Bretton Woods menandai suatu fase revolusi finansial dalam perekonomian dunia. Pertumbuhan pasar Eurodollar dan ekspansi internasional perbankan Amerika Serikat di tahun 1960-an telah melahirkan pada yang disebut sebagai pasar finansial internasional.60 Kemudian di tahun 1970-an, perkembangan dari suatu sistem finansial internasional baru memicu terjadinya deregulasi sistem finansial domestik, penghapusan kontrol kapital di berbagai negara dan peningkatan luar biasa jumlah dan kecepatan arus finansial global, yang dimungkinkan dengan adanya perkembangan teknologi dan instrumen finansial baru dan komunikasi modern.61 Pada titik ini dimulailah suatu fase liberalisasi sektor finansial dalam tataran global. Fenomena ini kemudian diikuti oleh integrasi pasar finansial internasional yang ditandai oleh kesalingterkaitan dari kebijakan-kebijakan makroekonomi negara-negara di dunia yang berdampak satu sama lain.62 Integrasi ini juga menyebabkan terjadinya penurunan otonomi kebijakan makroekonomi setiap negara.63 Konsekuensi lain dari revolusi finansial ini terletak pada pengaruh besar arus finansial internasional terhadap nilai tukar mata uang. Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya kerentanan nilai tukar terutama antara dollar dan mata uang utama di dunia lainnya.64 Dengan demikian, runtuhnya Sistem Bretton Woods justru menjadi titik liberalisasi secara massif perekonomian dunia. Selain itu, periode pasca keruntuhan Sistem Bretton Woods juga menandai suatu fase evolusi dari peranan IMF sebagai institusi finansial internasional. Pada periode ini, terjadi pergeseran mandat IMF dalam peranannya sebagai suatu institusi regula 57 58 59 60 61 62 63 64 55 56
Robert Gilpin, Global Political Economy, 237. Robert Gilpin, Global Political Economy, 238. Robert Gilpin, Global Political Economy, 238. Robert Gilpin, Global Political Economy, 239. Robert Gilpin, Global Political Economy, 239. Robert Gilpin, Global Political Economy, 240. Robert Gilpin, Global Political Economy, 240. Robert Gilpin, Global Political Economy, 240. Robert Gilpin, Global Political Economy, 240. Robert Gilpin, Global Political Economy, 240.
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
31
toris berskala internasional. Pada awalnya, IMF dan Bank Dunia didirikan sebagai institusi yang memiliki hakikat regulatoris untuk mengelola perekonomian dunia pasca perang yang berlandaskan pada prinsip pasar bebas yang terkendali. Terdapat dua fenomena pergeseran peranan IMF sebagai institusi finansial internasional pasca runtuhnya Sistem Bretton Woods. Pertama, pada awalnya IMF didirikan sebagai institusi regulatoris untuk mengelola dampak penerapan prinsip pasar bebas dalam perekonomian internasional. Pada tahun 1970-an, IMF yang merupakan pengejawantahan pemikiran ekonomi Keynesian untuk meregulasi peranan pasar justru mengalami transformasi menjadi agen yang secara mendalam menerapkan prinsip ekonomi pasar bebas ala neoliberalisme di tingkat internasional. Kedua, terjadi perluasan cakupan dan kekuasaan IMF dalam menjalankan fungsinya sebagai institusi internasional. Berdasarkan mandat awalnya, tujuan dibentuknya IMF adalah untuk mengawasi dan membantu berjalannya sistem nilai tukar tetap yang dapat disesuaikan, khususnya di antara negara-negara industri maju Amerika Serikat dan Eropa Barat.65 Cakupan wewenang IMF berada pada porsi yang terbatas, yaitu terkait dengan stabilitas nilai tukar, jaminan pinjaman dan investasi. Namun seiring dengan runtuhnya Sistem Bretton Woods, cakupan kebijakan IMF di tingkat internasional justru mengalami perluasan yang signifikan. IMF yang tadinya tidak ditujukan secara penuh terlibat dalam program-program pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang, justru menjadi agen yang sangat berpengaruh dalam menentukan arah kebijakan pembangunan ekonomi negara berkembang di tahun 1970-an.66 Institusi ini memiliki peranan dalam aspek yang luas dalam perekonomian negara-negara berkembang meliputi kebijakan ekonomi makro, reformasi ekonomi secara struktural, yang dikenal dengan program penyesuaian struktural (structural adjustment programs/SAPs), bahkan sampai ke ranah politik, hukun dan konstitusional. Bahkan pada periode 1970-an, tepatnya tahun 1978, dilakukan amandemen piagam pembentukan IMF terutama terkait dengan perluasan kekuasaan dari IMF sebagai sebuah institusi pengawasan.67 Melalui penguatan dan perluasan otoritas IMF sebagai institusi internasional, periode pasca runtuhnya Sistem Bretton Woods menyaksikan peranan besar IMF dalam komitmen liberalisasi perekonomian internasional, khususnya dalam menentukan arah kebijakan pembangunan negara-negara berkembang. Meskipun runtuhnya Sistem Bretton Woods disinyalir sebagai indikasi dari pelemahan hegemoni Amerika Serikat di tingkat internasional, namun kenyataannya kepentingan dan pengaruh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat dalam menentukan tata kelola perekonomian dunia tidaklah hilang. Justru dengan berakhirnya Sistem Bretton Woods upaya penanaman kepentingan negara-negara maju dalam penataan perekonomian dunia menjadi semakin kuat. Amerika Serikat tetap menjadi penentu tata aturan perekonomian dunia.68 Bahkan perkembangan yang terjadi menandakan digantinya sistem moneter Bretton Woods yang berland James Raymon Vreeland, The International Monetary Fund: Politics of Conditional Lending (London & New York: Routledge, 2007), 5. 66 James Raymon Vreeland, The International Monetary Fund, 5. 67 Richard H.R. Harper, Inside the IMF: An Ethnography of Documents, Technology and Organisational Action (San Diego, London & Boston: Academic Press, 1998), 99. 68 Jeffrey M. Chwieroth, Capital Ideas: The IMF and the Rise of Financial Liberalization (Princeton & Oxford: Princeton University Press, 2010), 114. 65
32
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
askan pada serangkaian aturan oleh kesepakatan politik yang bersifat longgar di antara kekuatan ekonomi dominan di dunia, terutama kelompok tujuh negara dengan kekuatan ekonomi besar di dunia yang tergabung dalam Group of Seven (G-7).69 Perubahan ini menjadikan para petinggi bank sentral dari negara-negara maju sebagai pengelola de facto dari sistem moneter internasional.70 Fase berakhirnya Sistem Bretton Woods tahun 1970-an, memiliki dua makna penting dalam kaitannya dengan liberalisasi perekonomian negara-negara berkembang. Pertama, revolusi finansial yang terjadi dengan terciptanya suatu pasar uang internasional menjadi suatu landasan bagi jatuhnya negara-negara berkembang ke dalam jeratan utang luar negeri yang berujung pada krisis utang di tahun 1980-an awal. Sepanjang tahun 1970-an, sebagian besar negara-negara berkembang membiayai pembangunan ekonomi mereka dengan utang luar negeri yang tersedia sebagai hasil dari terciptanya pasar uang internasional. Kedua, proyek liberalisasi negaranegara berkembang semakin jelas dengan adanya perluasan peranan IMF dalam menentukan arah kebijakan ekonomi melalui program penyesuaian struktural yang menjadi kondisionalitas utang bagi negara-negara berkembang. Meskipun Sistem Bretton Woods telah berakhir, namun hal ini tidak bermakna pada runtuhnya institusi finansial internasional yang didominasi oleh kepentingan negara-negara maju terutama Amerika Serikat. Pasca berakhirnya Sistem Bretton Woods, komitmen liberalisasi perekonomian pada tataran dunia justru menjadi semakin kuat dengan tetap lestarinya kekuasaan dan pengaruh Amerika Serikat di dalam IMF yang telah mengalami transformasi menjadi institusi yang memainkan peranan besar dalam perekonomian negara-negara berkembang.
Washington Consensus, Liberalisasi Mendalam dan Sistematis Negara-Negara Berkembang Adalah krisis utang (debt crisis) di awal tahun 1980-an yang menjadi salah satu landasan dari liberalisasi mendalam perekonomian negara-negara berkembang. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sepanjang tahun 1970-an, negara-negara berkembang membiayai pembangunannya dengan utang luar negeri, khususnya dalam bentuk utang pemerintah pada pasar uang di belahan bumi Barat yang tercipta seiring dengan revolusi finansial pasca berakhirnya Sistem Bretton Woods. Krisis utang yang melanda negara-negara berkembang ini pada dasarnya berawal dari fenomena “Oil Boom” di tahun 1970-an yang menghasilkan keuntungan dalam jumlah besar bagi negara-negara penghasil minyak, atau yang dikenal dengan istilah “petrodollar.”71 Keuntungan dalam jumlah besar ini kemudian diinvestasikan di perbankan Barat di tengah kondisi tingkat suku bunga pinjaman yang rendah. Dalam situasi tersebut, negara-negara berkembang kemudian membuat pinjaman luar negeri dalam jumlah besar untuk membiayai pembangunan mereka. Hal ini sekaligus menjadi suatu strategi bagi negara-negara berkembang untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap perusahaan-perusahaan multinasional negara-negara maju Robert Gilpin, Global Political Economy, 241. Robert Gilpin, Global Political Economy, 241. 71 Jill Stean & Loyd Pettiford, International Relations: Perspective and Theme (Harlow: Pearson Education, Ltd, 2001). 69 70
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
33
dan dari kondisionalitas utang yang diterapkan oleh IMF dan Bank Dunia. Namun demikian, perubahan kondisi perekonomian dunia menjadikan strategi ini justru menjadi boomerang bagi negara-negara berkembang yang kemudian jatuh lagi ke dalam pengaruh dari kedua institusi finansial internasional tersebut. Sebagai imbas dari kebijakan kenaikan harga minyak oleh negara-negara pengekspor, negara-negara pengimpor minyak menerapkan proteksi terhadap perekonomian mereka dan melakukan pembatasan impor. Sebagai hasilnya, harga komoditas dasar yang merupakan ekspor utama negara-negara berkembang ke negara-negara maju mengalami penurunan drastis di pasar dunia. Sementara itu, dampak dari kenaikan harga minyak di negara-negara maju memicu terjadinya inflasi yang berujung pada kenaikan tingkat suku bunga. Krisispun akhirnya tidak dapat dihindarkan bagi negara-negara berkembang. Sebagai imbas dari kenaikan tingkat suku bunga, jumlah utang luar negeri negara-negara berkembang meningkat luar biasa. Pendapatan ekspor untuk membiayai pembangunan mengalami penurunan sebagai hasil dari kebijakan proteksi dan pembatasan impor oleh negara-negara maju. Penderitaan tidak cukup sampai di sini, persoalan ekonomi negara-negara berkembang, terutama yang bukan penghasil minyak, diperparah dengan tingginya harga minyak dunia yang semakin memicu defisit neraca pembayaran mereka. Dalam kondisi ini, perbankan swasta yang tadinya menyediakan utang bagi negara-negara berkembang tidak dapat diandalkan terkait dengan krisis kepercayaan dalam kemampuan pengembalian utang luar negeri oleh negara-negara berkembang. Krisis ini pada akhirnya mengembalikan perekonomian negara-negara berkembang kepada pangkuan IMF dan Bank Dunia dengan kondisionalitas yang diterjemahkan ke dalam program penyesuaian struktural yang berlandaskan pada prinsip neoliberalisme. Krisis utang negara-negara berkembang ini berawal pada bulan Agustus 1982 ketika Meksiko mengumumkan ketidakmampuan untuk membayar kembali utang luar negeri tepat pada waktunya.73 Krisis finansial Meksiko ini kemudian menyebar dengan sangat cepat dan menghantam perekonomian negara-negara berkembang terutama di Amerika Latin, Afrika dan Eropa Timur.74 Sampai dengan tahun 1982, total utang luar negeri negara-negara berkembang yang bukan penghasil minyak mengalami peningkatan sampai sebesar US$ 600 milyar.75 Negara-negara berkembang penghasil minyak terselamatkan dari krisis ini dengan adanya peningkatan penerimaan ekspor sebagai hasil dari peningkatan harga minyak dunia. Namun bagi negara-negara berkembang non-produsen minyak, krisis finansial ini menyebar dengan sangat merata (lihat gambar 2.1).76 72
Robert Gilpin, Global Political Economy, 313. Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition (London & New York: Zed Book, 2009), 86. 74 Robert Gilpin, Global Political Economy, 313. 75 Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 86. 76 S. Corbridge, Debt and Development (Oxford: Blackwell, 1993), dikutip dalam David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2007), 95. 72 73
Sumber: Corbridge, Debt and Development (Oxford: Blackwell, 1993), dikutip dalam David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2007).
Gambar 2.1 Krisis Utang Internasional 1982-1985
34 Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
35
Pada titik inilah kemudian IMF memainkan peranan yang lebih besar dalam pembangunan negara-negara berkembang melalui program penyesuaian struktural. Defisit neraca pembayaran yang dialami negara-negara berkembang membutuhkan suntikkan dana dari luar. Namun perbankan swasta di negara-negara maju membutuhkan jaminan dari IMF untuk memastikan pengembalian kembali utang luar negeri dari negara-negara berkembang.77 Dalam kenyataannya, terdapat beberapa pemain utama di dalam bisnis utang pada tataran internasional. Bisnis utang luar negeri berjalan dalam suatu sistem triangular yang terdiri dari IMF, perbankan swasta Barat dan pemerintah negara-negara maju pada satu sisi; pemerintahan negara-negara berkembang pengimpor minyak di sisi lain; dan masyarakat yang terkena dampaknya berada pada sisi yang ketiga.78 Perhatian utama dari pemain pada sisi pertama (IMF, bank swasta Barat dan pemerintah negara-negara maju) terletak pada upaya untuk memastikan bahwa negara-negara berkembang dapat membayar kembali utang luar negeri mereka.79 Untuk itu, IMF menjalankan program penyesuaian struktural di negara-negara berkembang yang berlandaskan pada prinsip neoliberalisme. Robert Gilpin menyebut periode krisis utang negara-negara berkembang ini mengarahkan kepada kemenangan doktrin neoliberalisme dan kebijakan penyesuaian struktural.80 Neoliberalisme merupakan sebuah bentuk metamorfosa dari pandangan ekonomi liberal klasik yang dikembangkan oleh Adam Smith pada abad ke-18. Prinsip-prinsip ekonomi klasik yang muncul sebagai kritik terhadap dominasi merkantilisme pada masa sebelumnya tersebut kemudian direformulasi oleh ekonom-ekonom neoklasik ke dalam sebuah bentuk pemikiran ekonomi pasar yang lebih bersifat matematis dan memiliki hukum-hukum ilmiah pada paruh kedua abad ke-19. Kemunculan neoliberalisme pada tahun 1970-an, menandai titik kebangkitan kembali dominasi ekonomi pasar bebas setelah keruntuhan keynesianisme pasca kegagalan ekonomi yang dialami negara-negara di Amerika Latin. Kebangkitan neoliberalisme ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Friedrich von Hayek, seorang filsuf sosio-ekonomi, yang meyakini efektifitas peranan pasar sebagai institusi sosial dalam sebuah kondisi kebebasan manusia, di mana kompetisi pasar merupakan penentu bagi terciptanya ketertiban ekonomi. Ia juga berpandangan bahwa peranan pemerintah seharusnya dibatasi di dalam wilayah yang sangat terbatas begitu juga dalam hal kekuasaannya. Pemikiran ini kemudian dikembangkan lebih jauh lagi oleh Milton Friedman melalui pendekatan yang bersifat matematis dan ilmiah.81 Pada tahun 1980-an, pemikiran ekonomi neoliberal semakin menunjukkan dominasinya dalam kancah ekonomi politik internasional, terutama dengan adanya dukungan dari presiden Amerika Serikat dan Perdana Menteri Inggris, Ronald Reagan dan Margaret Thatcher yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran ekonomi von Hayek. Pada masa ini juga, neoliberalisme menjadi semakin terlembagakan melalui apa yang dikenal sebagai “Konsensus Washington” (Washington Consensus). Istilah ini mengacu kepada kesepakatan umum di antara pejabat-pejabat publik negara-negara industi maju dan institusi-institusi 79 80 81 77
78
Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 87. Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 87. Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 87. Robert Gilpin, Global Political Economy, 313. Robert Gilpin, Global Political Economy, 313.
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
36
ekonomi internasional (IMF, Bank Dunia dan World Trade Organization) mengenai arti penting program neoliberal dalam pembangunan ekonomi dan menekankan pada pasar bebas, liberalisasi perdagangan, dan pengurangan secara signifikan peranan negara dalam perekonomian.82 Dengan kata lain, berlandaskan pada paradigma ekonomi neoliberal inilah IMF merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi yang terangkum dalam ”program stabilisasi” sebagai kondisionalitas bagi berbagai paket pinjaman kepada negara-negara berkembang. Keyakinan terhadap ideologi neoliberalisme yang dideklarasikan melalui Konsensus Washington memang tidak dapat dilepaskan pengaruh Presiden Amerika Serikat Ronald Reagen dan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher. Keduanya dengan sangat antusias mengkampanyekan suatu upaya untuk mengakhiri pola-pola kebijakan ekonomi Keynesian pada perekonomian global.83 Upaya ini didukung oleh Perdana Menteri Australia, Malcolm Fraser dan Perdana Menteri Kanada Brian Mulroney.84 Para pemimpin politik ini tidak hanya berupaya mengartikulasikan klaim ideologi neoliberalisme, tetapi juga berupaya untuk mengkonversikannya ke dalam kebijakan dan program-program publik.85 Lagi-lagi peristiwa sejarah berulang kembali, di mana landasan tata kelola perekonomian global hanya ditentukan oleh segelintir negara-negara maju melalui Konsensus Washington ini. Bahkan neoliberalisme dijadikan sebagai suatu landasan mutlak bagi kebijakan ekonomi dunia yang terkenal dengan slogan Maragaret Thatcher, “There Is No Alternative” (TINA), tidak ada alternatif lain selain daripada implementasi agenda neoliberal pada tataran global.86 Terdapat beragam derivasi kebijakan ekonomi yang dijadikan kondisionalitas sepanjang keterlibatan IMF dalam program stabilisasi di negara-negara anggotanya. Namun demikian terdapat standar kebijakan ekonomi yang dikedepankan IMF yang cenderung seragam dan dapat diprediksikan. Sehingga secara umum, dapat dilihat beberapa komponen dasar dari program yang diimplementasikan IMF, sebagaimana model yang diuraikan oleh Cheryl Payer87 berikut ini: 1. 2. 3.
4.
Penghapusan atau liberalisasi kontrol nilai tukar asing dan impor. Devaluasi nilai tukar. Program anti-inflasi domestik, meliputi: (a) kontrol terhadap kredit perbankan dan tingkat suku bunga tinggi; (b) kontrol terhadap defisit anggaran pemerintah melalui pembatasan pengeluaran pemerintah, peningkatan pajak dan penghapusan subsidi publik; (c) kontrol terhadap kenaikan upah, sejauh di dalam kekuasaan pemerintah; (d) menghilangkan kontrol terhadap harga. Membuka peluang yang lebih besar terhadap investasi asing.
Dalam pandangan Joseph E. Stiglitz, terdapat tiga pilar utama dari neoliberalisme yang menjadi landasan kebijakan penyesuaian struktural ala IMF di nega John Williamson, Democracy and the “Washington Consensus”, World Development 21, No. 8, 1993, hal.1329-36. 83 Manfred B. Steger & Ravi K. Roy, Neoliberalism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2010), 21. 84 Manfred B. Steger & Ravi K. Roy, Neoliberalism, 21. 85 Manfred B. Steger & Ravi K. Roy, Neoliberalism, 21. 86 Manfred B. Steger & Ravi K. Roy, Neoliberalism, 21. 87 Cheryl Payer, The Debt Trap: The IMF and the Third World, Monthly Review Press, London, 1974, hal. 33. 82
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
37
ra-negara berkembang. Pilar pertama terletak pada kebijakan fiskal ketat (fiscal austerity) yang diterjemahkan ke dalam bentuk pengurangan pengeluaran pemerintah untuk memenuhi kebutuhan publik. Sementara itu kebijakan privatisasi dengan menjual perusahaan-perusahaan negara kepada pihak swasta berada pada pilar yang kedua. Pilar yang ketiga diejawantahkan ke dalam kebijakan liberalisasi, khususnya di bidang perdagangan yang pada intinya meminimalkan peranan negara di dalam perekonomian. Berlandaskan pada neoliberalisme inilah kemudian IMF menentukan arah kebijakan pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang selama beberapa dekade. Dengan demikian, momentum Washington Consensus telah menjadi titik liberalisasi secara mendalam dan sistematis pada perekonomian negara-negara berkembang. Pada periode 1970-1999 telah terdapat ratusan program IMF di negara-negara berkembang yang diimplementasikan berlandaskan pada prinsip neoliberalisme. Sedikitnya terdapat 854 program yang disetujui IMF di negara-negara berkembang selama periode ini.89 Ratusan program yang mencerminkan agenda neoliberal inilah yang kemudian menjadi instrumen penanaman prinsip liberalisme di dalam perekonomian negara-negara berkembang. Imbas dari implementasi neoliberalisme terhadap perekonomian negara-negara berkembang secara umum terletak pada lemahnya fundamen ekonomi yang menjadi rentan terhadap krisis. Banyak ekonom dunia yang pada dasarnya telah menyatakan bahwa episode krisis periodik yang melanda perekonomian dunia selama beberapa dekade terakhir berakar pada landasan ideologis neoliberalisme yang mengedepankan peranan entitas pasar.90 Namun demikian, berbagai krisis yang melanda perekonomian negara-negara berkembang di tahun 1990-an justru semakin memantapkan liberalisasi perekonomian negara-negara berkembang melalui program-program IMF. Dekade 1990-an menyaksikan dua kawasan ekonomi di dunia diterpa oleh krisis yang sangat mendalam. Amerika Latin, sebuah kawasan yang identik dengan krisis finansial, jatuh dilanda krisis pada tahun 1995. “Keajaiban Meksiko” pada periode 1990-1994 yang ditandai oleh angka pertumbuhan sebesar 2,8 persen per tahun, berakhir di tahun 1995.91 Selama tahun tersebut, pendapatan domestik bruto (PDB) Meksiko turun 7 persen, produksi industri merosot sampai 15 persen, bahkan jauh lebih buruk dari yang dialami Amerika Serikat sejak dekade 1930-an.92 “Efek tequila” dari krisis ini menyebar ke berbagai belahan dunia, terutama sangat dirasakan oleh negara-negara Amerika Latin, khususnya Argentina.93 Momentum krisis ini justru membawa Meksiko ke dalam jurang neoliberalisme secara lebih mendalam melalui program bantuan IMF. 88
Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontent (London: Penguin Books, 2002), 53-54. Michael Hutchison, A Cure Worse than the Disease? Currency Crises and the Output Costs of IMF-Supported Stabilization , Pacific Basin Working Paper No. PB01-02, Pacific Basin Monetary and Economic Studies, Economic Research Departement, Federal Reserve Bank of San Fransisco, 2001, hal. 27. 90 Paul Krugman, The Return of Depression Economics and The Crisis of 2008 (New York: W.W. Norton & Company, Inc., 2009), 14. 91 Paul Krugman, Kembalinya Depresi Ekonomi (Bandung: Penerbit ITB, 2000), 51-55. 92 Krugman, Kembalinya Depresi Ekonomi, 55. 93 Krugman, Kembalinya Depresi Ekonomi, 55. 88 89
38
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Di penghujung tahun 1990-an, giliran belahan bumi Asia dilanda oleh krisis finansial. Pada 2 Juli 1997, pemerintah Thailand tidak mampu lagi mempertahankan nilai tukar baht, kebijakan devaluasi mata uang akhirnya ditempuh. Krisis Asia pun dimulai. Penyebaran krisis berlangsung dengan sangat cepat. Tidak sampai dua minggu setelah kejatuhan Thailand, Filipina akhirnya menyerah. Disusul oleh Malaysia pada 24 Juli 1997. Tiga minggu berselang, pemerintah Indonesia akhirnya melepaskan kendali terhadap rupiah, yang diikuti oleh krisis multisektoral yang berkepanjangan, yang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari imbas implementasi doktrin neoliberalisme dalam program IMF di Indonesia.94
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), World Trade Organization (WTO) dan Liberalisasi Perdagangan Salah satu institusi regulatoris yang digagas dalam pertemuan Bretton Woods 1944 adalah International Trade Organization (ITO). Namun, ketidaksesuaian kepentingan dari Amerika Serikat sebagai pemain utama yang menentukan landasan tata kelola perekonomian global menjadikan institusi tidak tercipta sebagaimana yang diharapkan. Kepentingan supremasi industri Amerika Serikat pasca Perang Dunia II menginginkan terciptanya perdagangan bebas dan terbukanya pasar luar negeri dengan segera.95 Melalui rancangan pembentukan ITO pada pertemuan persiapan di tahun 1943, Amerika Serikat berambisi untuk menciptakan suatu organisasi yang dapat membebaskan perdagangan berlandaskan pada kepentingan spesifik perusahaan-perusahaan ekspor besar.96 Upaya ini digerakkan oleh suatu semangat yang berorientasi kepada pasar dan upaya penciptaan perekonomian internasional yang terderegulasi.97 Akan tetapi, posisi Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia pasca perang belum dapat sepenuhnya menanamkan kepentingan perdagangan perusahaan besarnya dalam tata kelola perekonomian internasional. Kenyataannya, ITO secara internasional dirancang sebagai suatu badan dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengatur persoalan perdagangan internasional. Prinsip demokratis dalam pengambilan kebijakan ITO yang berlandaskan pada prinsip PBB menjadikan sulit bagi Amerika Serikat untuk mengendalikan keputusan berdasarkan pada kepentingan-kepentingan spesifiknya. Dominasi tunggal negara di dalamnya akan sulit untuk didapatkan, sehingga Amerika Serikat tidak akan membiarkan organisasi tersebut berdiri dan membuat keputusan serta sanksi yang merugikan kepentingan nasionalnya.98 Proposal pembentukan ITO yang dirancang oleh Amerika Serikat pada Konferensi Havana, Cuba 1947-1948, diamandemen di dalam PBB yang kemudian memicu penolakan dari Kongres Amerika Serikat.99 Kongres Amerika Serikat menilai rancangan piagam pembentukan ITO tersebut bertentangan dengan prinsip Amerika Serikat di mana di dalamnya tidak Haider A. Khan, Global Market and Financial Crises in Asia: Towards a Theory for the 21st Century (New York: Palgrave, 2004), 24. 95 Robert Gilpin, Global Political Economy, 217. 96 Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 180. 97 Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 180. 98 Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 181. 99 Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 181. 94
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
39
merefleksikan prinsip perusahaan kompetitif, swasta dan bebas. General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang disepakati di Jenewa pada tahun 1947 dan ditandatangani pada Konferensi Havana, 15 November 1947, akhirnya menjadi landasan pengelolaan perdagangan internasional yang diterima oleh Amerika Serikat.101 Sifat GATT yang longgar menjadi landasan penerimaan Amerika Serikat terhadap kesepakatan ini. Selain itu, prinsip-prinsip yang menunjukkan komitmen terhadap prinsip liberalisme yang berlaku di dalam GATT, dalam bentuk liberalisasi, akses pasar yang setara, asas timbal balik, non-diskriminasi dan transparansi, sejalan dengan kepentingan Amerika Serikat untuk menciptakan suatu sistem perdagangan internasional yang bebas. Berlandaskan pada GATT inilah kemudian dalam waktu yang cukup panjang tata kelola perdagangan internasional dijalankan. Penerapan prinsip perdagangan yang bebas dari campur tangan pemerintah pada tingkat internasional pada dasarnya merupakan suatu hal yang baru.102 Dua abad sebelum munculnya karya Adam Smith, The Wealth of Nations di tahun 1776, perdagangan internasional didominasi oleh pemikiran merkantilis.103 Prinsip akumulasi emas, pengutamaan keseimbangan perdagangan, memajukan industri domestik yang masih lemah, keyakinan terhadap kondisi zero-sum game di tingkat internasional dan penjagaan stabilitas domestik menjadi landasan bagi interaksi perdagangan internasional. Praktis, selama periode ini, merkantilisme menjadi motor penggerak dari pertumbuhan kapitalisme. Baru kemudian pada tahun 1800-an, seiring dengan penyebaran pengaruh pemikiran Adam Smith, doktrin perdagangan bebas menjelma di tingkat internasional.104 Upaya awal perdagangan bebas muncul seiring dengan Revolusi Industri Inggris, terkait dengan kebutuhan impor pangan murah bagi para pekerja dan perluasan ekspor.105 Namun kemudian, pemerintah Inggris memberlakukan kebijakan pembatasan impor, yang dikenal dengan British Corn Laws di tahun 1815, untuk meningkatkan pendapatan kelas para tuan tanah.106 Di tahun 1900-an, Kesepakatan Cobden-Chevalier di tahun 1860, sebuah kesekapatan bilateral antara Inggris dan Perancis untuk menurunkan tarif perdagangan di antara keduanya, menandai dimulai suatu upaya penciptaan perdagangan bebas antar negara.107 Paruh kedua abad ke-19 menyaksikan perluasan perdagangan internasional dengan sangat cepat, di mana perekonomian global mulai terspesialisasikan secara regional, terutama dalam relasi antara kawasan inti industri dan kawasan pertanian pada posisi pinggiran.108 Pada periode ini juga terjadi integrasi relasi perdagangan dan arus investasi secara mendalam jauh dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.109 100
Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 181. Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 182. 102 Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 178. 103 Razeen Sally, New Frontiers in Free Trade: Globalization’s Future and Asia’s Rising Role (Washington D.C.: Cato Institute, 2008), 7. 104 Razeen Sally, New Frontiers in Free Trade, 9. 105 Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 179. 106 Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 179. 107 Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 179. 108 Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 179. 109 Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 179. 100 101
40
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Perdagangan internasional pada masa di antara dua Perang Dunia kembali lagi dilandaskan pada prinsip proteksionisme merkantilis yang ditandai oleh perang tarif dalam perdagangan. Depresi Besar di tahun 1930-an memicu negara-negara untuk melindungi perekonomian domestik mereka masing-masing dengan menerapkan hambatan tarif yang tinggi dan pembatasan impor. Pada penghujung tahun 1930-an diwarnai oleh upaya perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat yang berorientasi ekspor berupaya untuk membebaskan hambatan perdagangan secara bertahap.110 Meskipun demikian, tuntutan untuk melindungi kepentingan ekonomi domestik masih menjadi pilihan dari pemerintah untuk tetap menerapkan hambatan tarif dalam perdagangan internasional. Pasca Depresi Besar, pada dasarnya lahir suatu pendekatan baru dalam kebijakan perdagangan Amerika Serikat.111 Atas permintaan dari Presiden Franklin Delano Roosevelt, Kongres memberlakukan suatu kebijakan yang dikenal dengan Reciprocal Trade Agreement Act (RTAA) di tahun 1934.112 Aturan awal dari RTAA ini memberikan wewenang bagi presiden untuk menjalin suatu kesepakatan tarif dengan negara lain dan mengurangi hambatan impor sampai dengan tidak lebih dari 50 persen.113 RTAA inilah yang kemudian menjadi landasan awal dari strategi liberalisasi perdagangan internasional oleh Amerika Serikat secara bilateral. Kegagalan pembentukan ITO kemudian menjadikan GATT sebagai landasan tata kelola baru perdagangan internasional pasca Perang Dunia II. Upaya liberalisasi perdagangan dari campur tangan pemerintah dalam bentuk hambatan tarif dijalankan melalui mekanisme kesepakatan longgar pada berbagai perundingan GATT. Bagi Amerika Serikat, terbentuknya GATT merupakan suatu bentuk strategi konversi pendekatan bilateral RTAA menjadi suatu sistem multilateral yang lebih luas berlandaskan pada prinsip non-diskriminasi dan pengurangan hambatan perdagangan.114 Negosiasi perdagangan internasional dijalankan melalui putaran-putaran perundingan di antara negara-negara anggota berlandaskan pada GATT. Putaran pertama GATT di Jenewa pada tahun 1947 menghasilkan 45.000 konsesi tarif di antara dua puluh tiga negara yang hadir.115 Amerika Serikat sendiri melakukan pengurangan tarif sekitar 20 persen pada putaran pertama perundingan GATT.116 Selama puluhan tahun, seiring dengan pertambahan jumlah anggotanya, GATT menjadi landasan pengaturan perdagangan keseluruhan dunia kecuali negara-negara komunis.117 Berdasarkan pada prinsip ”tertulis” resiproksitas dan keuntungan bersama, delapan putaran telah dilangsungkan melalui GATT untuk mengurangi secara substansial hambatan tarif dan hambatan lainnya terhadap perdagangan serta untuk menghapuskan tindakan ’diskriminatif’ dalam perdagangan internasion-
Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 180. Douglas A. Irwin, Free Trade Under Fire, Third Edition (Princeton: Princeton University Press, 2009), 220. 112 Douglas A. Irwin, Free Trade Under Fire, 220. 113 Douglas A. Irwin, Free Trade Under Fire, 220. 114 Douglas A. Irwin, Free Trade Under Fire, 222. 115 Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 183. 116 Douglas A. Irwin, Free Trade Under Fire, 223. 117 Joseph E. Stiglitz & Andrew Charlton, Fair Trade for All: How Trade Can Promote Development (Oxford: Oxford University Press, 2005), 41. 110 111
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
41
al. Berbagai kesepakatan yang menjadi landasan penciptaan perdagangan bebas tercipta melalui berbagai putaran GATT (lihat Tabel 2.1) yang diyakini oleh para pendukung perdagangan bebas telah menjadi landasan pertumbuhan perekonomian dunia pasca perang. 118
Tabel 2.1 Delapan Putaran Negosiasi Perdagangan di bawah GATT Year Place/Name Subjects covered Number of countries 1947-8 Geneva Tariffs 23 1949 Annecy Tariffs 13 1950-1 Torquay Tariffs 38 1956 Geneva Tariffs 26 1960-2 Dillon Round Tariffs 26 1963-7 Kennedy Round Tariffs and anti-dumping 62 measures 1973-9 Tokyo Round Tariffs, non-tariffs barriers 102 (NTBs), ‘framework’ agreements 1986-3 Uruguay Round Tariffs, NTBs, rules, ser123 vices, intellectual property, dispute settlement, textiles, agriculture, creation of WTO Sumber: Joseph E. Stiglitz & Andrew Charlton, Fair Trade for All: How Trade Can Promote Development (Oxford: Oxford University Press, 2005), 42. Sebagaimana dalam jejak penataan perekonomian dunia sebelumnya, negaranegara berkembang memainkan peranan yang kecil dalam tujuh putaran negosiasi perdagangan selama dua puluh tahun pertama GATT.119 Negara-negara berkembang lebih banyak mengkampanyekan suatu bentuk perlakukan khusus dalam perdagangan internasional terhadap mereka.120 Landasan perdagangan bebas melalui kesepakatan GATT pada dasarnya membawa dampak negatif bagi perekonomian dan mengandung suatu bentuk standar ganda negara-negara maju kepada negaranegara berkembang. Penerapan prinsip perdagangan bebas pada tahap awal dengan landasan pemikiran keuntungan komparatif telah membuat negara-negara berkembang terjebak dalam imbas negatif terms of trade. Spesialisasi produksi negaranegara berkembang pada komoditas dasar (bahan-bahan mentah) kenyataannya tidaklah membawa keuntungan, justru kerugian dalam beberapa aspek bagi negara berkembang. Keuntungan dari nilai tambah ekspor komoditas dasar tidaklah sebesar dibandingkan dengan produk-produk industri manufaktur berteknologi tinggi. Joseph E. Stiglitz & Andrew Charlton, Fair Trade for All, 41. Joseph E. Stiglitz & Andrew Charlton, Fair Trade for All, 42. 120 Joseph E. Stiglitz & Andrew Charlton, Fair Trade for All, 42. 118 119
42
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Selain itu, dengan mengandalkan ekspor komoditas dasar, neraca pembayaran negara-negara berkembang menjadi sangat tidak stabil dan rentan terhadap defisit. Sebagaimana terjadinya krisis utang di tahun 1980-an, defisit neraca pembayaran negara-negara berkembang, selain disebabkan oleh pembatasan ekspor oleh negara maju, lebih banyak disebabkan oleh ketergantungan negara-negara berkembang terhadap ekspor komoditas dasar. Kerugian perdagangan juga dirasakan negaranegara berkembang dengan karakteristik jumlah permintaan komoditas dasar yang tidak dipengaruhi oleh fluktuasi harga, yang berbeda dengan karakter komoditas industri manufaktur. Lima prinsip GATT dalam bentuk liberalisasi, akses pasar yang ‘setara’, ‘resiproksitas’, ‘non-diskriminasi dan transparansi’, pada kenyataannya hanya menjadi wujud standar ganda negara-negara maju dalam relasi dengan negara berkembang. Di satu sisi negara-negara maju menekan negara berkembang untuk menerapkan liberalisasi dengan menghapuskan subsidi khususnya di sektor pertanian. Kenyataannya praktik subsidi masih menjadi warna dominan pertanian di negara-negara maju. Satu dekade setelah Putaran Uruguay, lebih dari dua per tiga pendapatan pertanian Norwegia dan Swiss, lebih dari separuh pendapatan pertanian Jepang, dan sepertiga di Uni Eropa berasal dari subsidi.121 Beberapa produk pertanian tertentu, seperti gula dan beras, jumlah subsidi mencapai 80 persen dari pendapatan pertanian.122 Jumlah keseluruhan subsidi pertanian di Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang (termasuk subsidi tersembunyi seperti pengairan), jika tidak melebihi total pendapatan negara-negara di kawasan sub-Sahara Afrika, sedikitnya mencapai 75 persen dari pendapatan total kawasan tersebut.123 Kondisi ini sebagai hasilnya, sangat tidak memungkinkan bagi para petani di Afrika untuk dapat bersaing di pasar dunia.124 Bahkan seekor sapi di Eropa mendapatkan rata-rata subsidi US$ 2 per hari (jumlah yang menjadi ukuran kemiskinan oleh Bank Dunia), sementara lebih dari separuh penduduk di negara-negara berkembang hidup dengan pendapatan di bawah US$ 2 per hari.125 Penerapan standar ganda prinsip liberalisasi perdagangan melalui GATT selama ini kenyataannya menciptakan keterpurukan ekonomi negara-negara berkembang. Dalam kondisi seperti ini, seakan-akan lebih baik hidup sebagai seekor sapi di negara maju daripada menjadi manusia miskin di negara-negara berkembang.126 Berdirinya World Trade Organization (WTO) pada 1 Januari 1995, menjadi titik yang menandai suatu wujud formalisasi dan institusionalisasi perdagangan bebas dunia. Putaran Uruguay yang melahirkan WTO merupakan sebuah fase baru sejarah perdagangan dunia di dalam sebuah era baru globalisasi neoliberal.127 Putaran Uruguay berupaya untuk menghapuskan subsidi ekspor produk-produk pertanian dan tekstil. Negosiasi perdagangan pada putaran ini juga membahas persoalan hambatan-hambatan perdagangan yang bersifat non-tarif, aspek teknis perdagan Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Works (New York: W.W. Norton & Company, Inc., 2006), 85. 122 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Works, 85. 123 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Works, 85. 124 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Works, 85. 125 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Works, 85. 126 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Works, 85. 127 Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 185. 121
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
43
gan dan langkah-langkah investasi yang terkait dengan perdagangan (trade-related investment measures/TRIMs).128 Berbagai kesepakatan baru yang dicapai dalam Putaran Uruguay sebagian besar membawa dampak kerugian bagi perekonomian negara-negara berkembang terutama dengan diterapkan penghapusan subsidi ekspor produk-produk yang justru menjadi andalan dari negara-negara berkembang. Jika ditelaah secara kritis jejak sejarah terbentuknya WTO melalui Putaran Uruguay, kenyataannya memang tidak dapat dilepaskan dari kepentingan domestik dan internasional perdagangan Amerika Serikat. Putaran Uruguay yang melahirkan WTO tidak dapat dilepaskan dari persoalan defisit perdagangan yang dialami Amerika Serikat pada tahun 1980-an.129 Disparitas antara tabungan dan tingkat investasi dengan defisit fiskal dalam jumlah besar merupakan penyebab utama dari defisit perdagangan yang dialami oleh Amerika Serikat.130 Respon dari pemerintahan Reagan untuk mengatasi defisit perdagangan di tahun 1980-an berjalan dalam dua sisi.131 Pertama, secara bilateral, defisit yang terjadi dimanfaatkan untuk mengekstraksi konsesi perdagangan dari negara-negara secara individual, khususnya Jepang yang dituduh oleh Amerika Serikat menerapkan strategi kebijakan yang tidak adil.132 Kedua, secara multilateral, defisit dimanfaatkan untuk mendorong diselenggarakannya sebuah Putaran baru negosiasi perdagangan di dalam GATT.133 Defisit perdagangan menjadi bingkai dari negosiasi perdagangan pada Putaran Uruguay, di mana negara-negara lain diletakkan pada suatu posisi yang harus berhadapan dengan Amerika Serikat dan GATT untuk menghindari kebijakan-kebijakan yang bersifat proteksionis.134 Hasil dari kesepakatan perdagangan yang dicapai membawa dampak negatif yang besar bagi perekonomian negara-negara berkembang dan lebih banyak menguntungkan negara-negara industri maju.135 Melalui Putaran Uruguay, Amerika Serikat mendorong aturan GATT untuk menjamah bidang-bidang baru di mana Amerika Serikat memiliki keunggulan komparatif, yaitu dalam bidang jasa, kekayaan intelektual and investasi.136 Upaya negara-negara berkembang untuk melindungi kepentingan perdagangan mereka di dalam Putaran Uruguay melahirkan suatu kesepakatan yang dikenal dengan istilah “Grand Bargain.”137 Kesepakatan di antara negara-negara maju dan berkembang ini, di mana negara maju bersedia untuk secara bertahap menerapkan Multi-Fibre Agreement (MFA), memasukkan bidang tekstil dan pakaian ke dalam GATT, dan meliberalisasi perdagangan di bidang pertanian, sementara negara berkembang sepakat terhadap aturan di bidang jasa, perdagangan yang terkait dengan hak kekayaan intelektual (Trade Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition, 185. James Scott, “How the poor pay for the US trade deficit: And why it matters for the Doha Development Agenda,” dalam Donna Lee & Rorden Wilkinson, eds. The WTO after Hong Kong: Progress in, and prospect for, the Doha Development Agenda (London & New York: Routledge, 2007), 97-106. 130 James Scott, “How the poor pay for the US trade deficit, 97. 131 James Scott, “How the poor pay for the US trade deficit, 97. 132 James Scott, “How the poor pay for the US trade deficit, 97. 133 James Scott, “How the poor pay for the US trade deficit, 97. 134 James Scott, “How the poor pay for the US trade deficit, 97. 135 James Scott, “How the poor pay for the US trade deficit, 97. 136 James Scott, “How the poor pay for the US trade deficit, 102. 137 James Scott, “How the poor pay for the US trade deficit, 104. 128 129
44
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Related Intellectual Propoerty Rights/TRIPs) dan bidang perdagangan yang terkait dengan investasi (Trade-Related Investment Measures/TRIMs), serta akses pasar lebih besar untuk produk-produk non-agrikultur, merupakan sebuah bentuk kesepakatan yang tidak berimbang di antara kedua negara.138 Negara-negara berkembang mendapatkan keuntungan yang sangat terbatas dari Grand Bargain ini. Bahkan biaya yang dikeluarkan untuk implementasi kesepakatan tersebut sangatlah besar bagi negara berkembang. Implementasi dari kesepakatan tersebut dalam bentuk TRIPs, standar kesehatan dalam perdagangan (Sanitary and Phyto-Sanitary Standards) dan Custom Valuation, memakan biaya total sebesar US$ 150 juta, yang bernilai lebih dari total anggaran pembangunan dalam setahun penuh bagi banyak negara berkembang.139 Implementasi kesepakatan di bidang TRIPs sendiri telah menyebabkan terjadinya transfer langsung sebesar US$ 8,3 milyar dari negara-negara miskin dalam satu tahun kepada perekonomian hanya enam negara industri maju, dengan nilai yang diterima Amerika Serikat sendiri sebesar US$ 5,8 milyar.140 Dengan demikian, hasil kesepakatan untuk menyelesaikan persoalan defisit perdagangan Amerika Serikat dalam wujud ekstraksi konsensi dari negara berkembang melalui GATT telah menyebabkan perekonomian negara-negara berkembang menjadi semakin terpuruk. Grand Bargain sebagai buah dari Putaran Uruguay telah membawa kekecewaan besar bagi negara-negara berkembang. Sebagai imbasnya, lahir suatu sikap keraguan dari negara-negara berkembang terhadap manfaat dari negosiasi perdagangan multilateral, terutama ketika negara-negara maju menekan mereka untuk menerapkan standar tenaga kerja dalam kesepakatan-kesepakatan lanjutan.141 Seiring dengan sikap negara-negara berkembang seperti India, Brazil dan China yang menjadi lebih tegas di dalam WTO, negara-negara maju harus lebih peka terhadap keprihatinan mereka, jika tidak, negara-negara dapat menolak setiap gagasan kesepakatan baru.142 Perubahan ini membawa hasil diselenggarakannya suatu putaran negosiasi perdagangan baru di Qatar pada bulan November 2001, yang dikenal dengan Putaran Pembangunan Doha (Doha Development Round).143 Terkait dengan kekecewaan negara berkembang atas kesepakatan WTO, tujuan utama dari Putaran Doha diletakkan pada suatu upaya untuk memanfaatkan perdagangan guna mencapai tujuan-tujuan pembangunan negara-negara miskin.144 Agenda formal dari putaran ini mencakup enam bidang yang luas, meliputi pertanian, akses pasar nonpertanian, jasa, isu Singapura (transparansi pemerintah, fasilitasi perdagangan, investasi dan kebijakan persaingan), aturan, TRIPs dan isu-isu yang terkait dengan pembangunan.145 Kesepakatan pada keenam bidang ini berjalan dengan sangat alot dan diwarnai oleh tarik-menarik kepentingan negara maju dan berkembang. Sebagai contah, reformasi di bidang pertanian merupakan suatu tantangan politik besar 140 141 142 143 144 145 138 139
James Scott, “How the poor pay for the US trade deficit, 104. James Scott, “How the poor pay for the US trade deficit, 105. James Scott, “How the poor pay for the US trade deficit, 105. Douglas A. Irwin, Free Trade Under Fire, 232. Douglas A. Irwin, Free Trade Under Fire, 232. Douglas A. Irwin, Free Trade Under Fire, 232. Douglas A. Irwin, Free Trade Under Fire, 232. Douglas A. Irwin, Free Trade Under Fire, 232.
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
45
bagi Amerika Serikat dan Uni Eropa, sementara negara-negara berkembang menolak negosiasi dalam bidang investasi dan kompetisi.146 Sebagai hasilnya, Putaran Doha yang dijadwalkan berakhir pada 2005 diwarnai oleh sikap saling tuduh dan tenggat waktu yang tidak terpenuhi.147 Pasca Putaran Uruguay, negara-negara berkembang menjadi lebih tegas dalam melindungi kepentingan perdagangan mereka di dalam kesepakatan WTO. Suatu sikap yang memang harus muncul dari negara-negara berkembang dalam tata kelola perekonomian global. Selama puluhan tahun, negara-negara maju menanamkan kepentingan mereka sebagai landasan penataan ekonomi dunia. Berbagai kesepakatan yang muncul dalam tata kelola perekonomian dunia lebih banyak membawa manfaat kepada negara-negara maju, sementara negara-negara berkembang harus menanggung biaya besar dari kesepakatan yang tidak menguntungkan mereka. Selama lebih dari lima puluh tahun, sebagian besar ekspor dalam perdagangan internasional masih berasal dari negara maju (lihat Gambar 2.2). Hal ini mencerminkan tata kelola perekonomian dunia yang lebih mengedepankan kepentingan negaranegara maju dan tidak membawa pergeseran ekonomi ke arah yang lebih seimbang. Gambar 2.2 Sumber Eskpor Dunia 1953-2006
Sumber: WTO 2007, dikutip dari Bill Dunn, Global PoliticalEconomy: A Marxist Critique (London: Pluto Press, 2009), 182.
Kesepakatan Perdagangan Bebas (Free Trade Agreements/FTAs) dan Gelombang Kedua Regionalisme sebagai Wujud Transformasi Strategi Liberalisasi Kegagalan negosiasi perdagangan melalui skema multilateral WTO pada Putaran Doha, kenyataannya tidaklah menghentikan upaya liberalisasi mendalam perekonomian dunia melalui perdagangan. WTO hanyalah merupakan satu dari banyak strategi liberalisasi ekonomi, khususnya di bidang perdagangan oleh negara-negara maju, terutama Amerika Serikat. Sebagaimana telah disinggung sebel Douglas A. Irwin, Free Trade Under Fire, 232. Douglas A. Irwin, Free Trade Under Fire, 232.
146 147
46
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
umnya, pasca Perang Dunia II, terdapat dua strategi liberalisasi perdagangan yang dijalankan oleh Amerika Serikat di tingkat internasional, yaitu strategi bilateral dan multilateral melalui GATT yang kemudian diinstitusionalisasikan ke dalam WTO. Kemandegan negosiasi perdagangan di dalam WTO tidak bermakna terhentinya upaya liberalisasi perdagangan dunia oleh Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. Dekade pasca berakhirnya Perang Dingin, dunia menyaksikan beberapa bentuk intensifikasi strategi liberalisasi perdagangan baru. Pertama, intensifikasi mekanisme kesepakatan perdagangan bebas (Free Trade Agreements/FTAs) yang bersifat bilateral. Kedua, integrasi perekonomian kawasan yang berlandaskan pada perdagangan bebas (gelombang kedua regionalisme). Ketiga, kesepakatan perdagangan bebas antar kawasan (inter-regional free trade agreements). Sementara skema multilateral negosiasi perdagangan bebas melalui WTO mengalami kemandegan, ratusan kesepakatan bebas terjalin selama dua dekade terakhir. Setidaknya terdapat lebih dari 400 kesepakatan perdagangan bebas yang telah didaftarkan kepada WTO.148 Tiga per empat dari jumlah kesepakatan tersebut terjadi sejak tahun 1997.149 Seiring dengan fenomena tersebut, kesepakatan perdagangan bebas di tingkat kawasan (Regional Trade Agreements/RTAs) juga mengalami proliferasi dan telah menjadi ciri menonjol dari sistem perdagangan multilateral.150 Sampai dengan 31 Juli 2010, sedikitnya terdapat 474 kesepakatan perdagangan di tingkat regional yang didaftarkan ke WTO.151 Lebih dari separuh jumlah total tersebut merupakan RTAs yang telah berjalan (lihat Tabel 2.2). Jumlah kesepakatan perdagangan bebas ini menunjukkan peningkatan yang luar biasa dibandingkan pada periode 1948-1988 yang hanya terdapat sebanyak 80 kesepakatan.152
Mark Sloan, The Proliferation of World Wide Free Trade Agreements - What it Means for U.S. Business diakses dari http://www.glgroup.com/News/The-Proliferation-of-World-Wide-Free-Trade-Agreements---What-it-Means-for-U.S.-Businness-27247.html pada 8 Agustus 2010, 20.02 wib. 148
Mark Sloan, The Proliferation of World Wide Free Trade Agreements. Regional Trade Agreements, diakses dari http://www.wto.org/english/tratop_e/region_e/ region_e.htm pada 8 Agustus 2010, pukul 20.10 wib. 151 Regional Trade Agreements. 152 Mireya Solis & Saori N. Katada, “Explaining FTA Proliferation: A Policy Diffusion Framework,” dalam Mireya Solis, Barbara Stallings & Saori N. Katada, Competitive Regionalism: FTA Diffussion in the Pacific Rim (New York: Palgrave MacMillan, 2009), 1. 149 150
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
47
Tabel 2.2 Jumlah Regional Trade Agreements yang telah berjalan berdasarkan Jenis Kesepakatan GATT Enabling GATS Grand Type of Agreement Art. Clause Art. V Total XXIV Custom Union 6 9 15 Custom Union – Accession 0 6 6 Economic Integration 79 79 Agreement Economic Integration 3 3 Agreement – Accession Free Trade Agreement 9 155 164 Free Trade Agreement – 0 2 2 Accession Preperential Trade 14 14 Agreement Preperential Trade 1 1 Agreement – Accession 284 Grand Total 30 82 172 Sumber: http://rtais.wto.org/UI/publicsummarytable.aspx
Sumber: Masahisa Fujita, Satoru Kumagai & Koji Nishikimi, eds., Economic Integration in East Asia: Perspectives from Spatial and Neoclassical Economics (Massachusetts: Edward Elgar Publishing, Inc., 2008), 2.
Gambar 2.3 Area Perdagangan Bebas Dunia
48 Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
49
Skema bilateral kesepakatan perdagangan merupakan suatu bentuk strategi yang telah lama digunakan oleh Amerika Serikat untuk membebaskan perdagangan dari campur tangan pemerintah. Menjelang akhir Depresi Besar di tahun 1930an, pemerintah Amerika Serikat telah menciptakan suatu landasan kesepakatan perdagangan bebas bilateral dengan negara lain dalam wujud Reciprocal Trade Agreement Act (RTAA) di tahun 1934.153 Pasca berakhirnya Perang Dingin, strategi liberalisasi perdagangan bilateral ini menjadi salah satu ciri dominan kebijakan perdagangan Amerika Serikat di tingkat internasional, selain daripada strategi multilateral dan regional. Selama dua dekade terakhir Amerika Serikat merupakan negara yang sangat gencar menjalin kesepakatan perdagangan bebas dengan negara-negara lain secara bilateral terutama negara-negara mitra dagang utamanya di dunia (lihat Gambar 2.3). Pada tahun 2001, terjadi suatu pergeseran kebijakan perdagangan Amerika Serikat yang mengarah kepada ”liberalisasi kompetitif,” yaitu negosiasi bilateral kesepakatan perdagangan bebas (FTAs) dengan negara-negara lain guna merangsang kesepakatan di bidang-bidang perdagangan lainnya.154 Berlandaskan pada kebijakan liberalisasi kompetitif ini, FTAs menjadi batu pijakan bagi strategi perdagangan Amerika Serikat di tingkat internasional. Pada tahapan awal kebijakan FTA sangat aktif digalangi oleh Amerika Serikat dengan Meksiko dan Chili yang kemudian memicu tumbuhnya kesepakatan dengan negara-negara di kawasan Amerika Latin lainnya dan dengan Eropa.155 Kemudian FTA mengalami proliferasi dengan terjalinnya kesepakatan perdagangan dengan negara-negara di Asia Timur dan Tenggara. Fenomena proliferasi FTA selama tiga dekade terakhir juga menunjukkan suatu fenomena menarik di mana negara-negara berkembang semakin terintegrasi di dalamnya. Sampai dengan akhir tahun 1980-an, sebagian besar FTA melibatkan negara-negara industri maju.156 Setelah itu, muncul keberagaman kesepakatan perdagangan yang dijalin melalui FTA, yaitu kesepakatan perdagangan Utara-Selatan dan Selatan-Selatan.157 Pada tahun 2000-an misalnya, dari 113 FTA yang didaftarkan ke WTO, 50 (44%) di antaranya merupakan kesepakatan di antara negara-negara maju dan negara berkembang, 34 (30%) kesepakatan terjalin di antara sesama negara berkembang (lihat gambar 2.5).158 Fenomena baru juga memperlihatkan meningkatnya ketertarikan negara-negara industri maju untuk menjalin kesepakatan perdagangan bebas bilateral dengan negara-negara miskin di dunia.159
Douglas A. Irwin, Free Trade Under Fire, 220. Mireya Solis & Saori N. Katada, “Explaining Framework,” 7. 155 Mireya Solis & Saori N. Katada, “Explaining Framework,” 7. 156 Mireya Solis & Saori N. Katada, “Explaining Framework,” 10. 157 Mireya Solis & Saori N. Katada, “Explaining Framework,” 10. 158 Mireya Solis & Saori N. Katada, “Explaining Framework,” 10. 159 Mireya Solis & Saori N. Katada, “Explaining Framework,” 10. 153 154
FTA Proliferation: A Policy Diffusion FTA Proliferation: A Policy Diffusion FTA Proliferation: A Policy Diffusion FTA Proliferation: A Policy Diffusion FTA Proliferation: A Policy Diffusion FTA Proliferation: A Policy Diffusion
Sumber: Corbridge, Debt and Development (Oxford: Blackwell, 1993), dikutip dalam David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2007).
Gambar 2.4 Kesepakatan Perdagangan Bebas dan 50 Peringkat Atas Pasar Ekspor Dunia
50 Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
51
Gambar 2.5 Kemitraan FTA Negara Maju dan Berkembang
Sumber: Mireya Solis & Saori N. Katada, “Explaining FTA Proliferation: A Policy Diffusion Framework,” dalam Mireya Solis, Barbara Stallings & Saori N. Katada, Competitive Regionalism: FTA Diffussion in the Pacific Rim (New York: Palgrave MacMillan, 2009), 11. Gambar 2.6 Difusi FTA 1948-2008: Kurva-S
Sumber: Mireya Solis & Saori N. Katada, “Explaining FTA Proliferation: A Policy Diffusion Framework,” dalam Mireya Solis, Barbara Stallings & Saori N. Katada, Competitive Regionalism: FTA Diffussion in the Pacific Rim (New York: Palgrave MacMillan, 2009), 10.
52
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Berlandaskan pada strategi liberalisasi kompetitif, Amerika Serikat menjadi motor penggerak dari proliferasi FTA di dunia. Pasca disahkannya kesepakatan perdagangan bebas bilateral Amerika Serikat dengan Chili, sejumlah kesepakatan baru dengan negara-negara berkembang mengikutinya (lihat Tabel 2.3). Kepentingan perdagangan internasional Amerika Serikat sangat melekat di balik strategi FTA berlandaskan liberalisasi kompetitif ini. Hal ini tercermin dari kriteria negara yang dapat menjadi mitra Amerika Serikat dalam skema FTA. Pertama, kesepakatan perdagangan bebas tersebut harus mendapatkan dukungan penuh dari kongres dan konstituen sektor swasta mereka.160 Kedua, kesepakatan tersebut harus memajukan kepentingan perdagangan dan investasi Amerika Serikat, melalui peningkatan akses pasar; menciptakan ruang bagi kepentingan perusahaan, pekerja dan petani Amerika Serikat; dan negara tersebut harus mendukung tujuan-tujuan Amerika Serikat di dalam WTO.161 Ketiga, bersedia untuk melakukan reformasi perdagangan dan regulasi yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan yang diberikan oleh Amerika Serikat.162 Terakhir, FTA yang dijalin harus sejalan dengan kepentingan politik luar negeri Amerika Serikat, yang merupakan wujud nyata dari implementasi diplomasi stick and carrot.163 Kesepakatan perdagangan bebas Amerika Serikat dengan Israel di tahun 1984 merupakan wujud dari penerapan diplomasi ini sejalan kepentingan Amerika Serikat di Timur Tengah.164 Begitu juga halnya dengan FTA Amerika Serikat-Singapura dan Amerika Serikat-Australia di tahun 2003 dan 2004 yang merupakan imbalan bagi dukungan kedua negara tersebut terhadap invasi Amerika Serikat ke Irak.165 Mengikuti jejak Amerika Serikat, dua dekade pasca berakhirnya Perang Dingin juga menyaksikan proliferasi FTA oleh negara-negara maju lainnya, terutama yang dilakukan oleh Jepang dan Uni Eropa. Dalam waktu yang relatif cepat, Jepang telah membangun jejaring FTA dengan banyak negara di dunia. Sampai dengan Februari 2009, telah terdapat sembilan FTA Jepang dengan berbagai negara di dunia yang telah berjalan (Singapura, Meksiko, Malaysia, Chile, Thailand, Brunei, Indonesia, Filipina, dan ASEAN).166 Jepang juga telah menandatangani kesepakatan perdagangan preferensial dengan Vietnam dan Swis.167 Negara ini juga berpartisipasi Cintia Quiliconi & Carol Wise, “The US as a Bilateral Player: The Impetus for Asymmetric Free Trade Agreement,” dalam Mireya Solis, Barbara Stallings & Saori N. Katada, Competitive Regionalism: FTA Diffussion in the Pacific Rim (New York: Palgrave MacMillan, 2009), 100-101. 161 Cintia Quiliconi & Carol Wise, “The US as a Bilateral Player: The Impetus for Asymmetric Free Trade Agreement,” 101. 162 Cintia Quiliconi & Carol Wise, “The US as a Bilateral Player: The Impetus for Asymmetric Free Trade Agreement,” 101. 163 Cintia Quiliconi & Carol Wise, “The US as a Bilateral Player: The Impetus for Asymmetric Free Trade Agreement,” 101. 164 Cintia Quiliconi & Carol Wise, “The US as a Bilateral Player: The Impetus for Asymmetric Free Trade Agreement,” 115. 165 Cintia Quiliconi & Carol Wise, “The US as a Bilateral Player: The Impetus for Asymmetric Free Trade Agreement,” 113. 166 Mireya Solis, “Japan’s Competitive FTA Strategy; Commercial Opportunity versus Political Rivalry,” dalam Mireya Solis, Barbara Stallings & Saori N. Katada, Competitive Regionalism: FTA Diffussion in the Pacific Rim (New York: Palgrave MacMillan, 2009), 199. 167 Mireya Solis, “Japan’s Competitive FTA Strategy; Commercial Opportunity versus Po160
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
53
aktif di dalam negosiasi the Gulf Cooperation Council (GCC), Australia dan India.168 Tabel 2.3 Kesepakatan Perdagangan Bebas Amerika Serikat (sampai dengan Maret 2009) Regional, Negotiations Negotiations Agreements ratified bilateral and underway concluded and by both congress multilateral or beginning bills pending shortly ratifications Multilateral WTO (Doha NAFTA with Canada Round) and Mexico, 1994 Carribean Basin Trade Partnership Act (2000) Andean Trade Promotion and Drug eradication Act (ATPDEA, 2002, renewed in 2008) Western FTAA (staleColumbia (2006) Chile (2004) Hemisphere mate) Panama (2006) Central America-DoEquador minican (suspended) Republic (CAFTADR)-US (US FTA completed with El Savador. Guatemala, Honduras, and Nicaragua, 2006) Costa Rica (2009) Peru (2009) African and South African Israel (1985) the Middle Customs Jordan (2001) East Union Bahrain (2006) United Arab Morocco (2006) Emirates Oman (2006) Asia and Ocea- Malaysia Republic of Australia (2005) nia Thailand Korea (2007) Singapore (2004) Sumber: Cintia Quiliconi & Carol Wise, “The US as a Bilateral Player: The Impetus for Asymmetric Free Trade Agreement,” dalam Mireya Solis, Barbara Stallings & Saori N. Katada, Competitive Regionalism: FTA Diffussion in the Pacific Rim (New York: Palgrave MacMillan, 2009), 101. litical Rivalry,” 199. 168 Mireya Solis, “Japan’s Competitive FTA Strategy; Commercial Opportunity versus Political Rivalry,” 199.
54
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Dengan demikian, mandegnya strategi liberalisasi perdagangan pada tataran multilateral WTO tidak bermakna terhentinya geliat liberalisasi perdagangan di dunia. Justru kemandegan ini melahirkan ledakan kesepakatan perdagangan bebas bilateral dalam jumlah yang sangat besar. Yang menjadi persoalan bagi negaranegara berkembang dalam skema kesepakatan perdagangan bebas bilateral ini terletak pada pola relasi yang tidak seimbang (asimetris) dalam FTA dengan negaranegara maju. Sehingga tidak heran dalam kenyataannya berbagai harapan tertulis dari kesepakatan perdagangan bebas membawa dampak negatif bagi perekonomian negara-negara berkembang. Suatu hal yang sangat sulit bagi perekonomian negaranegara berkembang untuk dapat menghasilkan produk-produk yang dapat menembus pasar di negara-negara maju. Sementara itu, kualitas produk negara maju dengan standar yang tinggi dapat dengan mudah menembus pasar negara-negara berkembang. Kondisi ini kemudian diperparah lagi dengan berbagai bentuk hambatan yang bersifat non-tarif, yang semakin mempersulit produk negara berkembang untuk memasuki pasar negara maju. Sebagai konsekuensinya, proliferasi FTA yang terjadi selama dua dekade terakhir hanyalah menjadi wujud transformasi strategi negara-negara maju untuk melindungi dan memperluas pencapaian kepentingan mereka di tingkat internasional. Perjalanan sejarah perdagangan internasional selama dua dekade terakhir juga menyaksikan gelombang kedua regionalisme sebagai bagian dari transformasi strategi liberalisasi perekonomian dunia. Gelombang kedua regionalisme atau yang dikenal juga dengan istilah regionalisme baru (new regionalism), merupakan suatu fenomena integrasi kawasan pasca berakhirnya Perang Dingin, yang memiliki ciri yang sangat berbeda dengan era regionalisme sebelumnya.169 Fenomena regionalisme baru ini sangat terkait dengan akselerasi globalisasi. Globalisasi ekonomi neoliberal, dengan penekanan pada liberalisasi perdagangan dan deregulasi finansial internasional, sejalan dengan geliat aktifitas lintas batas, telah melahirkan suatu tantangan bagi peranan sentral negara-bangsa dalam berbagai aspek.170 Ruang dan institusi regional kemudian mulai memainkan peranan penting dalam struktur tata kelola internasional yang berlapis.171 Eratnya pengaruh neoliberalisme dalam integrasi kawasan pasca Perang Dingin, menjadikan fenomena regionalisme baru disebut oleh banyak pemikir sebagai wujud kombinasi antara regionalisme dan adopsi strategi pembangunan neoliberal.172 Integrasi perekonomian menuju terwujudnya sebuah pasar tunggal (single market) di kawasan merupakan salah satu ciri utama dari regionalisme baru. Berlandaskan pada implementasi prinsip-prinsip liberal, kawasan di berbagai belahan dunia mengintegrasikan perekonomian. Sebagaimana proliferasi FTA, regionalisme baru tidak hanya menyatukan perekonomian negara-negara yang berada pada tingkat yang setara, di antara sesama negara maju sebagaimana halnya Uni Eropa. Region Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order: Europe and Southeast Asia (Hampshire &Burlington: Ashgate, 2007), 2. 170 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 29. 171 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 29. 172 Paul Bowles, “Regionalism and development after(?) the global financial crises,” dalam Shaun Breslin, Christopher W. Hughes, Nicola Phillips & Ben Rosamond, eds. New Regionalisms in the Global Political Economy: Theory and Cases (London & New York: Routledge, CSGR, 2002), 81. 169
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
55
alisme baru juga mengintegrasikan perekonomian sesama negara berkembang dan di antara negara maju dan berkembang. Dengan kata lain, integrasi regional mencakup variasi perekonomian negara-negara yang berbeda. Kenyataannya, tidak jauh berbeda dengan implementasi FTA, perekonomian negara-negara berkembang yang tidak memiliki kesiapan merasakan dampak yang negatif dari integrasi kawasan dalam skema baru ini. Komitmen kuat terhadap prinsip neoliberalisme menjadi landasan dalam integrasi tanpa memperhitungkan kesiapan perekonomian domestik dalam menghadapi goncangan liberalisasi dan kompetisi dalam ranah yang tidak setara. Sebagai suatu transformasi strategi liberalisasi, kesepakatan perdagangan bebas di tingkat kawasan (Regional Trade Agreements/ RTAs), dapat dikatakan berjalan efektif di tengah kemandegan strategi multilateral WTO. Sebagian besar negara di dunia tergabung di dalam suatu kesepakatan perdagangan bebas regional (lihat Tabel 2.4). Meskipun terdapat suatu kekhawatiran dari para pendukung liberalisme bahwa maraknya RTAs dapat menyebabkan terjadinya persaingan tidak sehat antar kawasan, namun kenyataannya RTAs tidak berjalan dalam suatu pola yang eksklusif. Justru regionalisme baru merupakan suatu wujud regionalisme terbuka yang mendorong juga terjadinya proliferasi kesepakatan perdagangan bebas lintas kawasan atau suatu bentuk kesepakatan perdagangan bebas antara suatu kawasan dengan satu negara tertentu. Tabel 2.4 Kesepakatan Perdagangan Kawasan sampai dengan tahun 2005
Sumber: The World Bank, Global Economic Prospects: Trade, Regionalism and Development 2005 (Washington D.C.: The World Bank, 2005), 30.
56
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Keterpurukan Ekonomi, Buah Liberalisasi Perekonomian NegaraNegara Berkembang Sejarah panjang tata kelola perekonomian dunia yang berlandaskan pada prinsip liberalisme telah membawa lebih banyak dampak negatif terhadap perekonomian negara-negara berkembang. Berbagai kemasan liberalisasi, baik dalam bentuk program penyesuaian struktural ala IMF dan Bank Dunia, liberalisasi perdagangan multilateral WTO, kesepakatan perdagangan bebas bilateral (FTAs) ataupun dalam skema regionalisme baru, kenyataannya tidak membawa perubahan positif yang signifikan bagi negara berkembang. Pil pahit harus ditelan negara-negara berkembang dengan mengintegrasikan diri ke dalam tata kelola perekonomian global yang berlandaskan pada liberalisme. Secara keseluruhan, implementasi liberalisme dalam tata kelola perekonomian global telah sangat jelas merupakan wujud strategi bagi pencapaian kepentingan negara-negara maju. Penataan ekonomi global yang berlandaskan pada liberalisme kenyataannya telah gagal dalam menciptaan suatu kemajuan ekonomi yang merata di dunia. Sampai dengan tahun 2004, sebagian besar dari output industri, tepatnya sebesar 71 persen, masih dikuasai negara-negara industri maju dengan total populasi hanya sebesar 14 persen dari total populasi dunia (Lihat Gambar 2.7).173 Sementara itu, sebagian besar populasi dunia (86 persen) harus berbagai keuntungan dari output industri yang hanya sebesar 29 persen. Yang lebih menyedihkan, negara-negara maju tidak hanya mendominasi output industri dunia, akan tetapi juga sebagian besar output pertanian yang menjadi andalan ekonomi negara-negara berkembang. Gambar 2.7 Persentase Output Ekonomi dan Populasi Dunia berdasarkan GDP per Kapita Negara tahun 2004
Sumber: Bill Dunn, Global Political Economy: A Marxist Critique (London: Pluto Press, 2009), 163. Bill Dunn, Global Political Economy, 163.
173
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
57
Ketimpangan ekonomi dunia ini terjadi tidak terlepas dari implementasi prinsip liberalisme dalam tata kelola perekonomian dunia pasca perang. Program penyesuaian struktural yang diterapkan IMF dan Bank Dunia di negara-negara berkembang memberikan kontribusi besar bagi kemandegan kemajuan ekonomi negara-negara berkembang. Bahkan implementasi neoliberalisme sebagai bentuk metamorfosa liberalisme di tahun 1980-an menjadi tersangka utama di balik keterpurukan dan kerentanan perekonomian negara-negara berkembang terhadap krisis yang secara periodik terjadi di berbagai belahan dunia. Krisis utang dan dampaknya terhadap kerentanan perekonomian negara-negara berkembang telah menjadi stimulus bagi penyebaran “revolusi” ekonomi ala Thacther/Reagan di tahun 1970-an dan 1980-an.174 Melalui IMF, berbagai kebijakan stabilisasi ekonomi yang dikemas dalam program penyesuaian struktural yang menekankan kepada disiplin moneter dan fiskal ketat, dijadikan sebagai kondisionalitas bagi negara-negara pengutang untuk menciptakan keseimbangan neraca pembayaran jangka pendek.175 Kondisionalitas ini menjadi kunci bagi IMF dalam menentukan arah pembangunan negara-negara berkembang selama puluhan tahun. Kondisionalitas di sini bermakna suatu bentuk persetujuan dari IMF terhadap program kebijakan yang diajukan oleh negara-negara berkembang untuk mendapatkan kucuran dana.176 Melalui kondisionalitas inilah implementasi doktrin neoliberalisme mengalami proliferasi di negara-negara berkembang yang mengalami kesulitan neraca pembayaran. Kondisi perekonomian negara-negara berkembang sampai detik ini pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari implikasi penerapan kondisionalitas yang berbasiskan pada neoliberalisme. Selama puluhan tahun kiprah IMF sebagai institusi finansial internasional telah terdapat ratusan program neoliberalisme yang diterapkan di negara-negara berkembang. Sebagian besar negara-negara berkembang yang menjadi anggota IMF telah menjalani program reformasi perekonomian di bawah panduan institusi finansial internasional tersebut (lihat Tabel 2.5 dan Gambar 2.8). Misalnya, dalam kurun waktu 29 tahun (1970-1999), sedikitnya tercatat sebanyak 854 program IMF yang disepakati di berbagai negara, terutama negara-negara berkembang.177 IMF memiliki beragam bentuk program atau fasilitas yang ditawarkan dalam misi “penyelamatan” ekonomi negara-negara berkembang, dimulai dari penarikan dana di IMF, pinjaman siaga (stand-by credit), fasilitas pinjaman yang diperluas (extended fund facility) sampai kepada fasilitas transformasi sistemik (systemic transformation facility).178 Akan tetapi, beragam fasilitas ini memiliki inti yang sama, yaitu berlandaskan pada neoliberalisme. Hanya saja, skala dan intensitasnya SAPRIN, Structural Adjustment: The SAPRI Report The Policy Roots of Economic Crisis, Poverty and Inequality (London & New York: Zed Books, Ltd., 2004), 1. 175 SAPRIN, Structural Adjustment, 2. 176 Allan Drazen, “Conditionality and ownership in IMF lending: A political economy approach,” dalam Gustav Ranis, James Raymond Vreeland & Stephen Kosack, Globalization and the Nation-State: The Impact of the IMF and the World Bank (London & New York: Routledge, 2006), 51. 177 Michael Hutchison, A Cure Worse than the Disease?, 11. 178 Tony Killick, IMF Programmes in Developing Countries: design and impact (London & New York: Routledge, 1995), 9-11. 174
58
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
berbeda, terkait dengan kedalaman krisis yang dialami oleh negara-negara berkembang. Kondisionalitas yang diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk fasilitas inilah yang kemudian menjadi instrumen bagi IMF untuk mengendalikan reformasi perekonomian negara-negara berkembang berlandaskan pada prinsip neoliberalisme. Penerapan kondisionalitas dalam bentuk program-program penyesuaian struktural ini memicu berbagai penentangan dari berbagai ekonom di dunia. Secara formal, IMF memang diberikan mandat di dalam Piagamnya untuk menerapkan kondisionalitas di negara-negara yang menjalani program pinjaman. Terdapat dua tujuan dari kondisionalitas ini secara formal. Pertama, untuk memastikan bahwa dana IMF yang dipinjamkan tersebut digunakan untuk memberikan manfaat bagi negara peminjam.179 Kedua, untuk memastikan bahwa IMF beroperasi dalam mekanisme perputaran dana yang menguntungkan seluruh anggotanya.180 Akan tetapi, dalam implementasinya, kondisionalitas dalam wujud kebijakan penyesuaian struktural ini lebih banyak memenuhi tujuan untuk mengimplementasikan prinsip neoliberalisme. Evaluasi yang dilakukan terhadap program penyesuaian struktual IMF di negara-negara berkembang memperlihatkan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut secara nyata dirancang untuk membuka pasar dan meminalisir peranan negara di dalam perekonomian.181 Bahkan, terkait dengan Washington Consensus dan upaya pencapaian kepentingan segelintir aktor dalam tata kelola perekonomian global, kebijakan penyesuaian struktural telah menjadi satu-satunya strategi ekonomi yang dapat diterima oleh Departemen Keuangan Amerika Serikat, institusi finansial internasional (IMF dan Bank Dunia) dan lembaga-lembaga kreditor internasional.182
James M. Boughton, “Who’s in charge? Ownership and conditionality in IMF-supported programs,” dalam Gustav Ranis, James Raymond Vreeland & Stephen Kosack, Globalization and the Nation-State: The Impact of the IMF and the World Bank (London & New York: Routledge, 2006), 19. 180 James M. Boughton, “Who’s in charge?, 19. 181 SAPRIN, Structural Adjustment, 2. 182 SAPRIN, Structural Adjustment, 2-3. 179
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
59
Gambar 2.8 Sejarah Pinjaman IMF – Dana Pinjaman IMF dalam Proporsi Eskpor Dunia 1948-2006
Sumber: Harold James, “Bretton Woods and the Debate about Development,” dalam James M. Boughton & Domenico Lombardi, Finance, Development and the IMF (Oxford: Oxford University Press, 2009), 35.
Tabel 2.5 Kesepakatan IMF - Negara-Negara Anggota, Jumlah Kesepakatan dan Dana yang Dialokasikan, Negara-Negara Berkembang dan Transisi Periode 1988/1989 - 1992/1993
60 Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Sumber: Tony Killick, IMF Programmes in Developing Countries: design and impact (London & New York: Routledge, 1995), 4-5.
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi 61
62
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Kuantitas dan intensitas implementasi dari kebijakan penyesuaian struktural berlandaskan neoliberalisme oleh IMF, Bank Dunia dan lembaga kreditor internasional, dengan demikian tidak dapat dipungkiri telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi perekonomian negara-negara berkembang. Terdapat beragam literatur yang berisikan laporan penelitian terhadap evaluasi dampak implementasi program penyesuaian struktural dalam perekonomian negara-negara berkembang. Sebagian besar data memperlihatkan betapa besar dampak negatif dari implementasi neoliberalisme ini terhadap perekonomian negara-negara berkembang. Salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh the Structural Adjustment Participatory Review International Network (SAPRIN) melalui Structural Adjustment Participatory Review Iniative (SAPRI) atau Citizen’s Assessment of Structural Adjustment (CASA), bahkan menilai serangkaian kebijakan penyesuaian struktural yang dipaksakan oleh IMF, Bank Dunia dan lembaga kreditor internasional di negara-negara berkembang, merupakan akar dari krisis ekonomi, lestarinya kemiskinan dan ketidaksetaraan di dunia.183 Studi kasus yang dilakukan oleh SAPRIN/CASA di berbagai negara berkembang menguraikan dampak dari kebijakan-kebijakan turunan dari neoliberalisme yang diterapkan di negara-negara berkembang. Dalam studi kasus SAPRIN atas pengalaman Bangladesh, Ekuador, Ghana, Hungaria, Meksiko, Filipina dan Zimbabwe, memperlihatkan dampak negatif dari kebijakan liberalisasi perdagangan di bawah skema program penyesuaian struktural IMF dan Bank Dunia terhadap sektor manufaktur di negara-negara tersebut. Liberalisasi perdagangan merupakan elemen yang melekat dalam paket penyesuaian struktural yang dikedepankan oleh institusi Bretton Woods. Kebijakan ini merupakan pengejawantahan dari pemikiran ekonomi neoklasik atau neoliberal, terkait dengan keyakinan bahwa elastisitas tinggi relatif dari pasokan barang dan jasa akan memicu investasi yang cepat dalam jumlah besar investasi dan output ekonomi di bawah pasar bebas.184 Para pendukung neoliberal juga percaya bahwa liberalisasi perdagangan dapat menciptakan spesialisasi dan alokasi efisien sumber daya yang dimiliki.185 Selain itu, liberalisasi perdagangan juga diasumsikan dapat mensejahterakan konsumen dan mengurangi angka kemiskinan seiring dengan terbuka ruang pilihan kualitas barang bagi konsumen.186 Namun kenyataannya, kaitan antara perdagangan bebas dengan kesejahteraan masyarakat tidak berjalan secara otomatis sebagaimana diasumsikan oleh para pemikir neoliberal. Implementasi perdagangan bebas di tengah kondisi perdagangan dunia tidak setara, masih adanya manipulasi dan monopoli serta kompetisi yang tidak sempurna, ditambah lagi dengan ketiadaan institusi atau kebijakan yang dapat menjamin distribusi yang merata, justru bermuara pada meningkatnya angka kemiskinan dan kesulitan ekonomi bagi negara-negara berkembang.187 Bahkan hasil dari evaluasi dampak yang dilakukan oleh SAPRIN menyimpulkan bahwa jika harapan akan terwujudnya suatu pembangunan yang bermakna bagi negara-negara berkembang untuk menghapuskan kemiskinan dan ketimpangan ingin tercapai, SAPRIN, Structural Adjustment: The SAPRI Report The Policy Roots of Economic Crisis, Poverty and Inequality (London & New York: Zed Books, Ltd., 2004). 184 SAPRIN, Structural Adjustment, 37. 185 SAPRIN, Structural Adjustment, 37. 186 SAPRIN, Structural Adjustment, 37. 187 SAPRIN, Structural Adjustment, 37. 183
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
63
maka doktrin ekonomi neoliberal dan kebijakan penyesuaian struktural ala Barat harus disingkirkan dari negara-negara berkembang. Sebagian besar dari tujuh negara yang dievaluasi melalui SAPRI/CASA (Bangladesh, Ekuador, Ghana, Hungaria, Meksiko, Filipina dan Zimbabwe), mengimplementasikan liberalisasi perdagangan pada pertengahan atau akhir tahun 1980-an dan berlanjut sampai awal tahun 1990-an. Karakteristik perdagangan dari negaranegara ini diwarnai oleh tingginya nilai impor barang-barang di atas level ekspor.188 Melalui program penyesuaian struktural IMF dan Bank Dunia, berbagai instrumen liberalisasi perdagangan diimplementasikan di negara-negara ini. Sebagian besar instrumen tersebut dijalankan dalam bentuk pengurangan tarif, liberalisasi impor dengan dibukanya pasar domestik, deregulasi aturan yang membatasi perdagangan dan penghapusan subsidi (untuk lebih jelas dapat dilihat dari Tabel 2.6).
SAPRIN, Structural Adjustment, 37.
188
64
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme Tabel 2.6 Skenario Liberalisasi Perdagangan di Negara-Negara SAPRI/CASA
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
65
Sumber: SAPRIN, Structural Adjustment: The SAPRI Report The Policy Roots of Economic Crisis, Poverty and Inequality (London & New York: Zed Books, Ltd., 2004), 41-42. Implementasi dari kebijakan liberalisasi one-size-fits-all ala IMF dan Bank Dunia di ketujuh negara tersebut membawa dampak yang beragam. Harapan dari pendukung neoliberalisme bahwa liberalisasi perdagangan dapat memicu terjadinya pertumbuhan ekspor, pada kenyataannya memang terjadi, akan tetapi dalam jumlah yang sangat terbatas dan pertumbuhan ekspor bertumpu pada produk-produk yang berbasis sumber daya alam dan produksi tenaga kerja berketrampilan rendah.189 Lebih lagi, pertumbuhan eskpor ini dibarengi oleh pertumbuhan impor dan penu SAPRIN, Structural Adjustment, 48.
189
66
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
runan keuntungan dikarenakan persoalan terms of trade. Hasil pertumbuhan ekspor ini tidak sebanding dengan dampak negatifnya dalam bentuk defisit neraca perdagangan dan pembayaran yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan jumlah utang luar negeri.190 Kondisi ini diperparah lagi dengan proliferalisasi perdagangan informal dalam bentuk penyelundupan, yang berjalan paralel dengan implementasi liberalisasi perdagangan.191 Dampak negatif yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian negara-negara berkembang sebagai imbas dari liberalisasi perdagangan ini terletak pada sektor manufaktur. Berdasarkan analisis SAPRI/CASA, aktifitas manufaktur mendapatkan dampak yang sangat signifikan, yang memicu terjadinya kontraksi produktifitas, pemutusan hubungan kerja dan bahkan kebangkrutan.192 Industri manufaktur di Ekuador misalnya, mengalami penurunan ekspor manufaktur sebesar 40 persen selama tahun 1980-an, tepatnya sebesar US$626 juta di tahun 1980 merosot menjadi US$367 juta di tahun 1990.193 Kondisi ini, sebagai imbas dari liberalisasi perdagangan, alih-alih dapat meningkatkan kemampuan pembayaran kembali utang luar negeri, justru sebaliknya berdampak pada meningkatnya beban utang luar negeri.194 Rasio utang luar negeri dengan total ekspor Ekuador mengalami peningkatan luar biasa, dari sebesar 183 persen di tahun 1980 menjadi 490 persen di tahun 1990.195 Situasi serupa dialami oleh Zimbabwe. Produksi manufaktur menjadi korban utama dari liberalisasi perdagangan yang diterapkan pada tahun 1991, dengan penurunan jumlah output produksi sebesar lebih dari 20 persen.196 Selama kurun waktu 1990-an, untuk pertama kalinya sejak tahun 1960, kontribusi sektor manufaktur terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) Zimbabwe mengalami penurunan sampai sebesar 16 persen.197 Bandingkan dengan kontribusi rata-rata sebesar di tahun 1970-an dan 1980-an.198 Sektor manufaktur Zimbabwe mengalami stagnasi sejak diluncurkannya program penyesuaian struktural ekonomi (Economic Structural Adjustment Program/ESAP) dan kebijakan penghapusan kontrol impor.199 Kisah menyedihkan dialami Hungaria sebagai dampak dari liberalisasi perdagangan dengan matinya puluhan ribu usaha kecil dan menengah. Sektor yang menyediakan lapangan pekerjaan sebesar 70 persen dari total tenaga kerja Hungaria ini tidak memiliki waktu dan mendapatkan dukungan yang cukup untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam bersaing dengan impor pangan murah berkualitas tinggi.200 Meksiko juga harus menelan pil pahit yang sama dengan Hungaria. SAPRI/CASA di tahun 1998 memperlihatkan data bahwa terdapat sebesar 17.000 sampai 20.000 usaha kecil dipaksa jatuh ke jurang kebangkrutan sebagai hasil
192 193 194 195 196 197 198 199 200 190 191
SAPRIN, Structural Adjustment, 48. SAPRIN, Structural Adjustment, 48. SAPRIN, Structural Adjustment, 49. SAPRIN, Structural Adjustment, 49. SAPRIN, Structural Adjustment, 49. SAPRIN, Structural Adjustment, 49. SAPRIN, Structural Adjustment, 54. SAPRIN, Structural Adjustment, 54. SAPRIN, Structural Adjustment, 54. SAPRIN, Structural Adjustment, 54. SAPRIN, Structural Adjustment, 56.
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
67
dari liberalisasi sektor perdagangan dan finansial. Sementara itu, barang-barang yang diproduksi oleh sektor informal di Bangladesh harus bersaing dengan barangbarang impor yang memicu kebangkrutan usaha kecil dan menengah. Persentase lapangan pekerjaan yang disediakan oleh sektor manufaktur informal Bangladesh mengalami penurunan dramatis dari hampir sebesar 82 persen di tahun 1983/4 menjadi hanya sebesar 4,6 persen di tahun 1995/6.202 Demikianlah kisah yang menyedihkan dari perekonomian negara-negara berkembang sebagai imbas dari kebijakan liberalisasi perdagangan yang dipaksakan oleh IMF dan Bank Dunia. Namun kisah sedih ini tidak hanya berhenti pada sektor manufaktur semata. Berbagai implementasi elemen neoliberalisme melalui program penyesuaian struktural juga membuahkan hasil yang sama dalam bentuk keterpurukan ekonomi negara-negara berkembang. Hasil dari penelitian SAPRI/ CASA di berbagai negara berkembang mengidentifikasi beberapa dampak menonjol dari implementasi program penyesuaian struktural. Liberalisasi sektor finansial internasional terbukti membawa dampak negatif terhadap produktifitas dan sektor usaha kecil dan menengah di negara-negara berkembang. Sektor ketenagakerjaan merasakan dampak negatif dari implementasi penyesuaian reformasi pasar tenaga kerja, kebijakan privatisasi membawa dampak sosial dan ekonomi yang mendalam, penyesuaian sektor pertanian yang berdampak nasib petani kecil dan ketahanan pangan, dampak lingkungan dan sosioekonomi dari reformasi reformasi sektor pertambangan, dampak kebijakan pengurangan pengeluaran pemerintah terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, dan berbagai dampak menyakitkan lainnya yang harus dirasakan oleh negara-negara berkembang sebagai hasil dari program penyesuaian struktural IMF dan Bank Dunia. Secara keseluruhan, ringkasan penelitian dari SAPRI/CASA terhadap dampak program penyesuaian struktural negara-negara berkembang dapat dilihat dari Tabel 2.7. Terlepas dari keyakinan para pendukung neoliberalisme akan data mengenai dampak positif dari kebijakan penyesuaian struktural, kenyataannya implementasi dari doktrin-doktrin tersebut tidak dapat dipungkiri merupakan akar dari kemiskinan dan ketimpangan. 201
SAPRIN, Structural Adjustment, 56. SAPRIN, Structural Adjustment, 66.
201 202
68
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme Tabel 2.7 Ringkasan Dampak Implementasi Program Penyesuaian Struktural di Negara-Negara Berkembang SAPRI/CASA
Bentuk Kebijakan Liberalisasi Perdagangan
Studi Kasus Negara
Dampak
Bangladesh, Ekuador, Ghana, Hungaria, Meksiko, Filipina dan Zimbabwe
Pertumbuhan impor melampaui ekspor dan menghancurkan kondisi yang dibutuhkan pertumbuhan berkelanjutan perusahaan-perusahaan domestik Bangkrutnya perusahaan-perusahaan manufaktur lokal, khususnya usaha kecil dan menengah yang inovatif dan menyediakan lapangan kerja dalam jumlah besar. Depresiasi nilai tukar, menjadikan ketidakmampuan untuk meningkatkan daya saing ekspor industri domestik, meningkatkan harga input produksi yang diimpor dan biaya produksi, yang pada gilirannya berdampak negatif pada perusahaan manufaktur untuk berproduksi untuk kebutuhan pasar domestik. Pertumbuhan eskpor terkonsentrasi pada segelintir aktifitas yang tidak menciptakan kaitan pada perekonomian lokal dan sangat terbatas pada produksi berbasis sedikit sumber daya dan tenaga kerja tidak terampil. Beban negatif dari program penyesuaian ini harus ditanggung oleh lapisan masyarakat yang paling tidak diuntungkan. Kebijakan perdagangan yang diterapkan bersifat inefisien secara teknis dan memiliki biaya sosial tinggi dengan kurangnya partisipasi dari pemangku kepentingan nasional dalam mengartikulasikan pemikiran, rancangan dan implementasi
Liberalisasi Sektor Finansial
Bangladesh, Ekuador, El Savador, dan Zimbabwe
Liberalisasi terbukti tidak dapat meningkatkan efisiensi ekonomi di sektor finansial. Liberalisasi sektor finansial, dalam praktiknya, telah mendorong terjadinya spekulasi jangka pendek dan investasi pada aktifitas-aktifitas ekonomi yang tidak produktif, sebagaimana maraknya pinjaman untuk tujuan konsumsi. Pelemahan negara dan peran regulatorisnya, menjadikan entitas ini kehilangan kemampuan dalam mengatasi inefisiensi, penyalahgunaan dan praktikpraktik eksklusif di sektor finansial. Reformasi menyebabkan terjadinya konsentrasi aset-aset finansial di tangan segelintir pihak swasta, ketimbang mendorong investasi di sektor produktif yang dapat menstimulasi perekonomian nasional. Sektor penting di dalam perekonomian dan kelompokkelompok masyarakat tertentu tidak memiliki akses terhadap pinjaman yang terjangkau
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi Reformasi Sektor Ketenagakerjaan
Ekuador, El Savador, Meksiko dan Zimbabwe
69
Menurunnya lapangan pekerjaan. Memburuknya tingkat upah riil dan distribusi pendapatan yang tidak merata dibandingkan sebelum kebijakan penyesuaian diimplementasikan. Lapangan pekerjaan menjadi semakin tidak menentu. Reformasi telah memberikan ruang besar yang fleksibel bagi para pengusaha untuk menciptakan kondisi pekerjaan dan menyalahi hak-hak para pekerja. Perempuan merasakan penderitaan terbesar sebagai hasil dari reformasi pasar tenaga kerja. Terjadi peningkatan tenaga kerja anak dan warga lanjut usia sebagai hasil dari penurunan pendapatan pencari nafkah utama di dalam keluarga. Produktifitas dan daya saing, yang diharapkan dapat tercapai melalui fleksibilitas pasar tenaga kerja dan kebijakan penyesuaian terkait, kenyataannya tidak tercapai sama sekali.
Program Privatisasi Kebutuhan Publik
Bangladesh, El Savador, Hungaria dan Uganda
Kebutuhan publik yang meningkat setelah privatisasi menciptakan beban bagi lapisan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah. Keuntungan fiskal yang diperoleh dari privatisasi didapatkan dari penghapusan subsidi yang dibutuhkan oleh masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan publik. Meningkatnya efisiensi perusahaan penyedia kebutuhan publik, ketika itu terjadi, pada kenyataannya sebagian terjadi bukan merupakan hasil dari peningkatan kinerja. Privatisasi telah menempatkan sektor pelayanan kebutuhan publik yang strategis berada di bawah kendali asing.
Program Privatisasi Perusahaan Industri Negara
Bangladesh, El Savador, Hungaria dan Uganda
Keyakinan para pendukung kebijakan privatisasi bahwa bentuk kepemilikan dapat menentukan efisiensi perusahaan kenyataannya tidak terbukti. Berdasarkan analisis SAPRI/CASA, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa bentuk kepemilikan dapat menentukan tingkat efisiensi dari perusahaanperusahaan tertentu. Pada tataran makroekonomi, tingkat pertumbuhan riil PDB dari negara-negara yang diteliti menunjukkan tidak ada kecenderungan ke arah akselerasi merupakan hasil dari privatisasi. Meningkatnya kepemilikan asing sebagai hasil dari privatisasi telah menjadi ancaman potensial bagi kedaulatan ekonomi nasional.
70
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Kebijakan Penyesuaian Sektor Pertanian
Bangladesh, Meksiko, Filipina, Uganda dan Zimbabwe
Reformasi pertanian terbukti telah mempertajam jurang ketimpangan. Secara keseluruhan, pendapatan petani tidak mengalami peningkatan sebagai hasil dari reformasi. Ketahanan pangan mengalami penurunan di sebagian besar negara. Kebijakan penyesuaian di bidang pertanian telah menciptakan permasalahan lingkungan lebih lanjut. Dengan rancangan kebijakan yang tidak memperhatikan isu gender, kebijakan penyesuaian struktural di bidang pertanian menciptakan dampak yang berbeda antara kaum perempuan dan laki-laki, di mana perempuan cenderung menanggung beban lebih besar.
Reformasi Sektor Pertambangan
Ghana dan Filipina
Liberalisasi, deregulasi dan privatisasi sektor pertambangan menciptakan ruang bagi perusahaanperusahaan transnasional untuk memindahkan sumber daya dan keuntungan dari negara-negara berkembang, sementara kebijakan ini terbukti gagal dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan yang membawa manfaat bagi perekonomian nasional ataupun lokal. Reformasi sektor pertambangan ini juga telah menjadi landasan bagi ekspansi pertambangan skala besar tanpa kontrol dampak lingkungan yang efektif, sebagai akibatnya terjadi kerusakan lingkungan lokal dan regional serta degradasi kawasan lingkungan yang sensitif dan kaya secara biologis. Reformasi yang mendorong ekspansi pertambangan skala besar tanpa jaminan keamanan, telah menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat lokal. Reformasi yang mendorong ekspansi pertambangan skala besar tanpa regulasi tersebut juga dampak sosial yang negatif. Kebijakan penyesuaian struktural yang mendorong ekspansi besar-besaran pertambangan, telah mengancam hak-hak lahan tradisional penduduk asli dan memperlemah kontrol terhadap lahan dan sumber daya.
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi Penyesuaian Kebijakan Anggaran Publik
Ekuador, Ghana, Hungaria, Meksiko, Filipina, Uganda dan Zimbabwe
71
Kebijakan penyesuaian struktural telah menyebabkan, dalam kasus yang terburuk, penurunan tajam anggaran pemerintah untuk bidang kesehatan dan pendidikan, bahkan dalam kasus yang terbaik, terdapat peningkatan yang tidak memadai dalam pengeluaran pemerintah. Penerapan skema pembagian penanggungan beban dan peningkatan penghasilan, telah menciptakan hambatan tambahan bagi akses masyarakat miskin terhadap pelayanan yang berkualitas. Memburuknya kualitas pendidikan sebagai hasil dari anggaran yang terbatas. Kualitas layanan kesehatan tidak mengalami peningkatan, bahkan semakin memburuk di beberapa daerah, dan terjadi disparitas yang tinggi antara wilayah pedesaan dan perkotaan. Penghapusan subsidi secara universal terhadap barang-barang publik membawa dampak yang negatif terhadap kualitas kehidupan masyarakat miskin.
Sumber: Disarikan dari SAPRIN, Structural Adjustment: The SAPRI Report The Policy Roots of Economic Crisis, Poverty and Inequality (London & New York: Zed Books, Ltd., 2004) Hasil evaluasi yang dilakukan melalui SAPRI/CASA terhadap dampak dari implementasi kebijakan penyesuaian struktural berlandaskan neoliberalisme oleh IMF dan Bank Dunia, dengan sangat jelas memperlihatkan realitas keterpurukan ekonomi negara-negara berkembang. Reformasi kebijakan yang dipaksakan oleh IMF dan Bank Dunia di negara-negara berkembang memiliki relasi terhadap penciptaan kemiskinan. Liberalisasi sektor finansial, reformasi pasar tenaga kerja, privatisasi dan reformasi di bidang pertanian serta di bidang-bidang lainnya, di satu sisi, dan reformasi sektor-sektor produktif di sisi lain, memiliki hubungan yang sangat kuat terhadap proses pemiskinan yang dialami kelompok masyarakat di negara-negara berkembang.203 Dalam bahasa yang tegas, hasil evaluasi SAPRI/ CASA menyatakan bahwa kebijakan penyesuaian struktural telah memberikan kontribusi besar terhadap proses pemiskinan dan marginalisasi lebih dalam kehidupan penduduk lokal dan semakin meningkatkan ketimpangan ekonomi.204 Penelitian SAPRI/CASA telah berhasil mengidentifikasi akar dari persoalan kemiskinan dan ketimpangan yang dialami negara-negara berkembang yang terletak pada implementasi kebijakan penyesuaian struktural oleh IMF dan Bank Dunia. Dengan demikian, upaya untuk mengentaskan kemiskinan dan menghapuskan ketimpangan di negara-negara berkembang tidak dapat dilepaskan dari penyingkiran kebijakankebijakan ekonomi yang bernafaskan pada neoliberalisme. Beragam literatur lainnya yang melakukan analisis evaluatif terhadap dampak implementasi kebijakan penyesuaian struktural juga menunjukkan hasil yang serupa. Andrew Charlton, dari Centre for Economic Performance, London School of Economics, juga menemukan relasi antara kebijakan penyesuaian struktural, khususnya dalam bentuk liberalisasi sektor finansial atau pasar modal, memiliki relasi SAPRIN, Structural Adjustment, 203. SAPRIN, Structural Adjustment, 203.
203 204
72
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
yang sangat erat terhadap kemiskinan.205 Berdasarkan studi literatur yang dilakukan oleh Charlton, muncul suatu kesimpulan bahwa liberalisasi pasar kapital memiliki relasi yang lemah terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang, bahkan kebijakan tersebut telah meningkatkan kerentanan (volatilitas) ekonomi makro dan insiden krisis finansial.206 Berdasarkan bukti-bukti empiris dari studi yang dilakukan Charlton di beberapa negara berkembang, terdapat lima jalur yang menunjukkan pengaruh liberalisasi sektor finansial terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan.207 Di dalam setiap jalur tersebut, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa resiko terbesar jatuh kepada kelompok masyarakat miskin. Pertama, pengaruh dari liberalisasi pasar kapital terhadap volatilitas ekonomi makro.208 Masyarakat miskin sangat rentan terhadap volatilitas ekonomi makro dikarenakan kelompok masyarakat ini memiliki kemampuan yang paling rendah dalam menghadapi resiko dan memiliki akses yang paling lemah terhadap pasar jaminan. Kedua, seiring dengan dampak liberalisasi pasar modal terhadap meningkatnya insiden krisis (kasus ekstrim dari volatilitas), hal ini memiliki dampak substansial terhadap kemiskinan. Masyarakat miskin merupakan kelompok masyarakat yang paling keras terkena hantaman dari krisis, di mana kerugian ekonomi yang mereka rasakan sangatlah parah dan terus berlanjut dalam jangka waktu yang panjang setalah krisis mereda.209 Ketiga, terdapat bukti yang kuat bahwa peningkatan mobilitas modal berdampak pada melemahnya posisi tawar dari tenaga kerja miskin dan dapat menyebabkan pengurangan keuntungan yang mereka dapatkan dari output total aktifitas perekonomian.210 Keempat, integrasi finansial internasional berdampak pada menurunnya otonomi pemerintah dalam kebijakan fiskal dan dapat membatasi cakupan dari program-program pengalihan progresif, perlindungan sosial dan pengentasan kemiskinan.211 Kelima, liberalisasi finansial meningkatkan kompetisi dari bank-bank asing, yang secara potensial meningkatkan efisiensi finansial, tetapi juga mengurangi ketersediaan pinjaman terhadap masyarakat miskin dan pedesaan.212 Secara keseluruhan, kebijakan liberalisasi finansial yang dikondisionalitaskan IMF dan Bank Dunia telah membawa dampak buruk terhadap kehidupan masyarakat miskin di negara-negara berkembang.213 Proyek liberalisasi perekonomian negara-negara berkembang oleh IMF dan Bank Dunia berjalan seiring dengan yang terjadi melalui WTO, sebagai bagian dari trinitas institusi internasional yang berbasiskan pada neoliberalisme. Hasil evaluasi yang terdapat di berbagai literatur menunjukkan dampak yang sama dari implementasi kesepakatan liberalisasi perdagangan WTO terhadap kemiskinan negara-negara berkembang. Sebagaimana analisis SAPRI/CASA mengenai dampak reformasi ke Andrew Charlton, “Capital Market Liberalization and Poverty,” dalam Jose Antonio Ocampo & Joseph E. Stiglitz, eds. Capital Market Liberalization and Development (Oxford: Oxford University Press, 2008), 121. 206 Andrew Charlton, “Capital Market Liberalization and Poverty,” 121. 207 Andrew Charlton, “Capital Market Liberalization and Poverty,” 122. 208 Andrew Charlton, “Capital Market Liberalization and Poverty,” 122. 209 Andrew Charlton, “Capital Market Liberalization and Poverty,” 122. 210 Andrew Charlton, “Capital Market Liberalization and Poverty,” 122. 211 Andrew Charlton, “Capital Market Liberalization and Poverty,” 122. 212 Andrew Charlton, “Capital Market Liberalization and Poverty,” 122. 213 Andrew Charlton, “Capital Market Liberalization and Poverty,” 134. 205
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
73
bijakan di bidang pertanian telah berdampak negatif pada kehidupan masyarakat miskin, analisis yang dilakukan oleh Neil McCulloch (Institute of Development Studies, Sussex), L. Alan Winters (University of Sussex, Centre for Economic Performance, London School of Economis) dan Xavier Cirera (Institute of Development Studies, Sussex) menunjukkan hasil yang serupa.214 Perlu ditekankan bahwa hal ini terjadi dikarenakan implementasi kebijakan reformasi di bidang perdagangan yang dikondisionalitaskan oleh IMF dan Bank Dunia selalu dan pasti sejalan dengan kesepakatan yang terdapat di dalam WTO. Pertama, mereka menganalisis dampak dari kebijakan reformasi di bidang pertanian terhadap kehidupan masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Dalam hal ini, harus dipahami bahwa sektor pertanian sangat penting dan terkait dengan kehidupan masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Menurut mereka, dikarenakan pentingnya sektor pertanian bagi masyarakat miskin, liberalisasi sektor pertanian memiliki dampak yang lebih besar terhadap kemiskinan dibandingkan dengan liberalisasi di bidang lainnya. Begitu juga halnya dengan skema liberalisasi dalam bentuk kesepakatan perdagangan bebas baik dalam lingkup bilateral, regional ataupun lintas kawasan, memiliki dampak yang negatif terhadap perekonomian negara-negara berkembang. Adalah pengalaman Meksiko dalam integrasi dengan North American Free Trade Area (NAFTA) yang memperlihatkan bagaimana buruknya dampak kesepakatan perdagangan bebas terhadap negara-negara berkembang. NAFTA merupakan suatu bentuk kesepakatan perdagangan bebas yang terjalin di antara dua negara maju (Amerika Serikat dan Kanada) dengan Meksiko sebagai negara berkembang. Pembukaan ekonomi Meksiko melalui NAFTA telah berdampak negatif terhadap lapangan pekerjaan. Meksiko kehilangan separuh dari lapangan pekerjaan dari tahun 1988 sampai 1994 sebagai imbas dari kebijakan privatisasi.215 Sampai dengan tahun 2000 jumlah perusahaan negara mengalami penurunan luar biasa menjadi hanya 200 perusahaan dari 1.100 perusahaan di tahun 1982.216 NAFTA yang mengintegrasikan perekonomian tiga negara dengan total populasi sebesar 376 juta dan PDB hampir US$9 triliun, ditujukan untuk mengurangi jurang ketimpangan ekonomi Meksiko dan Amerika Serikat, dan sehingga dapat mengurangi permasalahan migrasi illegal.217 Namun kenyataannya disparitas pendapatan di antara kedua negara justru mengalami peningkatan selama satu dekade pertama NAFTA, sebesar lebih dari 10 persen.218 NAFTA juga tidak berhasil meningkatkan pertumbuhan perekonomian Meksiko.219 Justru pertumbuhan ekonomi Meksiko sangat suram selama dekade pertama NAFTA, yaitu sebesar 1,8 persen dalam basis per kapita riil.220 Memang tingkat ini lebih baik dibandingan dengan yang dialami negara-negara Amerika Latin lainnya, akan tetapi jika dibandingkan dengan per Neil McCulloch, L. Alan Winters & Xavier Cirera, Trade Liberalization and Poverty: A Handbook (London: Centre for Economic Policy Research, 2001). 215 David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2007), 101. 216 David Harvey, A Brief History of Neoliberalism, 101. 217 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Works, 64. 218 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Works, 64. 219 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Works, 64. 220 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Works, 64. 214
74
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
tumbuhan ekonomi Meksiko periode 1948-1973 dengan nilai rata-rata sebesar 3,2 persen, angka tersebut menunjukkan suatu penurunan.221 Selain itu, NAFTA juga menyebabkan perekonomian Meksiko menjadi sangat tergantung terhadap Amerika Serikat, di mana jika perekonomian Amerika Serikat mengalami penurunan, maka Meksiko akan mengalami hal yang sama.222 Memang satu bagian dari perekonomian Meksiko terlihat mengalami keberhasilan melalui NAFTA. Namun bagian ekonomi yang tumbuh ini terpusat pada apa yang disebut sebagai maquiladora, yaitu sentra manufaktur yang mengimpor dan merakit komponen untuk ekspor yang bebas dari pajak. Pola bisnis seperti ini, kenyataannya lebih besar membawa keuntungan bagi para pemiliki modal berbasiskan eksploitasi terhadap tenaga kerja dengan upah yang sangat murah. Pabrikpabrik maquiladora di Meksiko mengalami peningkatan dalam jumlah besar, menjadi sumber pasokan bagi perusahaan-perusahaan manufaktur Amerika seperti General Motors dan General Electric dengan biaya produksi rendah.223 Lapangan pekerjaan mengalami peningkatan sebesar 110 persen selama enam tahun pertama NAFTA, dibandingkan dengan nilai sebesar 78 persen pada periode enam tahun sebelumnya.224 Akan tetapi, keberhasilan ekonomi berlandaskan maquiladora ini terbukti tidak memiliki daya tahan berkelanjutan. Setelah tahun-tahun awal pertumbuhan di kawasan maquiladora, lapangan pekerjaan mulai mengalami penurunan, di mana sebanyak 200.000 pengangguran tercipta pada periode 2000-2001.225 Demikianlah pengalaman pahit yang dialami Meksiko setelah mengintegrasikan diri ke dalam skema perdagangan bebas regional. Kisah ini sekaligus menjadi bukti yang terang bahwa implementasi kebijakan ekonomi yang berlandaskan pada liberalisme atau bahkan neoliberalisme sebagai wujud metamorfosa keyakinan fundamental terhadap pasar bebas, telah membawa dampak yang sangat negatif bagi perekonomian negara-negara berkembang. Berbagai literatur memperlihatkan bagaimana penanaman prinsip liberalisme melalui skema apapun itu, baik kebijakan penyesuaian struktural ala IMF dan Bank Dunia, liberalisasi perdagangan multilateral WTO, kesepakatan perdagangan bebas pada tataran regional ataupun bilateral, telah berhasil menciptakan keterpurukan ekonomi negara-negara berkembang. Dalam tataran teoritis, muncul suatu kekhawatiran bahwa integrasi ekonomi regional berbasis liberalisasi dapat meningkatkan ketimpangan atau disparitas ekonomi, baik antar kawasan ataupun sub-kawasan dan antar negara di dalam kawasan. Khususnya di Asia Timur misalnya, perekonomian negara-negara di kawasan ini sangatlah beragam.226 Begitu juga halnya dalam konteks tingkat pendapatan, teknologi industri dan aspek-aspek sosio-ekonomi lainnya. Sebagai contoh, koefisien varisasi PDB per kapita di Asia Timur di tahun 2004 adalah 1,140, tiga
Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Works, 64. Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Works, 64. 223 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Works, 65. 224 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Works, 65. 225 David Harvey, A Brief History of Neoliberalism, 138. 226 Masahisa Fujita, Satoru Kumagai & Koji Nishikimi, eds., Economic Integration in East Asia: Perspectives from Spatial and Neoclassical Economics (Massachusetts: Edward Elgar Publishing, Inc., 2008), 4-5. 221 222
Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi
75
kali koefisien 15 negara Eropa Timur di tahun yang sama. Tingginya disparitas di antara negara-negara Asia Timur ini memunculkan suatu kekhawatiran bahwa negara-negara dengan kondisi yang kurang memadai hanya akan mendapatkan peluang terbatas untuk pertumbuhan dan akan tertinggal oleh negara-negara lain dalam persaingan yang tercipta dari integrasi pasar.228 Bahkan di China, disparitas internal terjadi di antara kawasan daratan dan pantai, di mana kontribusi PDB 11 negara pantai terhadap total PDB mengalami peningkatan dari 53,3 persen di tahun 1990 menjadi 61,3 persen di tahun 2003, sementara provinsi-provinsi di wilayah daratan hanya berada pada posisi sebesar 12,4 persen dari PDB total.229 Dalam konteks skala ekonomi, produktifitas dan daya saing dari sebuah perusahan sangat tergantung pada besaran produksi. Sebagai akibatnya, perusahaan-perusahaan akan bergerak ke kawasan dengan pasar yang besar guna mengeksploitasi manfaat dari skala ekonomi.230 Hasilnya akan terjadi pengelompokkan (aglomerasi) perusahaan-perusahaan pada negara atau kawasan-kawasan tertentu yang memiliki pasar domestik besar sebagai imbas dari ekspansi pasar yang tercipta dari integrasi ekonomi.231 Akhirnya, semakin jelas bahwa tata kelola perekonomian global selama ini tidaklah dibangun atas dasar suatu visi yang mencerminkan kepentingan bersama seluruh negara. Tata kelola perekonomian dunia selama ini yang dilandaskan pada prinsip liberalisme/neoliberalisme merupakan visi yang mencerminkan kepentingan dari segelintir negara-negara maju. Buktinya kemajuan ekonomi dunia tidaklah berjalan secara merata. Keuntungan terbesar dari aktifitas perekonomian dunia masih didominasi oleh negara-negara maju. Sementara prinsip liberalisme/neoliberalisme yang berhasil ditanamkan dalam kebijakan ekonomi negara-negara berkembang membawa hasil yang menutup kemungkinan bagi tercapainya cita-cita untuk mengentaskan kemiskinan dunia yang terpusat di negara-negara berkembang. Secara umum, uraian dari bagian ini menyimpulkan bahwa terdapat tiga dampak besar dari implementasi liberalisme/neoliberalisme dalam berbagai skema di negara-negara berkembang. Pertama, kerentanan fundamen perekonomian negaranegara berkembang terhadap hantaman krisis. Episode krisis tanpa henti yang melanda perekonomian di berbagai belahan dunia menjadi bukti dari hal ini. Kedua, implementasi liberalisme justru memiliki pengaruh negatif terhadap kehidupan masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Ketiga, jurang ketimpangan ekonomi dalam berbagai tataran mengalami peningkatan sebagai imbas dari hegemoni liberalisme/neoliberalisme dalam tata kelola perekonomian global selama ini. Uraian dari bagian ini membawa sebuah pesan utama, bahwa pengalaman pahit negara-negara berkembang dalam menjalankan roda perekonomian berba227
Masahisa Fujita, Satoru Kumagai & Koji Nishikimi, eds., Economic Integration in East Asia, 4-5. 228 Masahisa Fujita, Satoru Kumagai & Koji Nishikimi, eds., Economic Integration in East Asia, 4-5. 229 Masahisa Fujita, Satoru Kumagai & Koji Nishikimi, eds., Economic Integration in East Asia, 4-5. 230 Masahisa Fujita, Satoru Kumagai & Koji Nishikimi, eds., Economic Integration in East Asia, 4-5. 231 Masahisa Fujita, Satoru Kumagai & Koji Nishikimi, eds., Economic Integration in East Asia, 4-5. 227
76
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
sis liberalisme/neoliberalisme sudah seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi strategi pembangunan dalam berbagai skema yang akan dijalankan oleh negaranegara berkembang, baik domestik, bilateral, regional ataupun multilateral. Implementasi kebijakan ekonomi ataupun kesepakatan ekonomi yang berlandaskan pada prinsip pasar bebas tidaklah menciptakan suatu arena pertarungan yang setara bagi semua negara. Hanya negara-negara yang memiliki fundamen dan kesiapan ekonomi yang matang yang akan dapat meraup keuntungan di dalamnya. Sedangkan, negara-negara dengan fundamen ekonomi yang lemah dan tidak memiliki kesiapan harus menerima nasib tergilas cepatnya persaingan dan menelan pil pahit keterpurukan ekonomi yang mendalam dan berkelanjutan.
Bab 3 Masyarakat Ekonomi ASEAN: Neoliberalisme dan Gelombang Kedua Regionalisme
Neoliberalisme memainkan pengaruh yang sangat besar dalam perjalanan sejarah perekonomian dunia. Berbagai skema tata kelola perekonomian dunia, baik dalam bentuk strategi pembangunan domestik, liberalisasi perekonomian di tingkat multilateral, regional dan bilateral, tidak dapat dilepaskan dari neoliberalisme. Sementara itu, dalam perjalanannya, implementasi prinsip neoliberalisme ini telah membawa dampak negatif terhadap perekonomian negara-negara berkembang. Hal ini terjadi, sebagai sesuatu yang imperatif dari implementasi prinsip ekonomi yang tidak adil dan dirancang memprioritaskan pemenuhan kepentingan segelintir negara-negara tertentu. Bagian ini berupaya untuk mengidentifikasi pengaruh neoliberalisme dalam agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dengan berlandaskan pada sejarah basis teoritis dan empiris fenomena regionalisme di dunia, bagian pertama dari sub-bab ini mengidentifikasi regionalisme Asia Tenggara berjalan melampaui dua gelombang integrasi regional, di mana regionalisme gelombang kedua yang berlandaskan pada neoliberalisme terjadi di kawasan Asia Tenggara. Dalam bagian kedua, melalui tiga pendekatan, historis, strategis dan teoritis, neoliberalisme teridentifikasi memainkan peranan besar dalam langkah dan strategi pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dengan berlandaskan pada analisis melalui tiga pendekatan tersebut, bagian ini memposisikan agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai wujud regionalisme yang berlandaskan pada prinsip neoliberalisme. Dengan demikian, posisi bab ini pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari bab sebelumnya, di mana agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dengan sangat jelas teridentifikasi sebagai wujud implementasi dari neoliberalisme, juga akan membuka peluang besar bagi terciptanya dampak-dampak negatif yang harus dialami oleh perekonomian negara-negara dengan kondisi fundamen domestik yang tidak siap dan kurang memadai dalam suatu pertarungan dalam ranah neoliberal.
Transformasi Regionalisme Asia Tenggara Perjalanan integrasi kawasan Asia Tenggara telah melalui masa yang panjang melintasi fenomena dua gelombang regionalisme yang terjadi sepanjang sejarah
78
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
dunia. Geliat integrasi di kawasan Asia Tenggara pasca berakhirnya Perang Dingin memiliki ciri yang sangat berbeda dengan periode sebelumnya. Masa regionalisme yang baru ini dikenal dengan istilah gelombang kedua regionalisme, di mana faktorfaktor baru muncul menggantikan pendorong integrasi kawasan pada gelombang yang pertama. Regionalisme gelombang pertama merupakan fenomena integrasi kawasan yang terjadi di berbagai belahan dunia sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua sampai akhir tahun 1980-an.1 Pada masa ini fenomena integrasi kawasan didominasi oleh penjelasan teori integrasi tradisional di bawah pengaruh dialektika paradigma liberalisme dan realisme di dalam hubungan internasional.2 Pengaruh pemikiran liberalisme hubungan internasional memainkan peranan besar dalam proses integrasi regional. Pengaruh liberalisme dalam integrasi regional gelombang pertama dapat ditelusuri dari tiga pendekatan, yaitu federalisme, fungsionalisme dan neofungsionalisme.3 Ketiganya dikategorikan ke dalam pendekatan supranasional dalam memahami regionalisme gelombang pertama. Dalam pandangan pendekatan ini, regionalisme pada masa itu terjadi lebih didorong oleh faktorfaktor efektifitas pemenuhan kebutuhan manusia dan penyelesaian masalah bersama secara kolektif. Keberhasilan kerjasama regional dalam bidang teknis dan fungsional diasumsikan oleh para pemikir fungsionalis akan mendorong penyebaran (spillover) yang mempengaruhi integrasi dalam bidang yang lebih luas. Hal ini dapat kita pahami, khususnya tercermin dari konsep ramifikasi David Mitrany yang menjelaskan keberhasilan integrasi di bidang spesifik fungsional kawasan Eropa melalui European Coal and Steel Community (ECSC), European Atomic Energy Community (EURATOM) dan European Economic Community (ECC).4 Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pengaruh pemikiran liberal, terutama dalam wujud neofungsionalisme, semakin mendominasi teori-teori tentang integrasi di tingkat kawasan.5 Pandangan neofungsionalisme mengenai integrasi kawasan pada dasarnya merupakan pengembangan dari fungsionalisme. Neofungsionalisme mengakui fenomena spillover sebagaimana yang dijelaskan oleh para pemikir fungsional. Hanya saja para pemikir neofungsionalisme tidak melihat spillover yang terjadi pada bidang ekonomi semata.6 Efek penyebaran dari kerjasama fungsional di tingkat kawasan, menurut mereka, yang terpenting juga menyentuh ranah politik. Terciptanya integrasi pada level yang lebih tinggi inilah, khususnya integrasi politik, yang merupakan wujud dorongan dari spillover di bidang politik, di mana terjadi proses pengalihan dari suatu pusat otoritas ke pusat yang lain.7 Ernst Haas, salah satu pemikir utama neofungsionalisme, memandang integrasi dari sudut pandang yang berbeda dari konsep spillover fungsionalis, di mana efek penyebaran mengarah kepada integrasi ekonomi dan terutama politik dalam suatu basis teritorial.8 Lebih lanjut, teori neofungsionalis memandang proses integrasi ekonomi dan Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order: Europe and Southeast Asia (Hampshire &Burlington: Ashgate, 2007), 6. 2 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 6-28. 3 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 6-28. 4 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 6-28. 5 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 15. 6 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 15. 7 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 15. 8 Shaun Breslin, Richard Higgott & Ben Rosamond, “Regions in Comparative Perspective,” 1
Masyarakat Ekonomi ASEAN
79
politik tersebut, didorong oleh tindakan dari aktor-aktor rasional, baik dalam bentuk institusi supranasional atau kelompok-kelompok produsen.9 Namun demikian, pengaruh dominan dari teori neofungsionalisme yang seringkali bahkan disebut sebagai teori integrasi ini, mulai mengalami penurunan di tahun 1970-an. Penurunan pengaruh ini sejalan dengan kritik deras terhadap asumsi dan prediksi teoritis dari neofungsionalisme yang tidak selaras dengan realitas empiris.10 Bahkan Ernst Haas dan para pemikir neofungsionalis lainnya mengakui persoalan ini. Mereka menyatakan bahwa kekuatan pendorong bagi proses integrasi Eropa di tahun 1950-an, telah mengalami penurunan.11 Fenomena spillover yang mereka asumsikan dari low politics menuju high politics kenyataannya sangat terbatas secara empiris.12 Beberapa dari pemikir neofungsionalis lebih lanjut melakukan modifikasi terhadap konsep spillover, yang memungkinkan terjadinya suatu proses kebalikan dari integrasi (spillback).13 Di tengah penurunan pengaruh dari penjelasan pemikiran turunan dari liberalisme ini, asumsi dan penjelasan dari realisme/neorealisme menampakkan kekuatan dalam kesesuaian dengan realitas empiris. Realisme/neoreralisme menekankan perhatian terutama pada bentuk regionalisme yang terkait dengan persoalan keamanan.14 Paradigma ini memiliki asumsi bahwa negara-negara dapat bekerjasama dan membangun suatu rezim internasional dan regional dalam rangka untuk meningkatkan keamanan relatif mereka.15 Realisme/neorealisme menjelaskan fenomena munculnya aliansi dan berbagai bentuk kerjasama lainnya sebagai sarana yang baik untuk meningkatkan keamanan dan menjamin keberlangsungan hidup.16 Perilaku penyeimbangan sebagai hasilnya, diikatkan dengan distribusi kapabilitas relatif dari setiap partisipan di dalam kerjasama.17 Paradigma ini menegaskan bahwa, kerjasama regional lebih merupakan suatu bentuk institusionalisasi aliansi untuk mengatasi suatu ancaman bersama atau melawan penyebarluasan kepentingan hegemoni dari sebuah kekuatan besar.18 Akan tetapi, dominasi pemikiran realisme/neorealisme dalam kaitannya dengan regionalisme ini tidaklah tanpa tandingan. Berkembangnya fenomena pluralisasi aktor dalam hubungan internasional semakin meningkat derajat saling ketergantungan (interdependensi) di tingkat internasional, telah membangkitkan kembali pengaruh pemikiran liberalisme/neoliberalisme dalam menjelaskan fenomena integrasi kawasan. Selain itu, realitas empiris pasca berakhirnya Perang Dingin menunjukdalam Shaun Breslin, Christopher W. Hughes, Nicola Phillips & Ben Rosamond, eds. New Regionalisms in the Global Political Economy: Theory and Cases (London & New York: Routledge, CSGR, 2002), 2. 9 Shaun Breslin, Richard Higgott & Ben Rosamond, “Regions in Comparative Perspective,” 2. 10 Shaun Breslin, Richard Higgott & Ben Rosamond, “Regions in Comparative Perspective,” 3. 11 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 15. 12 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 15. 13 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 15. 14 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 19. 15 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 19. 16 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 19. 17 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 19. 18 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 19.
80
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
kan kontradiksi dengan apa yang diasumsikan oleh pemikiran realisme/neorealisme. Pertama, Eropa di tahun 1980-an mulai memusatkan perhatian pada upaya peningkatan daya saing ekonominya sendiri dalam hubungan dengan Jepang dan Amerika Serikat.19 Kedua, Perjanjian Maastricht berjalan seiring dengan proses reunifikasi Jerman, yang semakin menguatkan integrasi Eropa.20 Fenomena ini kemudian mendorong penguatan pengaruh pemikiran neoliberal institusionalisme dalam menjelaskan proses integrasi regional, terutama melalui konsep interdependensi ekonomi. Berkembangnya fenomena baru pasca Perang Dingin ini juga menandai munculnya gelombang kedua dalam sejarah regionalisme di dunia. Sejak berdirinya pada 8 Agustus 1967, ASEAN mengalami suatu proses transformasi yang panjang melampaui fenomena gelombang pertama sampai kepada gelombang kedua regionalisme. Pada awalnya, munculnya regionalisme di kawasan Asia Tenggara dalam wujud ASEAN, sangat relevan dijelaskan melalui perspektif realisme. Faktor-faktor yang mendorong terbentuknya suatu organisasi regional di Asia Tenggara ini lebih banyak berada dalam ranah politik keamanan dibandingkan persoalan ekonomi. Dalam sejarah awalnya, peningkatan kerjasama antar negara di kawasan ini lebih didasarkan oleh inisiatif yang berasal dari kekuatan di luar kawasan (extra-regional powers) dalam konstelasi politik internasional masa Perang Dingin pasca berakhirnya Perang Dunia Kedua.21 Pada masa ini terdapat dorongan yang kuat dari negara-negara Sekutu agar Amerika Serikat memberikan komitmen yang kuat terhadap kawasan Asia Tenggara. Hal ini menjadi fenomena pertama yang mewarnai proses regionalisme di kawasan Asia Tenggara. Wujud nyata dari upaya kekuatan di luar kawasan untuk meningkatkan dan memfasilitasi kerjasama di Asia Tenggara terletak pada penandatangan Perjanjian Pertahanan Kolektif Asia Tenggara (Southeast Asia Collective Defense Treaty) di Manila, September 1954.22 Kesepakatan ini menjadi landasan bagi terbentuknya Southeast Asian Treaty Organisation (SEATO) yang terdiri Amerika Serikat, Inggris, Selandia Baru, Pakistan, Perancis, Australia, Filipina dan Thailand, sekaligus sebagai respon langsung terhadap kekalahan Perancis di Indochina.23 Fenomena kedua yang menjadi latar dari regionalisme gelombang pertama Asia Tenggara terletak pada beragamnya struktur politik, ekonomi, budaya dan sosial serta kepentingan prioritas dari elit yang berkuasa di negara-negara ini.24 Dalam kondisi ini, regionalisme sangat dipengaruhi oleh orientasi elit yang berkuasa terhadap pengaruh pertarungan ideologis Perang Dingin di kawasan ini. Sebagai hasilnya, tidak mengherankan jika kesepakatan untuk membentuk ASEAN baru tercapai setelah terjadi perubahan rezim pemerintahan di Indonesia dan Filipina. Berdasarkan konteks ini, berdirinya ASEAN di tahun 1967 lebih diorientasikan kepada upaya penciptaan stabilitas keamanan di kawasan yang diwarnai oleh perseturan ideologis, dengan salah satu tujuan utamanya adalah untuk mempertahankan perdamaian dan keamanan. Kuatnya semangat nasionalisme menjadi fenomena ketiga yang mewarnai gel 21 22 23 24 19 20
Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 20. Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 20. Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 78. Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 78. Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 78. Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 78.
Masyarakat Ekonomi ASEAN
81
ombang pertama regionalisme di kawasan Asia Tenggara. Berbeda dengan proses yang terjadi di Eropa, di mana semangat nasionalisme justru mengalami pelemahan pasca Perang Dunia Kedua, di kawasan Asia Tenggara, semangat ini justru menjadi alat untuk mencapai kemerdekaan. Regionalisme di kawasan Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh semangat nasionalisme dan pergerakan nasionalis.25 Fenomena inilah yang menjelaskan mengapa prinsip kedaulatan negara tertanam dengan sangat kuat dalam ASEAN. Ketiga fenomena yang melatarbelakangi gelombang pertama regionalisme di Asia Tenggara ini, dengan demikian menjadikan penjelasan paradigma realisme/neorealisme lebih relevan dibandingkan dengan pendekatan liberalisme/neoliberalisme. Dengan kuatnya pengaruh kekuatan ekstra-kawasan untuk menangkal ancaman keamanan bersama, dan lestarinya prinsip non-intervensi, penghormatan terhadap kedaulatan masing-masing negara, integritas territorial, stabilitas nasional dan kawasan, menjadikan regionalisme Asia Tenggara dalam wujud ASEAN di gelombang yang pertama tidak lebih sebagai suatu institusionalisasi aliansi dengan tujuan kapabilitas keamanan relatif, sebagaimana yang diasumsikan oleh para pemikir realisme. Kecondongan elit penguasa terhadap peta kekuatan konstelasi politik internasional yang menjadi salah satu prekondisi dari berdirinya ASEAN semakin menguatkan asumsi dari realisme dalam menjelaskan gelombang pertama regionalisme di kawasan Asia Tenggara ini. Interdependensi di bidang keamanan lebih memainkan peranan dalam proses regionalisme Asia Tenggara gelombang pertama dibandingkan dengan interdependensi ekonomi. Praktis, dengan berkecamuknya perang di dalam suasana Perang Dingin di kawasan ini pada tahun 1960-an dan 1970-an, wacana untuk integrasi ekonomi di tingkat kawasan tidak menjadi warna yang dominan. Akhir tahun 1970-an, baru kemudian isu-isu ekonomi mendapatkan perhatian besar dalam proses integrasi kawasan Asia Tenggara. Jika kita amati perkembangan isu integrasi ekonomi dalam ASEAN, terlihat suatu fenomena yang sejalan dengan pertumbuhan pengaruh neoliberalisme dalam tata kelola perekonomian dunia. Berjalan seiring dengan mulai munculnya pengaruh neoliberalisme dalam perekonomian internasional, pada tahun 1977, negara-negara ASEAN menandatangani sebuah kesepakatan baru di mana para pemimpin negara-negara di kawasan Asia Tenggara sepakat untuk mengadopsi beragam instrumen liberalisasi perdagangan berdasarkan basis preferensial.26 Sebelumnya, pada tahun 1976, negara-negara ASEAN telah menandatangani Bali Concord yang merupakan deklarasi mengenai kerjasama di bidang perdagangan untuk memajukan pembangunan dan pertumbuhan produksi dan bidang perdagangan baru.27 Menguatnya isu kerjasama ekonomi di kawasan Asia Tenggara ini, kemudian diikuti oleh deklarasi di tahun 1987, di mana negara-negara ASEAN berupaya untuk memperkuat kerjasama ekonomi intra-ASEAN untuk memaksimalkan realisasi potensi perdagangan dan pembangunan kawasan.28 Namun demikian, berbagai kesepakatan dan deklarasi terkait penguatan kerjasama ekonomi tersebut tidak diikuti oleh langkah-langkah yang nyata. Baru Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 73. Ramkishen S. Rajan & Sunil Songala, Asia in the Global Economy: Finance, Trade and Investment (Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., 2008), 219. 27 Ramkishen S. Rajan & Sunil Songala, Asia in the Global Economy, 219. 28 Ramkishen S. Rajan & Sunil Songala, Asia in the Global Economy, 219. 25 26
82
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
kemudian, setelah berakhirnya Perang Dingin, beragam inisiatif baru muncul, menandai masuknya integrasi kawasan Asia Tenggara ke dalam gelombang kedua regionalisme. Terobosan nyata terjadi pada Januari 1992 di Singapura, di mana enam negara anggota ASEAN menandatangani skema tarif preferensial efektif bersama (Common Effective Preferential Tariff/CEPT) dalam agenda pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA).29 Skema CEPT ini ditujukan untuk menurunkan hambatan tarif sampai tidak lebih dari lima persen dan menghapuskan segala bentuk hambatan kuantitatif secara menyeluruh termasuk hambatan non-tarif di dalam AFTA.30 Lahirnya Visi ASEAN 2020 di Kuala Lumpur pada tahun 1997 menjadi titik terang bagi menguatnya pengaruh neoliberalisme dalam arah perkembangan regionalisme di Asia Tenggara. Dalam Visi ini ASEAN mengarah kepada integrasi yang mendalam di bidang ekonomi dengan prinsip liberalisasi sebagai landasannya. Bahkan krisis finansial yang menghantam perekonomian negara-negara ASEAN di penghujung tahun 1990-an tidak melemahkan pengaruh neoliberalisme dalam gelombang kedua integrasi regional di Asia Tenggara. Meskipun beragam analisis memperlihatkan bahwa akar dari krisis tersebut terletak pada implementasi kebijakan liberalisasi finansial di negara-negara kawasan ini, prinsip neoliberalisme tetap menjadi landasan bagi integrasi regional Asia Tenggara. Disepakatinya pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) melalui penandatangan ASEAN Concord-2 di Bali pada Oktober 2003, merupakan wujud nyata kuatnya pengaruh neoliberalisme dalam menentukan arah integrasi ekonomi ASEAN. Prinsip liberalisasi terlihat dengan sangat jelas sekali menjadi landasan bagi pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2020, di mana di dalam Bali Concord dinyatakan bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi sebagaimana digariskan dalam Visi ASEAN 2020, yaitu untuk menciptakan kawasan ekonomi ASEAN yang stabil, sejahtera, dan berdaya saing tinggi di mana di dalamnya terdapat pergerakan bebas barang, jasa, investasi dan arus modal, pembangunan ekonomi yang setara dan pengurangan ketimpangan sosial dan ekonomi.31 Bahkan, begitu kuatnya komitmen terhadap regionalisme berbasis liberalisasi ini telah mendorong upaya percepatan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015, yang disepakati dalam Pertemuan Puncak ASEAN ke-12 pada Januari 2007. Dalam pertemuan tersebut, neoliberalisme menjadi semakin kuat dalam mempengaruhi arah perkembangan integrasi ASEAN. Para pemimpin ASEAN melalui pertemuan tersebut, sepakat untuk mempercepat pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dan mentransformasikan ASEAN menjadi sebuah kawasan di mana barang, jasa, investasi, pekerja terampil dan arus modal dapat bergerak dengan bebas. Dengan demikian, integrasi kawasan Asia Tenggara dalam gelombang yang kedua ini, semakin memperlihatkan apa yang dinyatakan oleh Paul Bowles, bahwa regionalisme baru merupakan wujud kombinasi regionalisme dengan adopsi Ramkishen S. Rajan & Sunil Songala, Asia in the Global Economy, 219. Ramkishen S. Rajan & Sunil Songala, Asia in the Global Economy, 219. 31 ASEAN Concord II/Bali Concord II, http://www.aseansec.org/15159.htm, diakses pada tanggal 2 Maret 2009 pukul 11:45. 29 30
Masyarakat Ekonomi ASEAN
83
strategi-strategi pembangunan neoliberal. Kondisi ini mencerminkan suatu proses adopsi strategi pembangunan neoliberal yang marak terjadi di negara-negara berkembang melalui campur tangan IMF dan Bank Dunia yang berjalan seiring dengan perkembangan regionalisme dalam gelombang kedua. Bowles mengamati bahwa dalam fenomena regionalisme baru, kesepakatan perdagangan regional mencerminkan strategi liberalisasi bagi negara-negara berkembang pada tahapan awal dalam rangka menghadapi liberalisasi dalam lingkup yang lebih luas.33 Strategi liberalisasi regional diyakini oleh para pendukungnya dapat menjadi landasan bagi industri untuk menyesuaikan diri dalam bersaing dengan negara-negara tetangga terlebih dahulu sebelum memasuki ranah persaingan di tingkat global.34 Strategi ini secara empiris, di beberapa kawasan, berhasil memobilisasi dukungan kepentingan bisnis berbagai inisiatif liberalisasi regional.35 Kondisi inilah yang menjelaskan kemunculan kembali regionalisme sebagai sebuah pilihan kebijakan bagi negara-negara berkembang dikarenakan regionalisme terbukti bermanfaat dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal.36 Geliat integrasi ekonomi regional ASEAN pada gelombang yang kedua, dengan demikian merupakan bagian dari regionalisme yang dilandasi oleh prinsip-prinsip neoliberal sebagaimana yang digambarkan oleh Bowles. 32
Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Prinsip Neoliberalisme Tidak dapat dipungkiri bahwa karakteristik neoliberalisme yang melekat sangat kuat di dalam agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 menjadikan regionalisme Asia Tenggara sebagai bagian dari regionalisme yang dilandasi oleh implementasi prinsip-prinsip ekonomi neoliberal. Bagian ini berupaya untuk mengidentifikasi dan memberikan eksplanasi kritis terhadap karakteristik neoliberalisme di dalam agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN, sehingga dapat dinyatakan bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan regionalisme yang bernafaskan neoliberalisme. Secara keseluruhan, upaya pembingkaran neoliberalisme di balik agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN ini dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan historis, strategis dan teoritis. Secara historis, pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari agenda pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA) di tahun 1992. Runtuhnya pengaruh komunisme seiring dengan berakhirnya Perang Dingin semakin menguatkan penyebaran pengaruh implementasi prinsip neoliberalisme dalam berbagai tataran ekonomi di dunia. Disepakatinya pembentukan AFTA oleh negara-negara ASEAN dapat dinyatakan sebagai bagian dari kecenderungan kuat liberalisasi ekonomi dunia pasca berubahnya kontelasi politik internasional tersebut. Selain itu, AFTA juga menjadi bukti dari perkem Paul Bowles, “Regionalism and development after(?) the global financial crises,” dalam Shaun Breslin, Christopher W. Hughes, Nicola Phillips & Ben Rosamond, eds. New Regionalisms in the Global Political Economy: Theory and Cases (London & New York: Routledge, CSGR, 2002), 81. 33 Paul Bowles, “Regionalism and development after(?) the global financial crises,” 87. 34 Paul Bowles, “Regionalism and development after(?) the global financial crises,” 87. 35 Paul Bowles, “Regionalism and development after(?) the global financial crises,” 87. 36 Paul Bowles, “Regionalism and development after(?) the global financial crises,” 87. 32
84
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
bangan regionalisme Asia Tenggara berbasis neoliberalisme pada gelombang yang kedua. Meskipun kenyataannya AFTA tidak diikuti oleh langkah-langkah nyata liberalisasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara, namun melalui fase ini, komitmen integrasi ekonomi kawasan berlandaskan prinsip neoliberalisme terbangun dengan sangat kuat. Tujuan utama dari AFTA adalah untuk meningkatkan posisi ASEAN sebagai sebuah basis produksi yang memiliki daya saing baik di tingkat kawasan ataupun dalam pasar global. Untuk mencapai tujuan ini, melalui AFTA, negaranegara ASEAN berupaya untuk meningkatkan keterkaitan industri dan perdagangan intra-ASEAN, spesialisasi dan skala ekonomi serta menjadikan kawasan sebagai basis produksi yang berdaya saing dan efisien bagi investasi.37 Prinsip neoliberalisme tercermin dari cara untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut melalui penerapan liberalisasi perdagangan yang diterjemahkan secara konkrit dalam bentuk kebijakan pengurangan tarif dalam perdagangan. Proyek liberalisasi kawasan Asia Tenggara ini dijalankan melalui skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) yang dirancang untuk menurunkan tarif seluruh produk manufaktur produk pertanian olahan menjadi 0-5 persen dalam sebuah bingkai waktu 15 tahun.38 Tahapan dan lingkup liberalisasi di bawah skema CEPT ini dijalankan melalui empat kelompok daftar produk dalam bentuk Daftar Inklusi (Inclusion List/IL), Daftar Ekslusi Sementara (Temporary Exclusion List/TEL), Daftar Sensitif (Sensitive List/ SL) dan Daftar Eksepsi Umum (General Exception List/GEL), yang dijadikan sebagai instrumen.39 IL terdiri dari produk yang menjadi subjek pengurangan tarif dengan segera sampai pada batas 0-5 persen di tahun 2003. Sementara itu, TEL merupakan daftar yang berisikan produk yang tidak termasuk dalam pengurangan tarif, akan tetapi akan dialihkan menjadi IL di tahun 2000 dan dilakukan penurunan tarif menjadi 0-5 persen di tahun 2002. SL merupakan produk-produk pertanian yang belum diolah yang akan dimasukkan ke dalam IL pada tahun 2001 dan 2003, serta dilakukan penurunan tarif 0-5 persen di tahun 2010. Kelompok yang terakhir, GEL, merupakan daftar yang berisikan kelompok produk yang diatur dalam Pasal XX GATT, yang terdiri dari barang-barang yang secara permanen tidak dimasukkan dalam skema penurunan tarif, dikarenakan terkait dengan keamanan nasional, perlindungan moral publik, manusia, hewan, tumbuhan dan kesehatan atau perlindungan nilai-nilai seni, historis atau arkeologis.40 Meskipun, banyak pihak yang menyatakan bahwa AFTA tidak diikuti oleh langkah-langkah liberalisasi konkrit, Bank Dunia justru memandang bahwa skema CEPT di dalam AFTA ini telah berhasil mencapai liberalisasi yang substansial di antara negara-negara anggota ASEAN.41 Sampai dengan tahun 1998, telah terjadi Mahani Zainal Abidin & Wai Heng Loke, “Revealed Comparative Advantage of Malaysian Exports: The Case for Changing Export Composition,” dalam Asian Economic Papers Vo. 7 Issue 3, 137. 38 Emiko Fukase & Will Martin, “Free Trade Area Membership as Stepping Stone to Development: The Case of ASEAN,” dalam World Bank Discussion Paper No. 421, 10. 39 Emiko Fukase & Will Martin, “Free Trade Area Membership as Stepping Stone to Development, 10. 40 Emiko Fukase & Will Martin, “Free Trade Area Membership as Stepping Stone to Development, 10. 41 Emiko Fukase & Will Martin, “Free Trade Area Membership as Stepping Stone to De37
Masyarakat Ekonomi ASEAN
85
peningkatan jumlah daftar produk yang dimasukkan di dalam skema CEPT (Lihat Tabel 3.1). Secara keseluruhan, sebesar 54.367 tarif dari 55.525 tarif telah dimasukkan ke dalam kelompok IL atau TEL.42 Hal ini bermakna bahwa 97,9 persen tarif akan diturunkan menjadi 0-5 persen di tahun 2002/2003.43 Sehingga, terlihat jelas bagaimana proyek awal liberalisasi melalui regionalisme ASEAN ini berjalan. Tabel 3.1 Paket CEPT bagi Negara ASEAN-9 sampai tahun 1998
Sumber: World Bank Discussion Paper No. 421, 11. Terdapat beberapa catatan penting dari tinjauan historis identifikasi nafas neoliberalisme dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN ini. Pertama, skema liberalisasi perdagangan melalui CEPT AFTA ini merupakan bagian integral dalam upaya menciptakan pergerakan bebas barang dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan kelanjutan dari proyek liberalisasi yang berakar dan tidak dapat dilepaskan dari prinsip integrasi yang disepakati melalui AFTA. Sementara itu, dengan sangat jelas terlihat bahwa AFTA merupakan upaya integrasi regional yang berlandaskan pada prinsip neoliberalisme. Kedua, AFTA yang menjadi akar dari agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan proyek liberalisasi kawasan yang didukung dan sejalan dengan proyek liberalisasi ala IMF dan Bank Dunia di negara-negara berkembang. Bahkan dalam laporan Bank Dunia memperlihatkan suatu analisis yang mendukung penerapan perdagangan bebas di tingkat kawasan sebagai batu pijakan bagi pembangunan negara-negara anggota baru ASEAN (Laos, Kamboja, Vietnam dan Myanmar).44 Secara eksplisit analisis di dalam World Bank Discussion Paper No. 421, menilai bahwa keanggotaan keempat negara baru di dalam perdagangan bebas ASEAN merupakan landasan bagi velopment, 11. 42 Emiko Fukase & Will Martin, “Free Trade Area Membership as Stepping Stone to Development, 11. 43 Emiko Fukase & Will Martin, “Free Trade Area Membership as Stepping Stone to Development, 11. 44 Emiko Fukase & Will Martin, “Free Trade Area Membership as Stepping Stone to Development.
86
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
pembangunan negara-negara tersebut dengan landasan asumsi manfaat dari strategi pembangunan neoliberal. Ketiga, perdagangan bebas yang diterapkan ASEAN melalui AFTA merupakan suatu bentuk strategi liberalisasi yang sejalan dengan agenda liberalisasi multilateral WTO. Kesepakatan perdagangan bebas di tingkat kawasan yang dijalankan yang berlandaskan pada strategi neoliberalisme dipandang bukan sebagai pengganti bagi agenda liberalisasi multilateral WTO, akan tetapi lebih sebagai pelengkap bagi agenda liberalisasi dalam skala yang lebih luas.45 Agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berakar pada proyek liberalisasi AFTA dengan lestarinya prinsip neoliberalisme dengan demikian, juga bukan merupakan wujud pengganti bagi agenda liberalisasi multilateral WTO, tetapi merupakan pelengkap bagi agenda liberalisasi besar-besaran yang telah berjalan dalam jangka panjang tersebut. Dalam konteks pendekatan strategis, langkah-langkah konkrit menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015 diterjemahkan melalui Cetak Biru (Blue Print) Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dideklarasikan pada Pertemuan Puncak ASEAN ke-13 di Singapura tahun 2007. Cetak Biru ini juga berisikan jadwal spesifik strategis upaya menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Jika kita mengamati karakteristik dan elemen dari Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dituangkan dalam cetak biru ini, tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan wujud integrasi ekonomi regional yang berlandaskan pada strategi neoliberalisme. Peranan besar dari mekanisme pasar bebas, sebagai salah satu inti dari neoliberalisme, tercermin dengan sangat terang dalam karakteristik utama Masyarakat Ekonomi ASEAN dalam wujud basis produksi dan pasar tunggal, kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, dan sebuah kawasan yang terintegrasi penuh dengan perekonomian global.46 Nafas neoliberalisme ini semakin kental terkandung di dalam lima elemen inti perwujudan ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan basis produksi. Berdasarkan cetak biru yang telah disepakati, strategi liberalisasi terlihat dengan sangat jelas menjadi instrumen utama untuk mencapai cita-cita terwujudnya integrasi ekonomi ASEAN. Inisiatif-inisiatif ekonomi yang dicanangkan dan diimplementasikan dalam menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN, dalam bentuk AFTA, ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) dan ASEAN Investment Area (AIA), juga dilandaskan pada suatu strategi yang berlandaskan pada liberalisasi. Begitu juga dengan langkah pertama upaya perwujudan Masyarakat Ekonomi ASEAN, melalui implementasi rekomendasi ASEAN Economic Ministers’ High Level Task Force (HLTF) on Economic Integration, neoliberalisme menjadi landasan dari serangkaian inisiatif ekonomi dengan batas waktu peraihan yang tegas. Hal ini dapat dicermati dari inisiatif-inisiatif HLTF yang dilampirkan pada Bali Concord II:47 • Integrasi jalur cepat dari 11 sektor prioritas, meliputi elektronik, Ken Heydon, “Regionalism: A Complement, Not A Substitute,” dalam OECD, Regionalism and the Multilateral Trading System (Paris: OECD, 2003), 11-20. 46 ASEAN Secretariat, ASEAN Economic Community Blueprint (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008), 6. 47 CPF. Luhulima, Dewi Fortuna Anwar, Ikrar Nusa Bhakti, Yasmin Sungkar dan Ratna Shofi Inayati, Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015 (Yogyakarta & Jakarta: Pustaka Pelajar & Pusat Penelitian Politik-LIPI, 2008), 50. 45
Masyarakat Ekonomi ASEAN
87
e-ASEAN, layanan kesehatan, produk berbasis kayu, otomotif, produk berbasis karet, tekstil dan produk tekstil, produk berbasis pertanian, perikanan, penerbangan dan pariwisata; • Faster customs clearance and simplified customs procedures melalui implementasi penuh Green Lane System untuk semua produk CEPT di semua entry-points negara-negara ASEAN; • Eliminasi rintangan perdagangan, antara lain dengan pemberlakuan pendekatan Single Window termasuk pemprosesan dokumen perdagangan secara elektronik pada tingkat nasional dan regional; • Accelerated implementation of the Mutual Recognition Arrangement (MRAs) for key sectors (seperti peralatan listrik dan elektronik, kosmetik, farmasi dan peralatan komunikasi); dan • Harmonisasi standar dan peraturan teknis. Dengan demikian, jelas sekali terlihat bahwa rekomendasi HLTF yang ditugaskan untuk merumuskan langkah-langkah untuk memperdalam integrasi regional difokuskan pada liberalisasi perdagangan barang dan jasa, serta kemudahan investasi.48 Prinsip neoliberal yang diterjemahkan ke dalam strategi liberalisasi menjelma ke dalam lima elemen inti dari Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pertama, liberalisasi (pergerakan bebas) lalu lintas barang. Pembebasan arus barang dari berbagai hambatan diyakini sebagai sebuah cara yang sangat penting dalam mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan basis produksi.49 Strategi liberalisasi di dalam elemen ini diturunkan ke dalam beberapa langkah yang terencana dan spesifik dalam waktu yang cepat. Secara historis, AFTA memainkan peranan penting dalam proses ini. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, AFTA menjadi pijakan dalam upaya liberalisasi lalu lintas barang di dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Bahkan dalam skema integrasi yang lebih dalam berbasis neoliberal ini, upaya penghapusan tarif yang dinilai berhasil oleh ASEAN melalui AFTA ini, dirasakan kurang. Dinyatakan bahwa dalam rangka pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN, tidak hanya tarif nol yang dibutuhkan, akan tetapi juga meliputi upaya menghapus segala bentuk hambatan yang bersifat nontarif di dalam ASEAN.50 Karenanya, skema CEPT-AFTA akan diperluas menjadi suatu kesepakatan komprehensif dalam rangka merealisasikan terbebasnya arus barang di kawasan Asia Tenggara dari berbagai hambatan menuju integrasi ekonomi di tahun 2015.51 Strategi liberalisasi ini dijalankan dengan sangat serius dalam upaya pencapaian Masyarakat Ekonomi ASEAN. Untuk menciptakan lalu lintas barang yang terbebas dari berbagai hambatan, negara-negara ASEAN telah menyepakati dan mengimplementasikan langkah-langkah nyata dengan tenggat waktu peraihan yang jelas. Dalam rangka menghapuskan hambatan tarif bagi lalu lintas barang, disepakati langkah-langkah yang akan diimplementasikan sebagai berikut: CPF. Luhulima, Dewi Fortuna Anwar, Ikrar Nusa Bhakti, Yasmin Sungkar dan Ratna Shofi Inayati, Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015, 126. 49 ASEAN Secretariat, ASEAN Economic Community Blue Print, 6. 50 ASEAN Secretariat, ASEAN Economic Community Blue Print, 6. 51 ASEAN Secretariat, ASEAN Economic Community Blue Print, 6. 48
88
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
1. Menghapuskan pajak impor atas seluruh produk, kecuali untuk produk-produk yang masuk ke dalam Sensitive dan Highly Sensitive Lists, baru akan dihapuskan pada tahun 2010 dan 2015 untuk negaranegara ASEAN-6, dengan kelonggaran untuk beberapa produk sensitif di tahun 2018, bagi Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam (Cambodia, Laos, Myanmar and Vietnam/CLMV). 2. Menghapuskan pajak impor dalam sektor integrasi prioritas (Priority Integration Sectors) di tahun 2007 bagi negara ASEAN-6 dan 2012 bagi CLMV. 3. Menyelesaikan tahapan memasukkan produk yang tersisa dalam Sensitive List (SL) ke dalam skema CEPT dan melakukan penurunan tarif atas produk-produk tersebut hingga 0-5 persen pada 1 Januari 2010 untuk negara ASEAN-6, 1 Januari 2013 bagi Vietnam, 1 Januari 2015 untuk Laos dan Myanmar, dan 1 Januari 2017 untuk Kamboja. 4. Memasukkan produk yang berada dalam General Exception List, sesuai dengan Kesepakatan CEPT. Berlandaskan pada keyakinan bahwa ASEAN telah berhasil mencapai kemajuan signifikan dalam liberalisasi tarif, upaya menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 difokuskan pada penghapusan berbagai hambatan non-tarif.52 Adapun langkah-langkah yang disepakati, sebagaimana terkandung dalam cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah berikut: 1. Meningkatkan transparansi berlandaskan pada Protocol on Notification Procedure dan membentuk suatu mekanisme pengawasan yang efektif; 2. Mematuhi komitmen penghapusan hambatan non-tarif; 3. Menghapuskan seluruh hambatan non-tarif pada tahun 2010 bagi negara ASEAN-5, 2012 bagi Filipina dan tahun 2015 dengan kelonggaran sampai 2018 bagi negara CLMV; 4. Meningkatkan transparansi atas Langkah-Langkah Non-Tarif (NonTariff Measures/NTMs); dan 5. Bekerja menuju kemungkinan terwujudnya aturan di tingkat kawasan yang konsisten dengan aturan main di tingkat internasional. Sejalan dengan strategi liberalisasi dalam elemen pertama, lalu lintas barang, liberalisasi juga diterapkan untuk membebaskan segala bentuk hambatan bagi perdagangan dalam elemen yang kedua, yaitu sektor jasa. Kebebasan arus perdagangan di sektor jasa, diyakini sebagai elemen yang penting dalam merealisasikan Masyarakat Ekonomi ASEAN, di mana tidak ada pembatasan substansial bagi pasokan jasa ASEAN untuk perusahaan-perusahaan melintasi batas-batas nasional di dalam kawasan.53 Terdapat beberapa langkah nyata yang disepakati putaran perundingan di bawah Coordinating Committee on Services untuk memfasilitasi pergerakan bebas jasa di kawasan Asia Tenggara, sebagai berikut:54 1. Menghapuskan secara substansial segala bentuk hambatan dalam perdagangan jasa dalam empat sektor jasa prioritas, yaitu transportasi udara, e-ASEAN, layanan kesehatan dan pariwisata pada tahun 2012 ASEAN Secretariat, ASEAN Economic Community Blue Print, 7. ASEAN Secretariat, ASEAN Economic Community Blue Print, 10. 54 ASEAN Secretariat, ASEAN Economic Community Blue Print, 10-11. 52 53
Masyarakat Ekonomi ASEAN
89
dan dalam sektor jasa kelima, jasa logistik, pada tahun 2013. 2. Menghapuskan secara substansial segala bentuk hambatan perdagangan jasa di semua sektor jasa pada tahun 2015. 3. Melakukan liberalisasi melalui rangkaian putaran berkelanjutan setiap dua tahun sampai 2015, misalnya 2008, 2010, 2012, 2014, dan 2015. 4. Mentargetkan jadwal jumlah minimum dari sub-sub sektor baru dalam setiap putaran: 10 sub-sektor tahun 2008, 15 di tahun 2010, 20 di tahun 2012, 20 di tahun 2014 dan 7 di tahun 2015, berlandaskan pada mekanisme yang berlaku di dalam GATS. 5. Menjadwalkan paket-paket komitmen bagi setiap putaran mengacu kepada parameter sebagai berikut: • Tidak adanya lagi hambatan untuk Mode 1 dan 2, dengan pengecualian berdasarkan pada alasan-alasan regulatoris (seperti keselamatan publik); • Penghapusan secara progresif pembatasan terhadap akses pasar dalam Mode 3 di tahun 2015. 6. Merumuskan parameter bagi liberalisasi untuk pembatasan perlakuan nasional, Mode 4 dan pembatasan dalam komitmen horizontal dalam setiap putaran di tahun 2009. 7. Menjadwalkan komitmen sesuai dengan parameter yang disepakati untuk pembatasan perlakuan nasional, Mode 4 dan pembatasan dalam komitmen horizontal dalam setiap putaran di tahun 2009. 8. Menyelesaikan kompilasi sebuah inventarisasi hambatan jasa pada Agustus 2008. 9. Memungkinkan kelonggaran keseluruhan, yang meliputi seluruh subsektor yang tidak dimasukkan ke dalam liberalisasi dan sub-sektor yang tidak kesemuanya terpenuhi dalam parameter liberalisasi mode pasokan. 10. Menyelesaikan Mutual Recognition Arrangements (MRAs) yang sedang dinegosiasikan. 11. Mengimplementasikan MRAs secepatnya sesuai dengan ketentuan dalam masing-masing MRA. 12. Mengidentifikasi dan mengembangkan MRAs untuk jasa professional lainnya di tahun 2012, dan diselesaikan pada tahun 2015. 13. Memperkuat pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan kapasistas dalam bidang jasa. Prinsip neoliberalisme juga tertanam dengan sangat kuat dalam strategi liberalisasi elemen inti Masyarakat Ekonomi ASEAN yang ketiga dalam wujud liberalisasi investasi. Kerjasama di bidang investasi kawasan Asia Tenggara yang berbasiskan pada neoliberalisme ini dilandaskan pada Framework Agreement on the ASEAN Investment Area (AIA) yang disepakati pada tahun 1998.55 Dalam ranah ini juga telah disepakati langkah-langkah nyata melalui liberalisasi progresif untuk mewujudkan situasi investasi yang bebas dan terbuka di tahun 2015. Langkahlangkah tersebut adalah sebagai berikut:56 ASEAN Secretariat, ASEAN Economic Community Blue Print, 12. ASEAN Secretariat, ASEAN Economic Community Blue Print, 14.
55 56
90
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
1. Memperluas pemberlakuan prinsip non-diskriminasi, meliputi perlakukan nasional dan prinsip Most-Favoured Nation (MFN), bagi para investor di dalam ASEAN dengan pengecualian terbatas; meminimalisasi dan jika dimungkinkan menghapuskan segala bentuk pengecualian tersebut; 2. Mengurangi dan jika dimungkinkan, menghapuskan segala bentuk hambatan bagi masuknya investasi dalam sektor integrasi prioritas; dan 3. Mengurangi dan jika memungkinkan, menghapuskan langkahlangkah hambatan investasi dan hambatan lainnya, meliputi persyaratan kinerja. Strategi liberalisasi juga diterapkan dalam elemen inti keempat, yaitu di bidang finansial atau kapital, sebuah ranah yang sensitif terkait dengan krisis yang melanda perekonomian Asia Tenggara di penghujung tahun 1990-an. Dalam bidang ini, liberalisasi dilakukan mengacu pada prinsip-prinsip yang ditujukan untuk mencegah dampak negatif dari liberalisasi kapital sebagaimana yang terjadi pada krisis Asia. Akan tetapi, tetap saja, langkah-langkah liberalisasi diterapkan dalam bentuk penghapusan dan kelonggaran hambatan bagi arus finansial di tingkat kawasan.57 Untuk menciptakan ASEAN sebagai sebuah basis produksi dan pasar tunggal, arus investasi yang masuk ke kawasan ini merupakan instrumen yang sangat penting. Terlebih lagi, arus masuk investasi asing langsung tidaklah digerakkan oleh negaranegara anggota ASEAN, melainkan oleh perusahaan-perusahaan multinasional dari Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang.58 Untuk itu, ASEAN direkomendasikan harus membuat dua keputusan penting, dalam bentuk melangkah lebih jauh dari rekomendasi HLTF dan membuka semua sektor manufaktur bagi investasi asing, yang bermakna TEL dan SL dalam sektor manufaktur dengan menggunakan formula ASEAN-X (ASEAN minus X) tidak diperlukan lagi.59 Selain itu, ASEAN juga harus membuka diri bagi investor dari manapun juga dan tidak lagi membedakan antara investasi dari ASEAN dan non-ASEAN.60 Begitu juga halnya dalam elemen inti yang kelima dari Masyarakat Ekonomi ASEAN, yaitu pergerakan bebas tenaga kerja yang terampil. Dalam rangka mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN, upaya menciptakan mobilitas bebas tenaga kerja terampil di bidang perdagangan, jasa dan investasi merupakan suatu hal yang sangat penting. Tidak hanya di tingkat ASEAN, kuatnya pengaruh liberalisasi, mendorong ASEAN juga menciptakan pergerakan bebas tenaga kerja tidak hanya di tingkat kawasan Asia Tenggara tetapi juga terbuka ke luar kawasan ASEAN. Sebagaimana halnya dengan sektor jasa, maka negara-negara ASEAN harus menerapkan kebijakan imigrasi yang terbuka bagi tenaga kerja profesional dan terampil.61 ASEAN Secretariat, ASEAN Economic Community Blue Print, 15. CPF. Luhulima, Dewi Fortuna Anwar, Ikrar Nusa Bhakti, Yasmin Sungkar dan Shofi Inayati, Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015, 54-55. 59 CPF. Luhulima, Dewi Fortuna Anwar, Ikrar Nusa Bhakti, Yasmin Sungkar dan Shofi Inayati, Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015, 55. 60 CPF. Luhulima, Dewi Fortuna Anwar, Ikrar Nusa Bhakti, Yasmin Sungkar dan Shofi Inayati, Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015, 55. 61 CPF. Luhulima, Dewi Fortuna Anwar, Ikrar Nusa Bhakti, Yasmin Sungkar dan Shofi Inayati, Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015, 59. 57 58
Ratna Ratna Ratna Ratna
Masyarakat Ekonomi ASEAN
91
Demikianlah neoliberalisme memainkan pengaruh yang sangat kuat dalam menentukan strategi liberalisasi sebagai landasan terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015. Terdapat tiga catatan penting yang menjadi perhatian dari irisan kritis pendekatan strategis pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pertama, sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa memang neoliberalisme menjadi landasan integrasi ekonomi kawasan Asia Tenggara dalam mewujudkan suatu Masyarakat Ekonomi ASEAN. Hal ini tercermin dengan sangat eksplisit dalam strategi liberalisasi multidimensi yang direncanakan dan telah diterapkan melalui langkah-langkah spesifik dengan tenggat waktu pencapaian yang jelas sebagaimana terangkum dalam cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kedua, neoliberalisme juga tercermin dari karakteristik regionalisme ASEAN yang bersifat sangat terbuka. Dalam hal ini Masyarakat Ekonomi ASEAN dirancang sebagai kawasan perdagangan bebas yang terbuka. Dinyatakan dalam Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN, bahwa dalam rangka mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN, ASEAN akan bertindak sejalan dengan prinsip keterbukaan, berorientasi keluar, inklusif dan sebagai perekonomian yang berlandaskan pada mekanisme pasar (market-driven economy) yang konsisten dengan aturanaturan multilateral.62 Sehingga tidak heran berbagai skenario perdagangan bebas lintas kawasan seperti ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), ASEANAustralia, New Zealand FTA (AANZFTA), ASEAN-Korea Selatan FTA, beberapa agenda FTA lainnya seperti, ASEAN-European Union FTA, ASEAN-USA FTA dan ASEAN-India FTA, berjalan dengan sangat marak seiring dengan upaya perwujudan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Ketiga, strategi dalam agenda integrasi ekonomi regional ASEAN ini juga merupakan bagian dari fenomena menjamurnya kesepakatan FTA dan RTA sebagai konsekuensi dari kemandegan negosiasi multilateral dalam ranah WTO.63 Namun lagi-lagi, sejalan dengan karakteristiknya yang terbuka, Masyarakat Ekonomi ASEAN bukanlah merupakan blok perdagangan bebas yang menutup diri dan menerapkan hambatan perdagangan dengan negaranegara di luar kawasan. Bahkan, strategi liberalisasi dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN yang diselaraskan dengan aturan yang berlaku di dalam WTO, menjadikan agenda integrasi ekonomi ASEAN lebih merupakan bagian dari mozaik liberalisasi perdagangan yang sangat penting dalam agenda liberalisasi di tingkat global. Dalam pendekatan teoritis, bagian ini berupaya untuk memperlihatkan bagaimana kekuatan perspektif neoliberalisme atau yang dikenal juga dengan pendekatan neoklasik mempengaruhi proses integrasi ekonomi kawasan Asia Tenggara menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pengaruh perspektif neoliberalisme dalam agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN tercermin dengan sangat jelas dalam keyakinan fundamental terhadap manfaat positif dari liberalisasi perdagangan. Para pendukung neoliberalisme meyakini bahwa kebijakan liberalisasi perdagangan yang diterapkan, baik itu secara bilateral, multilateral, atau bahkan global akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi yang positif.64 Selain ASEAN Secretariat, ASEAN Economic Community Blue Print, 5. Donald E. Weatherbee, International Relations in Southeast Asia: The Struggle for Autonomy (Maryland: Rowmand & Littlefield Publishers, Inc., 2009), 219. 64 Masahisa Fujita, Satoru Kumagai & Koji Nishikimi, eds., Economic Integration 62 63
in East Asia: Perspectives from Spatial and Neoclassical Economics (Massachusetts: Edward Elgar Publishing, Inc., 2008), 4.
92
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
itu, teori perdagangan neoklasik juga mengasumsikan bahwa liberalisasi perdagangan dalam skala yang luas dapat meningkatkan pendapatan ekonomi suatu negara.65 Pada tataran yang luas, strategi yang dibangun dalam agenda perwujudan Masyarakat Ekonomi ASEAN, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, mencerminkan suatu keyakinan dan komitmen yang kuat terhadap liberalisasi perdagangan, sehingga strategi ini diimplementasikan ke dalam langkah-langkah konkrit di dalam lima elemen inti pembentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN. Secara spesifik, beberapa pengamat memandang bahwa fenomena regionalisme ekonomi di Asia Tenggara pada dasarnya tidak relevan dijelaskan melalui pendekatan neoliberalisme atau neoklasik. Masahisa Fujita, Satoru Kumagai dan Koji Nishikimi, dalam sebuah buku yang mengulas secara teoritis integrasi ekonomi di kawasan Asia Timur, memberikan argumentasi yang menunjukkan kurang relevannya perspektif neoklasik dalam menjelaskan fenomena regionalisme di kawasan tersebut.66 Mereka menekankan fokus analisis pada teori keunggulan komparatif neoklasik dalam bentuk pengaruh liberalisasi perdagangan terhadap pertumbuhan dan ketimpangan regional. Dalam perspektif neoklasik, diasumsikan bahwa pertukaran ekonomi yang berlandaskan pada spesialisasi produksi dapat membawa keuntungan positif dalam bentuk pertumbuhan dan pendapatan. Sebagai hasilnya, diyakini bahwa liberalisasi perdagangan dapat menciptakan efisiensi penggunaan produk lintas dan batas dan mendorong pengalokasian sumber-sumber daya secara lebih baik.67 Secara tradisional, pola yang dianjurkan teori ini mendorong negara-negara untuk menekankan spesialisasi para produksi barang-barang konsumsi, meskipun juga terjadi dalam produk-produk menengah dan produksi komponen.68 Namun dewasa ini, yang menjadi persoalan bagi tidak relevannya perspektif neoklasik dalam menjelaskan regionalisme, terjadi suatu fenomena di mana perusahaan-perusahaan membangun jaringan produksi dalam skala global yang memecah-mecah proses produksi ke dalam beberapa elemen dan mengalokasikan beragam aktifitas produksi di negara-negara yang berbeda.69 Akan tetapi, meskipun penjelasan ini memperlihatkan tidak relevannya pendekatan neoklasik terkait dengan teori keunggulan komparatif, hal ini tidak bermakna bahwa prinsip dasar dari pendekatan ekonomi tersebut juga menjadi usang. Prinsip liberalisasi perdagangan dalam kondisi ekonomi yang berbeda dari yang diasumsikan oleh teori keunggulan komparatif tidaklah ditinggalkan. Perbedaan hanya terletak dari pola dan orientasi liberalisasi perdagangan, yang tadinya diorientasikan kepada spesialisasi produksi, kemudian bergeser ke arah penciptaan jejaring produksi yang menguntungkan. Dalam kondisi ekonomi yang mengalami perubahan, di mana terbangun jejaring produksi skala global oleh perusahaan-perusahaan multinasional, integrasi ekonomi yang berlandaskan pada Helen E.S. Nesadurai, Globalisation, Domestic Politics and Regionalism: The ASEAN Free Trade Area (London & New York: Routledge, 2003), 5. 66 Masahisa Fujita, Satoru Kumagai & Koji Nishikimi, eds., Economic Integration in East Asia, 4-5. 67 Masahisa Fujita, Satoru Kumagai & Koji Nishikimi, eds., Economic Integration in East Asia, 4-5. 68 Masahisa Fujita, Satoru Kumagai & Koji Nishikimi, eds., Economic Integration in East Asia, 4-5. 69 Masahisa Fujita, Satoru Kumagai & Koji Nishikimi, eds., Economic Integration in East Asia, 4-5. 65
Masyarakat Ekonomi ASEAN
93
liberalisasi perdagangan dengan penurunan dan penghapusan tarif, justru diyakini dapat menciptakan efisiensi alokasi sumber-sumber daya internasional dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan.70 Dengan demikian, dalam konteks ini, tidak terjadi perubahan yang substansial dari pengaruh perspektif neoliberalisme terhadap integrasi ekonomi kawasan. Hanya saja, terjadi pergeseran orientasi dan revisi teoritis dengan landasan substansial prinsip liberalisasi yang tetap dipertahankan. Selain itu, meskipun terjadi fenomena keusangan pendekatan tradisional neoklasik, namun prinsip pasar bebas tetap menjadi landasan dalam agenda integrasi ekonomi kawasan, khususnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Keyakinan pada manfaat dari mekanisme pasar tetap mewarnai strategi dalam agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Upaya untuk menciptakan suatu pasar bersama dengan berlandaskan pada asumsi skala ekonomi dengan terciptanya pasar yang besar terkandung dalam Cetak Biru pembentukan komunitas ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Integrasi ekonomi regional diyakini dapat menciptakan ekspansi pasar, sehingga akan tercipta suatu kawasan skala pasar yang besar yang dapat menarik pengelompokkan aktifitas ekonomi dari perusahaan-perusahaan multinasional. Dilip K. Daas, mengamati fenomena integrasi di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur sebagai integrasi ekonomi regional yang didorong oleh pasar (market-driven regional economic integration).71 Landasan dari argumentasi ini terkait dengan peningkatan dan pergeseran ekspor negara-negara di kawasan ini dari bahan-bahan mentah menjadi produk manufaktur.72 Di awal tahun 1990-an, lebih dari 60 persen ekspor negara-negara Asia Tenggara dan Timur ke Jepang adalah barang-barang manufaktur.73 Selain itu, juga terjadi peningkatan ekspor dari perekonomian industri baru di Asia (Newly Industrialised Asian Economies/NIAEs) ke negara-negara tetangga ASEAN, yang kemudian menjadi faktor pendorong integrasi ekonomi di kawasan ini. Argumentasi paradigmatis yang menyatakan bahwa integrasi ekonomi Asia Tenggara tidaklah murni berlandaskan pada model neoliberalisme juga terkandung di dalam sebuah karya Helen E.S. Nesadurai.74 Ia berupaya untuk menganalisis relasi antara globalisasi dengan fenomena integrasi regional. Menurutnya terdapat empat model dalam hubungan antara globalisasi dan regionalisme (lihat Tabel 3.2). Berdasarkan keempat model tersebut, Nesadurai mencermati fenomena regionalisme Asia Tenggara, khususnya dalam bentuk AFTA, sebagai landasan liberal pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN, memiliki ciri yang melintasi model regionalisme terbuka (open regionalism) dan regionalisme pembangunan (developmental regionalism).75 Terutama dikarenakan terkait dengan signifikansi politik dari modal asing dan dalam negeri dalam ekonomi politik masing-masing nega70 Masahisa Fujita, Satoru Kumagai & Koji Nishikimi, eds., Economic Integration in East Asia, 4-5. 71 Dilip K. Daas, Regionalism in Global Trade (Cheltenham & Northampton: Edward Elgar, 2004), 126. 72 Dilip K. Daas, Regionalism in Global Trade, 126. 73 Dilip K. Daas, Regionalism in Global Trade, 126. 74 Helen E.S. Nesadurai, Globalisation, Domestic Politics and Regionalism: The ASEAN Free Trade Area (London & New York: Routledge, 2003). 75 Helen E.S. Nesadurai, Globalisation, Domestic Politics and Regionalism, 41.
94
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
ra. Perlu dicermati bahwa dari keempat model tersebut, dua di antaranya (neoliberal regionalism dan FDI Model) merupakan regionalisme yang berlandaskan pada prinsip neoliberalisme. Meskipun, identifikasi Nesadurai bahwa regionalisme Asia Tenggara memiliki unsur-unsur kehati-hatian dan prioritas pemerataan domestik, namun kenyataannya ia sendiri mengakui bahwa kedua bentuk regionalisme tersebut (open regionalism dan developmental regionalism), merupakan hasil dari globalisasi dan didorong oleh suatu penekanan pada pertumbuhan ekonomi dan meleburkan diri ke dalam globalisasi (bukan dalam bentuk regionalisme yang menentang globalisasi).77 Keduanya sama-sama melihat arti penting dari modal. Ciri penting yang membedakan regionalisme pembangunan dengan regionalisme terbuka terletak pada prioritas modal yang ditekankan pada distribusi domestik dan pertumbuhan jangka panjang.78 Berdasarkan analisis kategorisasi model regionalisme Asia Tenggara yang dilakukan oleh Nesadurai, terdapat sebuah catatan penting yang patut digarisbawahi. Meskipun terdapat unsur regionalisme pembangunan, namun tetap saja regionalisme ini merupakan hasil dari dorongan globalisasi. Sementara itu, globalisasi sebagai suatu proses dan kondisi yang berjalan selama ini, memiliki kecacatan di dalam landasan geraknya yang bermuara pada neoliberalisme. Stiglitz, menyatakan bahwa, neoliberalisme, merupakan aturan main yang tidak adil yang menggerakkan globalisasi, dan secara spesifik dirancang untuk memberikan keuntungan bagi negara-negara industri maju.79 Sebagai hasilnya, berbagai perubahan yang terjadi seiring dengan globalisasi sangatlah tidak adil dan semakin memperburuk kondisi perekonomian negara-negara miskin di dunia.80 Globalisasi yang berjalan selama ini berlandaskan pada neoliberalisme sebagai landasan aturan main. Meskipun terdapat kecenderungan regionalisme pembangunan, agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN tetap merupakan anak kandung dari globalisasi yang berbasis neoliberalisme. Sehingga tidak heran, jika prinsip neoliberalisme terkandung dengan sangat kental di dalam langkah-langkah perwujudan komunitas ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Terlebih lagi, rancangan Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai regionalisme yang terbuka, dilandasi oleh upaya untuk tetap mengintegrasikan perekonomian kawasan dengan perekonomian global sejalan dengan proses globalisasi yang sampai saat ini tetap diatur oleh prinsip-prinsip neoliberalisme. 76
Helen E.S. Nesadurai, Globalisation, Domestic Politics and Regionalism, 41. Helen E.S. Nesadurai, Globalisation, Domestic Politics and Regionalism, 42. 78 Helen E.S. Nesadurai, Globalisation, Domestic Politics and Regionalism, 41. 79 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work, (New York: W.W. Norton & Company, Inc., 2006), 9. 80 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work, 9. 76 77
Masyarakat Ekonomi ASEAN
95
Tabel 3.2 Empat Model Relasi Globalisasi-Regionalisme
Sumber: Helen E.S. Nesadurai, Globalisation, Domestic Politics and Regionalism: The ASEAN Free Trade Area (London & New York: Routledge, 2003), 41-42. Dengan demikian, berlandaskan pada tiga pendekatan, historis, strategis dan teoritis, tidak dapat dipungkiri bahwa format integrasi ekonomi Asia Tenggara melalui agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015, dipengaruhi dengan sangat kuat oleh neoliberalisme. Neoliberalisme diterjemahkan dalam
96
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
strategi dan langkah-langkah nyata upaya pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang tertuang di dalam cetak biru. Sementara itu, perjalanan sejarah perekonomian negara-negara berkembang sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, membuktikan bahwa implementasi prinsip neoliberalisme dalam berbagai bentuk, lebih banyak membawa dampak negatif terhadap perekonomian kelompok negara tersebut. Agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah agenda integrasi yang berlandaskan neoliberalisme, sehingga terbuka peluang yang sangat besar bagi terulangnya berbagai kisah sedih yang harus dialami oleh negaranegara berkembang sebagai imbas dari implementasi neoliberalisme, di kawasan Asia Tenggara. Terlebih lagi, terbuka peluang besar terciptanya ketimpangan ekonomi di dalam kawasan sebagai hasil dari integrasi ekonomi yang berlandaskan neoliberalisme. Akhirnya, tidak ada jaminan bahwa semua negara di dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN akan memetik manfaat dari agenda integrasi ekonomi ini. Dengan berlandaskan pada suatu prinsip aturan main neoliberalisme yang tidak adil dan dirancang tidak untuk memberikan keuntungan bagi semua secara merata, tidak semua negara akan menjadi pemenang dalam terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Derasnya arus kompetisi akan mendorong perekonomian negaranegara yang tidak memiliki kesiapan dan kondisi yang memadai kepada jurang kekalahan dan tertinggal dari kemajuan ekonomi negara-negara yang memiliki kesiapan.
Bab 4 Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Penjelasan di dalam bab kedua dalam buku ini memberikan sebuah pesan yang sangat eksplisit bahwa kesiapan ekonomi merupakan sesuatu yang bersifat sangat mutlak bagi suatu negara jika tidak ingin menelan pil pahit keterpurukan ekonomi sebagai imbas dari implementasi neoliberalisme dalam beberapa skema, termasuk skema integrasi regional. Agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015, merupakan sebuah agenda integrasi regional yang berlandaskan pada neoliberalisme, sebagaimana telah diidentifikasi dan dijelaskan dalam bab tiga. Dengan demikian, Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki komitmen besar dan kuat terhadap agenda tersebut harus memiliki kesiapan ekonomi sebagai syarat mutlak jika tidak ingin tergilas dalam persaingan berbasis neoliberal ini. Bab ini berupaya untuk memberikan potret secara kritis kondisi kesiapan ekonomi Indonesia dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Terdapat lima aspek penting ekonomi yang akan ditelaah di dalam bab ini. Pada bagian pertama, akan diperlihatkan bagaimana bahwa pada kenyataannya, sektor industri manufaktur Indonesia, sebagai salah satu roda penggerak ekonomi, masih berada dalam keadaan yang terpuruk dan terus mengalami penurunan kinerja dan daya saing dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya. Bagian kedua mencoba untuk menganalisis kesiapan ekonomi Indonesia dalam agenda liberalisasi sektor jasa, yang dikhususkan dalam jasa pariwisata. Faktanya, daya saing pariwisata Indonesia juga masih tertinggal dibandingkan dengan tiga negara ASEAN lainnya, yaitu Malaysia, Thailand dan Singapura. Telaah terhadapi kualitas sumber daya manusia pada bagian berikutnya semakin memperlihatkan bagaimana pencapaian pembangunan manusia Indonesia dalam dimensi kesehatan dan pendidikan masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya. Sebagai hasilnya, kualitas tenaga kerja yang lahir juga merupakan tenaga kerja yang tidak tidak terampil dan berpendidikan rendah. Sementara itu, agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN memprioritaskan pada fasilitas tenaga kerja yang terampil, bukan tenaga kerja yang tidak terampil dan berpendidikan rendah, yang merupakan bagian dominan dari angkatan kerja di Indonesia. Dalam aspek iklim investasi, sebagai aspek penting dalam agenda integrasi neoliberal, iklim yang ada di Indonesia juga masih kurang kondusif dan atraktif untuk dapat menarik modal asing dalam jumlah besar. Berlandaskan pada telaah dalam kelima aspek penting ekonomi tersebut, bab ini berujung pada kesimpulan bahwa perekonomian Indonesia masih belum memi-
98
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
liki kesiapan yang memadai untuk dapat bersaing dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Selain itu, berdasarkan telaah pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pemerintah Indonesia tahun 2004-2009 dan 20102014, tampak bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki langkah-langkah yang berarti dalam mempersiapkan perekonomian Indonesia dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Daya Saing dan Kinerja Industri Manufaktur Indonesia Fenomena krisis utang luar negeri yang melanda negara-negara berkembang di tahun 1980-an, menjadi momentum bagi kegagalan asumsi teoritis paradigma neoklasik dalam bentuk keunggulan komparatif. Peristiwa ini membuktikan bahwa ketergantungan negara-negara berkembang terhadap spesialisasi ekspor produk komoditas mentah tidak dapat menjadi fundamen ekonomi yang kokoh dan berkelanjutan. Asumsi konseptual mengenai perdagangan dalam bentuk terms of trade, menemukan kesesuaian dengan fakta empiris, bahwa keuntungan dalam perdagangan internasional akan diraup secara maksimal oleh negara-negara dengan karakteristik industri manufaktur (pengolahan) yang kuat. Hal ini terjadi dikarenakan tidak hanya nilai tambah yang tinggi dari produksi manufaktur, akan tetapi juga dikarenakan karakteristik lain dari industri ini, terutama karakteristik produk berbasis teknologi tinggi. Pasca terjadinya krisis utang luar negeri negara-negara berkembang, kemudian terjadi pergeseran orientasi pembangunan ekonomi yang lebih menitikberatkan pada pengembangan industri manufaktur. Negara-negara berkembang, terutama di Asia Timur, secara bertahap mulai melakukan pergeseran ekspor dalam perdagangan internasional. Dari ekspor yang mengandalkan pada produk-produk dasar atau komoditas mentah ke arah ekspor produk-produk menengah atau produk akhir. Sehingga tidak heran, kemudian pada awal tahun 1990-an lebih dari 60 persen ekspor negara-negara Asia Tenggara dan Timur ke Jepang misalnya, merupakan barangbarang manufaktur.1 Sepanjang tahun 1980-an, persentase sektor manufaktur terhadap PDB negara-negara Asia Timur mengalami peningkatan sampai hampir menyentuh 35 persen.2 Angka ini bertahan pada posisi di atas 30 persen pada tahun 1990-an.3 Pergeseran ini mencerminkan suatu kesadaran dalam pembangunan ekonomi negara-negara berkembang mengenai pentingnya kebijakan pengembangan industri manufaktur. Karakteristik utama dari industri manufaktur terletak pada aktifitas ekonomi yang berupaya untuk mengubah barang dasar menjadi barang jadi atau setengah jadi dengan cara mekanis, kimia ataupun dengan tangan. Melalui upaya pengolahan ini, dapat diperoleh suatu peningkatan nilai barang dari yang bernilai Dilip K. Daas, Regionalism in Global Trade (Cheltenham & Northampton: Edward Elgar, 2004), 126. 2 United Nations Industrial Development Organization, Industrial Development Report 2009, Breaking in and Moving Up: New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries (UNIDO, 2009), 6. 3 United Nations Industrial Development Organization, Industrial Development Report 2009, 9. 1
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
99
rendah atau kurang menjadi barang yang bernilai lebih tinggi, yang berorientasi kepada barang-barang fase akhir, yang siap dikonsumsi. Karakteristik inilah yang menjadikan industri manufaktur menjadi landasan bagi terbangunnya fundamen ekonomi yang kokoh bagi suatu negara. Bahkan Fred Zimmerman dan Dave Beal menyatakan bahwa industri manufaktur memiliki kaitan yang sangat vital terhadap kesejahteraan.4 Tidak hanya negara-negara maju yang merasakan manfaat dan keuntungan dari keutamaan industri manufaktur, terutama dalam kemampuannya dalam menghasilkan nilai tambah dan memenuhi kebutuhan manusia. Pada dekade terakhir abad ke-20, semakin banyak negara yang merasakan manfaat dari upaya industri manufaktur bernilai tambah tinggi terhadap kehidupan masyarakat.5 Industri manufaktur, pada dasarnya merupakan kunci bagi keberhasilan ekonomi negara-negara maju dalam menaiki tangga pembangunan. Melalui campur tangan pemerintah yang sangat besar dalam sejarah perkembangan ekonomi Amerika Serikat dan Inggris, kedua negara ini dapat tumbuh menjadi negara industri maju di dunia. Industri-industri baru berhasil dikembangkan di kedua negara ini yang tidak mungkin terjadi tanpa adanya campur tangan pemerintah.6 Analisis historis Ha-Joon Chang, memperlihatkan bagaimana strategi pembangunan negara-negara yang saat ini berada dalam kelompok negara maju tersebut dilandaskan pada strategi pembangunan industri yang ditopang oleh nasionalisme ekonomi.7 Bahkan untuk mengembangkan industri manufaktur dalam negerinya, negara-negara ini menerapkan kebijakan proteksionisme untuk melindungi industri domestik, yang ironisnya menjadi suatu kebijakan yang “haram” untuk dilakukan negara-negara berkembang selama beberapa dekade terakhir.8 Berlandaskan pada prinsip nasionalisme ekonomi, dalam bentuk proteksi dan subsidi, negara-negara maju berhasil membangun fundamen ekonomi yang kokoh berlandaskan pada industri manufaktur.9 Meskipun perjalan ekonomi dunia menyaksikan pergeseran ke arah industri di bidang jasa, stuktur perdagangan negaranegara maju tetap mencerminkan peranan penting industri manufaktur bagi perekonomian (lihat Tabel 4.1). Di Amerika Serikat, sebagai contoh, persoalan ekonomi yang dihadapi pada paruh kedua dekade 2000-an berjalan seiring dengan penurunan performa industri manufaktur. Sebelumnya, pada dekade 1990-an, peranan industri manufaktur sangat besar bagi perekonomian Amerika Serikat. Sektor manufaktur di negara ini mengalami pertumbuhan sebesar 47 persen dari tahun 1992 sampai 2000.10 Produksi barang-barang yang berdaya tahan lama, seperti mobil, pesawat, dan peralatan pengolah data, mengalami peningkatan 73 persen selama periode ini.11 Peningkatan luar biasa produktifitas manufaktur Amerika Serikat menjadikan negara ini tidak tertandingi oleh produksi negara-negara maju lainnya. Besarnya Fred Zimmerman & Dave Beal, Manufacturing Works: The Vital Link Between Production and Prosperity (Chicago: Dearborn Financial Publishing, Inc., 2002), 1. 5 Fred Zimmerman & Dave Beal, Manufacturing Works, 17. 6 Ha-Joon Chang, Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective (London: Anthem Press, 2002), 3. 7 Ha-Joon Chang, Kicking Away the Ladder, 19-51. 8 Ha-Joon Chang, Kicking Away the Ladder, 19-51. 9 Dodi Mantra, Jurus Tendang Tangga China, Kompas, 4 Februari 2010 10 Fred Zimmerman & Dave Beal, Manufacturing Works, 6. 11 Fred Zimmerman & Dave Beal, Manufacturing Works, 6. 4
100
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
pengaruh industri manufaktur terhadap perekonomian Amerika Serikat tercermin dari defisit perdagangan yang menandai semakin memburuknya performa ekonomi negara adi daya ini (lihat Gambar 4.1). Perkembangan aktifitas ekonomi di sektor jasa yang sangat rapuh, terutama di bidang finansial, menjadikan beban berat bagi perekonomian Amerika Serikat. Tabel 4.1 Perubahan Struktur Perdagangan berdasarkan Kelompok Negara tahun 1990 dan 2005
Sumber: Bill Dunn, Global Political Economy: A Marxist Critique (London: Pluto Press, 2009), 182. Industri manufaktur juga memainkan peranan yang sangat besar bagi perekonomian negara-negara Uni Eropa. Industri manufaktur merupakan tulang punggung bagi perekonomian Eropa. Sebanyak lebih dari 2.230.000 perusahaan di 23 sektor industri memberikan lapangan pekerjaan sebesar lebih dari 34 juta.12 Nilai tambah yang dihasilkan dari sektor manufaktur Eropa mencapai 1.630 milyar Euro, dengan 70 persen di antaranya berasal dari enam bidang utama, yaitu otomotif, peralatan elektronik dan optik, bahan makanan, kimia, produk metal dasar dan fabrikasi serta mekanik.13 Sektor manufaktur memainkan peranan besar bagi keuntungan Uni Eropa dalam perdagangan internasional (lihat Gambar 4.2). Bahkan begitu besarnya peranan sektor industri manufaktur bagi masa depan perekonomian tidak hanya Eropa, tetapi juga dunia, Uni Eropa telah melakukan upaya transformasi paradigma terkait dengan pembangunan yang berkelanjutan dan kompetitif (Competitive Sustainable Development) ke arah pembangunan manufaktur berkelanjutan dan kompetitif (Competitive Sustainable Manufacturing).14 Melalui perhatian dan pengeluaran besar di bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan teknologi serta inovasi (Education, Research and Technological Development and Innovation/ E&RTD&I), Uni Eropa merupakan kelompok negara yang mengedepankan upaya pengembangan industri manufaktur sebagai kunci keberhasilan pembangunan ekonomi dunia.15 Tercatat sebesar 80 persen pengeluaran di bidang penelitian dan pengembangan teknologi (RTD) sektor swasta di Uni Eropa dialokasikan pada sek F. Jovane, E. Westkamper & D. Williams, The Manufuture Road: Towards Competitive and Sustainable High-Adding-Value Manufacturing (Berlin: Springer, 2009), 12-13. 13 F. Jovane, E. Westkamper & D. Williams, The Manufuture Road, 12-13. 14 F. Jovane, E. Westkamper & D. Williams, The Manufuture Road, 8. 15 F. Jovane, E. Westkamper & D. Williams, The Manufuture Road, 8. 12
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
101
tor manufaktur. Langkah ini telah menghasilan produk-produk inovatif baru yang menopang 75 persen dari total ekspor Uni Eropa.17 16
16 17
F. Jovane, E. Westkamper & D. Williams, The Manufuture Road, 12. F. Jovane, E. Westkamper & D. Williams, The Manufuture Road, 12.
Sumber: Bill Dunn, Global Political Economy: A Marxist Critique (London: Pluto Press, 2009), 184.
Gambar 4.1 Struktur Perdagangan Dunia 2005
102 Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
103
Gambar 4.2 Struktur Sektoral Perdagangan Dunia berdasarkan Kawasan tahun 2006
Sumber: F. Jovane, E. Westkamper & D. Williams, The Manufuture Road: Towards Competitive and Sustainable High-Adding-Value Manufacturing (Berlin: Springer, 2009), 13. Keberhasilan China tumbuh sebagai raksasa ekonomi dunia selama dua dekade terakhir juga tidak dapat dilepaskan dari peranan pembangunan industri manufaktur. Bahkan dapat dikatakan bahwa industri manufaktur merupakan kunci bagi pertumbuhan luar biasa perekonomian negeri Tirai Bambu ini. Selama tahun 1990-2005, ekspor China mengalami peningkatan sebesar dua puluh lima kali lipat, dibandingkan dengan peningkatan sebesar empat kali lipat yang dialami dua belas negara eksportir terbesar di dunia pada periode yang sama.18 Pada tahun 2005, ekspor China mencapai sebesar 25 persen dari total ekspor seluruh negara selain dua belas eksportir teratas.19 Yang menjadi kunci dari keberhasilan perekonomian China ini terletak pada pembangunan industri manufaktur.20 Selama periode 2000-2005, sektor manufaktur memiliki porsi 32 persen dari PDB China dan 89 persen total ekspor barang.21 Hal ini menjadikan China semakin terspesialisasi di sektor manufaktur dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya (Lihat Tabel 4.2).22 Kon Gordon H. Hanson & Raymond Robertson, “China and the Manufacturing Exports of Other Developing Countries,” dalam Robert C. Feenstra & Shang-Jin Wei, China’s Growing Role in World Trade (London: The University of Chicago Press, Ltd. & National Bureau of Economic Research, 2010), 137. 19 Gordon H. Hanson & Raymond Robertson, “China and the Manufacturing Exports of Other Developing Countries,” 137. 20 Gordon H. Hanson & Raymond Robertson, “China and the Manufacturing Exports of Other Developing Countries,” 137. 21 Gordon H. Hanson & Raymond Robertson, “China and the Manufacturing Exports of Other Developing Countries,” 137. 22 Gordon H. Hanson & Raymond Robertson, “China and the Manufacturing Exports of 18
104
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
disi ini juga telah menjadikan China sebagai sumber pasokan utama barang-barang konsumsi dan produk manufaktur padat karya di dunia, yang juga telah memberikan tekanan pada harga produk di dunia.23 Tabel 4.2 Spesialisasi Sektor Manufaktur Negara-Negara Berkembang
Sumber: Gordon H. Hanson & Raymond Robertson, “China and the Manufacturing Exports of Other Developing Countries,” dalam Robert C. Feenstra & Shang-Jin Wei, China’s Growing Role in World Trade (London: The University of Chicago Press, Ltd. & National Bureau of Economic Research, 2010), 139. Other Developing Countries,” 137. 23 Gordon H. Hanson & Raymond Robertson, “China and the Manufacturing Exports of Other Developing Countries,” 137.
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
105
Sejalan dengan perkembangan ekonomi negara-negara Asia Timur dan Tenggara lainnya, sektor manufaktur di Indonesia mengalami peningkatan pada periode 1980-2000. Pada periode tersebut, kinerja industri manufaktur Indonesia dikategorikan sebagai salah satu pemenang utama (main winners) bersama beberapa negara berkembang lain yang kebanyakan berasal dari kawasan Asia Timur.24 Pemerintah Indonesia sendiri mengakui dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, bahwa sektor manufaktur merupakan motor bagi pertumbuhan ekonomi.25 Pada dasarnya, selama dua dekade sebelum krisis yang melanda Indonesia di penghujung tahun 1997, sektor manufaktur Indonesia telah mengalami pertumbuhan dan telah terlihat arah pergeseran orientasi ekspor yang mengandalkan pada spesialisasi industri manufaktur. Pada tahun 1996, tercatat pertumbuhan sektor industri pengolahan (manufaktur) 11,6 persen berdasarkan tahun dasar 1993.26 Namun demikian, performa sektor manufaktur yang cukup baik sampai dengan pertengahan tahun 1990-an ini, dihantam oleh krisis moneter yang menular dengan cepat dalam lingkup yang bersifat multidimensi. Pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan dari Produk Domestik Bruto Riil sebesar 7,8 persen di tahun 1996, mengalami penurunan menjadi 4,9 persen di tahun 1997 dan merosot dengan sangat tajam menjadi -13,7 persen di tahun 1998.27 Beban berat krisis ini juga membawa dampak yang sangat signifikan terhadap pertumbuhan sektor industri pengolahan (manufaktur) Indonesia. Pertumbuhan pada level 11,6 persen di tahun 1996, anjlok menjadi 6,4 persen di tahun 1997 dan terpuruk pada level 12,9 persen di tahun 1998.28 Sebagai imbasnya, penurunan pertumbuhan industri manufaktur ini berdampak pada penurunan nilai ekspor nonmigas yang mengalami penurunan sebesar 12,3 persen atau sebesar US$ 40,3 miliar, dibandingkan dengan peningkatan sebesar 17 persen pada tahun sebelumnya.29 Khusus di bidang manufaktur, nilai ekspor barang pada sektor ini menurun 14 persen dibandingkan dengan kenaikan sebesar 18,1 persen pada tahun sebelumnya (lihat Tabel 4.3).30 Selain itu, imbas dari krisis ini juga telah membawa dampak pada menurunnya nilai ekspor nonmigas Indonesia, terutama penurunan tajam di sektor manufaktur (lihat Gambar 4.3). Pemerintah Indonesia pada dasarnya sangat menyadari dan mengakui peranan penting sektor manufaktur sebagai motor penggerak ekonomi. Selama periode awal krisis, meskipun mengalami kemerosotan yang tajam, sektor manufaktur tetap menjadi andalan utama sektor nonmigas dengan komposisi 76,8 persen dari perolehan devisa ekspor Indonesia masih bertumpu pada sektor ini.31 Berlandaskan pada pentingnya sektor industri manufaktur, selama satu dekade pasca puncak krisis di tahun 1998, pemerintah Indonesia menyatakan diri telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kembali performa sektor industri ini. Berkaitan dengan agenda Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009. 25 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009. 26 Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999, 3. 27 Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999, 3. 28 Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999, 3. 29 Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999, 45. 30 Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999, 45. 31 Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999, 47. 24
106
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, salah satu prioritas dan arah kebijakan pembangunan pemerintah adalah melalui peningkatan daya saing industri manufaktur.32 Sebagaimana disebutkan dalam RPJMN 2004-2009, kebijakan ini diarahkan untuk meningkatkan utilitas kapasitas terpasang; memperkuat struktur industri; memperkuat basis produksi; meingkatkan daya saing dengan tekanan pada industri yang menyerap lebih banyak tenaga kerja; memenuhi kebutuhan dalam negeri; memiliki potensi ekspor; serta mengolah sumber daya alam dalam negeri.33 Tabel 4.3 Nilai Ekspor Kelompok Barang Manufaktur
Sumber: Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999 ,47.
Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian I.1-15. 33 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian I.1-15. 32
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
107
Gambar 4.3 Pertumbuhan Ekspor Nonmigas
Sumber: Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999 ,46. Selain permasalahan penurunan pertumbuhan, industri sektor manufaktur juga diwarnai oleh persoalan penurunan daya saing yang telah berawal sebelum krisis tahun 1997.34 Bahkan penurunan ini telah mengindikasikan terjadinya deindustrialisasi, yang ditunjukkan oleh gejala dalam bentuk tingkat realisasi kapasitas terpasang produksi (utilisasi kapasitas), jumlah perusahaan dan indeks produksi (lihat Tabel 4.4). Pemerintah mengidentifikasi penyebab utama permasalahan di sektor manufaktur ini terletak pada daya saing produk-produk manufaktur yang lemah.35 Untuk mengatasi persoalan daya saing yang melemah, dalam RPJMN 2004-2009, pemerintah telah menentukan arah kebijakan dalam berbagai bentuk seperti landasan ekonomi makro yang kuat untuk meningkatkan kinerja daya saing manufaktur, peningkatan sumber daya manusia di bidang manufaktur dan intervensi langsung pemerintah secara fungsional dalam bentuk investasi dan layanan publik pada hal-hal di mana mekanisme pasar tidak dapat berlangsung.36 Salah satu aspek utama dari intervensi tersebut terletak pada upaya pengembangan penelitian dan pengembangan (research and development/R&D) untuk pembaruan dan inovasi teknologi produksi.37 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.18-3. 35 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.18-3. 36 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.18-6,7. 37 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jang34
108
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Akan tetapi, realitas empiris memperlihatkan bagaimana berbagai arah kebijakan pembangunan industri manufaktur yang dituangkan dalam RPJMN 20042009 tersebut tidaklah diterjemahkan secara spesifik dan nyata dalam implementasinya di lapangan. Hal ini terbukti dari kegagalan pemerintah Indonesia melalui arah kebijakan tersebut, untuk meningkatkan kembali kinerja pertumbuhan dan daya saing industri manufaktur sebagai motor penggerak perekonomian. Selama periode 1998 sampai dengan 2009, industri manufaktur tidak memperlihatkan pertumbuhan yang signifikan, bahkan terjadi kecenderungan penurunan (lihat Gambar 4.4). Pada tahun 1999 terlihat pertumbuhan industri pengolahan mengalami perbaikan, menjadi sebesar 3,8 persen dibandingkan dengan -11,4 persen di tahun 1998.38 Angka ini mengalami peningkatan kembali menjadi 6,2 persen di tahun 2000, namun menurun kembali menjadi 4,3 persen di tahun 2001.39 Bahkan kecenderungan pertumbuhan industri pengolahan ini terus mengalami penurunan sampai pada titik terendah di tahun 2009 dengan nilai sebesar 2,11 persen (lihat Gambar 4.4).40 Data tersebut mencerminkan kondisi sektor manufaktur, terutama dari sisi produksi yang cenderung mengalami penurunan berdasarkan persentase pertumbuhan ekonomi. Tabel 4.4 Indikator Sektor Industri Pengolahan Indonesia 1996-2002
Sumber: Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.18-3.
ka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.18-6,7. 38 Laporan Tahunan Bank Indonesia 2000, 5. 39 Laporan Tahunan Bank Indonesia 2001, 5. 40 Laporan Tahunan Bank Indonesia 2009, 32.
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
109
Gambar 4.4 Pertumbuhan Industri Pengolahan Indonesia 1996-2009
Catatan: Data tahun 1996 dan 1997 berdasarkan tahun anggaran dasar 1993, sementara data tahun 1998-2009 berdasarkan persentase pertumbuhan year on year (yoy). Sumber: Berdasarkan indikator makroekonomi dalam Laporan Perekonomian Indonesia Bank Indonesia tahun 1996 sampai 2009. Tabel 4.5 Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha (Sektoral)
Sumber: Laporan Perekonomian Indonesia Bank Indonesia 2009 Pemerintah Indonesia sendiri mengakui di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2009-2014, bahwa dari sisi produksi, industri pengolahan nonmigas mengalami pertumbuhan rendah selama 2004-2009.41 Kondisi sektor manufaktur yang masih memperlihatkan kinerja yang rendah ini merupakan bukti bagi minimnya implementasi riil kebijakan pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan industri manufaktur dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Pemerintah Indonesia sendiri pada dasarnya telah mengidentifikasi beberapa permasalahan spesifik di sektor industri manufaktur, dalam bentuk sebagai berikut: 42 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2009-2014, I-82 42 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jang41
110
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
KKN (korupsi, kolusi dan nepostisme) dan layanan umum yang buruk. Cost of money yang relatif tinggi. Administrasi perpajakan yang belum optimal. Kandungan impor yang sangat tinggi. Lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi. Kualitas SDM yang relatif rendah. Iklim persaingan yang kurang sehat. Struktur industri masih lemah. Peranan industri kecil dan menengah (termasuk rumah tangga) masih minim. 10. Sebaran industri yang terpusat di Pulau Jawa. Berbagai persoalan yang telah teridentifikasi tersebut diyakini menjadi penyebab bagi terpuruknya daya saing ekspor, terutama dalam bentuk biaya overhead produksi yang tinggi, di mana pengeluaran untuk berbagai pungutan dan untuk biaya buruknya layanan umum menambah biaya overhead sekitar 8,7 persen – 11,2 persen.43 Dinyatakan dalam RPJMN 2004-2009 bahwa berdasarkan hasil identifikasi perusahaan Jepang, bila biaya produksi manufaktur Indonesa diberi indeks 100, maka China hanya sekitar 62, Filipina 77, Malaysia 79, dan Thailand 89.44 Disebutkan juga bahwa struktur biaya produksi manufaktur Indonesia juga sangat rentan dengan biaya overhead mencapai 33,4 dan biaya untuk material mencapai 58,3, dibandingkan dengan China yang hanya 17,1 dan material hanya 39,9.45 Kecenderungan penurunan pertumbuhan sisi produksi dari sektor industri pengolahan (manufaktur) Indonesia selama periode 2004-2009, mencerminkan gejala kurang seriusnya pemerintah dalam mengatasi berbagai hambatan yang telah teridentifikasi tersebut. Persoalan KKN masih menjadi hantu yang menakutkan bagi upaya pengembangan industri dalam negeri. Membanjirnya barang-barang impor di pasaran dalam negeri terus mengalami peningkatan selama periode ini, sebagai konsekuensi dari berbagai kesepakatan perdagangan bebas dengan beberapa negara. Begitu juga halnya dengan kualitas sumber daya manusia dan investasi teknologi tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Realitas empiris memperlihatkan dengan sangat jelas betapa terpuruknya kinerja industri manufaktur Indonesia selama periode 2004-2009. Keterpurukan ini akan semakin menyedihkan lagi jika kinerja industri manufaktur dinilai secara komparatif dengan performa negara-negara di Asia Tenggara lainnya, khususnya empat negara ASEAN lainnya (Filipina, Malaysia, Thailand dan Singapura) dalam rangka menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Selama kurang lebih tiga dekade terakhir, kinerja industri manufaktur Indonesia masih kalah dalam bersaing dengan keempat negara ASEAN tersebut. Kondisi ini terbukti dari peringkat daya saing sektor industri manufaktur Indonesia berdasarkan Competitiveness Industrial Performance yang dikembangkan oleh United Nations Industrial Development Orka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.18-3. 43 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.18-3. 44 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.18-3. 45 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.18-3.
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
111
ganization (UNIDO). Di dalamnya, terdapat beberapa indikator untuk mengukur kinerja daya saing industri manufaktur di setiap negara, yang diterjemahkan ke dalam empat variabel utama, yaitu: (a) nilai tambah industri manufaktur per kapita, (b) ekspor industri manufaktur per kapita, (c) intensitas industrialisasi yang diukur dari kontribusi industri manufaktur pada PDB dan kontribusi industri manufaktur berteknologi menengah dan tinggi pada sektor industri manufaktur, (d) kualitas ekspor yang diukur dari kontribusi ekspor manufaktur dalam total ekspor dan kontribusi manufaktur berteknologi menengah dan tinggi dalam nilai ekspor industri manufaktur.46 Berdasarkan Competitiveness Industrial Performance (CIP) UNIDO dalam periode 1980-2000, memang kinerja industri manufaktur Indonesia mengalami peningkatan dari urutan ke-75 di tahun 1980, menjadi urutan ke-54 pada tahun 1990, dan urutan ke-38 pada tahun 2000.47 Namun, pemerintah Indonesia sendiri mengakui di dalam RPJMN 2004-2009, bahwa jika dibandingkan dengan beberapa negara pesaing utama di Asia Timur (termasuk ASEAN), peningkatan posisi Indonesia memang relatif terpuruk.48 Berbagai upaya yang dinyatakan pemerintah untuk meningkatkan daya saing industri manufaktur pada tahun-tahun berikutnya, pada kenyataannya tidak menemui hasil yang diharapkan. Bahkan yang sangat menyedihkan, berdasarkan Industrial Development Report UNIDO 2009, peringkat Indonesia dalam indeks Competitiveness Industrial Performance (CIP) di tahun 2005 berada pada peringkat 42, mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 2000 yang berada pada posisi 38.49 Kondisi ini memang patut disayangkan, mengingat pentingnya sektor manufaktur dalam perekonomian dan kinerja daya saing industri manufaktur keempat negara ASEAN, Filipina, Malaysia, Thailand dan Singapura, yang tetap bertahan pada posisi yang stabil pada periode yang sama. Berdasarkan indeks CIP 2000-2005, Singapura berada pada peringkat teratas. Meskipun mengalami penurunan dari peringkat 13 menjadi 16, Malaysia tetap berada pada posisi yang lebih tinggi dibanding Indonesia, disusul Thailand yang mengalami peningkatan dari posisi 26 menjadi 25 dan Filipina yang tetap stabil bertahan pada peringkat ke-30 (lihat Tabel 4.6).50
Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.18-2. 47 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.18-2. 48 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.18-2. 49 United Nations Industrial Development Organization, Industrial Development Report 2009, Breaking in and Moving Up: New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries (UNIDO, 2009), 120. 50 United Nations Industrial Development Organization, Industrial Development Report 2009, Breaking in and Moving Up: New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries (UNIDO, 2009), 120. 46
112
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Tabel 4.6 Peringkat Negara-Negara Kawasan Asia Timur dan Pasifik berdasarkan Indeks Competitiveness Industrial Performance (CIP) tahun 2000 dan 2005
Sumber: United Nations Industrial Development Organization, Industrial Development Report 2009, Breaking in and Moving Up: New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries (UNIDO, 2009), 120. Berdasarkan enam indikator yang digunakan dalam laporan CIP UNIDO 2009, tercermin dengan sangat jelas kelemahan daya saing kinerja industri manufaktur Indonesia dalam bersaing dengan empat negara ASEAN lainnya, yaitu Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina (lihat Tabel 4.7). Dalam indikator yang pertama, meskipun mengalami peningkatan tipis dari sebesar US$ 216,4 menjadi US$ 259,1, nilai tambah industri manufaktur Indonesia masih dapat bersaing dengan kinerja sektor manufaktur Filipina, di mana nilai tambah Indonesia di tahun 2005 melampaui nilai negara tersebut yang sebesar US$ 249,3.51 Namun jika dibandingkan dengan nilai tambah tiga peringkat atas sektor manufaktur ASEAN, Singapura, Malaysia dan Thailand, kinerja sektor manufaktur Indonesia akan mengalami kekalahan dalam persaingan. Terlebih lagi dengan akselerasi pertumbuhan nilai tambah yang sangat signifikan yang dialami ketiga negara tersebut dari tahun 2000 dan 2005. Akselerasi pertumbuhan nilai tambah ini sangat jauh dibandingkan dengan Indonesia yang hanya meningkat tipis sebesar US$ 42,7. Tercatat bahwa nilai tambah United Nations Industrial Development Organization, Industrial Development Report 2009, Breaking in and Moving Up: New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries (UNIDO, 2009), 129-131. 51
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
113
industri manufaktur Singapura mengalami peningkatan dari sebesar US$ 5.945,4 di tahun 2000 menjadi US$ 6.707,7 pada tahun 2005.52 Begitu juga dengan yang dialami Malaysia dan Thailand, peningkatan yang cukup signifikan juga terjadi dalam nilai tambah industri manufaktur. Pada tahun 2000 nilai tambah industri manufaktur Malaysia sebesar US$ 1.280,3 di tahun 2000 menjadi US$ 1.430,3 di tahun 2005.53 Sementara itu, Thailand mengalami peningkatan sebesar US$ 205,5, dari nilai yang sebesar US$ 676,7 tahun 2000 menjadi US$ 882,2.54 Berdasarkan jumlah ekspor industri manufaktur per kapita, sebagai indikator yang kedua dari indeks CIP, Indonesia juga tertinggal dibandingkan dengan keempat negara ASEAN lainnya. Ekspor industri manufaktur per kapita Indonesia mengalami peningkatan dari US$ 210 di tahun 2000 menjadi US$ 251.55 Namun, jika kita dibandingkan dengan peningkatan yang dialami oleh Singapura, Malaysia dan Thailand, semakin terlihat jelas betapa lambat dan jauhnya tertinggal pertumbuhan daya saing dan kinerja industri manufaktur Indonesia. Singapura mengalami peningkatan ekspor industri manufaktur per kapita yang sangat luar biasa, dari sebesar US$ 33.314 tahun 2000, menjadi US$ 50.028 di tahun 2005.56 Peningkatan ekspor industri manufaktur per kapita juga tidak ketinggalan dialami oleh Malaysia di tahun 2005, yaitu sebesar US$ 4.753, dibandingkan dengan nilai sebesar US$ 3.815 di tahun 2000.57 Sementara itu, Thailand mengalami peningkatan dari sebesar US$ 957 di tahun 2000, menjadi US$ 1.498 di tahun 2005.58 Dalam Laporan Perekonomian Indonesia yang disusun oleh Bank Indonesia tahun 1998/1999, dinyatakan bahwa ekspor manufaktur merupakan andalan ekspor nonmigas Indonesia.59 Namun demikian, berdasarkan data indikator kinerja industri manufaktur Industrial Development Report 2009, kenyataannya, komposisi ekspor manufaktur Indonesia terhadap total ekspor, belum dapat mengalahkan posisi keempat negara ASEAN lainnya. Pada tahun 2005, kontribusi ekspor manufak United Nations Industrial Development Organization, Industrial Development Report 2009, Breaking in and Moving Up: New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries (UNIDO, 2009), 129-131. 53 United Nations Industrial Development Organization, Industrial Development Report 2009, Breaking in and Moving Up: New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries (UNIDO, 2009), 129-131. 54 United Nations Industrial Development Organization, Industrial Development Report 2009, Breaking in and Moving Up: New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries (UNIDO, 2009), 129-131. 55 United Nations Industrial Development Organization, Industrial Development Report 2009, Breaking in and Moving Up: New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries (UNIDO, 2009), 129-131. 56 United Nations Industrial Development Organization, Industrial Development Report 2009, Breaking in and Moving Up: New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries (UNIDO, 2009), 129-131. 57 United Nations Industrial Development Organization, Industrial Development Report 2009, Breaking in and Moving Up: New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries (UNIDO, 2009), 129-131. 58 United Nations Industrial Development Organization, Industrial Development Report 2009, Breaking in and Moving Up: New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries (UNIDO, 2009), 129-131. 59 Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999, 47. 52
114
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
tur terhadap total ekspor adalah sebesar 64,5 persen.60 Kontribusi ini masih kalah jika dibandingkan dengan keempat negara ASEAN lainnya, di mana pada tahun yang sama kontribusi ekspor manufaktur terhadap total eskpor Singapura sebesar 94,6 persen, Malaysia 85,5 persen, Thailand 87,4 persen dan Filipina sebesar 95,7 persen.61
United Nations Industrial Development Organization, Industrial Development Report 2009, Breaking in and Moving Up: New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries (UNIDO, 2009), 129-131. 61 United Nations Industrial Development Organization, Industrial Development Report 2009, Breaking in and Moving Up: New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries (UNIDO, 2009), 129-131. 60
Singapura
Malaysia
Thailand
Filipina
Indonesia
Vietnam
Kamboja
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
44,5
74,1
216,4
221,4
676,7
1.280,3
5.945,4
2000
87 107
75,8
210
486
957
3.815
33.314
2000
120,3
259,1
249,3
882,2
1.430,3
6.707,7
2005
198
211
251
476
1.498
4.753
50.028
2005
Ekspor Industri Manufaktur per kapita (dollar)
16,0
18,6
27,2
22,2
33,6
32,6
25,8
2000
19,9
22,5
28,1
22,0
36,1
32,2
26,1
2005
Kontribusi Nilai Tambah Industri terhadap PDB (persentase)
98,5
46,8
69,7
96,6
85,5
89,3
97,1
2000
97,5
54,0
64,5
95,7
87,4
85,5
94,6
2005
Kontribusi Ekspor Manufaktur dalam Total Ekspor (persentase)
0,3
20,6
31,6
34,2
34,7
54,9
71,4
2000
0,3
21,9
29,8
40,1
37,8
49,8
77,6
2005
Kontribusi Produksi Manufaktur Berteknologi Menengah dan Tinggi dalam Nilai Tambah Industri Manufaktur (persentase)
1,0
21,5
34,1
81,1
59,5
76,4
77,8
2000
0,9
21,4
33,1
81,4
61,6
72,1
72,1
2005
Kontribusi Ekspor Manufaktur Berteknologi Menengah dan Tinggi terhadap Total Ekspor Manufaktur (persentase)
Sumber: United Nations Industrial Development Organization, Industrial Development Report 2009, Breaking in and Moving Up: New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries (UNIDO, 2009), 129-131.
* Dalam nilai dollar konstan tahun 2000
Negara
No.
Nilai Tambah Industri Manufaktur per kapita (dollar)*
Tabel 4.7 Enam Indikator Kinerja Industri, Negara-Negara ASEAN tahun 2000 dan 2005
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia 115
116
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Berdasarkan data indikator kinerja industri tersebut, juga terlihat betapa Indonesia tertinggal jauh dalam bidang teknologi yang menopang industri. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa kecenderungan yang terjadi di dunia saat ini adalah akselerasi peningkatan kemampuan teknologi melalui inovasi, penelitian dan pengembangan teknologi, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian besar negara-negara maju dan berkembang di dunia. Selama satu dekade terakhir, empat negara ASEAN, Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina, telah melakukan percepatan pengembangan teknologi untuk menopang kinerja industri manufaktur yang berdaya saing tinggi. Hal ini tercermin dari indikator kontribusi ekspor manufaktur berteknologi menengah dan tinggi terhadap total ekspor manufaktur di dalam Industrial Development Report 2009. Kontribusi ekspor manufaktur berteknologi menengah dan tinggi terhadap total ekspor manufaktur Singapura pada tahun 2005 adalah sebesar 72,1 persen, angka yang sama dengan Malaysia, Thailand sebesar 61,6 persen, dan bahkan Filipina sebesar 81,4 persen.62 Sementara keempat negara pesaing utama ASEAN telah melakukan percepatan pengembangan teknologi, Indonesia masih jauh tertinggal dengan kontribusi ekspor manufaktur berteknologi menengah dan tinggi terhadap total ekspor manufaktur hanya sebesar 33,1 persen, suatu persentase yang tidak sebanding dengan yang ditunjukkan kinerja manufaktur keempat negara ASEAN lainnya.63 Terdapat beberapa catatan yang sangat penting dari realitas empiris dalam Industrial Development Report 2009 yang menjadi cerminan dan potret kesiapan ekonomi Indonesia berdasarkan kinerja dan daya saing industri manufaktur dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Pertama, secara keseluruhan berdasarkan analisis data komparatif, dapat dinyatakan bahwa daya saing dan kinerja sektor manufaktur Indonesia jelas tertinggal dibandingkan dengan keempat negara ASEAN lainnya. Bahkan dengan kondisi pertumbuhan industri manufaktur yang justru mengalami penurunan, sulit bagi produk manufaktur Indonesia untuk dapat bersaing dalam sebuah pasar tunggal Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kedua, Indonesia juga gagal dalam melakukan akselerasi atau percepatan peningkatan daya saing dan kinerja industri manufaktur, dibandingkan dengan keempat negara ASEAN lainnya yang mengalami pertumbuhan sangat cepat. Ketiga, industri manufaktur Indonesia belum sepenuhnya menjadi andalan ekspor, dibandingkan dengan keempat negara ASEAN lainnya, di mana ekspor manufaktur menguasai ratarata 90 persen dari total eskpor. Keempat, yang terpenting, ketika negara-negara di dunia dan di ASEAN berupaya untuk meningkatkan kemampuan teknologi yang tercermin dari ekspor manufaktur berteknologi menengah dan tinggi, dibandingkan dengan keempat negara ASEAN lainnya, Indonesia jelas mengalami ketertinggalan. Dalam kaitan dengan agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berlandaskan pada liberalisasi perdagangan, kinerja dan daya saing industri manufaktur yang sangat lemah ini merupakan sebuah persoalan yang sangat besar. Pada dasarnya, perdagangan bebas merupakan hambatan bagi upaya pengembangan industri. Bah United Nations Industrial Development Organization, Industrial Development Report 2009, Breaking in and Moving Up: New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries (UNIDO, 2009), 129-131. 63 United Nations Industrial Development Organization, Industrial Development Report 2009, Breaking in and Moving Up: New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries (UNIDO, 2009), 129-131. 62
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
117
kan pemerintah Indonesia sendiri menyadari persoalan tersebut. Di dalam RPJMN 2004-2009, pemerintah mengakui bahwa produk manufaktur Indonesia seperti produk elektronika rumah tangga kalah bersaing di pasar dalam negeri dengan produk-produk impor.64 Tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini terjadi sebagai imbas dari implementasi berbagai kesepakatan perdagangan bebas (FTAs) yang selama ini disepakati pemerintah Indonesia, baik secara bilateral ataupun dalam skema kawasan, seperti Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), dan ASEAN-Australia, New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA). Namun meskipun disadari bahwa FTA merupakan hambatan bagi pengembangan industri nasional, dalam bentuk kalah bersaingnya produk Indonesia bahkan di pasar dalam negeri sendiri, komitmen pemerintah terhadap berbagai agenda FTA ini terus berlangsung dan dipertahankan. Wujud nyata dari komitmen ini tercermin dari implementasi pencapaian pilar keempat Masyarakat Ekonomi ASEAN dalam bentuk integrasi ke dalam perekonomian global. Harus diperhatikan bahwa instrumen yang dipilih ASEAN untuk mengintegrasikan diri ke dalam perekonomian global adalah melalui kesepakatan perdagangan bebas (FTAs). Dalam pilar yang keempat ini, Indonesia telah berhasil mencapai target integrasi 100 persen yang tercermin dari indikator lima FTAs Indonesia dengan negara-negara di luar kawasan ASEAN (China, Korea Selatan, Jepang, Australia-Selandia Baru dan India) yang telah berada pada status entry to force di tahun 2008-2009.65 Dengan demikian, sementara sektor industri manufaktur Indonesia masih dalam kondisi keterpurukan, berbagai hambatan terhadap berhasilnya pengembangan sektor industri ini justru terus muncul melalui berbagai instrumen integrasi ekonomi global yang diimplementasikan melalui kesepakatan perdagangan bebas. Dalam tataran internal, tidak terlihat dengan jelas adanya komitmen atau kebijakan pemerintah yang secara tegas diupayakan untuk meningkatkan kinerja dan daya saing industri manufaktur yang terpuruk ini. Bahkan Instruksi Presiden RI nomor 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009, tidak terlihat adanya komitmen atau kebijakan pemerintah yang memberikan prioritas untuk meningkatkan kinerja dan daya saing industri manufaktur yang terpuruk ini. Di dalam Inpres tersebut terdapat sasaran remedi (penyembuhan/pemulihan) terhadap industri dalam negeri dengan target Juni 2008, namun kenyataannya berbagai hambatan industri dalam bentuk banjirnya produk impor sebagai imbas dari FTAs terus terjadi. Tidak disebutkan sama sekali adanya orientasi pemerintah untuk mengembangkan industri manufaktur yang berteknologi menengah dan tinggi dalam Inpres ini. Lebih banyak dibahas mengenai pengembangan industri finansial, industri kreatif (kerajinan dan barang seni) serta industri kecil dan menengah (batu mulia dan perhiasan, gerabah dan keramik hias, serta makanan/minuman ringan). Sementara negara-negara ASEAN lainnya berlomba-lomba meningkatkan kinerja dan daya saing industri manufaktur yang berbasis teknologi menengah dan tinggi, dalam fokus program ekonomi pemerintah tahun 2008-2009 justru tidak sama sekali menying Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.18-3. 65 Herry Soetanto, Evaluasi Penyiapan Ekonomi Daerah dalam Menghadapi ASEAN Community 2015, materi presentasi dalam Focus Group Discussion “Pemerintah Daerah dan ASEAN Community,” Universitas Al Azhar Indonesia, 26 Agustus 2010. 64
118
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
gung persoalan peningkatan kinerja industri manufaktur berbasis teknologi. Perlu ditekankan kembali bahwa agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah sebuah agenda integrasi regional yang berlandaskan pada prinsip neoliberalisme dalam wujud perdagangan bebas. Potret buram sektor industri manufaktur Indonesia selama ini, terlebih jika dianalisis secara komparatif dengan beberapa pesaing utama ASEAN, menjadikan bagi kita sulit untuk membayangkan bahwa Indonesia akan menjadi salah satu pemenang yang dapat memaksimalkan keuntungan melalui regionalisme ekonomi berbasis neoliberal ini. Bahkan jika kondisi sektor manufaktur ini tidak mengalami perubahan yang signifikan, dan jika pemerintah tidak melakukan dengan segera suatu upaya akselerasi, maka tidak menutup kemungkinan Indonesia justru akan menjadi negara yang kalah di tengah persaingan regional. Terdapat lima skenario yang menggambarkan sektor industri manufaktur Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, jika kondisi yang terpuruk ini tetap lestari. Pertama, dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN, Indonesia akan sulit menembus pasar keempat negara ASEAN (Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina), dikarenakan daya saing dan kinerja industri manufaktur mereka jauh lebih baik dibandingkan dengan Indonesia. Kedua, Indonesia juga akan sangat sulit bersaing untuk memperebutkan pasar negara-negara ASEAN lainnya yang performa manufakturnya kurang baik, dikarenakan harus bersaing dengan keempat negara dengan manufaktur kuat. Ketiga, Indonesia juga mendapatkan porsi yang terbatas dari ekspor ASEAN ke pasar ekstra-regional, karena akan didominasi oleh produkproduk manufaktur yang berteknologi tinggi dari keempat negara ASEAN. Keempat, bahkan untuk mempertahankan pasar dalam negeri, Indonesia akan mengalami kesulitan, dengan membanjirnya produk manufaktur empat negara ASEAN yang memiliki daya saing tinggi. Kelima, dalam kondisi ini, sulit bagi industri manufaktur Indonesia untuk tumbuh, dikarenakan produk impor yang membanjiri pasar domestik, yang merupakan hambatan bagi pengembangan industri nasional. Akhirnya, berlandaskan pada kelima skenario tersebut ini juga, sangat sulit untuk memahami asumsi optimis dari para pendukung integrasi regional berbasis neoliberal bahwa sektor manufaktur Indonesia akan mengalami peningkatan kinerja dan daya saing melalui liberalisasi perdagangan di tingkat kawasan. Sebaliknya, justru Masyarakat Ekonomi ASEAN akan menjadikan sektor industri manufaktur Indonesia untuk mengejar ketertinggalan dari keempat negara pesaingnya.
Daya Saing Industri Pariwisata Indonesia Salah satu arus liberalisasi yang didorong melalui agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 adalah di sektor jasa. Jasa di bidang pariwisata merupakan sebuah bidang perdagangan jasa yang akan dibebaskan dari hambatan melalui agenda ini di tahun 2010, sebagaimana yang diatur di dalam Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN.66 Namun demikian, tidak hanya industri manufaktur Indonesia yang mengalami penurunan daya saing, industri pariwisata juga mengalami persoalan yang serupa dan relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain ASEAN Secretariat, ASEAN Economic Community Blue Print (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008), 10. 66
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
119
nya. Di dalam RPJMN 2004-2009, pemerintah Indonesia melaporkan bahwa terjadi penurunan perolehan devisa ekspor (jasa) pada sektor jasa.67 Sebagai penyumbang devisa terbesar kedua setelah ekspor minyak dan gas (migas), sektor pariwisata berperan penting dalam penyerapan kesempatan kerja serta menopang pertumbuhan ekonomi. Dilaporkan, pada tahun 2003, jumlah wisatawan mancanegara di Indonesia mencapai jumlah 4,46 juta orang dengan perolehan devisa sekitar US$ 4,04 miliar atau menurun sekitar 10,2 persen dari tahun 2002.68 Dalam RPJMN 20042009, pemerintah juga telah mengidentifikasi beberapa permasalahan yang menyebabkan terjadinya penurunan kinerja daya saing pariwisata tersebut dalam bentuk:69 1. Kurang kondusifnya kondisi keamanan dan ketertiban dalam negeri akhirakhir ini terutama dengan maraknya berbagai aksi terorisme seperti pemboman yang memberikan citra buruk bangsa Indonesia. 2. Maraknya hambatan dari bermunculannya berbagai regulasi baik di pusat maupun daerah sebagai dampak masa transisi pelaksanaan otonomi daerah. Keadaan ini memberatkan pelaku industri pariwisata yang tercermin dari menurunnya minat dunia usaha di dalam pengembangan obyek wisata potensial dan infrastruktur yang berkenaan dengan kepariwisataan. 3. Masih lemahnya pengelolaan sebagian besar daerah tujuan wisata dan asetaset warisan budaya sehingga kurang atraktif dan kurang mampu bersaing dengan obyek-obyek wisata terutama dengan negara-negara ASEAN. 4. Belum efektifnya kelembagaan pengelolaan pemasaran dan promosi pariwisata terutama ke masyarakat internasional. Akan tetapi, meskipun beberapa permasalahan ini telah teridentifikasi, kenyataannya upaya pemerintah selama lima tahun berikutnya masih belum berarti untuk menyelesaikan permasalahan ini dan meningkatkan kembali kinerja daya saing pariwisata Indonesia. Secara statistik, memang telah terjadi peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dari 2005 sampai 2008 (lihat Tabel 4.8). Dalam RPJMN 2010-2014 dilaporkan bahwa terjadi peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dari 5,0 juta pada tahun 2005 menjadi 6,4 juta pada tahun 2008, atau mengalami peningkatan sebesar 28,0 persen.70 Penerimaan devisa dari hasil kunjungan wisatawan mancanegara juga meningkat dari US$ 4,52 miliar pada tahun 2005 menjadi US$ 7,37 miliar pada tahun 2008, atau meningkat sebesar 63,05 persen.
Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.17-5. 68 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.17-5. 69 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.17-5. 70 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.3-9. 67
120
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme Tabel 4.8 Perkembangan Kunjungan Wisatawan Tahun 2004-2008
Sumber: Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.3-9. Namun demikian, meskipun secara kuantitas jumlah wisatawan mancanegara dan penerimaan devisa Indonesia, dari sisi kualitas daya saing kinerja pariwisata Indonesia pada tahun 2008 dan 2009 masih kalah dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya (Singapura, Malaysia dan Thailand). Dalam aspek jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dari tahun 2009, jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan ketiga negara ASEAN tersebut (lihat Tabel 4.9). Pada tahun 2008 misalnya, terdapat sekitar 6,4 juta wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia, bandingkan dengan jumlah kunjungan ke Malaysia sebesar 22,1 juta orang, Thailand 14,6 juta dan Singapura 10,1 juta.71 Bahkan, jika dilihat secara internasional, berdasarkan The Travel and Tourism Competitivenss Report 2009 (World Economic Forum), sebagaimana yang diakui oleh pemerintah Indonesia dalam RPJMN 2010-2014, daya saing pariwisata Indonesia tercatat berada pada peringkat ke-81 dari 133 negara, di mana posisi ini masih di bawah Malaysia (peringkat 32), Singapura (10) dan Thailand (39).72 Ironisnya, jika dibandingkan dengan tahun 2008, di mana peringkat Indonesia berada pada posisi ke-80, peringkat daya saing pariwisata Indonesia ini justru mengalami penurunan (lihat Tabel 4.9).73
ASEAN Tourism Statistics Database. Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.3-9. 73 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.3-9. 71 72
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
121
Tabel 4.9 Peringkat Daya Saing Pariwisata Negara ASEAN
Sumber: Jennifer blanke & Thea Chiesa, The Travel & Tourism Competitiveness Report 2009: Managing in a Time of Turbulence (Geneva: World Economic Forum, 2009). Dengan demikian, berdasarkan pada potret daya saing pariwisata Indonesia ini, dibutuhkan kerja ekstra keras dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas sektor jasa yang menjadi salah satu elemen dari liberalisasi dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Memang melalui integrasi ekonomi ASEAN, sektor pariwisata Indonesia dapat meraup keuntungan dengan adanya berbagai kemudahan perjalan di tingkat kawasan. Akan tetapi, jika kualitas jasa dan infrastruktur pariwisata tidak mengalami peningkatan kondisi yang memadai, maka sektor pariwisata Indonesia tidak akan menikmati keuntungan sebagaimana dirasakan oleh Malaysia, Thailand dan Singapura. Kemampuan inovasi untuk meningkatkan daya saing pariwisata di ketiga negara tersebut, dengan berbagai kemasan wisata dan perubahan paradigma wisata yang ditawarkan terbukti mampu secara signifikan meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara. Sementara itu, jika tidak terjadi percepatan peningkatan daya saing pariwisata, maka sektor pariwisata Indonesia tetap akan mengalami kekalahan dalam bersaing dengan tiga negara ASEAN tersebut dalam agenda integrasi ekonomi kawasan Asia Tenggara di tahun 2015.
Potret Komparatif Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia Kualitas sumber daya manusia merupakan salah satu kunci bagi keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara. Bahkan Jeffrey Sachs menjadikan investasi untuk meningkatkan sumber daya manusia merupakan salah satu cara untuk mengeluarkan manusia dari jerat kemiskinan.74 Terdapat dua cabang karakteristik analisis yang digunakan oleh Jeffrey Sachs dalam melihat arti penting peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pertama, karakteristik yang sangat kental dalam bentuk pandangan yang bersifat kapitalistis terhadap sumber daya manusia. Dalam konteks ini, Sachs memandang kemiskinan terjadi dikarenakan ketidakmampuan manusia untuk keluar dari siklus pendapatan ekonomi yang rendah yang berakar pada minimnya modal (kapital) yang dimiliki untuk menaiki tangga perbaikan ekonomi.75 Minimnya kapital yang dimiliki menjadikan masyarakat miskin terus terjerat di dalam lingkaran setan kemiskinan. Untuk itu, upaya dalam mengentaskan kemiskinan harus dijalankan melalui penyuntikkan kapital guna memberikan Jeffrey Sachs, The End of Poverty: Economic Possibiities for Our Time (New York: Penguin Press, 2005), 244. 75 Jeffrey Sachs, The End of Poverty, 244-247. 74
122
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
kemampuan untuk meningkatkan pendapatan. Menurut Sachs, terdapat enam jenis kapital yang sangat minim dimiliki oleh masyarakat miskin. Kapital dalam wujud kualitas sumber daya manusia (human capital), yang diejawantahkan dalam bentuk kesehatan, gizi, pendidikan dan ketrampilan yang berguna untuk meningkatkan produktivitas ekonomi, merupakan kapital pertama yang harus diinjeksikan kepada masyarakat miskin.76 Kapital yang kedua adalah modal bisnis (business capital) dalam bentuk permesinan, fasilitas, dan berbagai instrumen yang dibutuhkan dalam pertanian, industri dan jasa. Infrastruktur merupakan kapital ketiga yang sangat penting dalam upaya pengentasan kemiskinan. Kapital ini misalnya diwujudkan dalam faktor-faktor yang sangat penting bagi produktifitas usaha, yaitu jalan, sumber listrik, air dan kebersihan, bandar udara, pelabuhan, dan sistem telekomunikasi. Sachs juga memasukkan modal alami (natural capital) sebagai bentuk yang keempat, seperti lahan yang dapat diolah, tanah yang subur, keanekaragaman hayati, dan ekosistem yang berfungsi dengan baik. Ia mencermati pentingnya modal institusional publik (public institutional capital), dalam bentuk hukum perdagangan, sistem yudisial, layanan dan kebijakan pemerintah yang melandasi skema pembagian kerja yang sejahtera dan damai. Terakhir, Sachs, memasukkan modal pengetahuan (knowledge capital) dalam bentuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka meningkatkan produktifitas usaha dan memajukan modal alami dan fisik.77 Berlandaskan pada asumsi teoritis ini, Sachs memandang peningkatan sumber daya manusia memiliki posisi yang sangat penting dalam mengentaskan kemiskinan, walaupun pada akhirnya bermuara pada pandangan kapitalistis yang menjadikan sumber daya manusia sebagai kapital bagi kemajuan ekonomi. Karenanya, investasi, baik oleh pemerintah atau swasta untuk meingkatkan kualitas sumber daya manusia merupakan salah satu strategi utama untuk mengatasi persoalan kemiskinan dalam suatu negara. Meskipun demikian, dalam karakteristik analisis yang kedua, Jeffrey Sachs memandang persoalan sumber daya manusia dalam konteks yang humanis, terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia.78 Bahkan, tidak sebagaimana lazimnya pendekatan yang memasukkan aspek pemenuhan kualitas sumber daya manusia sebagai barang publik (public goods), Sachs menjadikan aspek ini sebagai merit goods.79 Sebagai merit goods, akses terhadap pemenuhan barang dan jasa dasar seperti layanan kesehatan, pendidikan, air bersih dan lain sebagainya, merupakan persoalan hak dan keadilan.80 Menjadi persoalan hak dan keadilan dikarenakan merit goods merupakan barang dan jasa yang harus tersedia bagi semua orang atas dasar arti pentingnya bagi keberlangsungan hidup manusia.81 Lebih dari itu, pemenuhan terhadap merit goods sebagai hak dasar manusia telah menjadi komitmen dari seluruh pemerintah di dunia, yang tidak hanya pada tataran informal, tetapi bahkan telah dijamin dalam hukum internasional, terutama termaktub di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.82 Di dalam Deklarasi tersebut 78 79 80 81 82 76 77
Jeffrey Sachs, The End of Poverty, 244. Jeffrey Sachs, The End of Poverty, 244-245. Jeffrey Sachs, The End of Poverty, 251-252. Jeffrey Sachs, The End of Poverty, 251. Jeffrey Sachs, The End of Poverty, 251. Jeffrey Sachs, The End of Poverty, 251. Jeffrey Sachs, The End of Poverty, 251.
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
123
dinyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas standar kehidupan yang layak bagi kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya meliputi makanan, pakaian, rumah dan layanan kesehatan serta layanan sosial yang dibutuhkan.83 Disebutkan juga bahwa setiap orang memiliki hak atas pendidikan, dan pendidikan haruslah bebas biaya atau gratis, setidaknya pada tingkat dasar dan menengah.84 Dalam konteks ini, semakin jelas bahwa pemenuhan kualitas kehidupan manusia merupakan suatu hal yang sangat fundamental tidak hanya bagi perekonomian, akan tetapi bagi keberlangsungan hidup manusia. Posisi tulisan ini, lebih menekankan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai barang publik (public goods) atau bahkan merit goods. Berdasarkan pada karakteristik barang dan jasa ini yang sangat vital, upaya pemenuhannya tidak dapat diserahkan kepada mekanisme pasar. Negara atau pemerintah, sebagaimana yang telah tercantum dalam komitmen internasional, merupakan aktor yang berperan dalam pemenuhannya barang-barang publik ini. Pasar merupakan entitas yang tidak dapat memenuhi secara adil barang dan jasa vital ini. Sebagai sesuatu yang sangat vital, pemenuhan barang-barang publik harus adil dan setiap orang mendapatkannya. Tidak ada persaingan di dalam pemenuhan ini, dalam arti jika seorang mendapatkan akses terhadap barang publik, maka orang lain juga harus mendapatkannya dan tidak boleh menghilangkan hak orang lain (prinsip nonrivalry dalam pemenuhan barang-barang publik). Secara konstitusional, pemenuhan hak dasar warga negara dalam bentuk layanan kesehatan dan pendidikan juga dijamin oleh pemerintah sebagaimana termaktub di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan, di dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan dibentuknya pemerintahan negara Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi selama lebih dari enam puluh tahun merdeka, kemampuan negara untuk memenuhi barang dan jasa publik yang menjadi kebutuhan vital warga negara belum berjalan secara maksimal. Terlebih lagi, jika secara komparatif dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, kualitas sumber daya manusia masih jauh tertinggal. Di dalam RPJMN 2004-2009 pemerintah Indonesia sendiri mengakui bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia masih rendah.85 Dalam bidang kesehatan misalnya, Indonesia mengalami kekurangan pada hampir semua jenis tenaga kesehatan yang diperlukan dan ketidakseimbangan antara produksi dengan penyerapan, serta distribusi dan pemerataannya.86 Secara komparatif, pembiayaan kesehatan per kapita di Indonesia berada pada posisi terendah di antara negara ASEAN, di mana pembiayaan kesehatan di Indonesia selama 10 tahun rata-rata hanya mencapai 2,2 persen dari PDB, jauh dari anjuran World Health Organization (WHO) yakni sebesar 5 persen dari PDB. Secara komparatif, rendahnya kualitas sumber daya manusia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, terutama Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina, dapat dicermati berdasarkan Indeks Pembangunan Manu Jeffrey Sachs, The End of Poverty, 251. Jeffrey Sachs, The End of Poverty, 251. 85 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian I.1 – 3. 86 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian I.1 – 4. 83 84
124
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
sia (Human Development Index/HDI) United Nations Development Programme (UNDP). Indeks pembangunan manusia (HDI) merupakan suatu bentuk ringkasan pengukuran pembangunan manusia di setiap negara yang dilakukan oleh UNDP. Dalam HDI, pengukuran dilakukan terhadap rata-rata pencapaian suatu negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia dalam bentuk (a) usia dan kesehatan hidup, yang diukur melalui harapan hidup saat lahir; (b) pengetahuan, diukur melalui tingkat melek huruf orang dewasa dan kombinasi rasio pendaftaran bruto pendidikan tingkat dasar, menengah dan lanjutan; (c) standar kehidupan yang layak, yang diukur berdasarkan PDB per kapita dalam batasan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) dalam dollar AS.87 Berdasarkan data Laporan Pembangunan Manusia UNDP 2007, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada pada peringkat 107 dari 177 negara yang diukur oleh UNDP.88 Sementara itu, jika kita bandingkan dengan sepuluh negara ASEAN, Indonesia berada peringkat 7 di Asia Tenggara. Nilai HDI Indonesia pada tahun 2005, dalam laporan tersebut adalah sebesar 0.728, berada dalam kategori negara dengan pembangunan manusia menengah, satu kelompok dengan Thailand yang berada pada peringkat 78 di dunia dan 4 di ASEAN dengan nilai 0.781, diikuti Filipina pada peringkat 90 dunia dan 5 ASEAN dengan nilai 0.771, serta Vietnam pada peringkat 105 dunia dan 6 ASEAN dengan nilai 0.733 (lihat Tabel 4.10).89 Sementara itu, tiga negara ASEAN lainnya (Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia) masuk dalam kelompok negara dengan pembangunan manusia yang tinggi, di mana Singapura berada pada peringkat 25 dunia dan pertama ASEAN dengan nilai HDI 0.922, diikuti Brunei peringkat 30 dunia dan kedua ASEAN dengan nilai 0.894, disusul oleh Malaysia pada peringkat 63 dunia dan ketiga ASEAN dengan nilai 0.811 (Tabel 4.10).90 Dalam Laporan Pembangunan Manusia UNDP 2009, terlihat bahwa nilai HDI Indonesia di tahun 2007 mengalami peningkatan tipis menjadi 0.734, mengungguli Vietnam yang memiliki nilai 0.725 (lihat Tabel 4.11).91 Namun demikian, jika dilihat berdasarkan peringkat dunia Indonesia tetap berada dalam kategori kelompok negara dengan pembangunan manusia menengah, yaitu berada pada posisi 111 dari 182 negara.92 Dalam kelompok negara-negara ASEAN, berdasarkan nilai HDI ini, Indonesia juga mengalami peningkatan posisi menduduki peringkat keenam dari sepuluh negara Asia Tenggara. Akan tetapi kualitas sumber daya manusia tetap tertinggal dari Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina. Bahkan Singapura dan Brunei masuk dalam kategori negara dengan pembangunan United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008 Fighting Climate Change: Human solidarity in a divided world (New York: UNDP, 2007), 356. 87
88 89
United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008, 231. United Nations Development Programme, Human Development Report
2007/2008, 229-232.
United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008, 229232. 91 United Nations Development Programme, Human Development Report 2009 Overcoming barriers: Human mobility and development (New York: UNDP, 2009), 171-172. 92 United Nations Development Programme, Human Development Report 2009 Overcoming barriers: Human mobility and development (New York: UNDP, 2009), 171-172. 90
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
125
manusia yang sangat tinggi, dengan peningkatan posisi Singapura menjadi peringkat 23 dunia dan tetap bertahan pada peringkat pertama ASEAN diikuti oleh Brunei yang tetap stabil pada posisi 30 dunia dan kedua ASEAN.
0.894
0.811
30 Brunei Darussalam
63 Malaysia
0.771
0.733
0.728
0.601
0.598
0.583
90 Philippines
105 Vietnam
107 Indonesia
130 Lao People’s Democratic Republic
131 Cambodia
132 Myanmar 60.8
58.0
63.2
69.7
73.7
71.0
69.6
73.7
76.7
79.4
Life expectancy at birth (years) 2005
89.9
73.6
68.7
90.4
90.3
92.6
92.6
88.7
92.7
92.5
Adult literacy rate (% aged 15 and above) 1995-2005
49.5
60.0
61.5
68.2
63.9
81.1
71.2
74.3
77.7
87.3
1,027
2,727
2,039
3,843
3,071
5,137
8,677
10,882
28,161
29,663
GDP per capita (PPP US$) 2005
0.596
0.550
0.637
0.745
0.812
0.767
0.743
0.811
0.862
0.907
Life expectancy index
0.764
0.691
0.663
0.830
0.815
0.888
0.855
0.839
0.877
0.908
Education index
0.389
0.552
0.503
0.609
0.572
0.657
0.745
0.783
0.941
0.950
GDP index
35
-6
11
6
18
11
-13
-6
-8
-6
GDP per capita (PPP US$) rank minus HDI rank
Sumber: United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008 Fighting Climate Change: Human solidarity in a divided world (New York: UNDP, 2007), 229-232.
0.781
78 Thailand
MEDIUM HUMAN DEVELOPMENT
0.922
25 Singapore
HIGH HUMAN DEVELOPMENT
HDI rank
Human Development Index (HDI) Value 2005
Combined gross enrolment ratio for primary, secondary and tertiary education (%) 2005
Tabel 4.10 Indeks Pembangunan Manusia Negara-Negara ASEAN 2007
126 Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
0.920
30 Brunei Darussalam
0.892
0.751
0.734
0.725
0.619
0.593
0.586
105 Philippines
111 Indonesia
116 Vietnam
133 Lao People’s Democratic Republic
137 Cambodia
138 Myanmar
61.2
60.6
64.6
74.3
70.5
71.6
68.7
74.1
77.0
80.2
Life expectancy at birth (years) 2007
89.9
76.3
72.7
90.3
92.0
93.4
94.1
91.9
94.9
94.4
Adult literacy rate (% aged 15 and above) 1999-2007
56.3
58.5
59.6
62.3
68.2
79.6
78.0
71.5
77.7
..
Combined gross enrolment ratio for primary, secondary and tertiary education (%) 2007
904
1,802
2,165
2,600
3,712
3,406
8,135
13,518
50,200
49,704
GDP per capita (PPP US$) 2007
0.603
0.593
0.659
0.821
0.758
0.777
0.728
0.819
0.867
0.920
Life expectancy index 2007
0.787
0.704
0.683
0.810
0.840
0.888
0.888
0.851
0.891
0.913
Education index 2007
0.368
0.483
0.513
0.544
0.603
0.589
0.734
0.819
1.000
1.000
GDP index 2007
29
6
2
13
10
19
-5
-5
-24
-16
GDP per capita (PPP US$) rank minus HDI rank 2007
Sumber: United Nations Development Programme, Human Development Report 2009 Overcoming barriers: Human mobility and development (New York: UNDP, 2009), 171-172.
0.783
87 Thailand
MEDIUM HUMAN DEVELOPMENT
66 Malaysia
HIGH HUMAN DEVELOPMENT
0.944
23 Singapore
VERY HIGH HUMAN DEVELOPMENT
HDI rank
Human Development Index (HDI) Value 2007
Tabel 4.11 Human Development Report 2009: Human development index 2007 and its components ASEAN Countries
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia 127
Rank
..
16
30 Brunei Darussalam
63 Malaysia
37
36
47
70
85
52
90 Philippines
105 Vietnam
107 Indonesia
130 Lao People’s Democratic Republic
131 Cambodia
132 Myanmar
21.5
38.6
34.5
18.2
15.2
15.3
10.0
21.0
24.1
16.6
8.7
6.7
7.0
12.1
4.4
2.5
1.8
Probability at birth of not surviving to age 40 (% of cohort) 2000-05
10.1
26.4
31.3
9.6
9.7
7.4
7.4
11.3
1.0
7.5
Adult illiteracy rate (% aged 15 and older) 1995-2005
22
59
49
23
15
15
1
1
8
0
Population not using an improved water source (%) 2004
32
45
40
28
27
28
18
11
..
3
..
34.1
27.0
7.5
..
14.8
<2
<2
..
..
$1 a day 1990-2005
..
77.7
74.1
52.8
..
43.0
25.2
9.3
..
..
$2 a day 1990-2005
..
35.0
38.6
27.1
28.9
36.8
13.6
15.5
..
..
National poverty line 1990-2004
Population below income poverty line (%)
MDG
..
6
-2
10
..
-6
15
9
..
..
HPI-1 rank minus income poverty rank
Sumber: United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008 Fighting Climate Change: Human solidarity in a divided world (New York: UNDP, 2007), 238-239.
24
78 Thailand
8.3
..
5.2
Value (%)
MEDIUM HUMAN DEVELOPMENT
7
25 Singapore
HIGH HUMAN DEVELOPMENT
HDI rank
Human poverty index (HPI-1)
MDG Children under weight for age (% under age 5) 1996-2005
Tabel 4.12 Human Development Report 2007/2008, Human and Income Poverty: ASEAN Countries
128 Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
129
Pencapaian Indonesia dalam dimensi dasar pertama pembangunan manusia, yakni kesehatan, juga masih berada dalam kondisi yang lebih rendah dibandingkan keenam negara ASEAN lainnya (Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam). Posisi Indonesia yang berada pada peringkat ketujuh ASEAN hanya mengungguli tiga negara yang memang secara ekonomi tertinggal, yaitu Laos, Kamboja dan Myanmar, yang dalam integrasi ekonomi Asia Tenggara diberikan tenggat waktu yang lebih longgar. Bukanlah suatu hal yang mengherankan jika kondisi ini terjadi di Indonesia. Berdasarkan beberapa indikator pengukuran pencapaian pembangunan manusia dalam dimensi kesehatan, memperlihatkan ketertinggalan Indonesia dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya. Sebagai barang publik, layanan kesehatan merupakan hak warga negara dan menjadi kewajiban atau tanggung jawab pemerintah. Namun demikian, jika dibandingkan dengan enam negara ASEAN (Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam), anggaran atau pengeluaran pemerintah Indonesia untuk kesehatan berada pada posisi yang terendah, yaitu sebesar 1.0% dari PDB pada tahun 2004 (lihat Tabel 4.13).93 Rendahnya pencapaian pembangunan manusia Indonesia dimensi kesehatan ini juga tercermin dari pengeluaran atau anggaran kesehatan per kapita (berdasarkan paritas daya beli/ Purchasing Power Parity/PPP) yang juga berada pada peringkat terendah. Pada tahun 2004, pengeluaran kesehatan per kapita Indonesia adalah sebesar PPP US$ 118.94 Bandingkan dengan pengeluaran kesehatan per kapita Singapura pada tahun yang sama, dengan nilai PPP US$ 1.118, Brunei US$ 621, Malaysia US$ 402, Thailand US$ 293, Filipina US$ 203 dan Vietnam sebesar US$ 184 (lihat Tabel 4.13).95 Bahkan anggaran kesehatan Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan Kamboja yang memiliki nilai sebesar US$ 140.96 Pemerintah Indonesia sendiri mengakui rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan ini. Jika dalam RPJMN 2004-2009 dinyatakan salah satu permasalahan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang rendah dibandingkan dengan negaranegara ASEAN lainnya adalah dalam bentuk kualitas dan layanan kesehatan yang rendah. Ironisnya dalam RPJMN 2010-2014, terbatasnya pembiayaan kesehatan masih menjadi persoalan yang mewarnai rendahnya pencapaian pembangunan manusia Indonesia. Dengan kata lain, dalam periode waktu tersebut, pemerintah Indonesia telah gagal untuk menerapkan kebijakan-kebijakan untuk mempercepat proses pembangunan manusia yang jauh tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya. Di dalam RPJMN 2009-2014, dinyatakan dengan jelas bahwa pembiayaan kesehatan untuk memberikan jaminan perlindungan kesehatan masyarakat masih terbatas.97 Memang terjadi peningkatan pembiayaan kesehatan, namun belum sepenuhnya dapat memberikan jaminan perlindungan kesehatan masyarakat.98 Pemerintah menyatakan dalam RPJMN 2010-2014, bahwa pengeluaran kesehatan total (total health expenditure)
United Nations Development Programme, Human Development Report 2009, 247-249. United Nations Development Programme, Human Development Report 2009, 247-249. 95 United Nations Development Programme, Human Development Report 2009, 247-249. 96 United Nations Development Programme, Human Development Report 2009, 247-249. 97 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.2-26. 98 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.2-26. 93 94
130
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
pada periode 2004-2008 mengalami peningkatan yang cukup signifikan.99 Dinyatakan juga bahwa anggaran pemerintah pusat dan daerah naik 4 kali lipat dalam 5 tahun terakhir, dan jika dibandingkan dengan rekomendasi WHO, yaitu sebesar US$ 35-40 per kapita per tahun, anggaran pemerintah (public health expenditure) ini telah mencapai 70 persen dari total rekomendasi tersebut.100 Meskipun demikian, pemerintah Indonesia juga mengakui di dalam RPJMN 2010-2009 bahwa pengeluaran kesehatan total dan pengeluaran anggaran kesehatan pemerintah terhadap PDB tersebut relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN.101 Total pengeluaran anggaran kesehatan di Indonesia pada tahun 2008 sebesar 2 persen dari PDB, sedangkan pada tahun 2005 rasio pengeluaran total kesehatan terhadap PDB di Brunei sebesar 3,5 persen, Kamboja 12 persen, Malaysia 3,8 persen, Filipina 2,9 persen, Singapura 4,3 persen, Thailand 4,4 persen dan Vietnam sebesar 5,2 persen.102 Dengan demikian, secara komparatif, total pengeluaran kesehatan terhadap PDB berada pada posisi terendah dibandingkan dengan tujuh negara ASEAN lainnya. Bahkan persentase tersebut masih jauh dari rekomendasi WHO, yaitu sekitar 5 persen dari PDB. Dengan anggaran kesehatan yang terbatas tersebut, sebagai hasilnya tidak mengherankan jika baru sebesar 55 persen dari total populasi yang mengalami peningkatan sanitasi pada tahun 2004.103 Bandingkan dengan Singapura, di mana 100 persen dari populasi pada tahun yang sama mengalami peningkatan sanitasi, Malaysia 94 persen, Thailand 99 persen, Filipina 72 persen dan Vietnam 61 persen (lihat Tabel 4.14).104 Realitas kualitas sumber daya manusia dalam dimensi pendidikan juga masih mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya. Dalam aspek pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dalam persentase terhadap PDB, terlihat bahwa pengeluaran pendidikan Indonesia memang sangat rendah dibandingkan negara-negara ASEAN. Pada tahun 1991, tercatat total pengeluaran pendidikan sebesar 1.0 persen dari PDB.105 Bahkan dalam periode 2002-2005 pengeluaran pendidikan ini justru mengalami penurunan menjadi 0.9 persen dari PDB.106 Rendahnya pengeluaran pendidikan Indonesia ini semakin terlihat jika dibandingkan dengan pengeluaran pendidikan Malaysia pada periode 2002-2005 yang sebesar 6.2 persen dari PDB, Thailand 4.2 persen, Singapura 3.7 persen dan
Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.2-26. 100 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.2-26. 101 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.2-26. 102 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.2-26. 103 United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008, 251253. 104 United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008, 251253. 105 United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008, 265267. 106 United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008, 265267. 99
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
131
Filipina sebesar 2.7 persen dari PDB (lihat Tabel 4.14).
107
United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008, 265267. 107
2.6
2.2
30 Brunei Darussalam
63 Malaysia
0.3
132 Myanmar
1.9
5.0
3.1
38
140
74
118
184
203
293
402
621
1,118
Per capita (PPP US$) 2004
76
87
65
82
95
91
99
99
96
98
Against tuberculosis (%) 2005
72
79
41
72
95
80
96
90
97
96
Against measles (%) 2005
MDG One-year-olds fully immunized
48
59
37
56
39
76
..
..
..
..
Children with diarrhea receiving oral rehydration and continued feeding (% under age 5) 1998-2005
34
24
32
57
77
49
79
55
..
62
MDG Contraceptive prevalence rate (% of marriage women aged 15-49) 1997-2005
57
32
19
72
85
60
99
97
99
100
MDG Births attended by skilled health personnel (%) 1997-2005
36
16
..
13
53
58
37
70
101
140
Physicians (per 100,000 people) 2004
Sumber: United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008 Fighting Climate Change: Human solidarity in a divided world (New York: UNDP, 2007), 247-249.
1.7
131 Cambodia
1.8
1.0
0.8
107 Indonesia
105 Vietnam
130 Lao People’s Democratic Republic
1.4
1.5
90 Philippines
2.0
4.0
2.3
1.2
1.6
0.6
2.4
Private (% of GDP) 2004
78 Thailand
MEDIUM HUMAN DEVELOPMENT
1.3
25 Singapore
HIGH HUMAN DEVELOPMENT
HDI rank
Public (% of GDP) 2004
Health Expenditure
Tabel 4.13 Human Development Report 2007/2008, Commitment to health: resources, access and services (ASEAN Countries)
132 Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
1990
..
..
30 Brunei Darussalam
63 Malaysia
57
36
46
..
..
24
90 Philippines
105 Vietnam
107 Indonesia
130 Lao People’s Democratic Republic
131 Cambodia
132 Myanmar
77
17
30
55
61
72
99
94
..
100
2004
57
..
..
72
65
87
95
98
..
100
1990
78
41
51
77
85
85
99
99
..
100
2004
MDG Population using an improved water source (%)
10
43
29
9
31
26
30
3
4
..
1990/92
5
33
19
6
16
18
22
3
4
..
2002/04
MDG Population undernourished (% of total population)
32
45
40
28
27
28
18
11
..
3
MDG Children under weight for age (% of children under age 5) 1996-2005
41
49
48
29
43
34
16
20
..
4
Children under height for age (% of children under age 5) 1996-2005
15
11
14
9
9
20
9
9
10
8
Infants with low birthweight (%) 1998-2005
Sumber: United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008 Fighting Climate Change: Human solidarity in a divided world (New York: UNDP, 2007), 251-253.
80
78 Thailand
MEDIUM HUMAN DEVELOPMENT
100
25 Singapore
HIGH HUMAN DEVELOPMENT
HDI rank
MDG Population using improved sanitation (%)
Tabel 4.14 Human Development Report 2007/2008, Water, sanitation and nutritional status (ASEAN Countries)
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia 133
1991
3.5
5.1
30 Brunei Darussalam
63 Malaysia
3.0
1.8
1.0
..
..
..
90 Philippines
105 Vietnam
107 Indonesia
130 Lao People’s Democratic Republic
131 Cambodia
132 Myanmar
1.3
1.9
2.3
0.9
..
2.7
4.2
6.2
..
3.7
2002-05
..
..
..
..
9.7
10.5
20.0
18.0
..
18.2
1991
18.1
14.6
11.7
9.0
..
16.4
25.0
25.2
9.1
..
2002-05
As a % of total government expenditure
..
..
..
..
..
..
56
34
22
..
1991
..
74
49
39
..
55
44
30
..
23
2002-05
Pre-primary and primary
..
..
..
..
..
..
22
35
30
..
1991
..
21
35
42
..
27
19
35
..
43
2002-05
Secondary and postsecondary non-tertiary
..
..
..
..
..
..
15
20
2
..
1991
Current public expenditure on education by level (% of total current public expenditure on education
..
5
15
49
..
14
20
35
..
23
2002-05
Tertiary
Sumber: United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008 Fighting Climate Change: Human solidarity in a divided world (New York: UNDP, 2007), 265-267.
3.1
78 Thailand
MEDIUM HUMAN DEVELOPMENT
3.1
25 Singapore
HIGH HUMAN DEVELOPMENT
HDI rank
As a % of GDP
Public expenditure on education
Tabel 4.15 Human Development Report 2007/2008, Commitment to Education: public spending (ASEAN Countries)
134 Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
1985-1994
87.8
82.9
30 Brunei Darussalam
63 Malaysia
..
132 Myanmar
89.9
73.6
68.7
90.4
90.3
92.6
92.6
88.7
92.7
92.5
1995-2005
..
..
..
96.2
93.7
96.6
..
95.6
98.1
99.0
1985-1994
94.5
83.4
78.5
98.7
93.9
95.1
98.0
97.2
98.9
99.5
1995-2005
MDG Youth literacy rate (% of aged 15-24)
98
69
63
97
90
96
76
..
92
..
1991
90
99
84
96
88
94
88
95
93
..
2005
..
..
..
39
..
..
..
..
71
..
1991
37
24
38
58
69
61
64
76
87
..
2005
Net secondary enrolment rate (%)
..
..
..
84
..
..
..
97
..
..
1991
70
63
63
89
87
75
..
98
100
..
2004
MDG Children reaching grade 5 (% of grade 1 student)
42
19
6
..
20
27
..
40
10
..
1999 2005
Tertiary students in science, engineering, manufacturing and construction (% of tertiary students)
Sumber: United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008 Fighting Climate Change: Human solidarity in a divided world (New York: UNDP, 2007), 269-271.
..
107 Indonesia
131 Cambodia
81.5
105 Vietnam
..
87.6
90 Philippines
130 Lao People’s Democratic Republic
..
93.6
78 Thailand
MEDIUM HUMAN DEVELOPMENT
89.1
25 Singapore
HIGH HUMAN DEVELOPMENT
HDI rank
Adult literacy rate (% of aged 15 and older)
MDG Net primary enrolment rate (%)
Tabel 4.16 Human Development Report 2007/2008, Literacy and enrolment (ASEAN Countries)
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia 135
136
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Kondisi ini mencerminkan rendahnya komitmen pemerintah Indonesia dalam meningkatkan kualitas pendidikan sumber daya manusia. Pada periode 2002-2005, total pengeluaran pendidikan ini hanya sebesar 9.0 persen dari total pengeluaran pemerintah.108 Sementara itu, pengeluaran pendidikan pemerintah Malaysia pada periode yang sama adalah sebesar 25.2 persen dari total pengeluaran, Thailand 25 persen dan Filipina sebesar 16.4 persen dari total pengeluaran pemerintah.109 Rendahnya pengeluaran pemerintah untuk pendidikan ini berdampak pada terbatasnya sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi, yang tercermin dari rendahnya kualitas sumber daya manusia dan kesenjangan pendidikan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahun 2001, dinyatakan dalam RPJMN 2004-2009, rasio tenaga peneliti Indonesia adalah sebanyak 4,7 peneliti per 10.000 penduduk, jauh lebih kecil dibandingkan Jepang sebesar 70,7 peneliti.110 Rasio anggaran ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap PDB sejak tahun 2000 mengalami penurunan, dari 0,052 persen menjadi 0,039 persen pada tahun 2002.111 Lagi-lagi jika dibandingkan dengan rasio serupa di ASEAN, rasio ini jauh lebih kecil, misalnya Malaysia sebesar 0,5 persen pada tahun 2001 dan Singapura sebesar 1,89 persen pada tahun 2000.112 Bahkan rasio anggaran ilmu pengetahuan dan teknologi ini masih jauh dari rekomendasi United Nations Educational, Scientific and Cultural Organziation (UNESCO), di mana rasio anggaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai adalah sebesar 2 persen.113 Menyimak kondisi ini, tidak mengherankan jika ekspor industri manufaktur Indonesia yang berteknologi menengah dan tinggi sangatlah rendah dibandingkan dengan negaranegara ASEAN lainnya. Selain itu, jumlah peneliti dalam penelitian dan pengembangan (R&D) juga masih lebih sedikit dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya, dengan jumlah 207 peneliti per satu juta orang di tahun 19902005.114 Bandingkan dengan Singapura dengan jumlah peneliti sebesar 4.999 per juta orang, Malaysia 299 peneliti, Thailand 287 peneliti dan Brunei sebanyak 274 orang (lihat Tabel 4.16).115 Rendahnya indeks pembangunan manusia di Indonesia ini juga mewujud ke dalam beberapa persoalan lain yang menopang daya saing nasional dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Salah satu pilar dari Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 adalah menjadi Asia Tenggara sebagai sebuah kawasan ekonomi yang me United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008, 265-267. 109 United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008, 265-267. 110 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.22-2. 111 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.22-2. 112 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.22-2. 113 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.22-2. 114 United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008, 273-275. 115 United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008, 273-275. 108
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
137
miliki daya saing tinggi. Kerjasama di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan salah satu upaya yang dinyatakan dalam Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN untuk mewujudkan pilar ini. Akan tetapi, dengan kondisi pembangunan manusia, khususnya dalam dimensi pendidikan, yang rendah, pengelolaan kekayaan intelektual Indonesia dalam wujud pendaftaran paten, masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Berdasarkan data World Intellectual and Property Organization (WIPO), yang dinyatakan pemerintah dalam RPJMN 2010-2014, diketahui bahwa jumlah paten Indonesia yang terdaftar masih berada pada posisi kelima dari enam negara ASEAN (Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina dan Vietnam).116 Bahkan pemerintah Indonesia juga mengakui bahwa, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual tahun 19932008, jumlah paten yang diusulkan oleh orang Indonesia di dalam negeri, tergolong masih rendah (lihat Gambar 4.5).117 Berdasarkan data tersebut juga terlihat bahwa industri dan perorangan mendominasi pendaftaran paten.118 Sementara, Perguruan Tinggi dan lembaga riset yang selama ini mendapatkan dana penelitian dari pemerintah justru paling sedikit mendaftarakan paten.119 Gambar 4.5 Jumlah Paten yang Didaftarkan di Direktorak Jenderal HKI
Sumber: Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.4-3,4.
Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.4-3,4. 117 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.4-3,4. 118 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.4-3,4. 119 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.4-3,4. 116
138
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Persoalan lain sebagai wujud dari rendahnya pembangunan manusia Indonesia juga tercermin dari kemampuan untuk memanfaatkan dan mengolah informasi yang sangat penting untuk memicu pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Pemerintah mengakui di dalam RPJMN 2004-2009, bahwa Indonesia masih belum memiliki kesiapan dan kemampuan yang memadai dalam hal ini. berdasarkan indeks Readiness for the Network World tahun 2002, Indonesia hanya berada pada peringkat ke-64 dari 82 negara, sedangkan untuk indeks Growth Competitiveness, Indonesia berada pada peringkat ke-64 dari 75 negara, jauh tertinggal dari negara ASEAN lain seperti Singapura (peringkat ke-4), Malaysia (30), Thailand (33), Filipina (48), dan Vietnam (60).120 Sebagai imbas dari rendahnya kemampuan masyarakat Indonesia untuk mengakses informasi ini menimbulkan apa yang disebut sebagai kesenjangan digital (digital divide) dengan negara-negara lain. Dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya, kesenjangan digital tampak terjadi dalam bentuk rendahnya kemampuan masyarakat Indonesia untuk mengakses informasi melalui internet. Pada tahun 2005 misalnya, hanya 73 dari 1.000 orang di Indonesia yang merupakan pengguna internet (lihat Tabel 4.17).121 Sementara itu, di Singapura terdapat 571 orang, Malaysia 435 orang, Brunei 277, Thailand 110, bahkan di Vietnam terdapat 129 pengguna internet dari 1.000 orang di tahun 2005.122
Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.33 – 59,60. 121 United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008 Fighting Climate Change: Human solidarity in a divided world (New York: UNDP, 2007), 273-275. 122 United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008, 273275. 120
136
89
30 Brunei Darussalam
63 Malaysia
10
1
6
2
(.)
2
90 Philippines
105 Vietnam
107 Indonesia
130 Lao People’s Democratic Republic
131 Cambodia
132 Myanmar
9
3
13
58
191
41
110
172
224
425
0
0
0
(.)
0
0
1
5
7
17
4
75
108
213
115
419
430
771
623
1,010
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1990
2
3
4
73
129
54
110
435
277
571
2005
MDG Internet users (per 1,000 people)
..
..
..
..
(.)
(.)
1
..
..
96
0.0
(.)
..
1.2
..
0.1
0.3
1.1
..
125.8
Receipts of royalties and license fees (US$ per person) 2005
0.1
..
..
0.1
0.2
0.1
0.3
0.7
0.0
2.3
Research and development (R&D) expenditures (% of GDP) 2000-05
17
..
..
207
115
48
287
299
274
4,999
Researchers in R&D (per million people) 1990-2005
Sumber: United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008 Fighting Climate Change: Human solidarity in a divided world (New York: UNDP, 2007), 273-275.
24
78 Thailand
MEDIUM HUMAN DEVELOPMENT
346
25 Singapore
2005
1990
2005
1990
HIGH HUMAN DEVELOPMENT
HDI rank
MDG Cellular subscribers (per 1,000 people)
MDG Telephone mainlines (per 1,000 people)
Patents granted to residents (per million people) 2000-05
Tabel 4.17 Human Development Report 2007/2008, Technology: diffusion and creation (ASEAN Countries)
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia 139
140
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Terkait dengan agenda integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, kualitas sumber daya manusia Indonesia yang relatif rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, merupakan sebuah permasalahan yang dapat membawa dampak negatif bagi perekonomian Indonesia. Perlu dipahami dengan jelas, bahwa salah satu pilar dari liberalisasi sebagai basis inetgrasi ekonomi ASEAN terletak pada pergerakan bebas tenaga kerja, khususnya tenaga kerja yang terampil (skilled labor). Dalam kondisi ini, kualitas sumber daya manusia yang tinggi, khususnya di bidang pendidikan, menjadi dasar bagi tersedianya tenaga kerja yang memiliki ketrampilan tinggi. Daya saing tenaga kerja dalam sebuah pasar tunggal yang kompetitif, dengan demikian sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan dan komitmen pemerintah untuk memajukan pendidikan. Jika kualitas pendidikan manusia Indonesia rendah, maka tidak heran jika kualitas tenaga kerja yang dihasilkan akan memiliki daya saing yang rendah. Pemerintah Indonesia dalam RPJMN 2010-2014, menyatakan bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang pendidikan tinggi (PT) telah mengalami peningkatan, yaitu sebesar 17,75 persn pada tahun 2008.123 Namun, lagi-lagi permasalahan yang sama muncul, jika dibandingkan dengan APK PT di negara-negara ASEAN lainnya, tingkat partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia masih relatif tertinggal.124 Pemerintah Indonesia sendiri menyadari, bahwa kondisi apabila dibiarkan akan memperlambat transformasi struktur pendidikan untuk tenaga kerja yang selanjutnya akan berdampak pada semakin rendahnya daya saing bangsa.125 Dampak dari rendahnya kualitas sumber daya manusia terhadap daya saing ekonomi Indonesia ini dapat dicermati dari laporan World Economic Forum mengenai Global Competitiveness Report tahun 2008-2009 dan 2009-2010. Daya saing sumber daya manusia, dalam dimensi kesehatan dan pendidikan dasar, jika dibandingkan dengan delapan negara ASEAN, berada pada peringkat kelima berdasarkan indeks daya saing global 2009-2010 (Tabel 4.18). Sedangkan dalam dimensi pendidikan dan pelatihan tingkat tinggi, Indonesia berada pada peringkat keenam. Namun demikian, dalam konteks pasar terbuka yang mengandalkan daya saing produk manufaktur berteknologi tinggi, daya saing Indonesia dalam dimensi kesiapan teknologi justru berada pada peringkat delapan di ASEAN. Hal ini terjadi sangat terkait dengan upaya pencapaian pembangunan manusia oleh pemerintah Indonesia selama ini yang masih belum maksimal. Tentu saja, daya saing Indonesia yang masih rendah ini akan menjadi persoalan besar bagi perekonomian Indonesia dalam agenda integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015.
Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.2-33. 124 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.2-33. 125 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.2-33. 123
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
141
Tabel 4.18 Indeks Daya Saing Negara-Negara ASEAN 2008-2009 dan 2009-2010 No.
Country
Health and Primary Education
Higher education and training
Technological Readiness
Innovation
Rank of GCI 20082009
Rank of GCI 20092010
Rank of GCI 20082009
Rank of GCI 20092010
Rank of GCI 20082009
Rank of GCI 20092010
Rank of GCI 20082009
Rank of GCI 20092010
1.
Singapore
16
13
8
5
7
6
11
8
2.
Malaysia
23
34
35
41
34
37
22
24
3.
Thailand
58
61
51
54
66
63
54
57
4.
Brunei Darussalam
47
42
69
62
54
60
91
75
5.
Indonesia
87
82
71
69
88
88
47
39
6.
Philippines
90
93
60
68
70
84
76
99
7.
Vietnam
84
76
98
92
79
73
57
44
8.
Cambodia
111
107
127
122
123
113
112
107
Sumber: Klaus Schwab & Michael E. Porter, The Global Competitiveness Report 2008-2009 (Geneva: World Economic Forum, 2008) & Xavier Sala-i-Martin, The Global Competitiveness Report 2009-2010 (Geneva: World Economic Forum, 2009). Agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, telah ditegaskan sejak awal berlandaskan pada liberalisasi tenaga kerja yang memiliki ketrampilan. Di dalam Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN, dinyatakan bahwa:126 “The AEC will establish ASEAN as a single market and production base making ASEAN more dynamic and competitive with new mechanisms and measures to strengthen the implementation of its existing economic initiatives; accelerating regional integration in the priority sectors; facilitating movement of business persons, skilled labour and talents; and strengthening the institutional mechanisms of ASEAN…” Sangat penting untuk digarisbawahi bahwa agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN, sejak awal mendorong pergerakan bebas dari tenaga kerja yang terampil, yang sangat bergantung kepada kualitas pendidikan di masing-masing negara. Dengan kata lain, yang menjadi fokus penekanan dari liberalisasi sektor tenaga kerja Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah tenaga kerja yang terampil, bukan yang tidak terampil. Berdasarkan pada liberalisasi tenaga kerja berbasis ketrampilan ini, kuantitas sumber daya manusia tidak akan menjadi faktor efektif yang menopang daya saing tenaga kerja di tingkat kawasan. Kualitas dari sumber daya manusia yang kunci dari daya saing tenaga kerja dalam integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kualitas sumber daya manusia yang masih berada pada peringkat yang rendah di bawah negara-negara ASEAN lainnya, dengan demikian akan menjadikan tenaga ASEAN Secretariat, ASEAN Economic Community Blue Print (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008), 5. 126
142
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
kerja Indonesia akan kalah bersaing di dalam pasar ASEAN. Bahkan dengan akselerasi kualitas sumber daya manusia negara-negara ASEAN lainnya yang terus meningkat, maka tidak menutup kemungkinan pasar tenaga kerja Indonesia justru akan dibanjiri tenaga-tenaga kerja professional dan terampil dari negara-negara ASEAN lainnya yang memiliki kualitas pendidikan yang lebih tinggi.
Permasalahan Kualitas Tenaga Kerja dan Pengangguran di Indonesia Kualitas tenaga kerja merupakan kunci sukses bagi gerak maju roda pembangunan suatu negara. Berbagai persoalan ketenagakerjaan, terutama pengangguran, membawa dampak yang sangat besar, tidak hanya bagi perekonomian, akan tetapi juga berdampak pada aspek sosial dalam bentuk kemiskinan. Tenaga kerja yang berkualitas juga menjadi faktor dalam menentukan daya saing bangsa dalam kancah perekonomian global. Ironisnya, di tengah geliat komitmen besar pemerintah terhadap integrasi perekonomian di tingkat regional, berbagai persoalan serius terkait dengan ketenagakerjaan di Indonesia belum juga terselesaikan. Tingginya kualitas tenaga kerja di suatu negara, pada dasarnya sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam pencapaian pembangunan manusia, khususnya dalam dimensi pendidikan. Sebagaimana diuraikan dalam bagian sebelumnya, pencapaian pembangunan manusia di Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan dengan pencapaian beberapa negara ASEAN lainnya. Alhasil, dengan posisi pengeluaran pendidikan pemerintah yang rendah, tenaga kerja yang dihasilkan tidak sepadan dengan tuntutan kualitas yang diharapkan. Dengan demikian, persoalan pertama yang melekat dalam isu ketenagakerjaan Indonesia terletak pada masalah pendidikan dan ketrampilan tenaga kerja. Di dalam RPJMN 2010-2014, pemerintah Indonesia menyadari bahwa pendidikan yang berkualitas dan relevan memberikan bekal watak yang baik dan ketrampilan dasar yang memadai yang memungkinkan lulusan untuk bekerja dan berkembang secara lebih luwes sesuai dengan tuntutan lapangan kerja yang berkembang, seiring dengan pertumbuhan ekonomi.127 Ketrampilan dasar tersebut meliputi kemampuan berpikir analitis atau kemampuan kognitif, dan kemampuan berkomunikasi serta kemampuan untuk bekerja dalam tim (soft skills), sesuai dengan standar menurut jenjang pendidikannya.128 Dalam RPJMN 2004-2009, telah diidentifikasi dan diakui oleh pemerintah bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia masih rendah, di mana dari hampir 4,2 juta orang tenaga kerja industri dalam 22.894 perusahaan pada tahun 1996, hanya 2 persen yang berpendidikan sarjana, sekitar 0,1 persen berpendidikan master, dan 0,005 persen (hanya 225 orang) berpendidikan doktor.129 Pemerintah juga menyatakan bahwa intensitas pelatihan yang dilaksanakan oleh industri juga belum menggembirakan.130 Berdasarkan hasil survey tahun 1990-an menunjukkan Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.2-35. 128 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.2-35. 129 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.18-4. 130 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.18-4. 127
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
143
hanya 18,9 persen perusahaan Indonesia melaksanakan pelatihan yang intensif.131 Sementara, di Malaysia, kegiatan yang sama dilakukan oleh hampir 84 persen perusahaan-perusahaan negeri jiran tersebut.132 Bahkan pemerintah mengakui bahwa, SDM dengan kualitas seperti ini akan sulit diharapkan menghasilkan peningkatan produktivitas apalagi inovasi yang bermutu untuk teknologi produksinya.133 Ironisnya, meskipun dalam RPJMN 2004-2009 pemerintah Indonesia telah mengidentifikasi permasalahan, namun kenyataannya upaya yang dinyatakan pemerintah telah dilakukan, belum membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Hal ini tercermin dari dinyatakannya kembali permasalahan yang sama dalam RPJMN 2010-2014. Di dalamnya pemerintah Indonesia menyatakan bahwa kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan masih rendah.134 Pemerintah Indonesia juga menyadari bahwa sejalan dengan semakin tingginya tingkat persaingan antarbangsa, penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas menjadi suatu hal yang tidak bisa ditunda lagi dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa.135 Dengan demikian, kerja keras pemerintah dan segenap lapisan masyarakat mutlak harus dilakukan untuk mempercepat peningkatan daya saing bangsa, khususnya untuk tidak tertinggal dalam persaingan di tingkat regional. Meskipun, berdasarkan pada hasil proyeksi angkatan kerja Indonesia 2000-2025 oleh Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LD UI), yang dikutip dalam RPJMN 2010-2014, menunjukkan bahwa kualitas angkatan kerja di masa yang akan datang masih akan didominasi oleh tenaga kerja yang berpendidikan rendah.136 Realitas empiris memperlihatkan bahwa keadaan angkatan kerja di Indonesia pada periode 2008-2010, pada kenyatannya memang masih didominasi oleh tenaga kerja dengan pendidikan rendah dan menengah. Pada tahun 2008, sebesar 35,8 persen dari penduduk yang bekerja, adalah tenaga kerja dengan tingkat pendidikan tertinggi Sekolah Dasar (SD).137 Sedangkan, 20,63 persen di antaranya merupakan tenaga kerja dengan pendidikan menengah atas (Sekolah Menengah Tingkat Atas/ SMTA dan SMTA Kejuruan).138 Sementara itu, hanya sebesar 6,58 persen dari total penduduk yang bekerja yang merupakan lulusan dari lembaga pendidikan tinggi (Diploma I/II/III dan Universitas).139 Komposisi tingkat pendidikan tenaga kerja Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.18-4. 132 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.18-4. 133 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.18-4. 134 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.2-35. 135 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.2-35. 136 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.2-35. 137 Badan Pusat Statistik, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia: Agustus 2010 (Jakarta: BPS, 2010), 20. 138 Badan Pusat Statistik, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia: Agustus 2010, 20. 139 Badan Pusat Statistik, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia: Agustus 2010, 20. 131
144
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
di Indonesia tidak mengalami perubahan yang signfikan sampai dengan Februari 2010. Tercatat, bahwa tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD masih berada dalam porsi yang besar, yaitu 29,22 persen (lihat Tabel 4.19).140 Hanya terjadi peningkatan tipis, untuk tenaga kerja dengan pendidikan menengah atas, yaitu menjadi 22,32 persen dan untuk tenaga kerja pendidikan tinggi meningkat tidak sampai 1 persen, yaitu hanya sebesar 7,28 persen dari total penduduk yang bekerja.141 Tabel 4.19 Persentase Penduduk yang Bekerja Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, 2008-2010
Sumber: Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, BPS Catatan: 0. Tidak/belum pernah sekolah 1. Tidak/belum tamat SD 2. Sekolah Dasar 3. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 4. Sekolah Menengah Tingkat Atas 5. Sekolah Menengah Tingkat Atas Kejuruan 6. Diploma I/II/III/Akademi 7. Universitas 1) Agustus 2) Februari Angka yang tercetak miring adalah jumlah penduduk yang bekerja Selain tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah, persoalan sektor ketenagakerjaan di Indonesia juga diwarnai oleh rendahnya produktivitas dari tenaga kerja. Terutama di daerah pedesaan, di mana sebagian besar penduduk Indonesia tinggal, tingkat produktivitas tenaga kerja masih rendah. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2003, rendahnya produktivitas tenaga kerja di pedesaan ini tercermin dari besarnya tenaga kerja yang ditampung di sektor pertani Badan Pusat Statistik, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia: Agustus 2010, 20. 141 Badan Pusat Statistik, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia: Agustus 2010, 20. 140
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
145
an (46,26 persen dari 90,8 juta penduduk yang bekerja), dibandingkan dengan sumbangan sektor pertanian dalam perekonomian nasional yang menurun menjadi 15,9 persen.142 Kualitas angkatan kerja yang rendah dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) usia muda yang tinggi sangat berpengaruh terhadap rendahnya produktivitas tenaga kerja. Pada tahun 2008 misalnya, terdapat sebesar 72,83 persen tenaga kerja yang berpendidikan menengah ke bawah (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama/SLTP sampai tidak/belum pernah sekolah).143 Sementara hanya sebesar 27,21 persen tenaga kerja yang merupakan lulusan SMTA dan perguruan tinggi.144 Dalam kondisi ini, tentu kualitas tenaga kerja dalam porsi yang besar tersebut lebih rendah dibandingkan dengan lulusan SMTA dan perguruan tinggi. Hal ini berpengaruh terhadap produktivitas dari tenaga kerja yang sebagian besar berkualitas rendah tersebut. Bahkan, pemerintah Indonesia sendiri mengakui dalam RPJMN 2010-2014, bahwa ketersediaan lembaga pelatihan untuk meningkatkan kualitas pekerja masih belum memadai, diikuti dengan rendahnya kompetensi tenaga kerja, dan juga sertifikasi kompetensi hingga saat ini belum banyak diakui oleh pengguna kerja. Lebih lanjut, pemerintah Indonesia mengakui bahwa kondisi ini turut memberikan kontribusi terhadap produktivitas pekerja yang rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN.145 Persoalan lain yang masih melekat di dalam sektor ketenagakerjaan Indonesia adalah pengangguran. Dalam tataran ekonomi, pengangguran merupakan produk dari ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia.146 Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas, tidak mampu menyerap para pencari kerja yang senantiasa bertambah setiap tahun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.147 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, tingginya angka pengangguran ini tidak hanya menimbulkan masalah-masalah di bidang ekonomi, melainkan juga menimbulkan berbagai persoalan di bidang sosial, seperti kemiskinan dan kerawan sosial.148 Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia memang masih berada dalam jumlah yang sangat besar. Sampai dengan bulan Februari 2009, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 9.258.964 orang.149 Jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan, sebagian besar dari tingkat pengangguran terbuka di tahun 2009 masih didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang rendah (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama/SLTP sampai tidak/belum pernah sekolah). Tercatat sebesar 2.620.049 orang adalah tenaga kerja yang tidak/belum pernah sekolah/belum tamat SD (lihat Tabel 4.20).150 sementara itu, masih terdapat juga pengangguran den Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.25-1. 143 Badan Pusat Statistik, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia: Agustus 2010, 20. 144 Badan Pusat Statistik, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia: Agustus 2010, 20. 145 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.3-59. 146 Badan Pusat Statistik, Data Strategis BPS 2010 (Jakarta: BPS, 2010), 35. 147 Badan Pusat Statistik, Data Strategis BPS 2010, 35. 148 Badan Pusat Statistik, Data Strategis BPS 2010, 35. 149 Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), 2009. 150 Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), 2009. 142
146
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
gan tingkat pendidikan tinggi (diploma dan universitas) pada tahun 2009 sebesar 1.113.020 orang.151 Lebih lagi, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, angka pengangguran di Indonesia tercatat masih berada posisi yang terbesar pada tahun 2008 (lihat Tabel 4.20). Pada tahun tersebut, angka pengangguran Indonesia adalah sebesar 8.4 persen, bandingkan dengan Singapura dengan persentase pengangguran sebesar 2,2 persen, Thailand 3,2 persen dan Malaysia 3,6 persen (lihat Tabel 4.21).152
Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), 2009. ASEAN Finance and Macro-economic Surveillance Unit Database.
151 152
Tidak/Belum Pernah Sekolah/ Belum Tamat SD
Sekolah Dasar
SLTP
SMTA
Diploma I/II/ III/Akademi
Universitas
Total
1
2
3
4
5
6
10 251 351
348 107
237 251
3 695 504
2 690 912
2 275 281
1 004 296
2004
10 854 254
385 418
322 836
3 911 502
2 680 810
2 540 977
1 012 711
2005 (Feb)
12 630 106
395 538
308 522
5 106 915
3 151 231
2 729 915
937 985
2005 (Nov)
11 104 693
375 601
297 185
4 047 016
2 860 007
2 675 459
849 425
2006 (Feb)
10 932 000
395 554
278 074
4 156 708
2 730 045
2 589 699
781 920
2006 (Agst)
10 547 917
409 890
330 316
3 745 035
2 643 062
2 753 548
666 066
2007 (Feb)
10 011 142
566 588
397 191
4 070 553
2 264 198
2 179 792
532 820
2007 (Agst)
9 427 590
626 202
519 867
3 369 959
2 166 619
2 216 748
528 195
2008 (Feb)
9 394 515
598 318
362 683
3 812 522
1 973 986
2 099 968
547 038
2008 (Agst)
9 258 964
626 621
486 399
1 337 586
2 133 627
2 054 682
2 620 049
2009 (Feb)
*
) Mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, sudah punya pekerjaan tetapibelum mulai bekerja Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009
Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan
No.
Tabel 4.20 Pengangguran Terbuka*) Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia 147
148
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Persoalan kemiskinan, tak pelak lagi terjadi sebagai imbas dari tingginya angka pengangguran ini, terutama di daerah perkotaan. Pada tahun 2008, jumlah penduduk miskin di perkotaan adalah sebesar 12,77 juta jiwa atau sebesar 36,5 persen dari total penduduk miskin di Indonesia.153 Jumlah lapangan pekerjaan yang tidak memadai menjadi penyebab dari besarnya jumlah penduduk miskin di perkotaan ini.154 Masalah ini diperberat lagi dengan kualitas tenaga kerja yang tidak memenuhi lapangan kerja yang tersedia. Berdasarkan data kondisi angkatan kerja di Indonesia tahun 2008, diketahui bahwa jumlah pengangguran pada angkatan kerja di perkotaan adalah sebesar 5.702.250 jiwa pada tahun 2006, 5.624.533 jiwa pada tahun 2007 dan 5.240.887 pada tahun 2008, dengan jumlah pengangguran terbesar berada pada kelompok angkatan kerja berpendidikan SMU dan SMP.155 Tabel 4.21 Tingkat Pengangguran Negara-Negara ASEAN Negara
No.
Tingkat Pengangguran* (%) 2005/2008
1.
Indonesia
8,4
2.
Filipina
7,4
3.
Myanmar
4,0
4.
Brunei Darussalam
3,7
5.
Malaysia
3,6
6.
Thailand
3,2
7.
Singapore
2,2
8.
Laos
1,3
9.
Vietnam
1,3
10. Cambodia 0,8 * Data untuk Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam, tahun 2008, sementara untuk Kamboja, Laos dan Myanmar, tahun 2005. Sumber: ASEAN Finance and Macro-economic Surveillance Unit Database. Dalam kondisi ketenagakerjaan yang masih didominasi oleh kualitas, daya saing dan produktivitas yang rendah serta tingkat pengangguran yang tinggi, maka akan sulit bagi tenaga kerja Indonesia untuk dapat bersaing dalam integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Perlu ditekankan dan dipahami benar bahwa agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN dalam konteks penciptaan pasar tunggal dan Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.9-54. 154 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.9-54. 155 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian II.9-54. 153
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
149
basis produksi akan memfasilitasi tenaga kerja yang terampil (skilled labor) bukan tenaga kerja yang tidak terampil (unskilled labor). Sementara itu, realitas tenaga kerja Indonesia yang masih didominasi oleh tenaga kerja dengan pendidikan yang rendah, tentu saja memiliki produktivitas dan daya saing rendah, sehingga sulit untuk dapat bersaing dengan tenaga-tenaga kerja dari negara-negara ASEAN lainnya. Lebih dari itu, sebagian besar tenaga kerja Indonesia di luar negeri, terutama di negara-negara ASEAN selama ini masih lebih banyak merupakan tenaga kerja yang tidak terampil (unskilled workers) dengan tingkat pendidikan yang rendah, bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau buruh pabrik. Selama periode 20042009, pasokan tenaga kerja Indonesia sebagian besar merupakan tenaga kerja dengan pendidikan rendah, yang tentu saja sebagai hasilnya memiliki ketrampilan yang rendah. Dalam memperebutkan pasar kerja domestik, sebagaimana telah diuraikan di bagian awal, tenaga kerja Indonesia telah harus bersaing dengan tenaga-tenaga kerja asing yang memiliki ketrampilan tinggi. Dalam integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN, di mana para tenaga kerja terampil professional diberikan fasilitasi dalam kemudahan mobilitas di tingkat kawasan, maka pesaing bagi tenaga kerja Indonesia untuk memperebutkan pasar kerja terampil domestik akan semakin berat. Akan tetapi, kemampuan tenaga kerja Indonesia, dengan kualitas dan daya saing yang rendah, akan sangat terbatas untuk dapat memenangkan persaingan di tingkat kawasan. Jika kondisi ini tetap lestari selama beberapa tahun ke depan, maka tidak menutup kemungkinan tenaga-tenaga kerja professional terampil dari negara-negara ASEAN lainnya akan membanjiri pasar kerja di Indonesia.
Iklim Investasi Indonesia Menuju Liberalisasi Arus Investasi Masyarakat Ekonomi ASEAN Investasi diyakini oleh para pendukung neoliberalisme sebagai sebuah faktor yang sangat penting bagi kemajuan atau kinerja perekonomian suatu negara. Arus investasi atau penanaman modal, baik dari dalam negeri atau dari luar negeri, juga diyakini sebagai sumber pendanaan yang sangat dibutuhkan bagi gerak roda perekonomian. Investasi dijadikan sebagai salah satu faktor penopang dari pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Bahkan dalam pemikiran Jeffrey Sachs, investasi pada enam jenis kapital yang telah dijelaskan sebelumnya, menjadi kunci bagi keberhasilan upaya pengentasan kemiskinan di dunia.156 Keyakinan akan arti penting investasi dalam perekonomian juga tercermin dalam kerangka kebijakan pembangunan pemerintah Indonesia. Iklim investasi dan usaha menjadi salah satu dari dari 11 prioritas pembangunan nasional yang dituangkan dalam RPJMN 2010-2014.157 Bahkan buruknya kinerja investasi diyakini oleh pemerintah sebagai salah satu sebab utama dari lambatnya pemulihan ekonomi Indonesia sejak krisis 1997, yang dinyatakan dalam RPJMN 2004-2009.158 Jeffrey Sachs, The End of Poverty, 244. Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, Bagian I-50.. 158 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.17-1. 156 157
150
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Perjalanan sejarah perekonomian dunia menyaksikan suatu pergeseran sikap dalam memandang arti penting investasi, khususnya bagi negara-negara berkembang. Terutama investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI), telah menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan dan diagung-agungkan oleh negara-negara berkembang di tengah arus globalisasi dan perekonomian yang semakin terbuka berlandaskan pada aturan main neoliberalisme. Asumsi dasar yang melandasi pergeseran orientasi terhadap investasi asing ini terletak pada pandangan bahwa investasi menjadi sumber penerimaan yang vital dan stabil bagi negara-negara miskin dan berkembang, yang tidak dapat disediakan oleh sumber-sumber domestik semata.159 Selain itu, investasi juga diyakini dapat meningkatkan kapasitas teknis dan pengelolaan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan melalui efek ganda.160 Berlandaskan pada keyakinan inilah, negara-negara berkembang, terutama yang menjalani program penyesuaian IMF dan Bank Dunia melakukan pergeseran sikap terhadap investasi asing langsung. Sebelumnya, kecenderungan yang terjadi adalah perlindungan atau proteksi yang dilakukan oleh negara-negara terhadap pengambilalihan pihak asing terhadap industri mereka. Namun sejalan dengan implementasi program berbasis neoliberalisme IMF dan Bank Dunia, negara-negara berkembang kemudian membuka dengan sangat lebar perekonomian mereka, dan berlombalomba untuk menciptakan iklim domestik yang kondusif dan atraktif bagi masuknya modal asing. Namun demikian, terdapat pandangan yang berbeda terhadap keberadaan investasi asing langsung dalam perekonomian negara-negara berkembang. Investasi asing langsung, yang utamanya dibawa oleh perusahaan-perusahaan multinasional, dipandang sangat eksploitatif. Misalnya, pada tahun 2006 lebih dari separuh dari pendapatan perusahaan multinasional di dunia, kembali lagi menjadi keuntungan yang mereka nikmati.161 Seringkali perusahaan-perusahaan multinasional juga mendistorsi perekonomian nasional dan kehidupan masyarakat, menekan pertumbuhan perusahaan-perusahaan lokal dan menggunakan mekanisme harga transfer untuk meminimalkan pembayaran pajak.162 Volatilitas arus FDI, meliputi penarikan tiba-tiba di masa krisis, menunjukkan bahwa sebagian besar FDI lebih merupakan kepemilikan jangka pendek investasi portofolio, ketimbang dengan yang selama ini dibayangkan.163 Dampak dari investasi asing langsung ini justru menciptakan destabilisasi perekonomian negara-negara berkembang. Sebuah analisis yang dilakukan oleh Bill Dunn, yang membandingkan tingkat pertumbuhan ekonomi dengan tingkat investasi asing selama 1981 dan 2005 di 24 negara maju dan miskin yang menjadi lokasi tujuan FDI, memperlihatkan suatu hasil yang bertentangan dengan asumsi dan keyakinan para pendukung investasi.164 Hasil perhitungan yang dilakukan oleh Dunn, menunjukkan suatu korelasi yang lemah antara arus neto FDI dan kinerja ekonomi.165 Kolom 2 dalam Tabel 4.22 Bill Dunn, Global Political Economy, 173. Bill Dunn, Global Political Economy: A Marxist Critique (London: Pluto Press, 2009), 184., 173. 161 Bill Dunn, Global Political Economy, 173. 162 Bill Dunn, Global Political Economy, 173. 163 Bill Dunn, Global Political Economy, 173. 164 Bill Dunn, Global Political Economy, 173. 165 Bill Dunn, Global Political Economy, 173. 159 160
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
151
memperlihatkan suatu konfirmasi bahwa arus FDI memiliki korelasi yang lemah, tetapi positif dan signifikan secara statistik, dengan tingkat pertumbuhan tahunan.166 Meskipun demikian, korelasi tidaklah berarti menunjukkan adanya hubungan yang bersifat sebab-akibat.167 Pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan faktor yang lebih dapat menarik investor ketimbang sebagai konsekuensi.168 Tabel 4.22 juga memperlihatkan hubungan antara pertumbuhan PDB dan arus FDI pada tahun sebelumnya (kolom 1) dan setelahnya (kolom 2). Di negara-negara maju, terdapat sebuah asosiasi yang kuat antara investasi asing di setiap tahun dengan pertumbuhan. Sebaliknya, di negara-negara miskin, terdapat sedikit bukti yang menunjukkan hubungan tersebut. Bahkan, di negara-negara tersebut, tingkat investasi asing, yang meskipun lemah, memiliki korelasi yang lebih kuat dengan pertumbuhan di tahun sebelumnya dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun berikutnya.169 Dengan demikian, fakta empiris yang dianalisis oleh Bill Dunn, memperlihatkan bahwa justru FDI yang mengikuti kecenderungan pertumbuhan ketimbang sebagai akibatnya.170 Intinya, FDI tidak memainkan peranan besar dalam mendorong pertumbuhan, justru sebaliknya arus FDI dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan ekonomi. Menurut Dunn, asosiasi yang lemah antara FDI dan pertumbuhan ini, bukanlah suatu hal yang sulit untuk dijelaskan. Pertama, sangat sedikit dari FDI ini yang pada dasarnya merupakan investasi baru.171 Pada tahun 2006, penggabungan dan akuisisi (Mergers and Acquisitions/M&As) memiliki porsi 78,4 persen dari total arus FDI.172 Hal ini dapat membuat data statistik FDI mengalami perubahan besar, namun perubahan sangat kecil terjadi dari sisi produksi.173 Sebagai contoh, M&As antara General Motor (GM) dan Fiat dan penggabungan DaimlerChrysler. Produksi yang dihasilkan setara dengan sebelumnya. Begitu juga dengan M&As yang terjadi di perusahaan-perusahaan lainnya, ukuran FDI mengalami perubahan, namun dari sisi produksi perubahan yang terjadi sangat kecil.174 Kedua, pada kenyataannya, sumber-sumber daya domestik tetap menjadi landasan utama bagi pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, konsekuensi dari FDI sangatlah spesifik dan khusus, tergantung pada apa dan di mana investasi tersebut ditanamkan.175 Dalam memandang FDI, posisi dari tulisan ini lebih kepada pandangan yang kedua, terkait dengan besarnya dampak distorsi investasi terhadap perekonomian dan kehidupan masyarakat, serta korelasi yang lemah antara arus FDI dalam memicu pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian, tulisan ini tetap akan membedah secara kritis daya saing iklim investasi di Indonesia. Dikarenakan agenda integrasi ekonomi ASEAN yang berbasis pada neoliberalisme, daya saing atau iklim investasi Indonesia menjadi penting dalam sudut pandang dan ranah permainan yang didominasi oleh prinsip neoliberalisme ini. 168 169 170 171 172 173 174 175 166 167
Bill Dunn, Global Political Economy, 173. Bill Dunn, Global Political Economy, 173. Bill Dunn, Global Political Economy, 173. Bill Dunn, Global Political Economy, 173. Bill Dunn, Global Political Economy, 173. Bill Dunn, Global Political Economy, 174. Bill Dunn, Global Political Economy, 174. Bill Dunn, Global Political Economy, 174. Bill Dunn, Global Political Economy, 174. Bill Dunn, Global Political Economy, 174.
152
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Dilaporkan dalam RPJMN 2004-2009, bahwa di Indonesia tahun 1999-2003, investasi berupa pembentukan modal bruto hanya tumbuh rata-rata 1,3 persen per tahun, jauh di bawah tahun 1991-1996 yang tumbuh rata-rata sekitar 10,6 persen per tahun.176 Lambatnya pemulihan investasi ini menyebabkan peranan investasi berupa pembentukan modal tetap bruto terhadap PDB menurun dari 29,6 persen pada tahun 1997 menjadi 19,7 persen pada tahun 2003.177 Terlebih jika dibandingkan dengan keadaan sebelum krisis, secara riil tingkat investasi pada tahun 2003 baru mencapai sekitar 69 persen dari volume investasi 1997 (harga konstan 1993).178 Dinyatakan juga, bahwa sampai dengan triwulan III/2004, pembentukan modal tetap bruto mulai tumbuh sebesar 11,3 persen, namun masih sangat awal dan perlu didorong untuk mengatasi hambatan investasi.179
Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.17-1. 177 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.17-1. 178 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.17-1. 179 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.17-1. 176
Pembangunan Pembangunan Pembangunan Pembangunan
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
153
Tabel 4.22 Korelasi antara Pertumbuhan PDB dan FDI dalam tahun sebelum, selama dan sesudah, 1981-2005
Sumber: UNCTAD 2006, dikutip dari Bill Dunn, Global PoliticalEconomy: A Marxist Critique (London: Pluto Press, 2009), 175. Dalam RPJMN 2004-2009, pemerintah juga menyadari bahwa investasi ke depan menghadapi tantangan eksternal yang tidak ringan.180 Salah satunya adalah kecenderungan berkurangnya arus masuk investasi global melalui FDI sebelum tahun 2000.181 Sementara itu, daya tarik investasi pada beberapa negara Asia Timur pesa Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.17-1. 181 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan 180
154
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
ing Indonesia seperti antara lain Republik Rakyat China (RRC), Vietnam, Thailand dan Malaysia, justru meningkat.182 Dalam konteks ini, tercermin kekhawatiran pemerintah Indonesia atas kondisi ini, yang juga mencerminkan betapa pentingnya FDI dalam pandangan pemerintah. Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa lambannya respon terhadap penciptaan lingkungan usaha yang kondusif serta terhadap kebutuhan penyederhanaan berbagai perangkat peratiran dan formulasi sistem intensif di bidang investasi dikhawatirkan berimplikasi jangka menengah-panjang untuk perkembangan ekonomi ke depan.183 Berdasarkan RPJMN 2004-2009, pemerintah Indonesia juga telah mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan investasi yang terletak pada memburuknya iklim investasi yang memburuk sebagai imbas dari beberapa faktor. Persoalan pertama, terkait dengan prosedur perijinan investasi yang panjang dan mahal. Pada tahun 2004, berdasarkan studi Bank Dunia, bila dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN, perijinan untuk memulai suatu usaha dari berbagai instansi baik pusat maupun daerah di Indonesia membutuhkan waktu yang lebih lama dengan 12 prosedur yang harus dilalui dengan waktu yang dibutuhkan selama 151 hari (sekitar 5 bulan) dan biaya yang diperlukan sebesar 131 persen dari pendapatan per kapita, yaitu sebesar US$ 1.163.184 Bandingkan dengan kondisi di Malaysia, untuk memulai usaha di negeri jiran tersebut hanya melalui 9 prosedur dengan waktu yang dibutuhkan hanya 30 hari dan biaya hanya sekitar 25 persen dari pendapatan per kapita atau sekitar US$ 945.185 Sementara di Filipina dan Thailand, hanya membutuhkan waktu masing-masing selama 50 hari dan 33 hari dengan biaya masing-masing sebesar 20 persen (sekitar US$ 216) dan 7 persen (sekitar US$ 160) dari pendapatan per kapita.186 Persoalan lain, seperti rendahnya kepastian hukum; lemahnya insentif investasi; kualitas SDM yang rendah dan terbatasnya infrastruktur; tidak adanya kebijakan yang jelas untuk mendorong pengalihan teknologi dari penanaman modal asing (PMA),187 menjadikan iklim investasi Indonesia relatif kurang atraktif dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Berdasarkan pada data World Investment Report (WIR) oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) tahun 2006 dan 2008, terlihat bahwa iklim investasi Indonesia masih kalah bersaing dengan kedelapan negara ASEAN lainnya, minus Kamboja dan Laos. Secara keseluruhan, dari tahun 1990 sampai dengan 2007, peringkat Indeks Kinerja FDI Indonesia ke dalam, masih berada di bawah peringkat negara-negara tersebut (lihat Tabel 4.23). Memang selama periode 2003 sampai 2007, terjadi peningkatan peringkat indeks kinerja FDI ke Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.17-1. 182 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.17-1. 183 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.17-1. 184 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.17-1. 185 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.17-1. 186 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.17-1. 187 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Bagian IV.17-1.
Pembangunan Pembangunan Pembangunan Pembangunan Pembangunan Pembangunan
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
155
dalam Indonesia, dari peringkat 139 menjadi 104. Meskipun demikian, peringkat Indonesia masih berada pada level terendah di Asia Tenggara. Bahkan, persoalan peningkatan investasi yang terkait dengan iklim investasi yang buruk disebabkan oleh prosedur perijinan investasi yang panjang dan mahal, sebagaimana diidentifikasi pemerintah Indonesia dalam RPJMN 2004-2008, performa buruk iklim investasi Indonesia relatif dengan negara-negara ASEAN di tahun 2004, tidak mengalami perubahan yang signifikan. Indonesia berada pada peringkat 168 dalam kategori untuk memulai usaha berdasarkan Doing Business 2008.189 Dengan prosedur yang harus dilalui untuk memulai usaha di Indonesia, dalam jumlah yang sama di tahun 2004, yaitu sebanyak 12 prosedur, dengan waktu yang dibutuhkan 80 hari dan biaya sebesar 80 persen dari pendapatan per kapita.190 Sementara itu, Malaysia berada pada peringkat ke-74 dalam kategori yang sama, dengan prosedur yang harus dilalui sebanyak 9 prosedur, waktu yang dibutuhkan untuk memulai usaha selama 24 hari dan biaya sebesar 18 persen dari pendapatan per kapita.191 Lebih dari itu, Thailand berada pada peringkat ke-36, jumlah prosedur 8, lama waktu 33 hari dan biaya sebesar 5,6 persen dari pendapatan per kapita.192 Lebih jauh lagi, jika dibandingkan dengan Singapura, yang menduduki peringkat pertama dalam kemudahan usaha, peringkat ke-9 dalam kategori untuk memulai usaha, hanya 5 prosedur yang harus dilalui dengan waktu 5 hari dan biaya hanya sebesar 0.8 persen dari pendapatan per kapita.193 Sehingga tidak heran jika arus FDI yang masuk ke Singapura lebih besar dibandingkan dengan Indonesia di tahun 2008, dengan nilai US$ 10.912,2 juta untuk Singapura dan sebesar US$ 9.318,1 juta untuk Indonesia (lihat Tabel 4.24).194 188
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), World Investment Report 2006: FDI from Developing and Transition Economies: Implications for Development (New York & Jeneva: United Nations, 2006), 277-279. Dan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), World Investment Report 2008: Transnational Corporations and the Infrastructure Challenge (New York & Jeneva: United Nations, 2008), 214-216. 189 World Bank, Doing Business 2008: Comparing Regulation in 178 Economies (Washington D.C.: World Bank, 2007), 126. 190 World Bank, Doing Business 2008, 126. 191 World Bank, Doing Business 2008, 135. 192 World Bank, Doing Business 2008, 155. 193 World Bank, Doing Business 2008, 149. 194 ASEAN Foreign Direct Investment Statistics Database. 188
Brunei Darussalam
Indonesia
Malaysia
Myanmar
Filipina
Singapura
Thailand
Vietnam
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
45
17
1
28
14
4
57
93
1990
4
72
2
43
38
6
60
18
1995
39
46
5
85
29
53
138
7
2000
54
84
6
94
81
74
139
5
2002
46
90
6
110
74
82
139
1
2003
52
107
7
103
81
64
139
2
2004
53/55
96/49
5/4
115/109
73/82
62/68
133/106
2
2005
62
54
6
99
101
67
112/103
51/64
2006
Indeks Kinerja FDI ke dalam (Inward FDI Performance Index)
43
64
7
96
99
71
104
89
2007
78
40
15
83
118
38
44
29
1990
88
44
3
70
116
33
65
31
1995
73
53
2
61
89
31
76
35
2000
66
54
2
56
76
31
86
41
2002
68
56
5
60
75
32
90
43
2003
74
59
5
61
83
32
92
49
2004
79
61
2
77
84
41
103
51
2005
80
63
2
77
86
40
100
54
2006
Indeks Potensi FDI ke dalam (Inward FDI Potential Index)
..
..
..
..
..
..
..
..
2007
Catatan: Data Indeks Kinerja FDI ke dalam tahun 2005 dan 2006 (Brunei dan Indonesia), berdasarkan pada World Investment Report 2006 dan 2008. Data keseluruhan tahun 1990-2005, berdasarkan pada World Investment Report 2006, tahun 2005-2007 berdasarkan pada World Investment Report 2008. Sumber: United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), World Investment Report 2006: FDI from Developing and Transition Economies: Implications for Development (New York & Jeneva: United Nations, 2006), 277-279. Dan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), World Investment Report 2008: Transnational Corporations and the Infrastructure Challenge (New York & Jeneva: United Nations, 2008), 214-216.
Negara
No.
Tabel 4.23 Peringkat Indeks Kinerja dan Potensi FDI ke dalam, 1990-2007
156 Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
157
Tabel 4.24 Arus Investasi Asing Langsung (FDI) ke ASEAN 2008-2009 No.
Negara
Arus FDI Juta US$
Juta US$
1.
Brunei Darussalam
239,2
176,8
2.
Kamboja
815,2
530,2
3.
Indonesia
9.318,1
4.876,8
4.
Laos
227,8
318,6
5.
Malaysia
7.318,4
1.381,0
6.
Myanmar
975,6
578,6
7.
Filipina
1.544,0
1. 948,0
8.
Singapura
10.912.2
16.256,2
9.
Thailand
8.570,5
5.956,9
10.
Vietnam
9.579,0
7.600,0
TOTAL ASEAN 49.499,8 Sumber: ASEAN Foreign Direct Investment Statistics Database.
39,623,0
Berdasarkan data di atas, pada tahun 2008, walaupun iklim investasi masih berada dalam kondisi yang kurang kondusif, arus investasi asing yang masuk ke Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Akan tetapi, tingkat arus investasi asing yang masuk ke Indonesia belum berada dalam keadaan yang stabil. Kecenderungan peningkatan secara berkesinambungan juga tidak terjadi. Bahkan pada tahun 2009, kecenderungan investasi asing di Indonesia justru mengalami penurunan yang cukup signifikan. Kondisi yang serupa dialami oleh negara-negara ASEAN lainnya, kecuali Singapura dengan arus investasi asing justru mengalami peningkatan. Secara keseluruhan, tampaknya upaya pemerintah Indonesia selama ini masih kurang berarti dalam meningkatkan iklim investasi guna memenangkan persaingan dalam ranah permainan yang berlandaskan neoliberalisme sebagai aturan main. Berdasarkan data dalam Doing Business 2008, terlihat bahwa negara-negara ASEAN lainnya, memiliki iklim yang lebih atraktif dibandingkan dengan Indonesia. Selain itu, selama lebih dari satu dekade terakhir, indeks kinerja investasi asing ke dalam di Indonesia juga masih berada pada peringkat yang tertinggal dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, sebagaimana yang terangkum di dalam World Investment Report UNCTAD. Meskipun demikian, sekali lagi perlu dipahami bahwa tulisan ini berada pada posisi yang memandang korelasi yang lemah antara FDI dan pertumbuhan ekonomi, sejalan dengan hasil analisis yang dilakukan oleh Bill Dunn. Dalam pandangan yang melihat sisi negatif dari arus FDI dan korelasinya yang lemah bagi pertumbuhan ekonomi, buruknya iklim investasi dalam menarik FDI ini bukanlah merupakan persoalan besar bagi Indonesia dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Permasalahan besar yang justru harus dihadapi oleh Indonesia dengan iklim investasi yang demikian dalam liberalisasi arus investasi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, justru terletak pada upaya untuk mempertahankan sumber
158
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
dana domestik guna menopang perekonomian riil Indonesia. Jika iklim investasi Indonesia yang seperti sekarang ini tidak dapat menarik arus FDI dari negara-negara ASEAN, maka yang harus dipertahankan adalah jangan sampai modal domestik lari ke negara-negara tetangga ASEAN yang memiliki iklim yang lebih atraktif dan kondusif. Terlebih lagi, agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN, selain menjadikan kawasan ini menjadi sebuah kawasan yang kompetitif, juga mendorong terjadinya liberalisasi arus investasi untuk mendorong peningkatan investasi intra-ASEAN. Dalam kondisi integrasi ekonomi kawasan yang berbasis pada neoliberalisme, Indonesia harus dapat menerima kenyataan jika kemudian para investor domestik menanamkan modal atau bahkan merelokasikan aktifitas mereka di negara-negara ASEAN lainnya yang memiliki iklim investasi yang lebih atraktif dan kondusif. Kekhawatiran ini bukanlah semata-mata wujud pengejawantahan dari pandangan nasionalisme terhadap integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Akan tetapi, harus benar-benar disadari dan diakui bahwa integrasi kawasan Asia Tenggara menuju terwujudnya Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) berjalan dalam suatu proses yang sangat unik. Dalam ranah ekonomi, proses integrasi kawasan Asia Tenggara menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN, berjalan dalam prinsip-prinsip yang sangat liberal. Tercermin dari landasan integrasi yang memang didorong oleh implementasi prinsip neoliberalisme dalam ekonomi sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya. Proses yang berbeda terjadi dalam ranah politik. Dalam ranah ini, integrasi Masyarakat ASEAN, sebagaimana tercermin di dalam Piagam ASEAN (ASEAN Charter), masih berlandaskan pada prinsip yang bersifat state-centric dan cenderung konservatif dalam memandang kedaulatan negara.195 Selain itu, dalam ranah politik, semangat integrasi yang kuat lebih berdasarkan pada relasi elit, bukan dalam bentuk relasi antar masyarakat. Sejauh ini, dapat dikatakan bahwa identitas ASEAN belum juga terbangun pada tataran masyarakat, meskipun agenda Masyarakat ASEAN diarahkan kepada integrasi yang berorientasi kepada masyarakat (people oriented). Sehingga, tidak heran jika persaingan politik dan ekonomi masih mewarnai relasi antar negara sesama anggota ASEAN. Dengan demikian, pergerakan modal domestik Indonesia ke luar, terutama ke negara-negara ASEAN, akan membuka peluang bagi terjadinya persoalanpersoalan politik dan sosial. Selain itu, sebagaimana hasil analisis korelasi FDI-PDB yang dilakukan oleh Dunn, peranan sumber-sumber daya domestik masih menjadi penggerak riil dan utama bagi kemajuan perekonomian suatu negara. Bergeraknya modal domestik Indonesia ke negara-negara kawasan Asia Tenggara yang memiliki iklim investasi yang lebih kondusif tentu saja bermakna pada hilangnya sumber-sumber dana yang sangat dibutuhkan bagi gerak roda perekonomian nasional. Sementara itu, iklim investasi domestik belum dapat menarik investasi secara massif dalam sektor-sektor yang produktif. Ditambah lagi dengan efek distorsi yang melekat dalam investasi asing akan semakin mempersulit kondisi perekonomian Indonesia dalam integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Demikianlah potret dari beberapa aspek perekonomian Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kenyataannya, perekonomian Indonesia Aleksius Jemadu, Pemerintah Daerah dan ASEAN Economic Community: TInjauan Teoritis, Materi Presentasi dalam Focus Group Discussion “Pemerintah Daerah dan ASEAN Community, Universitas Al Azhar Indonesia, 26 Agustus 2010. 195
Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia
159
masih belum berada pada kondisi yang siap untuk dapat memaksimalkan manfaat dan keuntungan dari agenda integrasi tersebut. Memang jika disimak dari pengalaman sejarah integrasi perekonomian negara-negara berkembang dalam pasar regional ataupun global, terdapat beberapa kisah sukses. Sebagai contoh, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (Special Economic Zones/SEZ) di China (Shenzen, Guangzhou, Shanghai dan HongKong) yang mengalami kemajuan luar biasa, kemajuan pusat pengembangan teknologi informasi di Bangalore India serta kemajuan kota pelabuhan dan industri perkapalan di Pusan dan Tageu, Korea Selatan.196 Akan tetapi, yang harus digarisbawahi, terdapat suatu faktor penjelas kunci di balik kisah sukses tersebut, yaitu kesiapan ekonomi. Terdapat beberapa faktor yang menjelaskan kisah sukses negara-negara tersebut dalam mengintegrasikan diri ke dalam pasar regional dan global. Pertama, infrastruktur ekonomi yang sangat mendukung dan memfasilitasi kegiatan investasi. Kedua, pemerintahan dan birokrasi yang kompeten, bersih dari korupsi dan efisien. Ketiga, tersedianya tenaga kerja terampil (skilled labor) untuk mendukung industrialisasi. Keempat, kemampuan untuk mengadopsi teknologi yang menghasilkan barang yang bernilai tambah tinggi.197 Ironisnya, faktor-faktor yang berada di balik kisah sukses tersebut, masih menjadi persoalan yang mewarnai potret perekonomian Indonesia sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Secara keseluruhan, potret perekonomian Indonesia di dalam beberapa aspek tersebut tampak masih belum memiliki kesiapan sebagai landasan bagi daya saing perekonomian Indonesia dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Dalam kelima aspek yang telah diuraikan di atas, Indonesia masih berada dalam posisi yang tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya. Berdasarkan potret ini, terlihat bahwa pemerintah Indonesia selama periode 2003-2008, belum mengimplementasikan langkah-langkah yang berarti dalam mempersiapkan perekonomian Indonesia menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Selama periode tersebut, pemerintah Indonesia belum mampu untuk mempercepat kesiapan fundamen ekonomi sebagai suatu syarat mutlak dalam menghadapi agenda integrasi ekonomi regional berbasis neoliberalisme. Hal ini tercermin dari tidak adanya perbaikan yang berarti dalam beberapa aspek perekonomian Indonesia dari tahun 2003 sampai dengan 2008. Berbagai permasalahan yang menjadi bukti ketertinggalan ekonomi Indonesia dari negara-negara ASEAN lainnya di tahun 2000-2004, masih terus lestari selama lima tahun periode pemerintahan berikutnya. Berbagai ketertinggalan Indonesia dalam beberapa aspek penting ekonomi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya yang dilaporkan dalam RPJMN 2004-2009, ironisnya masih berada dalam kondisi yang sama dalam RPJMN 2010-2014. Daya saing industri manufaktur Indonesia, sebagai kunci dalam keberhasilan pembangunan justru masih berada dalam keadaan yang tertinggal. Dalam sektor industri jasa, performa industri pariwisata Indonesia juga masih kalah bersaing dengan Malaysia, Thailand dan Singapura. Terlebih lagi dalam Aleksius Jemadu, Pemerintah Daerah dan ASEAN Economic Community: TInjauan Teoritis, Materi Presentasi dalam Focus Group Discussion “Pemerintah Daerah dan ASEAN Community, Universitas Al Azhar Indonesia, 26 Agustus 2010. 197 Aleksius Jemadu, Pemerintah Daerah dan ASEAN Economic Community: Tinjauan Teoritis, Materi Presentasi dalam Focus Group Discussion “Pemerintah Daerah dan ASEAN Community, Universitas Al Azhar Indonesia, 26 Agustus 2010. 196
160
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
konteks kualitas sumber daya manusia, pencapaian pembangunan Indonesia dalam dimensi kesehatan dan pendidikan juga masih jauh tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya. Penguasaan dan kemampuan teknologi yang teringgal masih mewarnai kualitas manusia Indonesia. Bahkan Indonesia mengalami kesenjangan digital dengan negara-negara ASEAN lainnya. Begitu juga halnya dengan iklim investasi, masih belum kondusif dan atraktif untuk dapat bersaing dalam agenda integrasi ekonomi berbasis neoliberalisme. Terdapat dua fakta yang menjadi kesimpulan fakta dari bab ini. Pertama, terbukti bahwa perekonomian Indonesia belum memiliki kesiapan sebagai syarat mutlak dalam menghadapi agenda neoliberalisme khususnya dalam menuju pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015. Kedua, pemerintah Indonesia tidak memiliki langkah-langkah yang berarti selama periode 2003-2008 untuk mempersiapkan perekonomian Indonesia dalam menghadapi agenda integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Akhirnya, jika dalam empat tahun ke depan menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, potret buram masih menjadi warna dominan dalam perekonomian Indonesia, maka dalam tataran yang sederhana, Indonesia tidak akan mampu memaksimalkan manfaat dari agenda integrasi ekonomi ini. Lebih dari itu, Indonesia juga harus siap menerima kekalahan dalam bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya dan harus menanggung berbagai dampak negatif distorsif multidimensi dari implementasi kebijakan ekonomi berbasis neoliberal dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN ini.
Bab 5 Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme dalam Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Telah jelas keterpurukan ekonomi yang dialami negara-negara berkembang sebagai imbas dari implementasi neoliberalisme. Kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal yang diterapkan negara-negara berkembang selama beberapa dekade terakhir, telah berhasil menegaskan ketidakadilan dan ketimpangan global. Semakin kokoh posisi negara-negara maju yang mengeksploitasi dan menghisap kekayaan ekonomi negara-negara berkembang. Semakin dalam keterpurukan negara-negara berkembang dalam jurang kemiskinan dan ketidaksetaraan. Ironisnya, pengalaman buruk yang nyata ini tidak menjadi cermin bagi pemerintah Indonesia dalam merumuskan langkah-langkah pembangunan ekonomi. Sebaliknya, pemerintah Indonesia justru semakin mengukuhkan komitmen dan langkahnya menuju sebuah agenda neoliberal di tingkat kawasan dalam wujud Masyarakat Ekonomi ASEAN. Derita dan jeritan rakyat, yang harus menelan pil pahit kebijakan neoliberal selama ini, seakan semakin tidak terdengar, tertelan semangat gegap gempita pemerintah Indonesia melangkah menuju agenda integrasi ekonomi yang sangat jelas dilandaskan pada prinsip neoliberalisme tersebut. Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang dicanangkan akan terwujud pada tahun 2015, merupakan suatu ranah permainan yang didasarkan pada neoliberalisme sebagai aturan mainnya. Kepercayaan diri yang berlebihan dan optimisme akan manfaat besar dari neoliberalisme membutakan mata pemerintah Indonesia akan betapa pentingnya kesiapan ekonomi dalam tataran fundamental dan substantif sebagai syarat imperative untuk dapat bertahan dalam ranah permainan neoliberal tersebut. Sangat menyedihkan ketika pada kenyataannya, perekonomian Indonesia justru berada pada keadaan yang tidak siap dan tidak mampu bersaing dalam agenda integrasi neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN. Lebih lagi, di balik komitmen dan kepercayaan diri yang sangat kuat dari pemerintah Indonesia dalam menghadapi agenda neoliberal tersebut, justru pada kenyataannya pemerintah Indonesia tidak memiliki langkah-langkah yang berarti untuk membangun secara substantif dan fundamental perekonomian Indonesia selama periode 2003-2008 sebagai landasan menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Berlandaskan pada pendekatan Gramscian-Foucauldian, bagian ini berupaya untuk membongkar hegemoni dan diskursus neoliberalisme di balik langkah pemerintah Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Secara lebih mendalam, dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai pendekatan Gramscian-Fou-
162
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
cauldian dalam wujud konsep hegemoni Antonio Gramsci dan konsep diskursus Michel Foucault. Akan diperlihatkan bagaimana telah terjadi hegemoni ideologis neoliberalisme dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Berlandaskan pada konsep diskursus Michel Foucault akan diperlihatkan bagaimana praktik diskursif neoliberalisme memainkan pengaruh terhadap kebijakan ekonomi sebagai langkah Indonesia menuju agenda integrasi regional neoliberal tersebut. Pada akhirnya, bagian ini berujung pada kesimpulan bahwa telah terjadi hegemoni neoliberalisme dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia, khususnya dalam langkah integrasi menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Berbagai praktik diskursif yang berasal dari subyek yang memiliki modalitas enunsiatif menjadi strategi efektif dalam menanamkan optimisme dan wacana kesiapan Indonesia dalam menghadapi agenda tersebut. Alhasil, terciptalah ilusi kesiapan ekonomi Indonesia dan keyakinan akan manfaat besar dari Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang melandasi semangat dan komitmen besar dalam langkah yang tidak berarti dalam menciptakan kesiapan substantif dan fundamental perekonomian Indonesia dalam menghadapi agenda neoliberal tersebut.
Pendekatan Gramscian-Foucauldian Perjalan sejarah intelektual teoritis dalam ekonomi politik memperlihatkan suatu fenomena skeptisisme yang besar terhadap pandangan bahwa kebijakan merupakan produk dari kebenaran ilmiah (scientific truth).1 Berangkat dari keraguan atas adanya kebijakan ekonomi yang diklaim berasal dari kebenaran ilmiah, Richard Peet, di dalam sebuah karyanya yang berjudul The Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, memandang suatu kebutuhan untuk memunculkan suatu pendekatan yang berbeda terhadap formasi kebijakan ekonomi, yaitu suatu pendekatan yang lebih menekankan pada konteks, kekuasaan dan kepentingan politik.2 Di dalam suatu pendekatan yang berbeda ini, teori-teori ekonomi dipandang lebih merupakan simbolisasi dari kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan politik, ketimbang didasarkan pada penemuan-penemuan yang bersifat netral atau bebas nilai dari sebuah ilmu sosial pasti.3 Lebih dari itu, kebijakan ekonomi dipandang sebagai pernyataan-pernyataan budaya dan politik yang mengklaim kekuasaan di balik tabir legitimasi ilmu pengetahuan.4 Singkatnya, menurut Peet, analisis kebijakan ekonomi lebih merupakan sebuah upaya budaya, politik dan sosial, ketimbang sebagai sebuah studi dari aplikasi kebenaran ilmiah dan terbukti.5 Berlandaskan pada cara pandang terhadap kebijakan ekonomi ini, Richard Peet mengembangkan sebuah pendekatan yang mengkombinasikan pemikiran Antonio Gramsci dan Michel Foucault, yang kemudian ia sebut sebagai pendeka-
Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO (London: Zed Books, 2003), 22. 2 Richard Peet, Unholy Trinity, 22. 3 Richard Peet, Unholy Trinity, 22. 4 Richard Peet, Unholy Trinity, 22. 5 Richard Peet, Unholy Trinity, 22. 1
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
163
tan Gramscian-Foucauldian. Pertama, Peet secara spesifik menggunakan konsep masyarakat sipil (civil society) dan hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci. Peet memandang bajwa pemahaman kritis terhadap formasi kebijakan harus dimulai dengan sebuah gagasan dasar bahwa kebijakan selalu mengabdi kepada kepentingan-kepentingan sosial dan ekonomi tertentu.7 Terutama ketika perusahaan-perusahaan besar membayar jutaan dollar kepada partai-partai politik dengan imbalan janji mendapatkan akses kepada presiden, hal ini dilakukan atas dasar harapan bahwa donasi yang mereka berikan akan mempengaruhi kebijakan pemerintah di masa depan.8 Uang dapat membeli pengaruh, terutama pengaruh terhadap kebijakan.9 Dalam kondisi ini, Peet lebih menekankan pada paradigma Teori Kritis, dibandingkan dengan memahaminya dalam perspektif Marxisme. Kenyataannya, pemahaman terhadap relasi antara kepentingan dan kebijakan sangat terkait dengan konsep ‘ideologi’ dalam pandangan Marxsime. Dalam pandangan pemikir Marxisme, kekuasaan sosial dominan, yang dikonseptualisasikan dalam wujud kelas, menaturalisasikan dan menguniversalisasikan keyakinan dan nilai-nilai yang sehaluan dengan kepentingan mereka.10 Dengan demikian, pernyataan-pernyataan diciptakan oleh kepentingan kekuasaan untuk mendapatkan efek legitimasi politik dari kepentingan-kepentingan yang bertentangan.11 Akan tetapi, menurut Peet, ketika gagasan kepentingan ini memasuki sebuah ranah analisis, pandangan yang krusial ini tidaklah cukup dan harus diamandemen melalui konsep masyarakat sipil dan hegemoni Antoni Gramsci.12 Konsep masyarakat madani atau civil society menurut Gramsci merupakan sebuah sistem yang terdiri dari institusi-institusi sosial dan budaya (seperti keluarga, Gereja, sekolah dan lain sebagainya), yang berada di luar dan berhubungan secara parallel dengan negara dalam sebuah konsepsi luas mengenai suprastruktur politik dan sipil.13 Gramsci meyakini bahwa hegemoni ideologis dibangun terutama oleh institusi sipil ketimbang institusi negara.14 Dalam formulasi ini, hegemoni merupakan sebuah konsepsi mengenai realitas, yang disebarluaskan oleh institusi sipil, yang menginformasikan nilai, kebiasaan dan cita-cita spiritual, yang diinduksikan ke dalam semua strata masyarakat, sebagai bentuk persetujuan ‘spontan’ terhadap status quo.15 Hegemoni juga merupakan sebuah pandangan dunia, yang difusikan sedemikain rupa secara menyeluruh, ketika terinternalisasi, mewujud menjadi ‘common sense’ (akal/pikiran sehat). Gramsci memasukkan apa yang disebut sebagai ‘sense’ di sini, juga meliputi formasi (pembentukan) perilaku ekonomi di dalam masyarakat sipil, di mana di dalam setiap bentuk sosial terdapat makhluk ekonomi (homo economicus).16 Dengan demikian, Gramsci memandang rasionalitas ekonomi menanggapi kebutuhan material dengan cara membangun se6
Richard Peet, Unholy Trinity, 24. Richard Peet, Unholy Trinity, 23. Richard Peet, Unholy Trinity, 23. Richard Peet, Unholy Trinity, 23. 10 Richard Peet, Unholy Trinity, 23. 11 Richard Peet, Unholy Trinity, 23. 12 Richard Peet, Unholy Trinity, 23. 13 Richard Peet, Unholy Trinity, 23. 14 Richard Peet, Unholy Trinity, 23. 15 Richard Peet, Unholy Trinity, 23. 16 Richard Peet, Unholy Trinity, 23. 8 9 6 7
164
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
buah kompleks keyakinan dan kepercayaan, di mana tujuan-tujuan konkrit diajukan ke dalam kesadaran kolektif.17 Berlandaskan pada pemikiran Gramsci inilah kemudian Richard Peet memindahkan level analisis dari level ideologis – produksi sosial-politik dari apa yang dipikirkan manusia – menuju level hegemonik – yaitu produksi sosiokultural mengenai cara manusia berpikir.18 Kedua, Richard Peet melengkapi gagasan mengenai ‘common sense’ yang terkait dengan konsep hegemoni Gramsci dengan gagasan mengenai diskursus (wacana) yang dikembangkan oleh Michel Foucault. Hal ini dikarenakan Peet memandang persoalan formasi pemahaman ekonomi terkait dengan sebuah ranah produksi budaya dan politik yang di dalamnya terdapat individu-individu yang sangat terlatih dan berpengalaman, atau yang disebut sebagai ‘ahli’ (experts), dan institusiinstitusi yang telah mapan dengan pendanaan yang melimpah, seperti departemen pemerintah, think tanks (lembaga-lembaga atau pusat studi), asosiasi perbankan dan lain sebagainya.19 Atas dasar ini, Peet memandang bahwa keseluruhan proses berpikir sosial yang sangat terinstitusionalisasikan, dan proses budaya dari kegiatan produksi gagasan yang memiliki wawasan luas (namun terbatas), melibatkan suatu jenis tertentu dari representasi simbolis di mana konsep ‘common sense’ Gramsci menjadi tidak cukup untuk memahami proses formasi kebijakan ekonomi.20 Lebih lanjut Peet menyatakan bahwa, sementara kegiatan berpikir dimulai pada level common sense, dan kembali lagi pada level ini ketika kebijakan dijelaskan oleh ‘juru bicara’ kepada publik, tahapan menengah teorisasi dan formasi kebijakan terjadi pada tatanan teoritis simbolisasi yang berbeda.21 Karenanya, Peet mencangkokkan gagasan diskursus Michel Foucault ke dalam pemikiran Gramsci untuk memahami proses tersebut.22 Apa yang disebut Foucault sebagai diskursus (wacana), merupakan suatu bentuk pernyataan-pernyataan yang rasional, hati-hati dan terorganisir, yang dibuat oleh para ahli (experts).23 Foucault memandang ilmu pengetahuan manusia sebagai sistem diskursus yang otonom dan berlandaskan pada aturan, di mana di dalam diskursus ini ia menemukan sebuah jenis fungsi lingusitik yang tidak diperhatikan sebelumnya, yaitu ‘serious speech act,’ atau pernyataan-pernyataan dengan berbagai prosedur validasi yang diciptakan di dalam suatu komunitas para ahli. Serious speech acts ini memperlihatkan suatu keteraturan dalam apa yang disebut Foucault sebagai ‘formasi diskursif’ (discursive formations). Formasi diskursif ini memiliki sistem aturan-aturan yang menentukan “apa yang telah dikatakan, dan tentang apa.” Diskursus juga memiliki struktur sistematik yang dapat dianalisis secara arkeologis (mengidentifikasi elemen-elemen utamanya dan relasi yang membentuk pernyataan secara keseluruhan) dan secara genealogis (bagaimana diskursus dibentuk oleh institusi-institusi kekuasaan). Berdasarkan pada penjelasan tersebut, Peet menyimpulkan bahwa diskursus merupakan sistem pernyataan-pernyataan (statements) yang terorganisir, rasional dan hati-hati, ditopang oleh prosedur validasi yang diakui, 19 20 21 22 23 17 18
Richard Peet, Unholy Trinity, 23. Richard Peet, Unholy Trinity, 23. Richard Peet, Unholy Trinity, 24. Richard Peet, Unholy Trinity, 24. Richard Peet, Unholy Trinity, 24. Richard Peet, Unholy Trinity, 24. Richard Peet, Unholy Trinity, 24.
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
165
terikat ke dalam formasi oleh komunitas yang terdiri oleh para ahli. Lebih dari itu, diskursus juga mengasumsikan suatu bentuk proposisi penting tertentu, bentuk kebijakan ekonomi yang disarankan oleh para ahli ke dalam tubuh pemerintahan.25 Dengan kata lain, menurut Peet, hegemoni di dalam arena kebijakan didukung secara teoritis, politik dan ekonomi yang baik yang dihasilkan oleh pemikiran para ahli atau pakar di dalam suatu suatu bentuk wacana atau diskursus simbolik.26 Dengan demikian, menurut Richard Peet, dalam cara berpikir Gramscian-Foucauldian ini, kebijakan ekonomi tidaklah datang dari kemampuan ilmu pengetahuan untuk mencerminkan realitas sosial dalam sebuah struktur pernyataan yang penuh dengan kebenaran atau yang disebut sebagai teori pasti (exact theory).27 Sebaliknya, kebijakan diproduksi secara sosial oleh sebuah komunitas para pakar yang sepakat, lebih melalui persetujuan atau persuasi politik ketimbang berlandaskan pada fakta, untuk menjadikan suatu bentuk cara berpikir dan berbicara yang disebut ‘rasional’.28 Singkatnya, berdasarkan pada pemikiran Foucault, menyebut suatu usulan tertentu untuk mengorganisasikan ekonomi yang rasional, efisien, optimal atau bahkan bijaksana, merupakan sebuah cara untuk menegaskan kekuasaan, dan batasan yang seperti itu menempatkan reputasi ilmu pengetahuan di balik apa yang disebut sebagai cara berpikir yang bias-kelas dan keras kepala, memaksakan pendapat sendiri.29 Berdasarkan pada cara berpikir Gramscian-Foucauldian inilah buku ini berupaya untuk menjawab permasalahan besar terkait dengan fakta ketidaksiapan ekonomi Indonesia yang diringi oleh tidak adanya langkah-langkah yang berarti dari pemerintah Indonesia untuk mempersiapakan perekonomian menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Untuk itu, secara lebih mendalam bagian ini akan melakukan suatu elaborasi terhadap konsep hegemoni Antonio Gramsci dan diskursus Michel Foucault dalam rangka menghasilkan pisau analisis yang tajam guna menjawab pertanyaan besar dalam buku ini. Selama lebih dari tiga puluh tahun terakhir, konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci dipergunakan secara luas dalam berbagai analisis untuk memahami politik internasional, dan bahkan telah menjadi sebuah paradigma yang penting dalam disiplin Hubungan Internasional.30 Tidak hanya itu, konsep Gramsci mengenai hegemoni ini juga marak tersebar di dalam berbagai analisis terhadap dampak dari neoliberalisme dan globalisasi di kawasan Asia Pasifik.31 Namun demikian, menurut Lenore Lyons, hanya sedikit dari analisis tersebut yang dilandasi oleh pemahaman mendalam terhadap akar teoritis dari konsep hegemoni Gramsci 24
Richard Peet, Unholy Trinity, 24. Richard Peet, Unholy Trinity, 24. 26 Richard Peet, Unholy Trinity, 24. 27 Richard Peet, Unholy Trinity, 24. 28 Richard Peet, Unholy Trinity, 24. 29 Richard Peet, Unholy Trinity, 24. 30 Owen Worth, “Beyond world order and transnational classes: The (re)application of Gramsci in global politics,” dalam Mark McNally & John Schwarzmantel (eds.), Gramsci and Global Politics: Hegemony and Resistance (New York & London: Routledge, 2009), 19. 31 Richard Howson & Kylie Smith (eds.), Hegemony: Studies in Consensus and Coercion (New York & London: Routledge, 2008), ix. 24 25
166
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
tersebut.32 Secara historis, pada dasarnya, Gramsci bukanlah yang pertama menggunakan konsep hegemoni di dalam memahami relasi yang bersifat asimetris di antara kelompok atau kelas-kelas sosial. Berdasarkan rekonstruksi konseptual yang dilakukan oleh Derek Boothman, terdapat beberapa inputs terhadap konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, di antara berasal dari pemikiran Karl Marx, para pemikir sosialis Italia, pergerakan komunis internasional awal, Benedetto Croce, Machiavelli dan studi linguistik yang ia lakukan meliputi persoalan pertanyaan bahasa (language question), dan budaya kelompok atau kelas sosial.33 Boothman juga menemukan sebuah faktor kunci terhadap perkembangan konsep hegemoni dalam bentuk Jacobinism, yang diperluas oleh Gramsci secara metaporis dari pengalaman pergerakan revolusi Perancis dan pengalaman-pengalaman lainnya.34 Dengan ini, sebuah prestasi besar Gramsci tercapai dalam bentuk pengembangan dan perangkaian keseluruhan beragam untaian dari konsep hegemoni ini untuk aplikasi inovatifnya dalam ranah politik, budaya dan ekonomi sipil, sosial, nasional dan internasional.35 Dalam tataran yang lebih luas, secara kontekstual, pemikiran Gramsci merupakan produk dari tiga perkembangan fundamendal yang terjadi bersama pada dekade pertama abad kedua puluh.36 Pertama, perdebatan di dalam Marxisme mengenai kondisi yang dibutuhkan dan memadai bagi terjadinya revolusi. Kedua, kemenangan fasisme dan kekalahan gerakan kiri di Italia dan sebagian wilayah Eropa Timur. Ketiga, revolusi Bolshevik di Rusia.37 Ketiganya memaksa Gramsci untuk memikirkan kembali landasan teoritis dan konseptual pemikiran politik Marxis, terutama mengenai pemahamannya atas kekuasaan dan negara.38 Gramsci sendiri menyatakan bahwa gagasannya mengenai hegemoni bersandar pada tulisan fundamental Karl Marx, dalam kata pengantar sebuah karya dengan judul A Contribution to a Critique of Political and Economy.39 Gramsci menekankan perhatiannya pada pemikiran materialisme historis Marx, khususnya pada persoalan keterkaitan antara suprastruktur dan struktur, di mana Marx menyatakan bahwa seiring dengan perubahan yang terjadi pada basis ekonomi (materi), suprastruktur besar juga akan mengalami perubahan yang lebih kurang cepat. Dalam mengamati pergolakan ini, Marx memisahkan antara bentuk material, yang menggulingkan kondisi Richard Howson & Kylie Smith (eds.), Hegemony: Studies in Consensus and Coercion, ix. 33 Derek Boothman, “Hegemony: Political and Linguistic Sources for Gramsci’s Concept of Hegemony,” dalam Richard Howson & Kylie Smith (eds.), Hegemony: Studies in Consensus and Coercion (New York & London: Routledge, 2008), 46. 34 Derek Boothman, “Hegemony: Political and Linguistic Sources for Gramsci’s Concept of Hegemony,” 46. 35 Derek Boothman, “Hegemony: Political and Linguistic Sources for Gramsci’s Concept of Hegemony,” 46. 36 Bendetto Fontana, “Hegemony and Power in Gramsci,” dalam Richard Howson & kylie Smith (eds.), Hegemony: Studies in Consensus and Coercion (New York & London: Routledge, 2008), 81. 37 Bendetto Fontana, “Hegemony and Power in Gramsci,” 81. 38 Bendetto Fontana, “Hegemony and Power in Gramsci,” 81. 39 Derek Boothman, “Hegemony: Political and Linguistic Sources for Gramsci’s Concept of Hegemony,” 33. 32
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
167
produksi ekonomi, dengan bentuk yuridis, politik, agama, seni atau filosofis, atau dalam kata lain disebut sebagai bentuk ideologis.40 Berbeda dengan Marx, Gramsci lebih menekankan kepada persoalan dalam ranah ideologis, di mana inti gagasan mengenai pertarungan di antara kekuatan-kekuatan dalam ranah ideologis inilah yang dikembangkan dalam karyanya, Notebooks, dan dimasukkan ke dalam konsep hegemoni.41 Dengan demikian konsep hegemoni lebih berada di dalam ranah ideologis ketimbang material. Dalam batasan yang sederhana, konsep hegemoni Gramsci terkait dengan kemampuan dari sebuah kelas dominan untuk membentuk suatu hubungan konsensual dengan kelas bawah (subaltern) melalui jalur-jalur sosial dan budaya dan beragam.42 Berawal dari sebuah dikotomi tradisional antara daya paksa/ kekuatan (force) dan persetujuan (consent), suatu karakteristik dari pemikiran politik Italia dari Machiavelli sampai Pareto, Gramsci menyatakan bahwa supremasi dari sebuah kelompok atau kelas sosial memanifestasikan dirinya ke dalam dua cara yang berbeda, yaitu dominasi (dominio), atau paksaan, dan kepemimpinan moral dan intelektual (direzione intelletuale e morale).43 Manifestasi dalam cara yang kedua inilah (kepemimpinan moral dan intelektual), yang menjadi landasan bagi hegemoni. Dalam konteks ini, hegemoni dengan demikian sangat terkait dengan kontrol sosial suatu kelas atau kelompok tertentu terhadap kelas yang lain, terutama kelas yang berada pada tataran bawah (subaltern). Kontrol sosial sendiri memiliki dua bentuk dasar, yaitu secara eksternal dalam bentuk pengaruh terhadap perilaku dan pilihan melalui mekanisme imbalan dan hukuman (rewards and punishments), dan secara internal, melalui pembentukan keyakinan-keyakinan personal menjadi sebuah replika norma-norma yang berlaku.44 Menurut Joseph V. Femia, kontrol internal semacam inilah yang didasarkan pada hegemoni, yaitu mengacu kepada sebuah tatanan di mana suatu bahasa sosial-moral dominan dibicarakan, di mana satu konsep tentang realitas bersifat dominan, menginformasikan dengan semangatnya seluruh mode pemikiran dan perilaku.45 Dengan demikian, hegemoni merupakan kekuasaan atau keunggulan yang diperoleh melalui persetujuan (consent) ketimbang melalui paksaan dari satu kelas atau kelompok terhadap kelas atau kelompok lainnya.46 Sementara dominasi direalisasikan secara esensial melalui mesin negara yang memiliki daya paksa (koersif), hegemoni atau kepemimpinan intelektual dan moral, diwujudkan dalam, dan terutama diterapkan melalui ‘masyarakat sipil’ (civil society), yaitu serangkaian institusi pendidikan, keagamaan dan asosiasional.47 Hegemoni dicapai melalui cara-cara yang tidak terhitung jumlahnya, Derek Boothman, “Hegemony: Political and Linguistic Sources for Gramsci’s Concept of Hegemony,” 33. 41 Derek Boothman, “Hegemony: Political and Linguistic Sources for Gramsci’s Concept of Hegemony,” 34. 42 Antonio Gramsci, Selection from the Prison Notebooks, disunting dan diterjemahkan oleh Quintin Hoare & Geoffrey Nowell Smith (London: Lawrence & Wishart, 1971), 55-60, 415425. 43 Joseph V. Femia, Gramsci’s Political Thought: Hegemony, Consciousness, and the Revolutionary Process (Oxford: Clarendon Press, 1981), 24. 44 Joseph V. Femia, Gramsci’s Political Thought, 24. 45 Joseph V. Femia, Gramsci’s Political Thought, 24. 46 Joseph V. Femia, Gramsci’s Political Thought, 24. 47 Joseph V. Femia, Gramsci’s Political Thought, 24. 40
168
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
di mana institusi masyarakat sipil dijalankan untuk membentuk, secara langsung atau tidak langsung, struktur kognitif dan afektif di mana manusia mempersepsi dan mengevaluasi realitas sosial problematis.48 Selain itu, superioritas ideologis juga harus memiliki akar ekonomi yang kokoh, hegemoni memiliki fondasi dalam fungsi desisif yang diterapkan oleh kelompok-kelompok utama di dalam aktifitas ekonomi inti yang penting.49 Bagi Gramsci, hegemoni merupakan sebuah bentuk khusus dari relasi kekuasaan sosial di mana kelompok-kelompok yang dominan mengamankan posisi istimewa mereka sebagian besar (jika tidak secara eksklusif) melalui cara-cara yang bersifat konsensual (terkait dengan persetujuan).50 Consent atau persetujuan tersebut diperoleh oleh kelompok yang dominan dengan cara mengartikulasikan sebuah visi politik, ideologi, yang menyatakan dirinya berbicara atas nama semua, dan digaungkan dengan keyakinan yang secara luas tersebar di dalam budaya politik popular.51 Dalam kondisi ini, kekuatan koersif mengalami penyurutan ke dalam latar belakang kehidupan politik, di mana kekuatan koersif ini tidaklah hilang dan selalu ada sebagai sebuah potensi, akan tetapi tidak tampak secara langsung dalam kehidupan politik sehari-hari.52 Dengan demikian, hegemoni memang lebih banyak terjadi dalam ranah masyarakat sipil, di mana konsep ini terkait dengan konflik atas ‘”prestise” kelas’ (class “prestige”).53 Perjuangan atas hegemoni terjadi di seputar upaya membentuk bentuk kesadaran intersubjektif dalam masyarakat sipil.54 Aspek intersubjektivitas (intersubjectivity) dalam perjuangan atas hegemoni ini tergambarkan dalam elaborasi yang dilakukan oleh Gramsci terhadap ‘relasi kekuatan’ (relations of force) yang berdampak pada situasi konkrit secara historis.55 Di dalam elaborasi tersebut, Gramsci mengulas tiga ‘momen’ (moments) yang ada dalam ‘relasi kekuatan’ (lihat Gambar 5.1).56 Pertama, Gramsci memperlihatkan keutamaan dari relasi produksi yang menyediakan sebuah basis bagi kemunculan dari ‘relasi kekuatan sosial’. Dalam ‘momen’ yang kedua, mengacu kepada ‘relasi kekuatan politik’, di mana beragam kekuatan sosial dapat bersaing atas pengaruh dalam upaya untuk menyebarkan sebuah posisi hegemoni dalam masyarakat. ‘Momen’ ketiga, ‘relasi kekuatan militer’, terlihat penting dalam setiap perjuangan atas hegemoni, dipahami dalam sebuah pemahaman teknis yang ketat sebagai sebuah fungsi politik-militer.57 Di dalam relasi kekuatan politik dalam perjuangan atas hegemoni tersebut, artikulasi gagasan dan elemen subjektif yang melampaui kepentingan sempit ‘ekonomi-korporat’ melibatkan tiga relasi tambahan lainnya (lihat Gambar 5.2).58 Hal Joseph V. Femia, Gramsci’s Political Thought, 24. Joseph V. Femia, Gramsci’s Political Thought, 24. 50 Mark Rupert, “Antonio Gramsci,” dalam Jenny Edkins & Nick Vaughan-Williams, Critical Theorists and International Relations (London & New York: Routledge, 2009), 177. 51 Mark Rupert, “Antonio Gramsci,” 177. 52 Mark Rupert, “Antonio Gramsci,” 177. 53 Antonio Gramsci, Selection from the Prison Notebooks, 184. 54 Antonio Gramsci, Selection from the Prison Notebooks, 235. 55 Antonio Gramsci, Selection from the Prison Notebooks, 175-185. 56 Adam David Morton, Unravelling Gramsci: Hegemony and Passive Revolution in the Global Economy (London: Pluto Press, 2007), 93-94. 57 Adam David Morton, Unravelling Gramsci, 94. 58 Adam David Morton, Unravelling Gramsci, 94. 48 49
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
169
ini membutuhkan upaya peningkatan kesadaran intersubjektif di antara beragam kekuatan sosial, untuk bergerak dari sebuah kepentingan solidaritas, kepada kepentingan-kepentingan yang terlampaui (di luar bidang ekonomi) melalui sebuah tarikan terhadap kelompok-kelompok sosial yang lebih luas.59 Perjuangan di antara kekuatan-kekuatan sosial ini menopang ideologi-ideologi yang saling bersaing dan bertarung, yang kemudian dideskripsikan sebagai ‘fase yang paling murni politik’ dan melibatkan penyebaran suatu ideologi di dalam masyarakat.60 Tujuannya tidak hanya sebuah penyesuaian tujuan-tujuan ekonomi dan politik, akan tetapi juga kesatuan intelektual dan moral, sehingga perjuangan tidak hanya terjadi pada ranah korporat tetapi dalam sebuah ranah yang ‘universal’, dan tercipta sebuah hegemoni dari suatu kelompok sosial fundamental terhadap kelompok-kelompok yang tersubordinasi.61 Gambar 5.1 Relasi Kekuatan, Antonio Gramsci
Gambar 5.2 Relasi politik dari Hegemoni, Antonio Gramsci
Berdasarkan hal ini, kekuatan-kekuatan sosial yang hegemonik, harus mengorbankan kepentingan-kepentingan sempit ‘ekonomi-korporat’ untuk menarik kepentingan dalam tataran yang lebih luas sehingga dapat memastikan ekspansi dari Adam David Morton, Unravelling Gramsci, 94. Adam David Morton, Unravelling Gramsci, 94. 61 Antonio Gramsci, Selection from the Prison Notebooks, disunting dan diterjemahkan oleh Quintin Hoare & Geoffrey Nowell Smith (London: Lawrence & Wishart, 1971), 181-182. 59 60
170
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
aktivitas mereka.62 Akan tetapi, peranan dari daya paksa atau kekuatan dalam sebuah tatanan hegemonik tidak dapat dipingkirkan. Penerapan hegemoni dikarakterisasikan oleh kombinasi kekuatan dan persetujuan, yang seimbang satu sama lain secara timbal balik. Penciptaan hegemoni melalui kekuasaan kapiler meliputi proses dalam ranah ideologis untuk membentuk kesadaran tetapi tidak menghilangkan arti penting dari basis material yang terdapat di dalam perjuangan di antara kekuatan-kekuatan sosial.63 Dengan demikian, meskipun hegemoni lebih mengarah kepada ranah suprastruktur, pemikiran inovatif dan teoritis Gramsci dalam konsep ini tetapi menekankan pada hubungan dialektis antara ‘struktur’ ekonomi dan ‘suprastruktur’ ideologis.64 Hegemoni terjadi di masyarakat melintasi struktur ekonomi dan level suprastruktur dari masyarakat sipil (civil society) dan masyarakat politik (political society).65 Menurut Susan Engel, dalam menjelaskan hegemoni neoliberal Bank Dunia di Vietnam, hegemoni diorganisasikan melalui kepemimpinan, aliansi, dan jejaring di dalam sebuah konteks perjuangan ideologis dan politik yang berkesinambungan.66 Lanjutnya, persetujuan dapat diperoleh dengan mengkombinasikan kepentingan-kepentingan dari berbagai kekuatan sosial di seputar isu-isu populis seperti perjuangan untuk mewujudkan demokrasi, atau dapat juga diperoleh melalui kompromi dan persuasi.67 Kombinasi kepentingan inilah yang menjadi wujud dari ‘pengorbanan’ kelompok sosial hegemonik untuk membuka peluang bagi perluasan aktifitas dan kepentingan mereka. Gramsci menyatakan pengorbanan ini di dalam Prison Notebooks, bahwa kelompok hegemonik harus membuat pengorbanan dari sebuah kepentingan sempit ekonomi-korporat.68 Namun demikian, Gramsci juga menyatakan bahwa, melalui pengorbanan ini, kelompok hegemonik tetap melindungi aktifitas ekonomi inti dalam kekuasaan mereka, kombinasi kepentingan tersebut tidak dapat menyentuh wilayah aktifitas ekonomi inti dan esensial.69 Dengan demikian, sistem hegemoni diorganisasikan dalam serangkaian gagasan-gagasan inti yang tidak dapat ditolak tanpa menjatuhkan hegemoni.70 Perjuangan ideologis dan politik kelompok hegemonik dirancang untuk mengubah kerangka teoritis, sosial dan juga budaya dari berbagai kekuatan sosial untuk memastikan dukungan terhadap kerangka hegemoni mereka.71 Dalam konteks ini, ideologi, sebagai kerangka pengetahuan, merupakan satu dari wilayah kunci di mana perjuangan-perjuangan hegemoni bertarung.72 Keberhasilan ideologi seba Adam David Morton, Unravelling Gramsci, 94. Adam David Morton, Unravelling Gramsci, 95. 64 Adam David Morton, Unravelling Gramsci, 95. 65 Susan Engel, “The World Bank and Neoliberal Hegemony in Vitenam,” dalam Richard Howson & kylie Smith (eds.), Hegemony: Studies in Consensus and Coercion (New York & London: Routledge, 2008), 160. 66 Susan Engel, “The World Bank and Neoliberal Hegemony in Vietnam,” 160. 67 Susan Engel, “The World Bank and Neoliberal Hegemony in Vietnam,” 160. 68 Antonio Gramsci, Prison Notebooks, disunting dan diterjemahkan oleh J.A. Buttigieg (New York: Columbia University Press, 1996), 138. 69 Antonio Gramsci, Prison Notebooks, 138. 70 Susan Engel, “The World Bank and Neoliberal Hegemony in Vietnam,” 160. 71 Susan Engel, “The World Bank and Neoliberal Hegemony in Vietnam,” 160. 72 Susan Engel, “The World Bank and Neoliberal Hegemony in Vietnam,” 160. 62 63
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
171
gian merupakan produk dari agen-agen spesifik, atau yang dikenal dengan konsep ‘intelektual organik’ (organic intellectual), yang menginformasikan, mengorganisasikan dan mereformasi komponen-komponen ideologi tersebut.73 Sebagaimana yang dinyatakan oleh Gramsci, bahwa setiap kekuatan sosial menciptakan satu atau lebih strata intelektual yang memberikannya homogenitas dan sebuah kesadaran mengenai fungsinya, tidak hanya di dalam ranah ekonomi, tetapi juga di dalam ranah politik dan sosial.74 Mengacu kepada hal ini, tampak bahwa kelompok intelektual memainkan peranan yang sangat penting dalam perjuangan hegemoni. Para intelektual inilah yang menjadi pemain utama dalam mengorganisasikan suprastruktur dalam kehidupan masyarakat. Menurut Gramsci, para intelektual merupakan ‘deputi’ dari kelompok yang dominan yang menjalankan fungsi mengebawahkan (subaltern) dari hegemoni sosial dan politik pemerintah.75 Hal ini mencakup dua hal. Pertama, konsensus ‘spontan’ yang diberikan oleh sejumlah besar dari populasi terhadap arahan umum yang diterapkan atas kehidupan sosial oleh kelompok fundamental dominan; persetujuan ini bersifat ‘historis’ disebabkan oleh prestise (dan kepercayaan yang mengikutinya) yang dimiliki oleh kelompok dominan atas posisi dan fungsinya dalam produksi dunia. Kedua, aparat kekuasaan koersif negara yang secara legal menegakkan disiplin, terhadap kelompok yang tidak ‘setuju’ bagi keseluruhan masyarakat dalam rangka mengantisipasi momen krisis perintah dan arahan ketika persejutuan spontan mengalami kegagalan.76 Kelompok intelektual ini dengan demikian berada pada posisi yang sangat penting untuk memahami proses perjuangan hegemoni. Bahkan sedikit yang meragukan bahwa memang produksi intelektual ini memainkan sebuah peranan signifikan dalam keberhasilan neoliberalisme untuk menaiki posisi hegemoninya dewasa ini.77 Jika kekuatan dominan ini berhasil, dalam arti mereka berkuasa dalam jangka waktu yang panjang, maka terciptalah apa yang disebut oleh Gramsci sebagai sebuah ‘blok historis’ (historical bloc).78 Menurut Roger Simon, blok historis ini tidaklah selalu bersifat hegemonik ataupun statis, di mana kekuatan-kekuatan sosial secara konstan mengalami pergeseran, dipengaruhi oleh pergerekan bawah sebagaimana pergeseran kekuasaan internal.79 Gramsci mengulas dua tipe dari perubahan ini dalam bentuk perubahan jangka pendek dan non-struktural versus perubahan signifikan, struktural dan seringkali bersifat jangka panjang. Perubahan struktural yang secara umum menghasilkan pembentukan kembali seluruh elemen dari blok historis, dalam bentuk institusi, aliansi dan ideologi.80 Gramsci menekankan pada reaksi dari kekuatan sosial dominan terhadap perubahan signifikan dalam sistem sosio-ekonomi, di mana ketika mereka dihadapkan perubahan seperti ini, kekuatan sosial dominan menerapkan sebuah strategi, yang dikenal dengan sebutan ‘revolusi Susan Engel, “The World Bank and Neoliberal Hegemony in Vietnam,” 160. Susan Engel, “The World Bank and Neoliberal Hegemony in Vietnam,” 160. 75 Antonio Gramsci, Selection from the Prison Notebooks, 12. 76 Antonio Gramsci, Selection from the Prison Notebooks, 12. 77 Susan Engel, “The World Bank and Neoliberal Hegemony in Vietnam,” 161. 78 Susan Engel, “The World Bank and Neoliberal Hegemony in Vietnam,” 161. 79 Roger Simon, Gramsci’s Political Thought: An Introduction (London: Lawrence & Wishart, Ltd., 1991), 39. 80 Roger Simon, Gramsci’s Political Thought: An Introduction, 39. 73 74
172
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
pasif’ (passive revolution) atau ‘revolusi dari atas’ (revolution from above).81 Bentuk utama dari strategi ini adalah pemanfaatan institusi negara untuk menciptakan perubahan struktual dalam perekonomian dalam rangka membentuk sebuah blok historis yang baru.82 Pemikiran Antonio Gramsci inilah, sebagaimana yang telah diuraikan di atas yang menjadi panduan analisis pada bab ini untuk menjelaskan permasalahan mengapa pemerintah Indonesia selama periode 2003-2008 tidak memiliki langkah-langkah yang berarti untuk mempersiapkan perekonomian Indonesia menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Secara lebih spesifik, konsep hegemoni diposisikan sebagai panduan utama, dengan uraian mengenai mekanisme perjuangan hegemoni tersebut dalam tataran ideologis, melalui telaah kritis terhadap visi kebijakan ekonomi yang diinternalisasikan pemerintah, proses penanaman visi yang diinternalisasikan menjadi common sense, peranan kelompok intelektual yang membentuk kerangka teoritis, sosial dan budaya yang diterjemahkan ke dalam kebijakan ekonomi, proses ‘pengorbanan’ kelompok dominan dan pengangkatan perjuangan isu besar bersama, sampai kepada penelaahan terhadap terwujudnya blok historis neoliberalisme di Indonesia yang menjadi penjelas keseluruhan di balik permasalahan utama dalam penelitian ini. Untuk melengkapi posisi konseptual pemikiran Gramsci yang masih kurang memadai dalam menjawab permasalahan tersebut, sejalan dengan pendekatan Gramscian-Foucauldian yang dikembangkan oleh Richard Peet, analisis dalam buku ini mengkombinasikan konsep diskursus Michel Foucault. Pada dasarnya, posisi pemikiran Foucault, khususnya konsep diskursus, dalam pendekatan Gramscian-Foucauldian ala Richard Peet ini, lebih diarahkan kepada penjelasan yang mendalam mengenai peranan para ahli (experts) – yang di dalam bahasa Gramsci disebut intelektual – untuk memahami secara mendalam formasi kebijakan ekonomi, yang terkait dengan produksi gagasan yang melibatkan representasi simbolis jenis tertentu, yaitu keberadaan dan peranan para ahli tadi. Sehingga pemahaman terhadap formasi kebijakan ekonomi tidak cukup melalui konsep hegemoni dan common sense semata. Diskursus atau wacana (discourse) merupakan salah satu konsep kunci yang menjadi fokus perhatian dari Michel Foucault, selain dari kekuasaan, pengetahuan, seksualitas, subjektivitas dan kegilaan (madness).83 Foucault sendiri mendefinisikan konsep diskursus ini dalam sejumlah cara yang berbeda di dalam beberapa karyanya.84 Di dalam sebuah karyanya, The Archaeology of Knowledge, Foucault menggunakan konsep diskursus untuk mengacu kepada domain umum dari seluruh pernyataan, terkadang sebagai sebuah kelompok pernyataan yang dapat diinvidualisasikan, dan terkadang sebagai sebuah praktik yang teregulasi yang menerangkan sejumlah pernyataan.85 Diskursus sebagai ‘domain umum dari seluruh pernyataan’, bermakna bahwa ‘diskursus’ dapat digunakan mengacu kepada seluruh ucapan dan Roger Simon, Gramsci’s Political Thought: An Introduction, 39. Roger Simon, Gramsci’s Political Thought: An Introduction, 39. 83 Sara Mills, Michel Foucault (London & New York: Routledge, 2003). 84 Sara Mills, Michel Foucault, 53. 85 Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, diterjemahkan oleh A. M. Sheridan (London: Routledge, 1972), dikutip dalam Sara Mills, Michel Foucault (London & New York: Routledge, 2003), 53. 81 82
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
173
pernyataan yang dibuat, yang memiliki makna dan pengaruh. Dalam bentuk sebagai ‘kelompok pertanyaan yang dapat diindividualisasikan’, bermakna ucapan yang tampak membentuk sebuah pengelompokkan, seperti diskursus femininitas (femininity) atau diskursus rasisme.87 Sebagai ‘praktik yang teregulasi yang menerangkan sejumlah pernyataan’ mengacu kepada aturan dan struktur yang tidak tertulis yang menghasilkan ucapan-ucapan dan pernyataan-pernyataan tertentu.88 Misalnya, tidak ada serangkaian aturan tertulis mengenai bagaimana menulis esai, namun entah bagaimana mahasiswa dapat mempelajari bagaimana menulis di dalam kerangka esai tersebut.89 Bagi Foucault, serangkaian struktur dan aturan inilah yang membentuk suatu diskursus, dan Foucault paling tertarik terhadap aturanaturan ini ketimbang ucapan dan teks yang dihasilkan.90 Diskursus menjadi sebuah konsep yang penting dan menarik dikarenakan memiliki asosiasi terhadap relasi kuasa. Sebagaimana halnya, para pemikir Marxis menggunakan konsep ideologi untuk mengindikasikan bahwa pernyataan-pernyataan dan gagasan-gagasan tertentu diotorisasikan oleh institusi dan dapat memiliki pengaruh dalam hubungannya terhadap gagasan individu.91 Akan tetapi, konsep diskursus lebih kompleks dibandingkan dengan konsep ideologi, di mana diskursus bukanlah sekedar pengenaan serangkaian gagasan terhadap individu.92 Di dalam Volume Pertama, History of Sexuality, Foucault menyatakan bahwa diskursus tidaklah selalu tunduk pada kekuasaan atau dibangkitkan untuk melawan kekuasaan.93 Dalam proses yang kompleks dan tidak stabil, diskursus mencakup sebagai instrumen dan efek dari kekuasaan, tetapi juga merupakan suatu penghalang, hambatan, sebuah titik perlawanan dan sebuah titik awal bagi strategi oposisi.94 Diskursus mentransmisikan dan memproduksi kekuasaan, diskursus juga membangkitkan kembali kekuasaan, tetapi juga merusak dan mengeksposnya, menjadikan kekuasaan rapuh dan dapat juga menggagalkan kekuasaan.95 Menurut Sara Mills, dalam memahami diskursus kita harus mengingat bahwa diskursus tidaklah sama dengan ‘bahasa’, atau tidak dapat juga diasumsikan bahwa terdapat sebuah relasi yang sederhana antara diskursus dan realitas.96 Diskursus tidaklah dengan sederhana menterjemahkan realitas ke dalam bahasa, namun diskursus harus dipahami sebagai sebuah sistem yang menstrukturkan cara kita mempersepsikan realitas.97 Di dalam sebuah esai yang berjudul The Order of Discourse, Foucault berpendapat bahwa kita tidak boleh mengimajinasikan bahwa dunia berpaling ke arah kita dalam wajah yang dapat dibaca, di mana kita hanya tinggal mentafsirkannya; dunia bukanlah kaki tangan dari pengetahuan kita; tidak ada takdir 86
Sara Mills, Michel Foucault, 53. Sara Mills, Michel Foucault, 53. 88 Sara Mills, Michel Foucault, 53. 89 Sara Mills, Michel Foucault, 53. 90 Sara Mills, Michel Foucault, 53. 91 Sara Mills, Michel Foucault, 54. 92 Sara Mills, Michel Foucault, 53. 93 Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. I: An Introduction, diterjemahkan oleh (Harmondsworth: Penguin, 1978), 100-101. 94 Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. I: An Introduction, 100-101. 95 Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. I: An Introduction, 100-101. 96 Sara Mills, Michel Foucault, 55. 97 Sara Mills, Michel Foucault, 55. 86 87
174
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
prediskursif yang menampakkan dunia sesuai dengan keinginan kita.98 Foucault kemudian menyatakan juga bahwa kita harus memahami diskursus sebagai suatu kekerasan yang kita terapkan terhadap sesuatu, atau sebagai suatu praktik yang kita terapkan atasnya, dan di dalam praktik inilah kejadian-kejadian diskursus menemukan prinsip regularitasnya.99 Sebagai contoh, dalam bahasa-bahasa Eropa Barat, terdapat berbagai istilah mengenai warna, namun tidak semua bahasa membedakan warna-warna dalam cara yang sama dan menggabungkan spektrumnya menjadi biru, merah, hijau dan sebagainya sebagaimana dalam Bahasa Inggris.100 Misalnya, beberapa bahasa tidak memiliki pemisahan leksikal antara hijau dan biru. Namun hal ini tidak bermakna bahwa orang yang menggunakan bahasa tersebut tidak dapat menjelaskan perbedaan antara biru dan hijau, akan tetapi pemisahan tersebut bukanlah suatu hal penting di dalam budayanya.101 Karenanya, regularitas yang kita rasakan dalam realitas harus dilihat sebagai hasil dari regularitas anonim dari diskursus yang kita tanamkan atas realitas.102 Foucault berpendapat bahwa, faktanya, diskursus harus dipandang sebagai sesuatu yang membatasi atau memaksa persepsi kita.103 Fokus perhatian Michel Foucault terhadap gagasan mengenai diskursus terjadi pada akhir tahun 1960-an.104 Diskursus merupakan konsep yang berasal dari sebuah istilah teknis dalam lingustik dan retorika, yang bermakna sebuah argumentasi yang beralasan, namun dalam beberapa penggunaan, diskursus juga bermakna sesuatu yang sama dengan ‘pandangan dunia’ (world view).105 Foucault sendiri mengakui di dalam Archaeology of Knowledge, bahwa istilah diskursus yang ia gunakan bersifat samar, dan ia menggunakan dan menyalahgunakannya dalam cara yang beragam.106 Dalam batasan yang luas, ia menggunakan istilah diskursus ini dalam makna ‘suatu “cara berbicara” tertentu’ (a certain “way of speaking”).107 Foucault juga menggunakan istilah diskursus ini untuk mendefinisikan ‘kelompok pernyataan yang terdapat di dalam sebuah sistem formasi tunggal (pengetahuan)’, misalnya ‘diskursus klinis, diskursus ekonomi, diskursus sejarah alam, diskursus psikiatrik’.108 Di dalam Archaeology of Knowledge, Foucault memberikan penjelasan yang lebih mendalam mengenai konsep diskursus dalam gagasan ‘pernyataan’, ‘fungsi diskursif’ (discursive function) dan ‘formasi diskursif’ (discursive formations).109 Pernyataan merupakan suatu unit diskursus – suatu ucapan – tetapi ucapan yang terjadi dalam konteks yang spesifik, yaitu di dalam apa yang disebut sebagai ‘for Michel Foucault, “The Order of Discourse,” dalam R. Young (ed.), Untying the Text: A Post-Structuralist Reader (London: Routledge, Kegan & Paul, 1981), 67. 99 Michel Foucault, “The Order of Discourse,” 67. 100 Sara Mills, Michel Foucault, 55. 101 Sara Mills, Michel Foucault, 55. 102 Sara Mills, Michel Foucault, 55. 103 Sara Mills, Michel Foucault, 55. 104 Clare O’Farrell, Michel Foucault (London, California & New Delhi: Sage Publications, 2005), 77. 105 Clare O’Farrell, Michel Foucault, 78. 106 Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, 107. 107 Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, 193. 108 Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, 107-108. 109 Lisa Downing, The Cambridge Introduction to Michel Foucault (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 48. 98
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
175
masi diskursif’. Dalam Archaeology of Knowledge ini, Foucault juga mengembangkan serangkaian kategori untuk mengorganisasikan diskursus dan relasinya dengan praktik, kejadian dan objek-objek yang lain.111 Adalah ‘praktik diskursif’, suatu batasan yang secara luas dipahami dan digunakan dalam hal ini. Dalam bahasa yang sederhana, Foucault menjelaskan ‘praktik diskursif’ ini sebagai ‘berbicara adalah berbuat’.112 Praktik diskursif berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang spesifik mengacu kepada latar belakang waktu, ruang dan budaya tertentu.113 Praktik diskursif, bukanlah suatu persoalan mengenai penetapan eksternal terhadap pemikiran manusia, akan tetapi merupakan persoalan aturan yang, sedikit seperti tatabahasa, yang menentukan pernyataan tertentu dapat diciptakan.114 Setiap praktik diskursif terkait dengan suatu ranah obyek, di mana sesuatu ditampilkan kepada pemikiran dan merupakan persoalan di mana pemikiran diterapkan.115 Sebagai contoh, obyek dari geometri adalah bentuk-bentuk padat tertentu dan obyek dari psikiatri adalah keadaan mental tertentu yang tidak normal.116 Obyek-obyek ini tidaklah ada secara independen dari pengetahuan, obyek ini juga tidak ‘ditemukan’ akan tetapi dikonstruksikan dalam hubungannya dengan keseluruhan rangkaian peristiwa fisik, sosial dan budaya.117 Foucault memberikan definisi yang identik antara praktik ilmu pengetahuan atau praktik ilmiah dengan definisi praktik diskursif, di mana ia menekankan bahwa ilmu pengetahuan merupakan sebuah bentuk tertentu dari praktik diskursif.118 Foucault memberikan definisi mengenai praktik diskursif ini sebagai praktik yang dicirikan oleh demarkasi dari suatu ranah obyek, dalam makna suatu perspektif yang absah bagi suatu subyek pengetahuan, dengan menentukan atau menetapkan norma untuk mengelaborasi konsep dan teori.119 Dalam konteks ini, semakin jelas bahwa Foucault memaknai setiap ilmu pengetahuan sebagai praktik diskursif. Foucault menyamakan setiap disiplin ilmu pengetahuan sebagai formasi diskursif di mana praktik diskursif tersebut terjadi. Menurut Foucault, setiap disiplin, sebagai formasi diskursif, memiliki aturan-aturan tertentu terkait dengan bagaimana disiplin-disiplin tersebut membentuk kelompok-kelompok obyek, pilihan-pilihan konsep dan teori.120 Istilah formasi diskursif ini digunakan oleh Foucault untuk mengacu kepada asosiasi dan pengelompokkan teratur dari jenis-jenis pernyataan tertentu, yaitu pengelompokkan pernyataan yang seringkali terkait dengan institusi atau situs kekuasaan dan yang memiliki dampak terhadap individu-individu dan pemikiran mereka.121 Formasi diskursif merupakan kelompok-kelompok pernyataan yang berhubungan dengan topik yang sama dan tampak menghasilkan dampak yang 110
112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 110 111
Lisa Downing, The Cambridge Introduction to Michel Foucault, 48. Clare O’Farrell, Michel Foucault, 79. Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, 209. Clare O’Farrell, Michel Foucault, 79. Clare O’Farrell, Michel Foucault, 79. Clare O’Farrell, Michel Foucault, 79. Clare O’Farrell, Michel Foucault, 79. Clare O’Farrell, Michel Foucault, 79. Clare O’Farrell, Michel Foucault, 80. Clare O’Farrell, Michel Foucault, 80. Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, 181. Sara Mills, Michel Foucault, 64.
176
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
sama. Misalnya, formasi diskursif dapat merupakan kelompok-kelompok pernyataan yang dikelompokkan secara bersamaan dikarenakan tekanan institusional atau asosiasional, dikarenakan memiliki asal yang sama, atau dikarenakan memiliki suatu fungsi yang sama.123 Formasi diskursif ini mengarahkan kepada reproduksi pernyataan-pernyataan lain yang sesuai dengan asumsi-asumsi dasarnya.124 Suatu pernyataan dapat dikatakan sebagai praktik diskursif dengan mengamati formasi diskursif di mana pernyataan tersebut ada. Namun, secara bersamaan, status dari sebuah formasi diskursif dapat dipastikan hanya melalui suatu analisis terhadap pernyataan-pernyataan individual yang membentuk dan dikendalikan oleh formasi diskursif. Prinsip ini, di mana satu formasi diskursif dapat dibedakan dari formasi diskursif lainnya dikenal dengan istilah ‘sistem penyebaran’ (system of dispersion).125 Sistem ini diatur oleh empat rangkaian formasi aturan, yaitu obyek, modalitas enunsiatif (enunciative modalities), strategi dan konsep.126 Dalam penjelasan mengenai ‘modalitas enunsiatif’ inilah dapat dipahami posisi individu, terutama dalam bentuk posisi kepakaran, atau kekhususan individu dalam suatu formasi diskursif. Pertama, harus dipahami bahwa individu tidak memiliki diskursus atau menciptakan makna yang bersifat diskursif. Formasi diskursif menciptakan posisi subyek yang dapat – dan harus – diperoleh oleh individu yang berbicara, seperti halnya dokter yang diberikan otoritas untuk mendiagnosis penyakit, dan sebagai penteori budaya, Michel Foucault tidak memiliki otoritas atas hal tersebut. ‘Status dokter’ ini, menurut Foucault, secara umum adalah orang yang khusus dalam seluruh bentuk masyarakat dan peradaban. Pernyataan medis tidak dapat dinyatakan oleh setiap orang, hanya orang-orang tertentu yang dapat mengeluarkan pernyataan tersebut.127 Kedua, diskursus dari dokter ini mendapatkan legitimasi lebih jauh dari suatu lokasi yang tepat atau ‘situs institusional’, seperti klinik, ruang konsultasi atau rumah sakit.128 Ketiga, ‘modalitas enunsiatif’ mencakup posisi yang dimiliki oleh subyek terkait dengan wilayah pengetahuan spesifik.129 Tiga elemen dari ‘modalitas enunsiatif’ ini memperlihatkan bahwa diskursus bukanlah manifestasi dari subyek yang berpikir, mengetahui dan berbicara, akan tetapi, sebaliknya, diskursus merupakan sebuah totalitas di dalam mana suatu jejaring situs yang berbeda-beda diterapkan.130 Dengan demikian, diskursus dapat dipahami sebagai pernyataan, aturan di mana pernyataan tersebut dibentuk, dan proses di mana pernyataan tersebut disirkulasikan.131 Akan tetapi, diskursus tidak dapat dipahami sebagai suatu bentuk pernyataan semata, diskursus merupakan suatu bentuk pernyataan yang memiliki kekuatan pembentuk (konstitutif), diskursus juga merupakan suatu praktik, yang memiliki makna tidak hanya berbicara, tetapi juga memiliki makna berbuat, sehingga setiap 122
124 125 126 127 128 129 130 131 122 123
Sara Mills, Michel Foucault, 64. Sara Mills, Michel Foucault, 64. Sara Mills, Michel Foucault, 64. Lisa Downing, The Cambridge Introduction to Michel Foucault, 49. Lisa Downing, The Cambridge Introduction to Michel Foucault, 49. Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, 56. Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, 56-57. Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, 60. Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, 60. Sara Mills, Michel Foucault, 62.
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
177
pernyataan atau ucapan memiliki pengaruh. Diskursus juga merupakan sistem yang menstrukturkan cara kita mempersepsikan realitas, sehingga dipahami juga memiliki kesamaan dengan pandangan terhadap dunia. Dalam suatu proses yang kompleks, diskursus berjalan melalui suatu praktif diskursif dalam ranah-ranah yang memiliki batasan atau demarkasi dengan obyek-obyek tersendiri. Berdasarkan hal ini, ilmu pengetahuan merupakan wilayah praktif diskursif dan setiap disiplin ilmu pengetahuan menjadi formasi diskursif di mana praktik tersebut terjadi. Di dalam formasi diskursif inilah, tercipta subyek individu yang memiliki kekhususan dan otoritas yang mengeluarkan pernyataan diskursif dalam suatu jejaring institusional. Dalam kondisi ini, diskursus menjadi pisau analisis yang sangat tajam dalam memahami proses pembentukan kebijakan ekonomi. Kebijakan ekonomi terbentuk di dalam suatu formasi diskursif, disiplin ilmu pengetahuan ekonomi, yang di dalamnya terjadi praktik diskursif. Berbagai pernyataan-pernyataan dari individuindividu yang memiliki modalitas enunsiatif di dalam formasi diskursif ekonomi memiliki pengaruh dalam menentukan arah dan bentuk kebijakan ekonomi. Tidak semua orang dapat mengeluarkan pernyataan mengenai kebijakan ekonomi. Hanya individu yang memiliki otoritas di dalam formasi diskursif yang dapat mengeluarkan pernyataan diskursif. Perspepsi terhadap realitas ekonomi dengan demikian terbentuk melalui diskursus. Dalam konteks, kebijakan atau langkah pemerintah Indonesia yang tidak berarti dalam mempersiapkan perekonomian menuju terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, praktik diskursif dalam formasi diskursif ekonomi membentuk persepsi terhadap realitas dan pandangan dunia, terutama terhadap agenda integrasi regional dalam imajinasi yang optimis akan manfaat dan keuntungan, serta pandangan mengenai kesiapan. Berlandaskan pada elaborasi atas konsep hegemoni dan diskursus inilah, sebuah model analisis Gramscian-Foucauldian dijadikan sebagai panduan dalam penelitian ini untuk menjawab pertanyaan besar seputar minimnya langkah persiapan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 (lihat Gambar 5.3). Pada tataran yang pertama, berlandaskan pada pendekatan Gramscian-Foucauldian, penelitian ini berupaya untuk membongkar perjuangan hegemoni ideologis neoliberalisme dalam formasi kebijakan Indonesia untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dalam wilayah ini, akan diidentifikasi dan diuraikan bagaimana hegemoni berjalan melalui penanaman visi neoliberalisme dijadikan sebagai suatu konsepsi terhadap realitas ekonomi, suatu pandangan terhadap dunia, sehingga kemudian prinsip-prinsip neoliberalisme telah menjadi common sense yang mempengaruhi formasi kebijakan ekonomi Indonesia. Eksistensi hegemoni neoliberalisme dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia dalam konteks persiapan menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN ini akan dibuktikan melalui mekanisme penyebaran gagasan, nilai-nilai, keyakinan dan visi neoliberal dari sekelompok institusi sipil tertentu (khususnya para ahli, lembaga-lembaga kajian atau pusat studi dan institusi finansial internasional, dalam hal ini IMF), sehingga terciptalah suatu bentuk keyakinan dan kepercayaan terhadap efektifitas dan manfaat dari implementasi kebijakan ekonomi berbasis neoliberal di Indonesia. Ketika gagasan, visi, nilai-nilai ini ditanamkan kepada kesadaran kolektif dalam bentuk keyakinan dan optimisme atas neoliberalisme, pada titik inilah cara-cara konsensual, sebagai inti dari perjuangan hegemoni, diterapkan untuk mempertahankan posisi dominan dari kelompok sosial tertentu.
178
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Dalam tataran yang kedua, penelitian ini berupaya untuk membongkar praktik diskursif melalui mana diskursus neoliberalisme mengasumsikan bentuk kebijakan-kebijakan ekonomi yang disarankan oleh para ahli atau pakar kepada pemerintah Indonesia. Analisis dilakukan terhadap dukungan teoritis dari para ahli dalam formasi diskursif ekonomi terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah yang berhaluan neoliberalisme. Pembuktian adanya praktik diskursif dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia ini akan dilakukan dengan menelaah pernyataan-pernyataan dari para ahli dalam disiplin ekonomi (formasi diskursif) terkait dengan kebijakan pemerintah Indonesia dalam menghadapi agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Yang dimaksud dengan para ahli di sini adalah individu-individu yang memiliki modalitas enunsiatif di dalam formasi diskursif, di mana melalui pernyataan-pernyataan diskursif mereka mampu untuk menjadikan neoliberalisme sebagai persepsi terhadap realitas ekonomi yang pada gilirannya menjadi landasan dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Telaah ketiga dilakukan melalui kombinasi konseptual hegemoni dan diskursus dalam wujud kedalaman hegemoni dalam kemampuan formasi diskursif. Menurut Peet, kedalaman hegemoni bersandar pada kemampuan dari formasi diskursif untuk menciptakan batasan spesifik mengenai parameter, yaitu tentang apa yang praktikal, realistis dan masuk akal di antara kelompok intelektual, teoritis, praktisi politik dan pengambil kebijakan.132 Dalam kondisi ini tercipta suatu batasan mengenai pendekatan, gagasan atau topik apa yang boleh dibicarakan dan mana yang tidak. Pembatasan terhadap pemikiran dan ekspresi ini merupakan produksi institusional, yang kemudian dikenal dengan istilah ‘praktikalitas’ (practicality), yaitu pemahaman sosial mengenai batasan-batasan dan isi dari praktik yang dapat dilakukan. Posisi praktis yang tercipta sebagai hasil dari kedalaman hegemoni dalam formasi diskursif, mewujud ke dalam apa yang disebut sebagai ‘inevitabilitas’ (inevitability) dan ‘optimalitas’ (optimality). Inevitabilitas, sebuah keadaan tanpa pilihan yang tidak dapat terhindarkan, menjadi landasan bagi kebijakan dalam situasi tanpa pilihan atau yang dikenal dengan istilah “there’s no alternative” atau ‘TINA”.133 Sementara optimalitas menjadi landasan praktikalitas dalam kondisi satu-satunya kemungkinan atau pilihan yang terbaik.134 Dengan demikian, penelitian ini berasumsi bahwa telah terjadi kedalaman hegemoni neoliberalisme dalam formasi diskursif ekonomi, di mana langkah-langkah persiapan ekonomi pemerintah Indonesia yang tidak berarti menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan wujud kebijakan yang dilandasi oleh praktikalitas, inevitabilitas dan optimalitas dalam batasan-batasan neoliberal. Kedalaman hegemoni dalam formasi diskursus ini akan dibuktikan melalui telaah terhadap pernyataan-pernyataan dari pemerintah Indonesia terkait dengan praktikalitas (batasan mengenai apa yang boleh dibicarakan terkait dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN), inevitabilitas (suatu sikap mengenai tidak ada pilihan selain meleburkan diri ke dalam integrasi regional berbasis neoliberal) dan optimalitas (suatu sikap optimis bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berlandaskan pada neoliberalisme merupakan pilihan yang terbaik bagi perekonomian Indonesia). Richard Peet, Unholy Trinity, 25. Richard Peet, Unholy Trinity, 25. 134 Richard Peet, Unholy Trinity, 25. 132 133
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
179
Berikutnya, berdasarkan pada pendekatan Gramsci-Foucauldian ini, kebijakan dipahami sebagai produk sosial dari suatu komunitas pakar atau ahli, yang bersepakat, lebih melalui persetujuan atau persuasi politik ketimbang berlandaskan pada dukungan faktual, untuk menyatakan suatu cara berpikir dan berbicara yang disebut sebagai ‘rasional’.135 Dikarenakan besarnya peranan kelompok ahli atau pakar dalam perjuangan hegemoni dan praktik diskursif, model analisis ini diterapkan dengan penelaahan terhadap tiga kelompok ahli yang memainkan peranan penting dalam formasi kebijakan ekonomi negara. Menurut Richard Peet, tiga kelompok ini mewakili kepentingan dalam tiga bidang, yaitu kepentingan ideologis (diwakili oleh para ahli dalam wujud intelektual atau penteori dari universitas yang memiliki bakat dan bersifat konvensional); kepentingan ekonomi (yaitu para pemain kunci di luar aparat negara, akan tetapi memiliki keterkaitan dengan negara melalui pertukaran personil, konsultasi dalam frekuensi yang tinggi, dam melalui mekanisme diskursif lainnya); kepentingan politik (yaitu kepala negara terpilih – presiden atau perdana menteri) dan para petinggi badan-badan atau lembaga penting negara, seperti kementerian atau departemen, bersama-sama dengan para pejabat lembaga pemerintah, di mana kebijakan-kebijakan diformulasikan).136 Penelitian ini berupaya untuk mengungkapkan pola relasi yang sangat unik ketiga kelompok tersebut dalam mempengaruhi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia, khususnya dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Analisis juga akan memperlihatkan bagaimana diskursus dengan kedalaman hegemoni berpusat pada tiga pusat kekuasaan ini, di mana hanya serangkaian gagasan yang terbatas yang diperbolehkan untuk dimunculkan dan dielaborasi. Terakhir, langkah-langkah pemerintah yang tidak berarti dalam mempersiapkan perekonomian Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan wujud dari telah terciptanya ‘blok historis’ (historical bloc) neoliberalisme di Indonesia. Menurut Gramsci, blok historis tercipta ketika kekuatan sosial dominan mampu untuk mempertahankan dominasinya dalam kurun waktu yang panjang. Kelompok sosial neoliberal telah berhasil membangun hegemoni dalam jangka waktu yang cukup lama di Indonesia. Kelestarian, kebersinambungan dan kemapanan neoliberalisme dalam mempengaruhi kebijakan ekonomi Indonesia menjadi bukti dari terciptanya blok historis neoliberal ini. Lebih lagi, keberhasilan perjuangan hegemoni dalam waktu yang lama ini juga telah berhasil bertahan dari berbagai pergeseran dari kekuatan-kekuatan sosial yang ada, terutama keberhasilan dalam bertahan dari gerakan-gerakan perlawanan terhadap hegemoni neoliberal (counter-hegemony) di Indonesia.
Richard Peet, Unholy Trinity, 24. Richard Peet, Unholy Trinity, 26.
135 136
Gambar 5.3 Model Analisis Gramscian-Foucauldian
180 Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
181
Hegemoni Ideologis Neoliberalisme dalam Formasi Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju Terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN Neoliberalisme memainkan peranan penting dalam perjalanan sejarah perekonomian Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan sebuah agenda integrasi ekonomi kawasan yang dilandaskan pada neoliberalisme. Komitmen kuat pemerintah Indonesia untuk meleburkan diri ke dalam regionalisme ekonomi ASEAN ini merupakan salah satu wujud nyata dari pengejawantahan neoliberalisme dalam kebijakan ekonomi. Berlandaskan pada hal ini, dengan demikian tampak bahwa neoliberalisme menjadi suatu pandangan atau persepsi terhadap realitas yang menjadi landasan integrasi ekonomi regional ASEAN dan sekaligus menjadi sebuah visi yang melandasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia dalam menghadapi agenda integrasi yang berbasis neoliberal tersebut. Visi neoliberal yang mendominasi arah kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia selama lebih dari satu dekade terakhir, berjalan melalui tiga wilayah perjuangan hegemoni. Pertama, cengkeraman neoliberalisme sebagai suatu common sense, keyakinan dan kepercayaan dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari peranan institusi finansial internasional IMF dalam program ‘penyelamatan’ ekonomi Indonesia yang dihantam krisis pada tahun 1997. Visi neoliberal dalam kebijakan ekonomi Indonesia ini, terwujud melalui dua fase dan mekanisme yang dijalankan oleh IMF melalui kombinasi tekanan dan hegemoni terhadap pemerintah Indonesia selama program IMF tahun 1997-2004 (lihat Gambar 5.4).137 Dalam fase yang pertama, tekanan dan perjuangan hegemoni IMF ditujukan untuk mendapatkan penerimaan pemerintah Indonesia atas kondisionalitas kebijakan yang berlandaskan pada prinsip neoliberalisme. Pada titik inilah, IMF sebagai wujud kekuaatan sosial dan ekonomi internasional yang ditopang oleh kepentingan ekonomi negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan multinasional beserta dengan individu-individu yang memiliki reputasi kepakaran di tingkat internasional, memainkan peranan dalam perjuangan hegemoni untuk menanamkan neoliberalisme sebagai visi yang menjadi landasan kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Akan tetapi, dalam fase yang pertama ini, penanaman visi neoliberalisme oleh IMF di Indonesia tidak berjalan dengan mudah. Resistensi terhadap visi ideologis ini masih sangat kuat, terutama dikarenakan warisan kebijakan ekonomi sentralistis dengan peranan negara yang besar untuk menopang kepentingan politik kekuasaan pada masa Order Baru. IMF kemudian menggunakan dua mekanisme untuk dapat menanamkan neoliberalisme sebagai visi landasan kebijakan ekonomi Indonesia dalam bentuk pemanfaatan kesulitan ekonomi yang dihadapi Indonesia pada masa krisis dan pemposisian IMF sebagai satu-satunya lembaga yang dapat menyelamatkan perekonomian Indonesia (lender of the last resort). Melalui mekanisme ini, IMF memanfaatkan kondisi kesulitan ekonomi Indonesia dalam bentuk hilangnya kepercayaan dari pasar, nilai tukar rupiah yang terus mengalami penurunan, tingkat utang luar negeri jangka pendek dalam jumlah yang
Dodi Mantra, Hubungan RI-IMF: Studi tentang Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Tekanan IMF terhadap Pemerintah Indonesia Periode 1997-2004 (Thesis Master, Universitas Indonesia, 2007), 32-38. 137
182
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
besar dan cadangan devisa yang semakin menipis.138 Di tengah keadaan ekonomi yang terpuruk ini, IMF kemudian memposisikan diri sebagai satu-satunya lembaga donor yang memiliki dana untuk memulihkan perekonomian Indonesia dan sebagai lembaga internasional yang dapat mengembalikan kepercayaan internasional terhadap perekonomian Indonesia.139 Pada titik inilah, mekanisme konsensual hegemoni untuk menanamkan suatu visi dijalankan oleh IMF. Sebagai hasilnya, pemerintah Indonesia memiliki ruang gerak yang sempit dan terbatas untuk memilih strategi dalam memulihkan perekonomian dan harus menerima neoliberalisme sebagai landasan dari kebijakan ekonomi. Akhirnya, melalui penandatanganan Letter of Intent (LoI) dan Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) dengan IMF pada 31 Oktober 1997, neoliberalisme secara resmi menjadi landasan kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Berbagai kebijakan yang merupakan pengejawantahan dari neoliberalisme terangkum di dalam LoI tersebut, seperti kebijakan penghentian proyek-proyek pembangunan pemerintah sebagai wujud dari prinsip kebijakan fiskal ketat neoliberalisme, penghapusan monopoli perdagangan dengan menghapuskan hak monopoli yang dimiliki oleh Badan Urusan Logistik Negara (BULOG) sebagai wujud dari minimalisasi peranan pemerintah dan kebijakan penghapusan subsidi BBM sebagai wujud penyingkiran campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Namun demikian, perjuangan hegemoni ideologis neoliberal IMF dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia tidaklah berhenti sampai di sini. Perbenturan kepentingan ekonomi dan politik pemerintah terhadap kondisionalitas kebijakan neoliberal IMF, menjadikan lembaga ini memasuki fase kedua perjuangan hegemoni yang bertujuan untuk memastikan bahwa kondisionalitas kebijakan tersebut diimplementasikan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah Indonesia.140 IMF menjalankan tiga mekanisme dalam perjuangan hegemoni pada fase yang kedua ini. Pertama, IMF memaksimalkan kekuasaannya atas kebijakan negara peminjam berlandaskan pada Pasal IV Piagam pembentukan IMF, yaitu mengenai konsultasi, di mana IMF memiliki wewenang untuk mengawasi kepatuhan negara-negara anggota atas kewajibannya terhadap IMF.141 Dalam mekanisme ini, secara periodik IMF melakukan penilaian atas kebijakan-kebijakan yang diimplementasikan pemerintah yang menentukan proses pencairan dana. Kedua, untuk memastikan bahwa kebijakan yang dikondisionalitaskan diimplementasikan secara penuh oleh negara yang menjalani program, IMF menggunakan senjata ancaman penghentian atau penundaan pencairan dana dari jadwal yang telah ditentukan. Bahkan tidak jarang IMF juga mengancam untuk angkat kaki, meninggalkan Indonesia di tengah kondisi ekonomi yang terpuruk. Mekanisme ini lebih mencerminkan kombinasi struktrur materi dalam perjuangan hegemoni untuk menopang mekanisme konsensual pada tataran suprastruktur. Ketiga, dalam mekanisme yang lebih bersifat konsensual penanaman visi ideologis, IMF juga membangun opini publik dan konstruksi pemikiran mengenai buruknya kondisi ekonomi Indonesia tanpa adanya bantuan dari institusi finansial internasional berbasis neoliberal tersebut. Demikianlah perjuangan hegemoni ideologis neoliberal di Indonesia dalam 140 141 138 139
Dodi Mantra, Hubungan RI-IMF, 32. Dodi Mantra, Hubungan RI-IMF, 32. Dodi Mantra, Hubungan RI-IMF, 35. Dodi Mantra, Hubungan RI-IMF, 35.
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
183
wilayah yang pertama dijalankan oleh IMF sebagai institusi finansial internasional yang menjadi bagian dari kekuatan sosial dan ekonomi di tingkat internasional. Selama program IMF dijalankan dari tahun 1997 sampai dengan 2004, berbagai kebijakan-kebijakan ekonomi yang berlandaskan neoliberalisme menjadi wajah dominan dari arah kebijakan pemerintah Indonesia. Secara berkesinambungan upaya untuk meminimalisasi peranan negara diterapkan melalui kebijakan fiskal ketat, penghapusan subsidi, privatisasi dan liberalisasi perdagangan terjadi selama periode ini. Perjuangan hegemoni IMF dalam jangka waktu tujuh tahun tersebut telah berhasil menanamkan neoliberalisme dengan sangat kuat sebagai visi yang menjadi landasan formasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Gambar 5.4 Fase dan Mekanisme Perjuangan Hegemoni IMF terhadap Pemerintah Indonesia 1997-2004
Namun demikian, perjuangan hegemoni ideologis neoliberal oleh IMF ini, tidak akan menemui keberhasilan jika tidak ditopang oleh perjuangan hegemoni dalam wilayah yang kedua, yaitu melalui peranan kelompok-kelompok intelektual atau pakar di Indonesia dalam bidang ekonomi yang memiliki kesepahaman terhadap visi neoliberalisme IMF. Peranan institusi sipil melalui penanaman visi secara konsensual oleh sekelompok intelektual memiliki posisi yang sangat penting dalam perjuangan hegemoni. Tanpa ada upaya konsensual penanaman visi kelompok intelektual domestik neoliberal, maka perjuangan hegemoni neoliberal oleh IMF tersebut akan sulit untuk menemui keberhasilan. Sepanjang sejarah kebijakan ekonomi Indonesia, pada kenyataannya memang tidak dapat dilepaskan dari gagasangagasan yang digulirkan oleh kelompok-kelompok intelektual yang memiliki pengaruh terhadap kekuasan.
184
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Penanaman gagasan atau visi neoliberalisme di Indonesia dalam mekanisme konsensual hegemoni, kenyatannya memang tidak dapat dilepaskan dari upaya yang dilakukan oleh sekelompok intelektual yang dikenal dengan apa yang disebut oleh Rizal Mallarangeng sebagai komunitas epistemis liberal. Rizal Mallarangeng sendiri, sebagai bagian dari komunitas epistemis tersebut, mengakui bahwa memang terjadi kolaborasi antara IMF dengan komunitas epistemis liberal di Indonesia untuk menggulirkan gagasan-gagasan liberalisme sejak periode liberalisasi Indonesia berjalan di tahun 1980-an.142 Di dalam karyanya yang berjudul Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992, Rizal Mallarangeng menjelaskan mengenai pentingnya peranan gagasan yang ‘dimainkan’ oleh komunitas epistemis liberal dalam keberhasilan mentransformasikan arah kebijakan ekonomi Indonesia dari yang bersifat sentralistis menuju liberalisasi. Namun, posisi penelitian ini justru memandang penjelasan di dalam karyanya tersebut justru memberikan deskripsi perjuangan hegemoni kekuatan sosial untuk menanamkan visi liberal di Indonesia secara terang-benderang. Gramsci menyatakan bahwa hegemoni terjadi sebagai wujud untuk mendapatkan atau mempertahankan posisi dominan melalui cara-cara yang konsensual, yaitu melalui penyebaran gagasan dan visi ke dalam kesadaran kolektif yang luas. Proses konsensual penyebaran dan penanaman gagasan ini terjadi di dalam ranah institusi sipil. Karya Rizal Mallarangeng mengenai peranan komunitas epistemis liberal dalam menyebarkan dan menanamkan visi liberal dalam perekonomian Indonesia memberikan konfirmasi atas proses hegemoni ideologis liberalisme di Indonesia. Muhammad Chatib Basri, salah seorang tokoh dari komunitas epistemis liberal yang menonjol selama satu dekade terakhir, dalam pengantar atas karya Rizal Mallarangeng tersebut memberikan penjelasan yang di dalam buku ini justru mengungkapkan dengan terang mekanisme perjuangan hegemoni ideologis liberal terjadi di Indonesia. Chatib Basri menyatakan bahwa peran gagasan sangat penting dalam proses transformasi arah kebijakan ekonomi di Indonesia. Namun, gagasan tidak dapat berjalan sendiri. Menurutnya, munculnya suatu gagasan dan bagaimana ia berjalan membutuhkan “institusi”.143 Karenanya, lanjut Basri, peran gagasan juga harus dilihat dalam konteks struktur ekonomi politik yang ada dan kendala yang dihadapi oleh gagasan tersebut dalam wilayah politik yang dimasuki.144 Chatib Basri kemudian menilai bahwa dalam konteks ini, Rizal Mallarangeng melihat bahwa peran gagasan tentang liberalisasi ekonomi di Indonesia telah ditransmisikan oleh satu “institusi” yang disebut sebagai komunitas epistemis liberal.145 Komunitas ini berperan besar dalam mentransmisikan gagasan liberal melalui media cetak, media elektronik, seminar, diskusi, dan berbagai pertemuan publik.146 Berdasarkan pada penjelasan ini, semakin jelas dan terkonfirmasi penjelasan Gramsci mengenai proses hegemoni melalui transmisi gagasan atau visi dalam mekanisme yang bersifat konsensual oleh institusi sipil. Perjuangan hegemoni yang dilakukan oleh komunitas epistemis liberal Indo Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992 (Jakarta: Kelompok Penerbit Gramedia, 2004), 59. 143 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, xx-xxi. 144 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, xxi. 145 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, xxi. 146 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, xxi. 142
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
185
nesia menemui keberhasilan dengan tercapainya suatu posisi istimewa liberalisme dalam arah kebijakan ekonomi di negeri ini dari tahun 1980-an sampai saat ini. Menurut Rizal Mallarangeng, upaya yang mereka lakukan pada 1983, dan momentum intelektual besar yang muncul pada 1985, ia menyebut gagasan-gagasan komunitas epistemis liberal berada pada posisi the normal science dalam rumusan Thomas Kuhn, sampai dengan sekitar tahun 1987.147 Pada saat itu, lanjut Rizal, respons intelektual dari komunitas ini terhadap berbagai persoalan yang menjepit Indonesia mendapat sambutan yang besar dari publik.148 Bahkan Rizal Mallarangeng menyatakan bahwa pada awal abad ke-21, secara umum kapitalisme dan interaksi ekonomi pasar tidak lagi ditolak secara prinsipil.149 Perdebatan telah mengarah kepada persoalan yang agak teknis, tidak lagi berada pada ranah asumsi-asumsi dasar mengenai sistem ekonomi dan filsafat ekonomi.150 Kondisi ini semakin mencerminkan perjuangan hegemoni ideologis liberal telah berhasil menciptakan konsensus pada tataran yang luas dengan tidak ada lagi perdebatan mendasar dan substansial atas posisi paradigma ini dalam perekonomian Indonesia. Perlu dipahami bahwa suatu posisi ilmu pengetahuan normal (normal science) menurut Thomas Kuhn, terjadi ketika sudah tidak ada lagi perdebatan substansial terkait dengan asumsi dasar, dan telah tercapai suatu kesepakatan-kesepakatan (konsensus) mengenai asumsiasumsi dasar dari satu paradigma dalam menjelaskan realitas empiris.151 Komunitas epistemis liberal berhasil menjadikan liberalisme sebagai suatu paradigma yang mendapatkan konsensus dan menjadi ilmu pengetahuan normal pembangunan ekonomi Indonesia. Dalam perjuangan hegemoni ideologis liberalisme di Indonesia, komunitas epistemis liberal ini bergerak bersama-sama dengan para ahli yang memegang kendali pengambilan kebijakan di dalam tubuh pemerintahan, atau yang dikenal dengan istilah teknokrat. Teknokrat pendukung liberalisme dalam sejarah ekonomi Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peranan kelompok Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Radius Prawiro dan Sumarlin yang sebagian besar merupakan lulusan Universitas California, Berkeley. Kelompok inilah yang pada pertengahan tahun 1980-an, berusaha meyakinkan pemerintah dan masyarakat Indonesia bahwa jalan keluar terbaik dari masalah ekonomi yang memuncak adalah deregulasi atau liberalisasi ekonomi.152 Akan tetapi, dalam konteks politik Orde Baru, posisi mereka sebagai teknokrat yang berada dalam birokrasi serta berada dalam tata aturan tertentu, menjadikan ruang gerak mereka terbatas dan tidak memungkinkan mereka untuk mencuat di arena publik untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan liberal. Dalam kondisi inilah, komunitas epistemis liberal memainkan peranan penting dalam misi penyebaran dan penanaman gagasan liberalisme tersebut. Hal ini dikarenakan, keleluasaan anggota dari komunitas epistemis liberal dengan menggunakan berbagai media dan forum-forum publik, terutama seminar dan symposium yang diselenggarakan oleh universitas-universitas dan kelompok-kelompok independen Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 158. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 158. 149 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, xii. 150 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, xii. 151 Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000). 152 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 125. 147 148
186
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
dalam masyarakat untuk menyebarkan gagasan-gagasan mereka dan mendiskreditkan kebijakan sentralistis yang dianggap gagal.153 Ruang publik untuk diskusi dalam masalah politik yang terbatas pada masa Orde Baru justru memberi kesempatan yang luas bagi komunitas epistemis liberal untuk menyebarkan dan mengundang perhatian masyarakat terhadap berbagai gagasan mereka terkait dengan masalah ekonomi.154 Pembahasan mengenai permasalahan ekonomi di penghujung tahun 1980-an dan 1990-an menjadi warna dominan di dalam berbagai ruang publik. Dari seluruh seminar di Jakarta yang diliput oleh Kompas, antara Januari-Februari 1991 masalah ekonomi merupakan masalah yang paling sering didiskusikan, yaitu sebesar 47 persen.155 Penelitian yang dilakukan oleh Rizal Mallarangeng pada tahun 1989 tentang berita utama dan tajuk rencana Kompas dan Suara Karya menemukan kecenderungan yang sama.156 Anggota dari komunitas epistemis liberal ini merupakan orang-orang yang memiliki status kepakaran atau ahli dalam bidang ekonomi. Mereka memiliki pengetahuan yang mendalam di bidang ilmu ekonomi dan kebijakan ekonomi. Alhasil, cukup mudah bagi komunitas ini untuk mencuri perhatian publik dan menyusun agenda masalah yang harus diselesaikan berikut kemungkinan-kemungkinan penyelesaiannya.157 Kondisi ini menjadi cerminan yang jelas mengenai apa yang dijelaskan oleh Gramsci tentang pentingnya peranan kelompok intelektual atau para ahli dalam penanaman gagasan dan visi untuk mendapatkan konsensus yang luas dalam masyarakat. Berdasarkan identifikasi Rizal Mallarangeng atas anggota dari komunitas epistemis tersebut di tahun 1980-an, sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dengan gelar PhD di bidang ekonomi politik dari berbagai universitas terkemuka di Amerika Serikat, seperti Harvard, Cornell, dan University of California at Berkeley, di antaranya adalah Iwan Jaya Azis, Sjahrir, dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.158 Beberapa di antara mereka juga merupakan mantan menteri yang kemudian menjadi tokoh-tokoh kritis (terhadap kebijakan ekonomi sentralistis), seperti Sumitro, Sadli, Frans Seda.159 Ada juga yang sedang meniti karir untuk menduduki posisi-posisi kunci di dalam pemerintah seperti Sudradjat Djiwandono. Yang tidak kalah penting adalah para ekonom yang memimpin lembaga-lembaga riset nonpemerintah, seperti Mari Pangestu, Hadi Soesastro, Djisman Simandjuntak, dan Christianto Wibisono.160 Selain itu, juga ada pelaku bisnis yang merangkap sebagai penulis atau kolumnis, serta ahli hukum, seperti Kwik Kian Gie dan Nono Anwar Makarim, termasuk juga para cendekiawan dan editor terkemuka, seperti Goenawan Mohammad dan Fikri Jufri dari Tempo serta Jakob Oetama dari Kompas.161 Secara keseluruhan, anggota dari komunitas epistemis liberal Indonesia pada tahun 1980-an dan 1990-an dapat dilihat di Tabel 5.1, sebagaimana yang disajikan oleh Rizal Mallarangeng di dalam Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 125. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 128. 155 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 127. 156 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 127. 157 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 128. 158 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 128. 159 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 128. 160 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 128. 161 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 128. 153 154
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
187
karyanya terkait dengan komunitas ini. Tabel 5.1 Komunitas Epistemis Liberal Gelar
Profesi dan Afiliasi Lembaga
Anwar Nasution
PhD, Ilmu ekonomi Tufts University
Dosen, Universitas Indonesia (UI)
Iwan J. Azis
Phd, ilmu ekonomi, Cornell University
Dosen, UI
Sjahrir
PhD, ilmu ekonomi-politik, Harvard’s Kennedy School of Government
Dosen, UI, kolumnis, pemimpin pusat riset, pengusaha, bekas aktivis mahasiswa
Kwik Kian Gie
Doktorandus, ilmu akuntansi, Rotterdam University
Kolumnis, pengusaha, aktivis partai
Christianto Wibisono
Doktorandus, ilmu sosialpolitik, UI
Kolumnis, pendiri pusat penelitian bisnis
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti
PhD, ilmu pemerintahan, University of California (UC) at Berkeley
Dosen, UI, bekas aktivis mahasiswa
Thee Kian Wie
PhD, ilmu ekonomi, the University of Wisconsin
Peneliti LIPI, kolumnis dan dosen UI
Hadi Soesastro
PhD, studi kebijakan, Rand Graduate Institute
Peneliti CSIS, kolumnis
Mari Pangestu
PhD, ilmu ekonomi, UC at Davis
Peneliti CSIS, kolumnis
Djisman Simandjuntak
PhD, ilmu ekonomi, Koeln University, Germany
Peneliti CSIS, kolumnis
Pande Raja Silalahi
PhD, ilmu ekonomi, Kobe University
Peneliti CSIS, kolumnis
Sumitro Djojohadikusumo
PhD, ilmu ekonomi, Rotterdam University
Bekas menteri, pendiri Fakultas Ekonomi UI
Mohammad Sadli
PhD, ilmu ekonomi, UI
Bekas menteri, dosen UI, kolumnis
Suhadi Mangkusuwondo
PhD, ilmu ekonomi, UC at Berkeley
Dosen UI
Mohammad Arsjad Anwar
PhD, ilmu ekonomi, UI
Dosen UI
Frans Seda
Doktorandus, ilmu ekonomi, Tilburg University
Mantan menteri dan ketua partai, kolumnis
Goenawan Mohamad
UI, Fakultas Psikologi, tanpa gelar
Pemimpin Redaksi Tempo, esais, penyair, kritikus sastra, bekas aktivis mahasiswa
Fikri Jufri
Doktorandus, ilmu ekonomi, UI
Wakil Pemimpin Redaksi Tempo, bekas aktivis mahasiswa
188
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Jakob Oetama
Doktorandus, ilmu sosial-politik UGM
Pemimpin Redaksi Kompas, kolumnis
Nono Anwar Makarim
SJD (doktor dalam ilmu hukum), Harvard
Pengacara, kolumnis, bekas aktivis mahasiswa
Sumber: Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992 (Jakarta: Kelompok Penerbit Gramedia, 2002), 130. Sebagian besar dari anggota komunitas epistemis liberal ini merupakan professional dalam bidang ekonomi. Pendidikan yang mereka dapatkan dari universitasuniversitas ‘terbaik’ di dunia, menjadikan mereka memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk tampil dalam forum-forum publik dan menawarkan penyelesaian berdasarkan dan sejalan dengan misi penyebaran gagasan mereka. Status ‘intelektual terkemuka’ inilah yang menjadikan komunitas epistemis liberal berada dalam kondisi yang mudah untuk mendapatkan konsensus masyarakat atas gagasan dan pemikiran liberal yang mereka tawarkan. Berdasarkan pada persamaan cara pandang terhadap realitas ekonomi, terbangun suatu jaringan liberal dengan berbagai kegiatan yang terpusat di berbagai ruang kuliah, berbagai seminar di universitas ‘bergengsi’, berbagai diskusi publik dan berbagai pusat studi.162 Selain itu, terdapat juga beberapa pusat penelitian yang menjadi bagian dari jaringan komunitas epistemis liberal ini, seperti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Lembaga Penelitian Ekonomi Masyarakat (LPEM), Lembaga Manajemen, dan Lembaga Demografi, di mana ketiga lembaga terakhir secara administratif berhubungan dengan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.163 Menurut Rizal, termasuk juga di dalam jaringan ini adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Center for Policy and Implementation Study (CPIS), dan Center for Policy Study (CPS).164 Dengan demikian, semakin jelas perjuangan hegemoni terjadi di Indonesia, di mana dominasi paradigmatis dan ideologis liberalisme dicapai melalui gerakan penyebaran dan internalisasi gagasan dan visi liberal oleh jaringan liberal yang terdiri dari kelompok intelektual (yang memiliki status ‘ahli’, ‘profesional’ dan ‘terkemuka’, serta berasal dari universitas ‘terbaik’ dunia) yang ditopang oleh keberadaan institusi-institusi sipil dalam bentuk lembaga-lembaga penelitian. Rizal Mallarangeng juga menyoroti terjadinya ‘migrasi intelektual’ dari jaringan komunitas epistemis liberal di Indonesia. Pertama, ia mengidentifikasi adanya peralihan posisi intelektual Tempo dan Kompas, pasca terjadinya Peristiwa Malari. Menurutnya, pada tahun 1980-an, kedua media besar nasional tersebut berubah menjadi salah satu bagian terpenting dari jaringan komunitas epistemis liberal dari yang sebelumnya mendukung sentralisme ekonomi.165 Kedua, terjadi juga peralihan pada beberapa tokoh dan lembaga dalam jaringan komunitas liberal. Terutama terjadi pada CSIS, di mana para pemimpin sebelumnya di tahun 1970-an merupakan pesaing dari kelompok Widjojo yang propasar, mengalami peralihan dan 164 165
162
163
Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 131. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 131. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 131. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 135.
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
189
metamorphosis secara radikal pada pertengahan tahun 1980-an, dengan munculnya tokoh-tokoh yang lebih muda, seperti Hadi Soesastro dan Mari Pangestu, yang menjadi tokoh pendukung kebijakan propasar terkemuka dan konsisten.166 Ketiga, perubahan posisi intelektual dua ekonom terkemuka yang berasal dari generasi yang berbeda, yaitu Sumitro dan Sjahrir, dari karakter nasionalis dan sosialis serta kritis terhadap kebijakan propasar beralih menjadi pengkritik dari kebijakan sentralistis pasca Malari di tahun 1980-an.167 Rizal juga mengamati peralihan posisi Goenawan Mohamad, yang menjadi tokoh dengan kepercayaan besar terhadap deregulasi dan perluasan peran pasar.168 Pola gerak perjuangan hegemoni komunitas epistemis liberal Indonesia ini dijalankan melalui kampanye intelektual yang tidak terorganisir.169 Mereka diikat oleh suatu konsensus atas pandangan ekonomi yang sama, yaitu yang disebut oleh Rizal Mallarangeng sebagai konsensus intelektual di kalangan orang-orang yang terdidik.170 Kampanye intelektual pertama terjadi dalam merespons kebijakan sentralistis pasca-Malari muncul ketika harga minyak mulai merosot pada awal 1983.171 Melalui momentum inilah, tawaran-tawaran kebijakan ekonomi yang berlandaskan pada prinsip liberalisme muncul dari kalangan komunitas epistemis liberal. Pada saat itu, Sumitro menggulirkan usulan mengenai kebijakan liberalisasi dan deregulasi, khususnya di bidang perbankan dan tingkat suku bunga.172 Upaya komunitas epistemis liberal dalam menodorong terjadinya perubahan kebijakan mencapai puncaknya pada tahun 1985, ketika Sumitro, Arifin Siregar dan S.B. Joedono, sebagai Ketua Kehormatan, Ketua dan Wakil Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), menemui Soeharto untuk membawa pesan dari hasil Sidang Pleno ISEI di Batu, Malang.173 Mereka berupaya untuk meyakinkan Soeharto bahwa proteksionisme ekonomi telah melahirkan ekonomi biaya tinggi.174 Sumitro juga menyinggung persoalan terkait dengan peranan negara di dalam ekonomi, di mana ia mengingatkan tentang prinsip ekonomi fundamental yang diperjuangkan Orde Baru pada saat kelahirannya, yaitu prinsip yang terkandung di dalam slogan: deetatisme atau de-control.175 Berdasarkan prinsip ini, Sumitro menekankan bahwa Orde Baru ingin menekankan dan mengembalikan pentingnya kekuatan pasar, oleh karenanya prinsip ini harus dihidupkan kembali dalam bentuk kebijakan deregulasi.176 Kampanye intelektual komunitas epistemis liberal ini kemudian ditopang oleh guliran-guliran massif gagasan liberal melalui media terkemuka nasional seperti Kompas dan Tempo, sehingga konsensus liberal mendapatkan momentum yang lebih besar pada pertengahan tahun 1980-an.177 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 166 167
Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 136. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 136,137. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 142. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 142. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 143. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 143. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 144. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 149. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 149. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 152. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 152. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 157.
190
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Dengan demikian, penjelasan keberhasilan penyebaran gagasan liberal oleh komunitas epistemis liberal di Indonesia yang digambarkan oleh Rizal Mallarangeng tersebut, justru menjadi pencerahan dalam memahami bagaimana perjuangan hegemoni pada kenyataannya memang terjadi dengan bercokolnya liberalisme pada posisi dominan dalam arah kebijakan ekonomi Indonesia selama tahun 1980-an dan 1990-an. Lebih jauh, pada masa program IMF di Indonesia tahun 1997-2004, peranan komunitas epistemis ini semakin meluas dan bertambah kuat. Selama periode ini terjadi kolaborasi antara IMF dan komunitas epistemis liberal untuk menanamkan prinsip neoliberalisme sebagai landasan kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Perjuangan hegemoni IMF untuk memposisikan neoliberalisme pada posisi dominan di Indonesia, tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari komunitas epistemis liberal yang mengkonstruksikan gagasan liberal melalui institusi sipil secara luas di masyarakat. Jika kita amati sejarah perjalanan komunitas epistemis liberal di tahun 1980-an dan 1990-an sebagaimana digambarkan oleh Rizal Mallarangeng, kenyataannya keberhasilan hegemoni ideologis liberalisme tidak dapat dilepaskan dari faktor dorongan Bank Dunia dan IMF. Pada awal 1983, menurut Rizal, suara-suara para ekonom liberal lebih menggema dikarenakan dorongan satu faktor penting, yaitu Bank Dunia dan IMF, menindaklanjuti berbagai program mereka yang dikenal dengan Structural Adjustment Programs (SAPs).178 Hal ini menjadi momentum untuk lebih mendesak pemerintah Indonesia dalam melaksanakan reformasi kebijakan propasar sebagai langkah dalam mengatasi memburuknya situasi ekonomi.179 Media massa Indonesia seperti Kompas dan Tempo dengan semangat melaporkan di halaman depan atau dalam laporan utama, Bank Dunia dan IMF meningkatkan kredibilitas dan menggarisbawahi urgensi tuntutan perubahan kebijakan sebagaimana yang disuarakan oleh komunitas epistemis liberal Indonesia.180 Menurut Rizal, Bank Dunia dan IMF memiliki cara sendiri untuk mempengaruhi arah kebijakan di Indonesia, yang sebagian besar dilakukan di balik layar.181 Bahkan Rizal mengakui bahwa di Jakarta, Bank Dunia pada umumnya berhubungan dengan kelompok Widjojo.182 Sebagaimana Widjojo, karena kendala politis, staf Bank Dunia tidak dapat mendesak pemerintah secara terbuka. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), sebagai benteng kelompok Widjojo pada saat itu, adalah lembaga yang diakui oleh Rizal Mallarangeng memiliki hubungan kerja paling erat dengan Bank Dunia.183 Ketika krisis melanda Indonesia pada tahun 1997, IMF tidak lagi memainkan peranan liberalisasi perekonomian Indonesia di balik layar. Institusi ini secara langsung melakukan perubahan arah kebijakan yang berlandaskan pada neoliberalisme. Kedekatan Widjojo dengan institusi finansial neoliberal internasional tersebut terbukti dalam proses masuknya Indonesia ke dalam program IMF, di mana ia bersama Ali Wardhana merupakan orang yang pertama kali mengajukan permintaan kepada Soeharto untuk menerima bantuan IMF dalam mengatasi krisis
180 181 182 183 178 179
Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 147. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 147. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 147. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 147. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 147. Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 147.
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
191
ekonomi yang tengah berlangsung. Bahkan pada tanggal 9 Oktober 1997, Widjojo Nitisastro sebagai ekonom pro neoliberalisme IMF diangkat oleh lembaga tersebut sebagai penasihat presiden Soeharto.185 Dalam posisi ini, Widjojo semakin mudah untuk melakukan lobby agar pemerintah mengimplementasikan kebijakan yang dikondisionalitaskan oleh IMF. Adalah Widjojo Nitisastro yang melakukan lobby secara intensif agar pemerintahan Soeharto mengeluarkan kebijakan kenaikan harga BBM, yang berujung pada jatuhnya pemerintahan Order Baru.186 Sementara itu, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, salah satu anggota komunitas epistemis liberal sebagaimana yang dinyatakan oleh Rizal Mallarangeng, menduduki posisi penting pada Kabinet Gotong Royong sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang bertugas melakukan koordinasi langkah perbaikan ekonomi Indonesia dengan IMF, Bank Dunia dan Consultative Group on Indonesia (CGI). Selama periode program IMF di Indonesia, kampanye intelektual liberal oleh komunitas epistemis liberal ini menjadi semakin massif dengan adanya penambahan anggota dan institusi yang menopangnya. Selama program IMF diluncurkan di Indonesia pada tahun 1997-2004, bermunculan anggota-anggota baru dari komunitas epistemis liberal ini. Salah satu tokoh dari komunitas epistemis liberal pada periode ini yang terkemuka adalah Sri Mulyani, yang meneruskan warisan intelektual Widjojo Nitisastro dan kelembagaan LPEM UI. Selain sebagai anak binaan kesayangan dari dedengkot pemikir ekonomi propasar Indonesia, Widjojo Nitisastro, Sri Mulyani juga memiliki kedekatan dengan IMF, di mana pada tahun 2002-2004 ia menjabat sebagai Direktur Pelaksana IMF mewakili 12 negara di Asia Tenggara.187 Bahkan Sri Mulyani per 30 Juni 2010 menduduki jabatan penting sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. Suatu posisi yang mustahil dapat diduduki oleh seseorang yang tidak memiliki keyakinan fundamental terhadap neoliberalisme dapat menduduki posisi penting dalam lembaga memperjuangkan paradigma tersebut.188 Dengan demikian dalam konteks pemikiran, Sri Mulyani memiliki kesepakatan terhadap kebijakan ekonomi yang propasar, sebagaimana para pendahulunya. Selain itu, IMF tidak dapat dipungkiri lagi merupakan institusi finansial internasional yang memperjuangkan implementasi neoliberalisme di tingkat internasional sebagai bagian dari Konsensus Washington. Tidak semua orang dapat menduduki posisi penting di dalam institusi finansial neoliberal tersebut, terkecuali mereka yang memiliki kesepahaman terhadap prinsip-prinsip neoliberal. Bahkan, Kwik Kian Gie, pada saat menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, menyatakan bahwa terdapat tekanan dari kekuatan internasional untuk memecat dirinya dari jabatan tersebut.189 Atas dasar persahabatan yang telah lama terjalin, Abdurrahman Wahid 184
Fadli Zon, The IMF Game: The Role of the IMF in Bringing Down the Soeharto Regime in May 1998 (Jakarta: Institute for Policy Studies, 2004), 36. 185 Fadli Zon, The IMF Game, 33. 186 Dodi Mantra, Hubungan RI-IMF, 164. 187 http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sri-mulyani-indrawati/index.shtml, diakses pada 14 September 2010, pukul 21.38 wib. 188 Dodi Mantra, Sri Mulyani dalam Telaah Bourdie, Kompas, 7 Mei 2010. 189 Kwik Kian Gie, Sri Mulyani Indrawati (SMI), Berkeley Mafia, Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), IMF dan World Bank (WB), diakses dari http://www.pokrol.com/sri-mulyaniindrawatismi-dan, 14 September 2010, 22.14. 184
192
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
menceritakan kepada Kwik Kian Gie, sambil mengatakan bahwa beliau telah mencapai kompromi dengan dibentuknya Dewan Ekonomi Nasional (DEN) di mana Emil Salim menjabat sebagai Ketua dan Sri Mulyani sebagai sekretarisnya.190 DEN memiliki hak untuk menghadiri setiap rapat koordinasi oleh Menko Ekuin, di mana lembaga ini tidak pernah ada sebelumnya. Kwik menilai DEN sebagai badan khusus yang diciptakan untuk menjaga, mengawasi dan memata-matai dirinya, supaya jangan neko-neko terhadap Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) dan kepentingan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF.191 Terkait dengan posisi Kwik Kian Gie yang dimasukkan oleh Rizal Mallarangeng sebagai salah satu bagian dari komunitas epistemis liberal Indonesia pada tahun 1980-an, terjadi suatu fenomena yang sangat kontradiktif jika kita menyimak sikap dan kebijakannya yang secara terang-terangan menentang kebijakan ekonomi propasar semasa program IMF dijalankan di Indonesia. Rizal memasukkan Kwik Kian Gie sebagai bagian dari komunitas epistemis liberal atas dasar tulisan panjang Kwik di harian Kompas, 30 Maret 1983, yang menurut Rizal sejalan dengan apa yang diinginkan oleh komunitas epistemis liberal.192 Melalui tulisan tersebut, Kwik menyerukan suatu peninjauan ulang terhadap kebijakan pemerintah, khususnya yang berhubungan dengan kebijakan Industrialisasi Substitusi Impor (ISI). Kwik menyampaikan pesan bahwa kebijakan industri harus diubah dengan menerapkan prinsip keunggulan komparatif dan melonggarkan berbagai peraturan impor. Sekilas memang tampak bahwa pada saat itu Kwik Kian Gie memiliki kesepahaman terhadap gagasan liberal dalam bentuk transformasi arah kebijakan ekonomi Indonesia menuju deregulasi dan propasar. Akan tetapi, adalah sesuatu yang terlalu dini melalui apa dilakukan Rizal Mallarangeng dalam memasukkan Kwik sebagai salah satu anggota komunitas epistemis liberal. Secara personal, Kwik tidak memiliki kedekatan dengan keseluruhan komunitas epistemis liberal di Indonesia, sebagaimana karakteristik dari keanggotaan dari komunitas ini. Bahkan selama ia berada dalam tubuh pemerintahan, sebagai Menko Ekuin, dan sampai saat ini, Kwik merupakan seorang penentang keras dan tegas terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal yang dijalankan oleh IMF beserta komunitas epistemis liberal di Indonesia. Lebih dari itu, Kwik Kian Gie juga secara terang-terangan mengkritik keberadaan komunitas epistemis liberal tersebut sebagai kelompok Mafia Berkeley atau organisasi tanpa bentuk (OTB) yang berperan besar terhadap kemunduran dan keterpurukan ekonomi Indonesia.193 Berakhirnya program IMF di Indonesia pada tahun 2004, tidak bermakna berakhirnya posisi dominan neoliberalisme sebagai visi landasan kebijakan ekonomi Indonesia. Justru bentuk kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia pasca berakhirnya program IMF, semakin menegaskan posisi hegemoni dari paradigma propasar tersebut. Meskipun setelah berakhirnya program ‘pemulihan ekonomi’, IMF tidak memainkan peranan langsung dalam mengarahkan kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia, fakta memperlihatkan bahwa dengan sendirinya kebijakan-kebijakan yang mencerminkan pilar-pilar neoliberalisme dalam wujud liberalisasi, privatisasi dan kebijakan fiskal ketat tersebut, direproduksi secara berkesinambungan 192 193 190 191
Kwik Kian Gie, Sri Mulyani Indrawati (SMI). Kwik Kian Gie, Sri Mulyani Indrawati (SMI). Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 147. Kwik Kian Gie, Sri Mulyani Indrawati (SMI).
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
193
oleh pemerintah Indonesia. Sebagai contoh, selama periode 2005-2008, berkalikali pemerintah Indonesia mengambil kebijakan menaikkan harga BBM, tarif dasar listrik, misalnya kenaikan harga BBM dua kali pada tahun 2005 dan satu kali pada 2008. Selain itu, juga terjadi privatisasi beberapa perusahaan negara, misalnya divestasi saham pemerintah di Bank Negara Indonesia (BNI) pada tahun 2007. Anggaran Belanja dan Penerimaan Negara (APBN) selama periode tersebut, juga memperlihatkan kuatnya dominasi kebijakan fiskal ketat dalam bentuk anggaran publik, khususnya bidang pendidikan dan kesehatan yang masih sangat rendah dan terbatas. Pemerintah Indonesia selama periode ini juga, dengan komitmen yang sangat kuat mengikatkan diri terhadap beberapa kesepakatan perdagangan bebas, seperti dengan Jepang (IJEPA), Australia-Selandia Baru (AANZFTA) dan China (ACFTA), sebagaimana yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Reproduksi kebijakan neoliberal tanpa adanya tekanan atau campur tangan langsung IMF ini mencerminkan neoliberalisme yang telah berada pada posisi dominan dan menjadi common sense dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia. Selain itu, kontinuitas dan reproduksi implementasi kebijakan ekonomi neoliberal di Indonesia ini juga disebabkan oleh faktor keberlangsungan kampanye intelektual yang dilakukan oleh komunitas epistemis liberal yang semakin luas dan canggih. Selain Sri Mulyani, komunitas epistemis liberal juga mengalami perluasan dengan munculnya ekonom-ekonom muda propasar dari LPEM UI, seperti Muhammad Chatib Basri dan Mohamad Ikhsan, ditambah lagi dengan semakin intensifnya kemunculan Rizal Mallarangeng dalam forum publik dan media massa melalui sebuah institusi baru yang merupakan bagian penting dari jaringan komunitas epistemis liberal Indonesia, yaitu Freedom Institute. Ketiganya secara gencar memanfaatkan forum publik untuk menyebarluaskan gagasan neoliberalisme dan secara terang-terangan mendukung kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah yang bernuansa neoliberal melalui berbagai kajian dan penelitian yang mereka lakukan. Kampanye intelektual secara massif dan terang-terangan dijalankan oleh komunitas epistemis liberal Indonesia untuk menyebarkan gagasan liberal dan menopang kebijakan ekonomi pemerintah yang berlandaskan pada gagasan ini. Mereka reproduksi apa dilakukan para pendahulu mereka di tahun 1980-an. Lagi-lagi, keberadaan mereka sebagai ahli, intelektual, ekonom professional yang memperoleh pendidikan dari berbagai universitas ‘terbaik’ dunia, memberikan mereka peluang besar untuk tampil pada forum publik dan media massa, menarik perhatian publik, menyuntikkan ‘kebenaran’ gagasan liberal dalam kesadaran kolektif dengan ditopang oleh kecanggihan analisis teoritis berbagai kajian ‘empiris’ yang mereka lakukan. Generasi baru komunitas epistemis liberal Indonesia ini memainkan kampanye intelektual secara massif untuk mendukung kebijakan kenaikan harga BBM yang diusung pemerintah pada tahun 2005. Persoalan harga BBM merupakan sebuah persoalan yang sensitif, tidak hanya dari sisi ekonomi, akan tetapi juga dari sisi politik dan sosial, sebagaimana sejarah negeri ini menyaksikan kejatuhan Orde Baru yang dipicu oleh kebijakan kenaikan harga BBM. Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM tersebut tak pelak lagi menuai protes dari berbagai kalangan masyarakat, khususnya terkait dengan kekhawatiran dampak tersebut terhadap kondisi perekonomian rakyat. Perlu dicatat bahwa menghapuskan subsidi dan meletakkan penentuan harga BBM berdasarkan mekanisme pasar merupakan salah satu prinsip utama neoliberalisme dan sebuah agenda penting dari komunitas epistemis liberal
194
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
di Indonesia. Bergulirnya rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM pada awal tahun 2005, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh anggota komunitas epistemis liberal yang telah berhasil memasuki tubuh pemerintahan khususnya di bidang ekonomi, seperti Sri Mulyani yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Bappenas dan Mari E. Pangestu yang menduduki posisi sebagai Menteri Perdagangan, serta seseorang yang memiliki kedekatan personal dengan salah satu anggota komunitas epistemis liberal, yaitu Aburizal Bakrie yang menjabat sebagai Menko Perekonomian. Tentu saja, sebagaimana jejak sejarah pola gerak komunitas epistemis liberal di Indonesia, keberadaan mereka di dalam tubuh pemerintahan tidaklah cukup untuk dapat mendapatkan konsensus luas atas kebijakan berbasis neoliberal yang mereka terapkan. Dibutuhkan dukungan kampanye dari luar pemerintah yang sangat penting untuk mencapai konsensus dalam kesadaran kolektif masyarakat. Pada titik inilah, kampanye komunitas epistemis liberal dimainkan dengan sangat efektif untuk menopang dan melegitimasi secara teoritis ilmiah kebijakan yang diterapkan pemerintah. Menjelang kenaikan harga BBM dan di tengah kontroversi rencana tersebut pada bulan-bulan pertama tahun 2005, strategi kampanye intelektual komunitas epistemis liberal di Indonesia dijalankan dengan sangat canggih. Pertamapertama, Mohamad Ikhsan, bersama-sama dengan M. Herman Sulistyo, Teguh Dartanto dan Usman, melakukan suatu kajian mengenai dampak dari kenaikan harga BBM, yang dipublikasikan melalui Working Paper LPEM UI No. 10 tahun 2005. Melalui artikel yang berjudul “Kajian Dampak Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan” ini, para anggota komunitas epistemis liberal tersebut, melakukan justifikasi, suatu pembenaran terhadap rencana kebijakan pemerintah Indonesia untuk menaikkan harga BBM tersebut. Mereka menyatakan bahwa penentuan harga energi di Indonesia tidak dilakukan melalui mekanisme pasar melainkan ditetapkan secara administrasi oleh pemerintah.194 Dari sini terlihat bagaimana keyakinan mereka yang sangat besar terhadap mekanisme dan peranan pasar dalam perekonomian. Di dalam kajian tersebut, mereka menjelaskan beberapa alasan mengenai mengapa harga BBM harus dinaikkan. Berlandaskan pada landasan teoritis yang canggih dengan ditopang oleh data statistik yang meyakinkan (sebagaimana karakteristik dan kemampuan intelektual yang dimiliki oleh komunitas epistemis liberal lazimnya), mereka menyatakan terdapat dua alasan yang melandasi kebijakan kenaikan harga BBM tersebut, yaitu alasan jangka pendek dan jangka panjang. Dalam alasan jangka pendek mereka menyatakan bahwa terdapat beberapa alasan yang sangat kuat untuk membenarkan kenaikan harga tersebut. Alasan jangka pendek pertama terletak pada perbedaan harga jual domestik dengan harga luar negeri yang sangat timpang akibat peningkatan harga minyak dunia.195 Disparitas harga domestik dengan harga internasional yang cukup mencolok ini, menurut mereka dapat menimbulkan dampak yang makin luas seperti penyelundupan dan lain sebagainya.196 Dalam alasan jangka pendek yang kedua, mereka menyatakan bahwa Mohamad Ikhsan, M. Herman Sulistyo, Teguh Dartanto dan Usman, “Kajian Dampak Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan,” Working Paper No. 10/2005 LPEM UI, 1. 195 Mohamad Ikhsan, M. Herman Sulistyo, Teguh Dartanto dan Usman, “Kajian Dampak Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan,” 5. 196 Mohamad Ikhsan, M. Herman Sulistyo, Teguh Dartanto dan Usman, “Kajian Dampak 194
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
195
perbedaan harga ini kemudian dapat menimbulkan pembengkakkan subsidi yang bermuara pada semakin meningkatnya defisit APBN.197 Berdasarkan kajian yang mereka lakukan, jika harga BBM tidak dinaikkan, subsidi dalam APBN 2005 dapat mengalami pembengkakan dari 0,7 persen menjadi 1,3 persen dengan tahun dasar 2000.198 Ketiga, mereka menyatakan bahwa penyesuaian harga BBM telah dilakukan oleh hamper semua negara di dunia termasuk negara-negara yang berpendapatan lebih rendah dari Indonesia, seperti India, Bangladesh atau negara-negara di Afrika.199 Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa harga BBM domestik yang terlalu rendah telah mendorong pertumbuhan tingkat konsumsi yang tinggi.200 Berikutnya, dalam alasan jangka pendek ini, mereka menjadikan persoalan keadilan sebagai dasar dari kebijakan tersebut. Hal ini dikarenakan, menurut mereka, subsidi BBM selama ini lebih banyak dinikmati oleh kelompok 40 persen teratas termasuk untuk minyak tanah sekalipun.201 Terakhir, mereka menyatakan bahwa penyesuaian harga BBM ini memungkinkan pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengalokasikan lebih banyak untuk program penanggulangan kemiskinan dan pembangunan pedesaan baik yang bersifat investasi jangka panjang (pendidikan dan kesehatan) maupun pengurangan biaya transaksi (infrastruktur pedesaan) dan pengurangan beban keluarga miskin dalam jangka pendek.202 Dalam alasan jangka panjang, mereka berpendapat bahwa kebijakan kenaikan harga BBM ini akan mengkoreksi kebijakan energi yang selama ini tidak rasional, sehingga penggunaan sumber energi yang lebih murah dan melimpah secara domestik akan meningkat serta dapat mendorong konsumsi energi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.203 Selain itu, dalam upaya pembenaran kebijakan ini mereka juga menggunakan metodologi penelitian yang canggih, yaitu mengintegrasikan hasil estimasi Model Computable General Equilibrium dalam bentuk Indonesian Comprehensive Energy-Economy Model (INDOCEEM) dengan metode dampak kemiskinan yang telah dikembangkan oleh LPEM UI.204 Dengan menggunakan metode yang canggih dengan data statistik yang diungkapkan, mereka sampai pada kesimpulan bahwa kenaikan harga BBM membawa dampak inflasi yang tidak begitu besar, yaitu sebesar 0,9782 persen. Dampak kenaikan harga BBM terhadap komoditas kebutuhan Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan,” 5. 197 Mohamad Ikhsan, M. Herman Sulistyo, Teguh Dartanto Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan,” 5. 198 Mohamad Ikhsan, M. Herman Sulistyo, Teguh Dartanto Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan,” 5. 199 Mohamad Ikhsan, M. Herman Sulistyo, Teguh Dartanto Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan,” 5. 200 Mohamad Ikhsan, M. Herman Sulistyo, Teguh Dartanto Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan,” 5. 201 Mohamad Ikhsan, M. Herman Sulistyo, Teguh Dartanto Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan,” 5. 202 Mohamad Ikhsan, M. Herman Sulistyo, Teguh Dartanto Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan,” 5. 203 Mohamad Ikhsan, M. Herman Sulistyo, Teguh Dartanto Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan,” 5. 204 Mohamad Ikhsan, M. Herman Sulistyo, Teguh Dartanto Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan,” 5.
dan Usman, “Kajian Dampak dan Usman, “Kajian Dampak dan Usman, “Kajian Dampak dan Usman, “Kajian Dampak dan Usman, “Kajian Dampak dan Usman, “Kajian Dampak dan Usman, “Kajian Dampak dan Usman, “Kajian Dampak
196
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
sehari-hari juga relatif kecil kurang dari 1 persen.205 Bahkan mereka menyimpulkan bahwa pengurangan subsidi dengan disertai kompensasi beras murah dan beasiswa pendidikan akan menurunkan angka kemiskinan secara drastis menjadi 13,65 persen atau turun sebesar 2,84 persen.206 Dengan berbekal pada kemampuan intelektual untuk memainkan analisis teoritis dengan model simulasi dan data statistik yang canggih, komunitas epistemis liberal dapat dengan mudah melakukan pembenaran terhadap kebijakan ekonomi pemerintah yang sejalan dengan gagasan mereka. Melalui berbagai kajian, mereka dapat meyakinkan dan memperoleh konsensus dalam tataran yang luas terhadap paradigma yang mereka anut. Namun kampanye tidak berhenti sampai di sini, kampanye intelektual komunitas epistemis liberal juga secara massif dijalankan melalui forum-forum publik dan media massa untuk menyebarkan dan mendapatkan konsensus luas atas pembenaran intelektual yang telah dilakukan atas kebijakan kenaikan harga BBM. Pada 26 Februari 2005, sebuah institusi, Freedom Institute yang didirikan oleh Rizal Mallarangeng dengan dukungan dana dari Aburizal Bakrie yang pada saat itu menjabat sebagai Menko Perekonomian, bersama-sama dengan 36 tokoh nasional, memasang iklan satu halaman penuh di harian Kompas, yang menyatakan dukungan terhadap kebijakan pengurangan subsidi BBM.207 Argumentasi utama yang digulirkan sebagai alasan dari dukungan mereka terhadap kenaikan harga BBM terletak pada persoalan subsidi yang salah sasaran.208 Dengan data kuantitatif, mereka menyebutkan di dalam iklan tersebut bahwa sepuluh persen penduduk terkaya menikmati subsidi BBM setiap tahun sebesar Rp. 393.000 per kepala, sementara 10 persen warga termiskin hanya menikmati Rp. 72.500.209 Kajian yang dilakukan oleh Mohamad Ikhsan dan kawan-kawan melalui Working Paper LPEM UI juga disebarkan melalui iklan ini, di mana mereka menampilkan grafik yang menunjukkan dampak pengurangan subsidi BBM dengan diiringi kompensasi yang justru mengurangi jumlah kaum miskin (menjadi 13,87 persen dari 16,25 persen).210 Tak pelak lagi, harga BBM pun mengalami kenaikan tepat pada 1 Maret 2005, setelah melalui kampanye massif intelektual neoliberal di Indonesia. Fenomena kenaikan harga BBM 2005 memberikan sebuah konfirmasi yang terang mengenai pendekatan Gramscian-Foucauldian yang dikembangkan oleh Richard Peet dalam Mohamad Ikhsan, M. Herman Sulistyo, Teguh Dartanto dan Usman, “Kajian Dampak Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan,” 26. 206 Mohamad Ikhsan, M. Herman Sulistyo, Teguh Dartanto dan Usman, “Kajian Dampak Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan,” 26. 207 Kompas, 26 Februari 2005, halaman 9. Adapun 36 tokoh yang mendukung kebijakan kenaikan harga BBM tersebut antara lain, Agus Sudibyo, Andi Mallarangeng, Anggito Abimanyu, Anton Gunawan, Ayu Utami, Bimo Nugroho, Dana Iswara, Dino Patti Djalal, Dodi Anbardi, Fikri Jufrie, Franz Magnis Suseno, Gunawan Muhammad, Hadi Soesastro, Hamid Basyaib, Ichsan Loulembah, Jeanette Sudjunadi, Jeffrie Geovanie, Lin Che Wei, Luthfi Assyaukenie, M Ikhsan, M Sadli, M. Chatib Basri, Mohammad S Hidayat, Nirwan Dewanto, Nong Darol Mahmada, , Nono Anwar Makarim, Raden Pardede, Rahman Tolleng, Rizal Mallarangeng, Rustam F Mandayun, Saiful Mujani, Sofyan Wanandi, Sugiarto Chandra, Thee Kian Wie, Todung Mulya Lubis, Ulil Abshar-Abdalla. 208 Kompas, 26 Februari 2005, halaman 9. 209 Kompas, 26 Februari 2005, halaman 9. 210 Kompas, 26 Februari 2005, halaman 9. 205
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
197
memahami formasi kebijakan ekonomi. Berdasarkan fenomena kenaikan harga BBM tersebut, semakin jelas bahwa memang kebijakan merupakan produk sosial dari suatu komunitas pakar atau ahli, yang bersepakat, lebih melalui persetujuan atau persuasi politik ketimbang berlandaskan pada dukungan faktual, untuk menyatakan suatu cara berpikir dan berbicara yang disebut sebagai ‘rasional’.211 Apa yang dilakukan oleh komunitas epistemis liberal melalui kampanye yang mereka lakukan merupakan suatu upaya untuk ‘membenarkan’ dan menyatakan bahwa kebijakan tersebut adalah ‘rasional’. Di sinilah kaum intelektual, para ahli atau pakar memainkan peranan dalam perjuangan hegemoni melalui dukungan teoritis terhadap kebijakan dan produksi pemahaman ekonomi dan politik yang ‘benar’. Sebagai hasilnya, suatu visi atau gagasan yang mereka yakini dapat tersebar dan tertanam melalui konsensus menjadi suatu visi atau gagasan bersama. Tertanamnya neoliberalisme sebagai suatu visi yang kuat dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia juga tidak dapat dilepaskan dari perjuangan hegemoni dalam wilayah yang ketiga. Dalam wilayah ini, perjuangan hegemoni ideologis neoliberal berjalan melalui strategi injeksi para tokoh intelektual neoliberal (bagian dari komunitas epistemis liberal) ke dalam tubuh pemerintahan. Jika pada tahun 1980-an, peranan intelektual liberal di dalam tubuh pemerintah yang terbatas dikarenakan konteks politik Orde Baru, pada masa pasca Reformasi, kelompok intelektual neoliberal justru memiliki ruang gerak yang luas untuk dapat menentukan arah kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia, yang tentu saja tetap ditopang oleh kampanye intelektual dari komunitas epistemis yang berada di luar, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Periode pasca Reformasi menyaksikan bagaimana tokoh-tokoh yang merupakan bagian dari komunitas epistemis liberal menduduki posisi kunci dalam kebijakan ekonomi pemerintah. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, yang dimasukkan oleh Rizal Mallarangeng sebagai anggota dari komunitas epistemis liberal, menduduki posisi sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada masa Kabinet Gotong Royong (2001-2004). Kemudian anak binaan kesayangan Widjojo Nitisastro, Sri Mulyani Indrawati, menjabat sebagai Kepala Bappenas pada Oktober 2004 sampai Desember 2005 dan Menteri Keuangan dalam Kabinet Indonesia Bersatu selama 2005-2009. Mari Elka Pangestu, mantan pemimpin CSIS, yang disebut oleh Rizal Mallarangeng sebagai wujud transformasi radikal pemikiran CSIS menuju gagasan propasar, menjabat sebagai Menteri Perdagangan selama satu periode penuh dalam Kabinet Indonesia Bersatu 2004-2009. Selain itu, muncul Boediono, salah seorang tokoh yang juga memiliki kesepahaman terhadap gagasan komunitas epistemis liberal, menduduki posisi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selama periode 2005-2009. Perlu dicatat juga bahwa Boediono merupakan salah satu anggota dari Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang dibentuk pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, yang menurut Kwik sebagai bagian dari kekuatan internasional untuk memata-matai dan mengawasi kinerjanya sebagai Menko Ekuin. Keberadaan para pemikir, tokoh intelektual liberal di dalam posisi-posisi kunci perekonomian Indonesia ini, menjadikan neoliberalisme semakin tertanam dalam formasi kebijakan ekonomi. Sehingga tidak heran, jika selama periode tersebut, kebijakan-kebijakan yang bernuansa neoliberal menjadi warna dominan dan di Richard Peet, Unholy Trinity, 24.
211
198
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
reproduksi dengan sendirinya secara berkesinambungan. Dengan masuknya pada intelektual liberal ini ke dalam tubuh pemerintahan, perjuangan hegemoni tidak hanya terjadi pada ranah masyarakat sipil, akan tetapi kekuatan sosial mendapatkan legalitas negara untuk menanamkan secara lebih mendalam visi neoliberal. Dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan neoliberal, mekanisme yang dilakukan tidak hanya melalui kampanye atau penyebaran gagasan oleh kelompok intelektual melalui institusi sipil, meskipun mekanisme ini tetap menjadi yang utama, akan tetapi, kekuatan yang memiliki daya paksa, koersif dan represif yang legal melalui apparatus negara juga diterapkan. Alhasil, tidak jarang kekuatan represif negara digunakan untuk menekan gerakan-gerakan kontra hegemoni yang menentang posisi istimewa neoliberalisme di Indonesia. Pemahaman terhadap perjuangan hegemoni ideologis neoliberalisme sangat penting dalam menjawab persoalan tidak berartinya langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia selama periode 2003-2008 dalam menghadapi terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Pertama, perjuangan hegemoni ideologis neoliberal selama periode tersebut telah berhasil meletakkan visi dari ideologi ini pada posisi yang dominan dan istimewa dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Dengan kata lain, selama periode tersebut, perjuangan hegemoni berlangsung dan telah berhasil dalam mencapai tujuannya, di mana neoliberalisme menjadi landasan dalam kebijakan ekonomi. Kebijakan dan komitmen kuat pemerintah Indonesia untuk mengintegrasikan diri ke dalam pilar ekonomi Masyarakat ASEAN yang dijalankan berlandaskan pada prinsip neoliberalisme, merupakan wujud pengejawantahan neoliberalisme dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan di dalam bagian sebelumnya, prinsip liberalisasi dalam berbagai aspek, perdagangan barang dan jasa, investasi dan tenaga kerja, menjadi kunci dari integrasi regional di kawasan Asia Tenggara ini. Lahirnya kebijakan dan komitmen kuat pemerintah Indonesia untuk meleburkan diri ke dalam kawasan perdagangan bebas ASEAN sebagai salah satu pilar dari Masyarakat Ekonomi ASEAN dengan demikian juga tidak dapat dilepaskan dari peranan para intelektual liberal yang selama periode tersebut telah menduduki posisi-posisi kunci dalam kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Agenda dan Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN digodok, direncanakan dan dikoordinasikan oleh suatu forum yang disebut sebagai ASEAN Economic Ministers Meeting (AEM), di mana di dalam terdapat High Level Task Force on ASEAN Economic Integration (HLTF-EI) dan Senior Economic Officials Meeting (SEOM). Percepatan perwujudan Masyarakat Ekonomi ASEAN melalui jalur liberalisasi merupakan produk rekomendasi yang lahir dari forum ini. Adalah Mari Elka Pangestu, seorang tokoh penting dari komunitas epistemis liberal Indonesia, yang menduduki posisi sebagai Menteri Perdagangan pada periode 2004-2009, yang menjadi pemimpin delegasi Indonesia dalam SEOM ASEAN. Selain itu, HLTF-EI juga terdiri dari delegasi yang berasal dari Kementerian Perdagangan yang ia pimpin , di mana HLTF inilah menghasilkan rekomendasi integrasi ekonomi regional yang berlandaskan pada liberalisme. Dengan demikian, Mari Pangestu beserta jajarannya di dalam Kementerian Perdagangan besar memainkan peranan besar dalam berbagai perundingan atau negosiasi terkait dengan agenda integrasi neoliberal di kawasan Asia Tenggara ini. Berdasarkan hal ini, agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN sejalan dengan gagasan dan visi dari komunitas epistemis liberal yang ada di Indonesia.
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
199
Kedua, liberalisasi perdagangan, yang juga merupakan bagian dari agenda deregulasi, tetap menjadi agenda penyebaran gagasan komunitas epistemis liberal dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia. Agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN yang bertumpu pada mekanisme pasar dan liberalisasi perdagangan, merupakan suatu agenda yang sejalan dan bahkan menjadi isu kampanye intelektual dari komunitas epistemis liberal di negeri ini. Komunitas epistemis liberal Indonesia memberikan dukungan yang sangat besar terhadap berbagai agenda liberalisasi perdagangan, termasuk juga Masyarakat Ekonomi ASEAN. Melalui berbagai forum-forum publik dan media massa, komunitas ini terus menggulirkan berbagai gagasan, kajian dan analisis yang ditopang secara teoritis mengenai pentingnya kebijakan liberalisasi perdagangan untuk diterapkan di Indonesia. Duo LPEM UI dan Freedom Institute merupakan institusi yang memainkan peranan besar dalam kampanye intelektual terhadap agenda liberalisasi perdagangan di Indonesia. Dengan sangat intensif, kedua lembaga yang merupakan bagian penting dari jaringan komunitas epistemis liberal Indonesia ini, berkolaborasi untuk mengkampanyekan secara massif gagasan liberalisme, dalam wujud perdagangan atau pasar bebas. Secara silih berganti dan tidak jarang juga bersama-sama, Rizal Mallarangeng (Freedom Institute), Mohammad Ikhsan, M.Chatib Basri, Arianto Patunru serta beberapa peneliti LPEM UI lainnya, muncul di forum-forum diskusi publik dan media massa untuk menyebarkan keyakinan fundamental mereka terhadap mekanisme pasar bebas. Dalam sebuah diskusi, misalnya Rizal Mallarangeng dan Arianto Patunru menyatakan keyakinan mereka bahwa proses globalisasi (yang menurut Stiglitz dijalankan berdasarkan aturan main neoliberalisme dan tidak adil) merupakan proses yang tidak bisa ditolak.212 Mereka secara frontal mengkritik pada penentang globalisasi dan pendukung proteksi yang menurut mereka terlalu dikuasai oleh semangat nasionalisme yang sempit.213 Dengan demikian, berdasarkan pada kedua penjelasan di atas, perlu digarisbawahi bahwa neoliberalisme telah berada pada posisi yang dominan dalam formasi kebijakan Indonesia sebagai buah dari gerakan komunitas epistemis liberal baik dari dalam ataupun dari luar tubuh pemerintahan. Agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 merupakan salah satu produk dari kampanye komunitas ini yang benar-benar memiliki keyakinan fundamental terhadap prinsip pasar bebas. Dalam kondisi ini, memasuki penjelasan yang ketiga, secara praktis neoliberalisme menjadi panduan dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia dalam langkah-langkah menghadapi agenda integrasi ekonomi regional tersebut. Sementara itu, untuk mengatasi persoalan yang terkait dengan ketidaksiapan Indonesia menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN, sangat dibutuhkan peranan pemerintah yang kuat dalam rangka mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara-negara ASEAN lainnya. Misalnya, untuk meningkatkan daya saing dan kinerja industri manufaktur, peranan pemerintah yang besar dalam bentuk insentif, dukungan modal, infrastruktur, pasokan energi yang memadai dan terjangkau merupakan faktor kunci. Termasuk di dalamnya perlindungan atas akses pasar domestik dari serbuan produk asing yang memiliki daya saing lebih tinggi. Begitu juga halnya dengan pening Kebijakan Kompetisi dan Ekonomi Pasar di Indonesia, http://www.kedai-kebebasan. org/special/article.php?id=105, diakses pada 15 September 2010, pukul 22.07. 213 Kebijakan Kompetisi dan Ekonomi Pasar di Indonesia, http://www.kedai-kebebasan. org/special/article.php?id=105, diakses pada 15 September 2010, pukul 22.07. 212
200
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
katan kualitas sumber daya manusia, sangat diperlukan komitmen pemerintah untuk menyediakan barang-barang publik dalam bentuk pendidikan dan kesehatan melalui alokasi anggaran yang memadai. Namun demikian, langkah-langkah yang meletakkan pentingnya peranan pemerintah tersebut tidak akan menjelma menjadi kebijakan yang nyata dan maksmimal di tengah kondisi formasi kebijakan yang didominasi oleh neoliberalisme. Langkah-langkah persiapan yang dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan tersebut, sangat bertentangan dengan prinsip neoliberalisme yang justru bertujuan untuk meminimalisir peranan pemerintah dari perekonomian. Kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan kualitas dan daya saing tersebut, hanya akan dipandang sebagai wujud proteksi yang merupakan buah dari pandangan nasionalisme sempit dalam kacamata komunitas epistemis liberal yang mendominasi formasi kebijakan ekonomi di negeri ini. Kebijakan industrialisasi untuk meningkatkan kualitas dan daya saing industri nasional tidak membutuhkan dukungan dan perlindungan dari pemerintah yang bertentangan dengan keyakinan fundamental komunitas epistemis liberal mengenai manfaat dari pasar bebas. Tuntutan kepada pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui anggaran publik yang besar di bidang pendidikan dan kesehatan, tentu saja akan bertentangan dengan prinsip kebijakan fiskal ketat neoliberalisme yang menginginkan negara menyingkirkan campur tangannya dari perekonomian. Tidak berartinya langkah pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan perekonomian menuju agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, dengan demikian, tidak dapat dilepaskan dari posisi hegemonik ideologi neoliberalisme yang telah dengan kuat tertanam dalam formasi kebijakan di negeri ini. Hegemoni ideologis neoliberalisme di Indonesia, sebagai penjelasan keempat, tidak hanya membatasi pilihan-pilihan kebijakan yang dapat ditempuh pemerintah sebagai langkah mempersiapkan diri menuju agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Hegemoni ideologi ini juga telah menjelma menjadi kesadaran kolektif pemerintah sebagai suatu wujud kebijakan yang ‘rasional’ untuk diimplementasikan, yang tidak dapat terwujud tanpa ada peranan komunitas epistemis liberal yang berada di dalam dan di luar tubuh pemerintah. Perjuangan hegemoni yang dilakukan oleh komunitas epistemis ini telah berhasil menginternalisasikan neoliberalisme sebagai apa yang disebut Gramsci, Common Sense, suatu pandangan dunia, suatu keyakinan fundamental, sesuatu yang memang wajar dan rasional sehingga harus diterapkan. Hegemoni telah menciptakan keyakinan fundamental tentang manfaat besar dari liberalisasi perdagangan dan mekanisme pasar bebas., yang bermuara pada sikap optimisme di berbagai kalangan, tidak hanya pemerintah tetapi juga intelektual dan pelaku ekonomi, terhadap kemampuan ekonomi Indonesia dan manfaat ‘pasti’ dari agenda integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berlandaskan pada neoliberalisme. Optimisme ini tercermin dengan sangat jelas dari beberapa pernyataan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu terkait dengan posisi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pada tahun 2007, misalnya ia menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan potensi terbesar dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari pelaksanaan Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN (Blueprint-ASEAN Economic Community).214 Memperdag: Indonesia Dapat Manfaat Besar dari Blueprint AEC, http://www.depkominfo.go.id/berita/berita-utama-berita/menperdag-indonesia-dapat-manfaat-besar-dariblueprint-aec/, diakses pada 15 September 2010, pukul 22.47. 214
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
201
Bahkan dalam kesempatan yang sama, terlihat dengan sangat jelas dari pernyataannya, bahwa Indonesia siap dan bahkan bisa lebih cepat dari target yang ditentukan menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN.215 Optimisme ini selalu tercermin dari pernyataan Mari Pangestu sebagai tokoh yang sangat berperan besar dalam agenda integrasi Indonesia ke dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dalam sebuah wawancara dengan wartawan Kompas pada 21 Juli 2010, pernyataan optimis dilontarkan oleh Mari Pangestu sebagai Menteri Perdagangan Republik Indonesia ketika ditanya persoalan target perwujudan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang tinggal lima tahun lagi.216 Keyakinan serupa juga muncul dari pernyataan Boediono semasa ia menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, di dalam sambutan sebuah buku yang disusun oleh Tim Bank Indonesia mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN.217 Di dalam sambutannya, Boediono mengharapkan bahwa buku yang disusun oleh Tim Bank Indonesia ini dapat memberikan pemahaman utuh tentang manfaat integrasi ekonomi bagi Indonesia.218 Hal ini amat penting, lanjut Boediono, agar kita yakin bahwa manfaat ekonomi yang akan diperoleh dari proses tersebut (proses integrasi menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN) lebih besar dibandingkan dengan biaya atau risiko yang mungkin dihadapi apabila kita tidak ikut serta dalam proses integrasi.219 Perlu dipahami bahwa kebijakan pemerintah Indonesia untuk meleburkan diri ke dalam agenda integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN, bukanlah merupakan suatu kebijakan yang kontroversial dan menuai banyak penentangan dari dalam negeri. Hal ini disebabkan oleh neoliberalisme yang telah berada pada posisi dominan dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia dan juga sebagai buah perguliran sikap optimisme dan kepercayaan diri yang digulirkan oleh komunitas epistemis liberal yang menduduki posisi kunci dalam pemerintah. Dalam kondisi ini, kampanye intelektual komunitas epistemis liberal untuk mendukung kebijakan integrasi ekonomi regional oleh pemerintah ini tidak berjalan begitu massif sebagaimana dalam kasus kenaikan harga BBM. Akan tetapi, kampanye intelektual untuk menciptakan konsensus mengenai manfaat liberalisasi perdagangan dan deregulasi secara berkesinambungan dilakukan oleh komunitas epistemis liberal ini. Sikap optimisme dan keyakinan kuat akan kemampuan Indonesia dalam mengambil manfaat dari Masyarakat Ekonomi ASEAN inilah yang berpengaruh terhadap tidak berartinya langkah pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi agenda integrasi tersebut. Komitmen untuk melalukan langkahlangkah persiapan yang maksimal akan menjadi kabur ketika telah muncul sikap optimis bahwa manfaat terbesar pasti akan didapatkan Indonesia dari proses integrasi ekonomi ini. Dalam kondisi sikap yang optimis ini, justru upaya persiapan Mendag: RI Lebih Siap Laksanakan “ASEAN Economic Community”, http://www.antaranews.com/view/?i=1195488409&c=EKB&s=, diakses pada 15 September 2010, pukul 22.49. 216 Mari Elka Pangestu, wawancara oleh Myrna Ratna dan Elly Roosita, Kompas, 1 Agustus 2010. 217 Prof. Dr. Boediono, “Sambutan Gubernur Bank Indonesia,” dalam Sjamsul Arifin, Rizal A. Djaafara & Aida S. Budiman (eds.), Masyarakat Ekonomi ASEAN: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global (Jakarta: Tim Biro Hubungan dan Studi Internasional Bank Indonesia & PT. Elex Media Komputindo, 2008), v-vi. 218 Prof. Dr. Boediono, “Sambutan Gubernur Bank Indonesia,” vi. 219 Prof. Dr. Boediono, “Sambutan Gubernur Bank Indonesia,” vi. 215
202
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
yang dilakukan pemerintah, khususnya berdasarkan pernyataan Mari Pangestu mengenai integrasi ekonomi ASEAN ini, bukan terletak pada langkah mempersiapkan kondisi ekonomi Indonesia secara riil untuk mengantisipasi dampak negatif dan mampu bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Penekanan lebih diarahkan kepada persiapan teknis Indonesia dalam jangka waktu yang tersedia untuk dapat melakukan penyesuaian kebijakan menuju liberalisasi yang lebih dalam. Ketika Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, ditanya oleh wartawan Kompas mengenai perbaikan apa saja yang dilakukan setelah dua tahun ia menandatangani cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2008, penjelasan yang diberikan justru terkait dengan persoalan teknis yang menjadi landasan bagi berhasilnya proses liberalisasi dan deregulasi. Mari Pangestu menjelaskan bahwa Indonesia harus memiliki national single window (kebijakan satu pintu),220 yang menjadi penopang (supporting) dari keberhasilan liberalisasi perdagangan. Dalam konteks teknis ini, ia menjelaskan keberhasilan dari sisi dokumen, di mana telah cukup terintegrasi dan diharapkan sudah online pada akhir tahun 2010.221 Dengan demikian, langkah perbaikan yang dilakukan bukanlah perbaikan substantif mengenai perbaikan kondisi ekonomi riil dalam bentuk mendorong kinerja dan daya saing industri manufaktur yang lebih baik, peningkatan kualitas sumber daya manusia atau peningkatan ketrampilan dan kualitas tenaga kerja, akan tetapi perbaikan persoalan teknis yang menjadi penopang dan menentukan keberhasilan proses liberalisasi, bukan penopang bagi keberhasilan Indonesia untuk bersaing dan mengambil manfaat maksimal dari proses integrasi tersebut. Di dalam penjelasan terkait dengan pernyataan langkah perbaikan tersebut, Mari Pangestu lebih banyak menjelaskan langkah-langkah perbaikan teknis, hanya dalam satu kalimat ia menyinggung persoalan belum baiknya kondisi infrastruktur.222 Senada dengan Mari Pangestu, penekanan Boediono dalam pernyataannya selaku Gubernur Bank Indonesia, juga menekankan pada persoalan teknis dalam konteks kesiapan Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Menurutnya, evaluasi yang penting dilakukan adalah mengenai sejauh mana kesiapan Indonesia memenuhi persyaratan menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, mulai dari tahapan perdagangan bebas, customs union hingga akhirnya common market.223 Penting untuk digarisbawahi, bahwa kesiapan yang dinyatakan oleh Boediono ini terkait dengan bagaimana Indonesia memenuhi persyaratan yang bersifat teknis dalam suatu tahapan integrasi ekonomi yang berbasis neoliberalisme, bukan kesiapan substantif perekonomian Indonesia secara riil yang menentukan mampu atau tidak Indonesia mengambil manfaat besar dari integrasi tersebut. Dengan demikian, persoalan tidak berartinya langkah pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan diri menuju agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN sangat terkait dengan eksistensi neoliberalisme yang telah berada pada posisi dominan dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Dalam posisi ini, neo Mari Elka Pangestu, wawancara oleh Myrna Ratna dan Elly Roosita, Kompas, 1 Agustus 2010. 221 Mari Elka Pangestu, wawancara oleh Myrna Ratna dan Elly Roosita, Kompas, 1 Agustus 2010. 222 Mari Elka Pangestu, wawancara oleh Myrna Ratna dan Elly Roosita, Kompas, 1 Agustus 2010. 223 Prof. Dr. Boediono, “Sambutan Gubernur Bank Indonesia,” vi. 220
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
203
liberalisme menjadi panduan atau landasan bagi kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih menekankan kepada mekanisme pasar bebas dan peran minimal pemerintah. Sementara itu, langkah persiapan yang berarti bagi perekonomian Indonesia sangat bergantung pada adanya peranan dan komitmen yang kuat dari pemerintah. Agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN sendiri merupakan produk dari pemikiran neoliberalisme dalam ekonomi, yang secara internal bergulir dan disepakati tidak terlepas dari adanya peranan besar komunitas epistemis liberal yang memiliki pemikiran sejalan dengan agenda ini. Dalam suatu sikap yang optimis sebagai buah dari keyakinan fundamental terhadap neoliberalisme, langkah-langkah persiapan ekonomi Indonesia dijalankan dalam proses integrasi ekonomi kawasan Asia Tenggara. Alhasil, langkah-langkah persiapan atau perbaikan yang dilakukan, bukanlah suatu langkah yang substantif dan berarti dalam memperbaiki kinerja dan daya saing perekonomian Indonesia. Langkah-langkah yang ditempuh lebih kepada perbaikan-perbaikan teknis yang menjadi prasyarat bagi keberhasilan integrasi ekonomi berbasis neoliberal di tingkat kawasan, bukan langkah untuk memastikan bahwa Indonesia dapat bertahan dan tidak menjadi bagian dari negara yang kalah bersaing di dalam proses integrasi tersebut.
Praktik Diskursif Neoliberalisme dan Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN Perjuangan hegemoni dan praktik diskursus neoliberalisme di Indonesia berjalan dalam suatu proses yang unik. Secara konseptual, perjuangan hegemoni, sebagaimana yang dijelaskan oleh Antonio Gramsci, tidak dapat dilepaskan dari peranan penting kelompok intelektual atau kelompok para ahli dalam ranah masyarakat sipil, melalui institusi sipil berupaya untuk menanamkan suatu visi dalam suatu mekanisme yang bersifat konsensual. Dengan demikian, secara praktis, perjuangan hegemoni berjalan di dalam ranah masyarakat sipil (civil society) bukan melalui kekuatan atau daya paksa yang dimiliki oleh aparatus negara di dalam ranah politik (political society). Begitu juga halnya dalam praktik diskursif yang dijelaskan oleh Michel Foucault, kelompok intelektual yang terdiri dari individu-individu yang memiliki modal enunsiatif memainkan peranan yang sangat penting di dalam prosesnya. Perjuangan dan praktik yang berjalan di dalam ranah sipil dan oleh institusi sipil inilah yang kemudian menginformasikan nilai-nilai, gagasan, keyakinan dan visi dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah. Suatu fenomena menarik terjadi jika kita mengamati proses perjuangan hegemoni dan praktik diskursif neoliberalisme di Indonesia. Pada tahapan awal, benar apa yang dinyatakan oleh Gramsci dan Foucault bahwa memang kelompok-kelompok intelektual sipil, yaitu individu yang memiliki modal enunsiatif berperan penting dalam menyebarkan gagasan secara luas sehingga menjadi keyakinan dalam masyarakat dan dalam formasi kebijakan ekonomi. Ranah hegemoni dan praktik diskursif pada awalnya berjalan dalam ranah sipil. Dalam tataran ini, para intelektual atau pakar ekonomi tersebut memainkan pengaruh dari luar tubuh pemerintah atas kebijakan ekonomi. Dalam sejarahnya, memang ada beberapa anggota dari kelompok yang disebut sebagai komunitas epistemis liberal ini yang masuk ke dalam tubuh pemerintahan dan mempengaruhi proses pengambilan kebijakan ekonomi di Indonesia. Akan tetapi, mereka tidak secara langsung menduduki posisi
204
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
kunci dalam pengambilan kebijakan, sebagaimana keberadaan kelompok Widjojo Nitisastro pada masa Orde Baru. Seiring dengan semakin kuatnya hegemoni dan diskursus neoliberalisme di Indonesia, para ahli atau kelompok intelektual yang merupakan bagian dari komunitas epistemis liberal ini, berhasil menduduki posisiposisi kunci dalam pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah. Pada awalnya, kelompok intelektual atau para pakar ekonomi ini menggulirkan pernyataan-pernyataan secara teratur mengenai pentingnya mekanisme pasar dan liberalisasi di luar tubuh pemerintahan. Namun dalam perjalanan perjuangan hegemoni dan praktik diskursif yang semakin berhasil menanamkan visi neoliberal, kekuatan praktik diskursif dalam makna “berbicara adalah berbuat” semakin mewujud di dalam kebijakan ekonomi pemerintah yang juga merupakan bagian dari praktik diskursif itu sendiri. Dalam konteks ini, dengan masuknya para intelektual anggota komunitas epistemis liberal ke dalam tubuh pemerintahan, pernyataanpernyataan diskursif yang mereka gulirkan dengan demikian juga memiliki makna kebijakan. Dalam kondisi ini, perjuangan komunitas epistemis liberal tidak sesulit pada masa sebelumnya, di mana melalui ranah sipil praktik diskursif dijalankan untuk mempengaruhi kebijakan. Pada titik inilah proses yang unik terjadi dalam perjuangan hegemoni dan praktik diskursif di Indonesia. Dalam memahami langkah-langkah pemerintah Indonesia untuk dalam mempersiapkan diri menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, neoliberalisme berada pada posisi sebagai keyakinan yang menjadi landasan aturan tidak tertulis dari para ahli ekonomi yang meyakininya. Pernyataan-pernyataan yang muncul kemudian berada di dalam keteraturan formasi diskursif disiplin ekonomi di mana neoliberalisme berada dalam posisi yang istimewa dan unggul. Pernyataan-pernyataan tersebut merupakan pernyataan atau ucapan yang memiliki makna dan pengaruh, khususnya terhadap kebijakan. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan yang lahir dalam formasi diskursif juga merupakan wujud dari praktik diskursif yang semakin memperkuat diskursus neoliberalisme. Diskursus yang merupakan pernyataan-pernyatan ini lahir di dalam suatu sistem aturan dan norma yang tidak tertulis. Pernyatan-pernyataan tersebut, sebagai suatu bentuk praktik diskursif juga merupakan praktik tersendiri, di mana Foucault menyatakan praktik diskursif sebagai “berbicara adalah berbuat”. Sebagai hasilnya, terciptalah suatu demarkasi atau batasan-batasan bagi obyek di dalam formasi diskursif tersebut, sejalan dengan aturan yang berlaku. Obyek-obyek yang dibatasi di dalam formasi diskursif tersebut, tidaklah ada dengan sendirinya, melainkan sebagai hasil dari konstruksi yang berjalan melalui praktik diskursif tersebut. Praktik diskursif neoliberalisme di dalam formasi diskursif ekonomi di Indonesia telah menciptakan suatu demarkasi kebijakan yang terbatas sesuai dengan asumsi dari neoliberalisme. Praktik diskursif yang dicirikan oleh demarkasi ranah obyek ini, menurut Foucault juga memiliki makna sebagai suatu perspektif yang absah bagi suatu obyek pengetahuan, dengan menentukan atau menetapkan norma untuk mengelaborasi konsep dan teori.224 Dengan demikian, dalam kondisi ini, demarkasi neoliberal dalam formasi diskursif ekonomi membentuk suatu batasan elaborasi konseptual dan teoritis yang menjadi landasan dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Melalui praktik diskursif ini, neoliberalisme telah menjadi suatu perspektif yang absah dalam di Clare O’Farrell, Michel Foucault, 80.
224
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
205
siplin ekonomi dan menjadi landasan bagi elaborasi konseptual dan teoritis yang pada gilirannya melandasi pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Praktik diskursif tidak dapat dilepaskan dari peran para ahli atau kelompok intelektual yang terdiri dari individu-individu yang memiliki modalitas enunsiatif di dalam suatu jejaring institusional yang kompleks. Modalitas enunsiatif ini terkait dengan posisi atau status individu, terutama dalam wujud status kepakaran atau kekhususan individu dalam suatu formasi diskursif atau disiplin ilmu pengetahuan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, terdapat tiga poin penting dalam memahami modalitas enunsiatif yang dimiliki individu untuk dapat secara efektif menjalankan praktik diskursif. Pertama-tama, posisi atau status kepakaran atau keahlian individu tersebut tidak lahir dengan sendirinya, melainkan tercipta melalui formasi diskursif. Di dalam formasi diskursif, terdapat suatu norma yang dapat ‘menjadikan’ subyek memiliki status kepakaran. Kedua, status kepakaran tersebut juga dapat dimiliki individu melalui legitimasi yang berasal dari suatu institusi. Ketiga, modalitas enunsiatif ini juga mencakup posisi yang dimiliki oleh subyek terkait dengan wilayah pengetahuan yang spesifik.225 Tanpa adanya modalitas enunsiatif yang menopang status atau posisi kepakaran dari subyek, maka praktik diskursif tidak akan berjalan secara efektif. Analisis mengenai praktik diskursif neoliberalisme dalam menjelaskan langkahlangkah tidak berarti pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan diri menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN, akan difokuskan pada tiga subyek yang memiliki modalitas enunsiatif dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia. Ketiga subyek tersebut, di antara adalah Mari Elka Pangestu, Boediono dan Sri Mulyani. Ketiganya memiliki posisi atau status kepakaran atau ahli dalam formasi diskursif ekonomi. Pertama, mereka memiliki status kepakaran yang lahir dari suatu formasi diskursif ekonomi dengan neoliberalisme sebagai perspektif yang dominan. Disiplin ilmu pengetahuan ekonomi merupakan suatu formasi diskursif yang memberikan mereka status kepakaran dalam menjalankan praktik diskursif. Ketiganya telah menamatkan pendidikan sampai pada jenjang yang tertinggi dalam formasi diskursif ekonomi dari beberapa universitas ‘terkemuka’ dan ‘terbaik’ di dunia. Dalam sebuah kondisi pengetahuan yang tidak bebas dari nilai dan kepentingan serta bersifat Western-Centric, keberhasilan mereka dalam memperoleh gelar doktor dari institusi pendidikan terkemuka di dunia tersebut menjadi landasan bagi terciptanya posisi atau status kepakaran mereka tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga pada level internasional. Kedua, status pakar atau posisi ahli yang mereka miliki, selain dengan sendirinya terlegitimasi dengan status lulusan dari universitas terkemuka di dunia, juga mendapatkan legitimasi dari institusi dalam negeri. Mari Elka Pangestu pernah menjabat sebagai Direktur Eksekutif Centre for Strategig and International Studies (CSIS) sebuah pusat studi yang ternama dan memiliki pengaruh di Indonesia. Sementara itu, Sri Mulyani merupakan dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan pernah menjadi Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI). Bahkan Boediono merupakan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Legitimasi institusional dari lembaga pendidikan dan penelitian yang memiliki prestise dalam formasi diskursif ekonomi Indonesia ini menjadi landasan bagi status kepakaran Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, 60.
225
206
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
mereka untuk secara efektif menjalankan praktik diskursif yang mempengaruhi kebijakan ekonomi Indonesia. Bahkan reputasi Sri Mulyani sebagai ahli ekonomi juga telah mendapatkan pengakuan dari institusi internasional yang juga berada dalam formasi diskursif ekonomi yang didominasi neoliberalisme, yaitu IMF dan Bank Dunia. Legitimasi ini terwujud dalam bentuk dipercayakannya jabatan Direktur Eksekutif IMF mewakili 12 negara Asia Tenggara periode 2002-2004 dan per 30 Juni 2010, ia menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia dalam masa jabatan empat tahun. Ketiga, baik Mari Pangestu, Sri Mulyani dan Boediono memiliki keahlian dalam bidang pengetahuan spesifik. Mari Elka Pangestu merupakan ahli dalam bidang perdagangan, keuangan dan moneter, dengan gelar doktor yang ia peroleh University California at Davis, Amerika Serikat. Sementara Sri Mulyani memiliki spesialisasi dalam bidang keuangan, di mana gelar doktor ia dapatkan dari University of Illionis Urbana, Amerika Serikat. Beodiono juga mendapatkan gelar doktor dari sebuah universitas terkemuka di Amerika Serikat, yaitu Wharton School University of Pennsylvania, dengan spesialisasi di bidang ekonomi bisnis dan mikro. Berlandaskan pada modalitas enunsiatif yang sangat kuat ini, ketiganya dapat dengan efektif menjalankan praktik diskursif yang mempengaruhi kebijakan ekonomi Indonesia dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN selama periode 2003-2008. Praktik diskursif yang dijalankan oleh ketiga subyek yang memiliki reputasi kepakaran ini telah berhasil menjadikan neoliberalisme sebagai perspektif yang absah dan sebagai landasan bagi formasi kebijakan ekonomi Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Praktik diskursif dijalankan oleh ketiga subyek ini melalui dua tahap. Tahap pertama melalui guliran-guliran diskursus neoliberalisme dalam bentuk deregulasi, liberalisasi, mekanisme pasar bebas, privatisasi dan lain sebagainya, dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang mereka keluarkan atas dasar status atau reputasi kepakaran yang mereka miliki ketika mereka masih merupakan bagian dari komunitas epistemis liberal yang berada di luar tubuh pemerintahan. Dalam tahap yang kedua, praktik diskursif dijalankan dalam wujud pernyataan yang memiliki makna kebijakan neoliberal ketika mereka telah berhasil masuk ke dalam tubuh pemerintahan. Praktik diskursif yang mereka jalankan selama ini telah berhasil menjadikan neoliberalisme sebagai landasan demarkasi obyek-obyek kebijakan ekonomi, yang secara empiris tampak dalam bentuk diskursus pertumbuhan ekonomi, liberalisasi perdagangan, deregulasi, privatisasi, kebijakan fiskal ketat dan beberapa kebijakan yang mencerminkan prinsip neoliberal lainnya. Dalam kaitan dengan langkah-langkah atau kebijakan pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan diri menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang merupakan agenda integrasi ekonomi regional di mana prinsip-prinsip neoliberal tersebut dijadikan sebagai landasan, praktik diskursif dijalankan oleh ketiga subyek ini melalui pernyataanpernyataan yang mencerminkan keabsahan perspektif neoliberal. Ketiganya sangat menyuarakan pernyataan-pernyataan yang mengandung makna optimisme, kesiapan ekonomi dan manfaat besar dari agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berbasis pada neoliberalisme tersebut. Ketika neoliberalisme telah menjadi perspektif yang absah, maka elaborasi konseptual dan teoritis yang menjadi landasan dari kebijakan ekonomi didasarkan pada perspektif yang absah tersebut. Sehingga kemudian tidak heran jika selama periode 2003-2008, berbagai kebijakan neoliberal, yang bertentangan dengan prinsip peran negara untuk meningkatkan performa riil
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
207
dan daya saing perekonomian, menjadi warna dominan dari kebijakan pemerintah Indonesia dalam langkah persiapan menuju agenda integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pernyataan-pernyataan yang mencerminkan sikap optimis, pandangan mengenai kesiapan ekonomi dan manfaat besar dari agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN terhadap perekonomian Indonesia ini, tidak hanya mempengaruhi kebijakan. Akan tetapi, dalam pemahaman praktik diskursif, pernyataan-pernyataan tersebut memiliki makna sebagai kebijakan itu sendiri. Demarkasi neoliberalisme dalam formasi kebijakan ekonomi inilah yang menjelaskan mengapa selama periode 2003-2008 pemerintah Indonesia tidak memiliki langkah yang berarti dalam mempersiapkan ekonomi Indonesia menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Bagian ini berupaya untuk menganalisis pernyataan-pernyataan yang merupakan praktik diskursif neoliberalisme yang dijalankan oleh ketiga subyek dengan modalitas enunsiatif yang sangat memadai tersebut. Adalah Mari Elka Pangestu, yang dikelompokkan oleh Rizal Mallarangeng sebagai tokoh penting dari komunitas epistemis liberal di Indonesia, memainkan peranan besar dalam praktik diskursif formasi kebijakan ekonomi Indonesia menuju Masyarakat Ekononomi ASEAN. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Mari Pangestu merupakan subyek yang memiliki modalitas enunsiatif yang sangat memadai untuk dapat menjalankan praktik diskursif dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia. Sebelum masuk ke dalam posisi penting di dalam pemerintahan, Mari Pangestu menduduki jabatan sebagai Direktur Eksekutif CSIS, sebuah think tank yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan dan bahkan memainkan peranan besar dalam proses pengambilan kebijakan pada masa Orde Baru. Bahkan Rizal Mallarangeng mencermati keberadaan Mari Pangestu bersama dengan Hadi Soesastro sebagai wujud dari peralihan dan metamorphosis secara radikal di dalam CSIS dengan munculnya mereka sebagai tokoh pendukung kebijakan propasar yang terkemuka dan konsisten di Indonesia.226 Tidak hanya di tingkat nasional, reputasi Mari Pangestu sebagai ekonom handal juga diakui dunia. Secara akademis, sebagaimana dengan sebagian besar dari komunitas epistemis liberal lainnya, ia merupakan dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sebagian besar dari pendidikannya ia lalui di luar negeri. Ekonom propasar yang terkemuka di Indonesia ini menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sampai Master of Arts di Australia.227 Pada tahun 1980 ia meraih gelar MA dalam bidang Microeconomics, Macroeconomics, International Trade, Economic Development and Accounting dari Australian National University, Canberra, Australia. Enam tahun kemudian ia memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang International Trade, Finance & Monetary Economics dari University of California, Davis, Amerika Serikat. Atas berbagai prestasinya dalam formasi diskursif ilmu ekonomi ini, ia juga telah menerima penghargaan, yang semakin menguatkan reputasinya sebagai ekonom handal kelas dunia, di antaranya adalah penghargaan dari Australian National University Masters Scholarship (1979-1980), dari University of California Regents Fellow (1983-1984), dan dari Eisenhower Exchange Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, 136. Mari Elka Pangestu: Ekonom Indonesia Kelas Dunia, http://www.tokohindonesia.com/ ensiklopedi/m/mari-pangestu/index.shtml, diakses pada 18 September 2010, pukul 16.42 wib. 226 227
208
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Fellow, Individual National Program (1990).228 Sebagai bagian dari komunitas epistemis liberal di Indonesia, ia terlibat aktif dalam kampanye intelektual dalam menyebarkan gagasan-gagasan liberalisasi, deregulasi dan kebijakan-kebijakan propasar lainnya. Ia juga termasuk ekonom yang mendorong transformasi kebijakan ekonomi sentralistis Orde Baru ke arah implementasi deregulasi dan menekankan peranan pasar. Seiring dengan berjalannya program IMF dalam pemulihan ekonomi Indonesia pasca krisis, Mari Pangestu bersama-sama dengan komunitas epistemis liberal lainnya berhasil melakukan transformasi radikal kebijakan ekonomi Indonesia ke arah yang sangat liberal. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, asumsi-asumsi dasar neoliberalisme melandasi formasi kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia selama lebih dari satu dekade terakhir pasca Reformasi. Reputasinya sebagai ekonom terkemuka di bidang mikro dan makroekonomi serta perdagangan internasional, ditopang oleh jejaring komunitas epistemis liberal yang semakin kuat, menjadikan ia berhasil menduduki posisi sebagai Menteri Perdagangan pada Kabinet Indonesia Bersatu yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla periode 2004-2009. Sebagai seorang ekonom liberal yang memiliki keyakinan fundamental terhadap kebijakan propasar, posisinya sebagai Menteri Perdagangan ini semakin menjadikan prinsip neoliberalisme melekat di dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah. Prinsip neoliberal ini tercermin dari program-program yang ia canangkan selaku Menteri Perdagangan Republik Indonesia. Salah satu fokus utamanya adalah peningkatan ekspor. Ia mencermati empat permasalahan yang harus diselesaikan dalam rangka meningkatkan ekspor Indonesia, melalui strategi yang sangat mencerminkan prinsip neoliberalisme, yaitu penghapusan ekonomi biaya tinggi, menarik investasi, memperbaiki infrastruktur dan memperluas akses pasar ekspor.229 Dalam konteks menghapuskan ekonomi biaya tinggi, tercermin bagaimana komitmen Mari Pangestu terhadap prinsip deregulasi secara konsisten menjelma ke dalam kebijakan ekonomi pemerintah. Deregulasi merupakan strategi untuk menghapuskan ekonomi biaya tinggi atas dasar suatu keyakinan bahwa biaya tinggi terciptanya dikarenakan beragam ketentuanketentuan (regulasi) yang membuat ekspor menjadi tidak kompetitif sebagai imbas dari harga yang tidak dapat bersaing.230 Komitmen neoliberalisme yang menjelma menjadi kebijakan ekonomi ini juga tercermin dari makalah yang disampaikan oleh Mari Pangestu pada acara Debat Ekonomi ISEI 2004. Di dalam malakah tersebut Mari menyatakan bahwa untuk meningkatkan ekspor dan menyerap tenaga kerja, diperlukan strategi yang terpadu untuk menjaga kestabilan makro, memperbaiki prasarana, meningkatkan ketrampi-
Mari Elka Pangestu: Ekonom Indonesia Kelas Dunia, http://www.tokohindonesia.com/ ensiklopedi/m/mari-pangestu/index.shtml, diakses pada 18 September 2010, pukul 16.42 wib. 229 Mari Elka Pangestu: Ekonom Indonesia Kelas Dunia, http://www.tokohindonesia.com/ ensiklopedi/m/mari-pangestu/index.shtml, diakses pada 18 September 2010, pukul 16.42 wib. 230 Mari Elka Pangestu: Ekonom Indonesia Kelas Dunia, http://www.tokohindonesia.com/ ensiklopedi/m/mari-pangestu/index.shtml, diakses pada 18 September 2010, pukul 16.42 wib. 228
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
209
lan dan kapabilitas teknologi. Pandangan ekonomi propasar tercermin dalam pernyataan lanjutannya, bahwa “kebijakan proteksi sebaiknya dihindari, karena jika tidak diperhitungkan dampak keseluruhannya, hanya akan menguntungkan sektor dan pihak tertentu saja dan merugikan rakyat banyak, terutama yang tergolong dalam masyarakat berpendapatan rendah.”232 Prinsip dan kebijakan liberalisasi perdagangan dan integrasi ekonomi ke dalam cakupan regional dan dunia, dijadikan sebagai strategi untuk mencapai tujuan akhir penciptaan industri dan produsen yang dapat bersaing dan terintegrasi dengan dunia sebagai cara untuk mencapai pembangunan yang berbasis luas (broad-based economic development).233 Bahkan di dalam makalah tersebut, tampak dengan sangat jelas betapa ia berupaya untuk menciptakan konsensus dan strategi/visi yang disepakati sebagai landasan dari kebijakan.234 Tanpa adanya konsensus dan strategi/visi yang disepakati, menurut Mari Pangestu, kebijakan akan selalu ambivalen dan tidak terfokus.235 Pada titik ini terlihat bagaimana perjuangan hegemoni dijalankan melalui praktik diskursif untuk menciptakan suatu konsensus atau visi yang disepakati sebagai landasan bagi formasi kebijakan ekonomi. Jelas bahwa visi atau konsensus yang ditanamkan adalah visi dan konsensus liberal bagi kebijakan ekonomi. Ketika prinsip-prinsip liberal telah memperoleh konsensus dan menjadi visi yang disepakati, maka formasi kebijakan ekonomi yang berbasis pada visi tersebut akan dengan mudah diwujudkan tanpa adanya penentangan. Dengan sangat jelas, tercermin dari makalah Mari Pangestu, bahwa untuk mencapai konsensus ini, ia berupaya untuk ‘mengamankan’ pengaruh dari kelompok-kelompok yang beraneka ragam, yang menurutnya akan mendorong adanya proteksi, subsidi atau perlakuan preferensial.236 Dalam hal ini, menurut Mari diperlukan kepemimpinan yang kuat, konsensus mengenai visi dan tim executive yang kompak.237 Terdapat dua hal yang dibutuhkan menurutnya untuk mencapai hal tersebut. Pertama, suatu proses untuk mencapai kesepakatan visi dan pendekatan pada tingkat menteri-menteri sektoral. Hal ini bisa diperoleh dari proses perencanaan yang dilakukan oleh President’s Office atau suatu planning agency (revitalize Bappenas) dan dapat dipastikan komitmennya tidak bertentangan dengan rambu-rambu perjanjian perdagangan regional/multilateral.238 Kedua, suatu mekanisme untuk mempertahankan konsensus dan mengatasi perbedaan pendapat/ 231
Mari Elka Pangestu, Tantangan Membangkitkan Daya Saing Indonesia dan Sektor Riel, makalah dalam “Debat Ekonomi ISEI 2004” di Jakarta Convention Centre, 15-16 September 2004, 1. 232 Mari Elka Pangestu, Tantangan Membangkitkan Daya Saing Indonesia dan Sektor Riel, 1. 233 Mari Elka Pangestu, Tantangan Membangkitkan Daya Saing Indonesia dan Sektor Riel, 4. 234 Mari Elka Pangestu, Tantangan Membangkitkan Daya Saing Indonesia dan Sektor Riel, 4. 235 Mari Elka Pangestu, Tantangan Membangkitkan Daya Saing Indonesia dan Sektor Riel, 4. 236 Mari Elka Pangestu, Tantangan Membangkitkan Daya Saing Indonesia dan Sektor Riel, 4. 237 Mari Elka Pangestu, Tantangan Membangkitkan Daya Saing Indonesia dan Sektor Riel, 4. 238 Mari Elka Pangestu, Tantangan Membangkitkan Daya Saing Indonesia dan Sektor Riel, 4. 231
210
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
sengketa dalam menjalankan kebijakan perdagangan. Misalnya, untuk mempertimbangkan permohonan proteksi. Prosedur harus ada untuk menciptakan penilaian yang independen dan obyektif untuk melakukan evaluasi mengenai dampak kepada konsumen dan sektor lain, dan melakukan public hearing mengenai assessment tersebut. Suatu badan independen dapat dibentuk, atau berasal dari perluasan peningkatan kapasitas Tim Tarif yang ada pada saat itu, atau dapat juga dilakukan di Bappenas atau Kantor Menko.239 Berdasarkan pernyataan tersebut, terlihat jelas bahwa Mari Pangestu memandang pentingnya konsensus atau visi/strategi yang disepakati bagi kelancaran implementasi kebijakan-kebijakan liberal yang diyakini dapat memperbaiki kondisi perekonomian. Konsensus tersebut terutama harus terwujud di dalam tubuh pemerintah, sehingga lahir suatu legitimasi dalam bentuk prosedur-prosedur formal yang memiliki kekuatan dalam ‘mengamankan’ kebijakan-kebijakan tersebut dari berbagai penentangan yang muncul. Lebih lagi, ia kemudian menekankan pentingnya institusionalisasi konsensus atau visi tersebut melalui pembentukan dan perluasan lembaga-lembaga pemerintah atau lembaga-lembaga independen. Melalui mekanisme ini neoliberalisme dapat menjadi suatu konsensus dan melandasi visi/ strategi dalam kebijakan-kebijakan ekonomi. Komitmen neoliberal Mari Pangestu sebagai Menteri Perdagangan RI Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I juga tercermin dari strategi atau langkah yang ditempuh untuk mempertahankan daya saing produk Indonesia dalam perdagangan internasional. Dalam jangka pendek, menurutnya, yang dapat dilakukan adalah melakukan deregulasi tarif, dan mengurangi ekonomi biaya tinggi.240 Dalam konteks ini juga tercermin komitmennya terhadap agenda liberalisasi perdagangan multilateral WTO, di mana ia menyatakan bahwa deregulasi tarif dapat dilakukan melalui harmonisasi tarif untuk mencapai tingkat tarif tertentu white paper dan negosiasi WTO, serta memperbaiki prosedur untuk lisensi impor sebagaimana disarankan dalam white paper.241 Begitu juga dalam jangka menengah dan panjang, ia memandang bahwa kebijakan industri pada masa lalu mungkin tidak lagi tepat untuk diimplementasikan karena instrumennya sudah terbatas dengan adanya WTO (seperti subsidizsed credit, local content).242 Dengan demikian, berdasarkan kondisi ini, tercermin bahwa kebijakan perdagangan Indonesia dijalankan selaras dengan prinsip liberalisasi dan tentu saja harus sesuai dengan agenda liberalisasi multilateral institusi neoliberal WTO, selama Mari Pangestu menjabat sebagai Menteri Perdagangan Republik Indonesia. Mari Elka Pangestu merupakan tokoh yang memainkan peranan penting dalam proses integrasi ekonomi regional kawasan Asia Tenggara menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan sebuah agenda yang sejalan sekaligus sebagai pengejawantahan dari pemikiran Mari Elka Pangestu, Tantangan Membangkitkan Daya Saing Indonesia dan Sektor Riel, 4,5. 240 Mari Elka Pangestu, Tantangan Membangkitkan Daya Saing Indonesia dan Sektor Riel, 5. 241 Mari Elka Pangestu, Tantangan Membangkitkan Daya Saing Indonesia dan Sektor Riel, 5. 242 Mari Elka Pangestu, Tantangan Membangkitkan Daya Saing Indonesia dan Sektor Riel, 5. 239
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
211
yang mengedepankan prinsip liberalisasi perdagangan dan integrasi perekonomian ke dalam ekonomi regional dan global. Sebagai Menteri Perdagangan Republik Indonesia, periode 2004-2009 dan 2009-2014, Mari Elka Pangestu terlibat aktif mewakili Indonesia dalam ASEAN Economic Ministers Meeting (AEMM) sejak tahun 2005. Di dalam Struktur ASEAN, AEM berada pada posisi penting sebagai bagian utama dari ASEAN Sectoral Ministerial Bodies dalam ASEAN Economic Community. ASEAN Sectoral Ministerial Bodies merupakan ujung tombak implementasi kesepakatan dan keputusan di dalam bidang masing-masing yang dicapai ASEAN Summit yang berada pada posisi puncak pengambilan kebijakan dalam tubuh ASEAN.243 AEM, sebagai bagian utama dari ASEAN Sectoral Ministerial Bodies dalam pilar ASEAN Economic Community, membawahi High Level Task Force on ASEAN Economic Integration (HLTF-EI) dan Senior Economic Officials Meeting (SEOM).244 Sebagai wakil Indonesia di dalam AEM, dengan demikian, Mari Elka Pangestu merupakan person in charge yang secara intensif memainkan peranan penting dalam implementasi cetak biru di Indonesia menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Dalam posisinya sebagai Menteri Perdagangan secara domestik di Indonesia dan sebagai anggota dari AEM secara regional di ASEAN, Mari Elka Pangestu secara efektif menjalankan praktik diskursif neoliberalisme. Secara internal, praktik diskursif ini mewujud ke dalam pernyataan-pernyataan yang lahir dari demarkasi formasi diskursif neoliberalisme dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang mengandung makna optimisme, kesiapan dalam konteks teknis dan spesifik serta manfaat besar dari pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang kemudian pada gilirannya berpengaruh terhadap formasi kebijakan-kebijakan ekonomi sebagai langkah persiapan pemerintah Indonesia dalam menghadapi agenda integrasi tersebut. Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap pernyataan-pernyataan Mari Elka Pangestu sebagai Menteri Perdagangan Indonesia, yang tersebar di berbagai media elektronik (internet) dan media cetak terkait dengan agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN dari bulan Mei 2005 sampai dengan September 2010, pernyataan-pernyataan tersebut menjadi suatu guliran pernyataan yang membangun diskursus neoliberal dalam wujud optimisme, kesiapan teknis dan manfaat besar dari agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN dan agenda liberalisasi perdagangan dalam konteks yang lebih luas. Pertama, yang harus dipahami adalah bahwa pernyataan-pernyataan Mari Elka Pangestu terkait agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN yang mengandung optimisme merupakan suatu hal wajar sebagai sebuah praktik diskursif yang lahir dalam ranah formasi diskursif neoliberal di dalam disiplin ekonomi. Neoliberalisme membangun suatu demarkasi yang membentuk sikap dalam suatu batasan yang ‘optimis’ bukan pesimis terlebih lagi skeptis, sebagai reaksi terhadap agenda integrasi regional yang berlandaskan pada perspektif absah neoliberalisme tersebut. Dalam pemahaman konseptual diskursus, guliran pernyataan optimisme ini kemudian memiliki makna konstitutif dengan lahirnya komitmen kuat dari pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan demi tercapainya agenda neo Lihat Chapter IV ASEAN Charter, ASEAN Secretariat, The ASEAN Charter (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008), 10-14. 244 Lihat Lampiran I ASEAN Charter, ASEAN Secretariat, The ASEAN Charter (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008), 42-43. 243
212
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
liberal tersebut. Wujud pernyataan diskursif yang mengandung makna optimisme ini dapat dicermati dari beberapa aspek. Dalam aspek yang pertama, pernyataan optimisme terhadap agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN ini digulirkan dengan mengeksploitasi potensi pasar yang dimiliki oleh ASEAN. Dalam sebuah pernyataannya pada tahun 2006, Mari Pangestu menggarisbawahi pentingnya pasar ASEAN bagi perekonomian dunia dengan populasi 600 juta jiwa ditopang oleh daya beli yang meningkat.245 Ia kemudian juga menyatakan bahwa negara-negara ASEAN berkomitmen untuk memperkuat dan mempercepat pembentukan masyarakat ekonomi, sosial dan keamanan ASEAN sebelum 2020.246 Dalam aspek lain, pernyataan optimis Mari Pangestu terhadap agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN ini mencerminkan keyakinan fundamentalnya terhadap liberalisasi. Dapat kita cermati dari pernyataannya yang sangat antusias dalam menyikapi disepakatinya cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berlandaskan pada prinsip-prinsip neoliberal. Pada tahun 2007 ia menyatakan cetak biru ini merupakan suatu perubahan yang radikal, di mana ASEAN tidak pernah memiliki cetak biru sebelumnya.247 Bahkan dalam kesempatan lain di tahun yang sama, ia menyatakan bahwa cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN ini (yang mengandung langkah-langkah integrasi berbasis neoliberal), ikut mendorong reformasi Indonesia di dalam negeri248 (tentu saja dengan demikian, merupakan reformasi yang berbasis pada neoliberalisme). Aspek lain, yang melandasi pernyataan optimisme Mari Pangestu tersebut sangat terkait dengan penerapan kebijakan liberalisasi perdagangan yang diyakini dapat meningkatkan perdagangan dan ekspor manufaktur dikarenakan kesepakatan penurunan tarif bea masuk dan penghapusan hambatan nontariff oleh negara-negara ASEAN.249 Pernyataan ini justru dikeluarkan oleh Mari Elka Pangestu pada saat pertemuannya sebagai Menteri Perdagangan dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN), 5 Desember 2007, di tengah kekhawatiran kalangan pengusaha terhadap agenda integrasi pasar ASEAN 2015.250 Tercermin juga dari pernyataan Mari Elka Pangestu suatu keharusan sikap optimis dalam menghadapi target pembentukan Masyarakat
ASEAN urges Japan to open market wider to spur regional integration, Asian Economic News, Find Artcles.com, http://findarticles.com/p/articles/mi_m0WDP/is_2006_June_19/ ai_n16486715, diakses pada 18 September 2010, pukul 22.41 wib. 246 ASEAN urges Japan to open market wider to spur regional integration, Asian Economic News, Find Artcles.com, http://findarticles.com/p/articles/mi_m0WDP/is_2006_June_19/ ai_n16486715, diakses pada 18 September 2010, pukul 22.41 wib. 247 Historic ASEAN Charter Reveal Divisions, http://www.nytimes.com/2007/11/20/world/ asia/20iht-asean.1.8403251.html?_r=1, diakses pada 17 September 2010, pukul 22.16. 248 Pelaksanaan Blueprint AEC Empat Tahap sampai 2015, http://www.depkomin245
fo.go.id/berita/berita-utama-berita/pelaksanaan-blueprint-aec-empat-tahap-sampai-2015/, diakses pada 17 September 2010, pukul 22.18 wib.
Kalangan Pengusaha Sangat Khawatir dalam Menghadapi Integrasi Pasar ASEAN 2015, http://www.kadin-indonesia.or.id/en/berita_isi.php?news_id=2358&title=06+%96+1 2+%96+2007.+Kalangan+Pengusaha+Sangat+Khawatir+Dalam+Menghadapi+Integrasi+P asar+ASEAN+2015, diakses pada 17 September 2010, pukul 22.18 wib. 250 Kalangan Pengusaha Sangat Khawatir dalam Menghadapi Integrasi Pasar ASEAN 2015, http://www.kadin-indonesia.or.id/en/berita_isi.php?news_id=2358&title=06+%96+1 2+%96+2007.+Kalangan+Pengusaha+Sangat+Khawatir+Dalam+Menghadapi+Integrasi+P asar+ASEAN+2015, diakses pada 17 September 2010, pukul 22.18 wib. 249
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
213
Ekonomi ASEAN ketika diwawancara harian Kompas pada 21 Juli 2010. Kedua, guliran pernyataan diskursif Mari Elka Pangestu terkait dengan agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 ini juga mengandung makna keyakinan akan manfaat besar yang dapat diperoleh Indonesia dan kawasan Asia Tenggara dari integrasi regional berbasis neoliberal ini. Dalam analisis terhadap pernyataan diskursif akan manfaat integrasi neoliberal yang digulirkan Mari Pangestu, tampak suatu korelasi yang memperlihatkan perspektif dan demarkasi formasi diskursif neoliberal menjadi panduan bagi munculnya pandangan mengenai manfaat dan agenda integrasi ekonomi ASEAN ini. Neoliberalisme membangun suatu demarkasi batasan obyek analisis dalam bentuk ‘pertumbuhan ekonomi’, ‘liberalisasi perdagangan barang dan jasa’, ‘penurunan tarif bea masuk’, ‘penghapusan hambatan nontarif’, ‘potensi pasar’, ‘arus bebas investasi’, ‘efisiensi’, ‘reformasi ekonomi berbasis deregulasi’, ‘integrasi pasar global’ dan ‘standarisasi teknis’. Berdasarkan telaah terhadap pernyataan-pernyataan Mari Pangestu, di dalam wilayah demarkasi neoliberal inilah pernyataan-pernyataan yang mengkonstruksikan pandangan mengenai manfaat besar yang diperoleh Indonesia dari Masyarakat Ekonomi ASEAN tersebut dilahirkan. Dalam sebuah pernyataannya di tahun 2007, tercermin keyakinan Mari Pangestu atas manfaat liberalisasi perdagangan dan investasi bagi pertumbuhan ekonomi. Pada kesempatan tersebut ia menyatakan bahwa terciptanya arus perdagangan barang dan jasa serta investasi yang lancar dapat memberikan kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi kawasan Asia yang lebih luas.252 Bahkan dalam kesempatan yang sama ia menyatakan bahwa upaya percepatan integrasi ekonomi ASEAN dapat membawa manfaat sebagai motor dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia.253 Dalam beberapa pernyataan Mari Pangestu, tercermin juga pandangan mengenai manfaat liberalisasi ekonomi ASEAN dalam menjadikan kawasan ini menarik dan kompetitif.254 Dalam kesempatan pertemuan AEM ke-39 di tahun 2007, Mari menjadikan keinginan besar dari mitra dialog untuk merundingkan FTA atau kerjasama ekonomi lainnya yang lebih erat dengan ASEAN sebagai indikator bagi daya saing dan menariknya ekonomi kawasan Asia Tenggara.255 Bahkan ia juga menyatakan bahwa komitmen Indonesia terhadap proses integrasi ini melalui penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan di tanah air, merupakan landasan agar perekonomian Indonesia semakin kompetitif dan dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari perwujudan ASEAN Economic Community 2015.256 Pernyataan ini mencerminkan bagaimana 251
Mari Elka Pangestu, wawancara oleh Myrna Ratna dan Elly Roosita, Kompas, 1 Agustus 2010. 252 ASEAN Perlu Percepat Integrasi Ekonomi untuk Motori Pertumbuhan Asia, 251
http://hariansib.com/?p=3797, diakses pada 17 September 2010, pukul 21.05 wib.
ASEAN Perlu Percepat Integrasi Ekonomi untuk Motori Pertumbuhan Asia, http://hariansib.com/?p=3797, diakses pada 17 September 2010, pukul 21.05 wib. 254 Pertemuan ke-39 Para Menteri Ekonomi ASEAN, Manila 24-26 Agustus 2007, http://ditjenkpi.depdag.go.id/index.php?module=news_detail&news_content_id=572&detail=true, diakses pada 17 September 2010, pukul 20.54 wib. 255 Pertemuan ke-39 Para Menteri Ekonomi ASEAN, Manila 24-26 Agustus 2007, http://ditjenkpi.depdag.go.id/index.php?module=news_detail&news_content_id=572&detail=true, diakses pada 17 September 2010, pukul 20.54 wib. 256 Pertemuan ke-39 Para Menteri Ekonomi ASEAN, Manila 24-26 Agustus 2007, http://ditjen253
214
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
keyakinannya terhadap liberalisasi perdagangan dapat membawa manfaat bagi perekonomian Indonesia. Tidak jarang juga Mari Pangestu secara eksplisit mengeluarkan pernyataan mengenai keuntungan dan manfaat Masyarakat Ekonomi ASEAN bagi Indonesia. Di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-13 pada 21 November 2007 di Singapura, Mari Pangestu mengemukakan bahwa Indonesia berada dalam posisi yang menguntungkan untuk memetik manfaat yang sebesar-besarnya dari proses integrasi ASEAN.257 Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Indonesia sebagai negara dengan potensi terbesar dapat mengambil manfaat yang sebesar-sebesarnya dari pelaksanaan Blueprint ASEAN Economic Community.258 Pandangan liberal Mari Pangestu ini juga tercermin dalam keyakinannya bahwa liberalisasi perdagangan melalui penurunan tarif bea masuk dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN menciptakan potensi yang dapat dikembangkan bagi peningkatan perdagangan dan ekspor manufaktur Indonesia.259 Selain itu, pernyataan-pernyataan diskursif Mari Pangestu terkait dengan agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN ini juga mewujud ke dalam keyakinannya bahwa proses ini dapat mewujudkan ketahanan ekonomi ASEAN dari krisis perekonomian dunia260 dan dapat menjadikan ASEAN sebagai basis produksi regional untuk memasok perekonomian dunia.261 Ketiga, praktik diskursif yang tercermin dari pernyataan-pernyataan Mari Elka Pangestu terkait agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN terwujud dalam pernyataanpernyataan mengenai langkah-langkah persiapan atau kondisi kesiapan yang berada di dalam wilayah demarkasi teknis dan spesifik. Pernyataan-pernyataan Mari Pangestu seputar langkah persiapan atau kesiapan ekonomi Indonesia dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN, sebagian besar diarahkan kepada persoalan-persoalan teknis dan spesifik mengenai implementasi langkah-langkah yang tertuang di dalam cetak biru serta penyesuaian-penyesuaian yang besifat regulatif prosedural di dalam negeri demi tercapainya proses integrasi tersebut dalam waktu yang ditentukan. Dalam konteks ini, diskursus mengenai kesiapan ekonomi Indonesia dengan demikian diberikan makna kesiapan dan langkah persiapan dalam rangka terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN, bukan dalam makna langkah kpi.depdag.go.id/index.php?module=news_detail&news_content_id=572&detail=true, diakses pada 17 September 2010, pukul 20.54 wib. 257 Memperdag: Indonesia dapat Manfaat Besar dari Blueprint AEC, http://www.depkominfo.go.id/berita/berita-utama-berita/menperdag-indonesia-dapat-manfaat-besar-dariblueprint-aec/, diakses pada 17 September 2010, pukul 21.03 wib. 258 Memperdag: Indonesia dapat Manfaat Besar dari Blueprint AEC, http://www.depkominfo.go.id/berita/berita-utama-berita/menperdag-indonesia-dapat-manfaat-besar-dariblueprint-aec/, diakses pada 17 September 2010, pukul 21.03 wib. 259 Kalangan Pengusaha Sangat Khawatir dalam Menghadapi Integrasi Pasar ASEAN 2015, http://www.kadin-indonesia.or.id/en/berita_isi.php?news_id=2358&title=06+%96+1 2+%96+2007.+Kalangan+Pengusaha+Sangat+Khawatir+Dalam+Menghadapi+Integrasi+P asar+ASEAN+2015, diakses pada 17 September 2010, pukul 22.18 wib. 260 Menteri ASEAN Teken Persetujuan Internal ASEAN, Menjaga Stabilitas Ekonomi di Tengah Krisis Global, http://beritasore.com/2009/02/28/menteri-asean-teken-persetujuan-internal-asean-menjaga-stabilitas-ekonomi-di-tengah-krisis-global/, diakses pada 17 September 2010, pukul 21.02 wib. 261 Perdagangan Indonesia Tertinggi Se-ASEAN, http://bisnis.vivanews.com/news/ read/83023-perdagangan_indonesia_tertinggi_se_asean, diakses pada 17 Septmber 2010, pukul 22.21 wib.
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
215
mempersiapkan kemampuan, kinerja dan daya saing perekonomian Indonesia untuk dapat mengambil manfaat dan melindungi rakyat dari dampak negatif agenda integrasi ekonomi berbasis neoliberal tersebut. Dalam pemahaman hegemoni dan praktik diskursif, terjadinya konstruksi pemaknaan kesiapan dalam bentuk yang seperti ini, bukanlah merupakan sesuatu yang mengherankan. Harus dipahami bahwa, sebagaimana tercermin di dalam pernyataan-pernyataan sebelumnya, neoliberalisme sebagai perspektif yang absah telah mengkonstruksikan sikap dan pandangan yang optimis mengenai manfaat dari agenda ini. Sehingga implementasi dari agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN diyakini secara fundamental pasti akan membawa manfaat bagi perekonomian Indonesia. Sebagai hasilnya, neoliberalisme juga menjadi landasan bagi formasi kebijakan menuju terwujudnya integrasi ekonomi regional tersebut. Ketika telah terkonstruksi keyakinan yang optimis akan manfaat dari agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berlandaskan neoliberalisme, maka formasi kebijakan akan mengarah kepada langkah-langkah persiapan yang bersifat teknis dan spesifik untuk mewujudkannya. Demikian jika kita amati pernyataan-pernyataan Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Mari Pangestu, terkait dengan wacana kesiapan dan persiapan ekonomi Indonesia. Sebagian besar pernyataan mengandung makna yang mencerminkan kesiapan atau langkah persiapan yang bersifat teknis dan spesifik. Hanya sedikit dari pernyataannya yang mengandung makna kesiapan atau langkah persiapan substansial untuk memperbaiki perekonomian Indonesia secara riil guna terwujudnya peningkatan kinerja dan daya saing yang nyata untuk mendapatkan manfaat dari agenda integrasi. Tersebar di dalam pernyataan-pernyataan Mari Pangestu komitmen Indonesia menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN, diterjemahkan ke dalam langkah-langkah yang bersifat teknis mengimplementasikan mekanismemekanisme yang menopang kelancaran liberalisasi perdagangan. Pernyataan-pernyataan seputar kesiapan dan langkah persiapan ini lebih banyak ditekankan kepada dua hal oleh Mari Pangestu, yaitu persoalan ASEAN Single Window dan standarisasi barang, jasa dan investasi. Dari sini tercermin prinsip liberalisme sejalan dengan cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN, dalam wujud deregulasi, penurunan hambatan tarif dan nontariff, efisiensi prosedur dan birokrasi menjadi landasan dari langkah persiapan pemerintah Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Selain itu, praktik diskursif neoliberalisme yang dilakukan oleh Mari Pangestu ini juga berjalan dalam lingkup eksternal, dalam rangka memastikan bahwa komitmen negara-negara ASEAN lainnya dalam mewujudkan agenda integrasi ekonomi berbasis neoliberal tersebut diimplementasikan secara konsisten. Praktik diskursif ini tercermin dari pernyataan Mari Pangestu di hadapan peserta KTT ASEAN ke-14 pada Februari 2009 di Bangkok Thailand. Secara terang-terangan dalam kesempatan tersebut, Mari Pangestu mengkritik lemahnya implementasi yang dilakukan oleh para petinggi ASEAN guna mewujudkan agenda atau keputusan yang telah disepakati.262 Melalui pernyataannya tersebut, tampak bagaimana keinginan kuat Mari Pangestu untuk mengimplementasikan kesepakatan-kesepakatan ekonomi ASEAN yang menurutnya jika telah diimplementasikan puluhan tahun lalu, maka Menteri ASEAN Teken Persetujuan Internal ASEAN, Menjaga Stabilitas Ekonomi di Tengah Krisis Global, http://beritasore.com/2009/02/28/menteri-asean-teken-persetujuaninternal-asean-menjaga-stabilitas-ekonomi-di-tengah-krisis-global/, diakses pada 17 September 2010, pukul 21.02 wib. 262
216
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
pertumbuhan ekonomi ASEAN tidak akan melambat dibandingkan dengan pertumbuhan negara-negara tetangga seperti Jepang, China, Korea Selatan, Australia maupun India.263 Selain itu, komitmen dan keyakinan Mari Pangestu terhadap liberalisasi perdagangan tidak hanya dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN, tetapi juga tampak dalam agenda-agenda lainnya baik dalam bentuk kesepakatan perdagangan bebas ASEAN dengan negara mitra seperti China dan agenda liberalisasi multilateral melalui WTO. Misalnya, dalam menyikapi kesepakatan perdagangan ASEAN dengan China melalui ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), Mari menegaskan bahwa free trade agreement (FTA) memberikan banyak manfaat bagi ekspor dan penanaman modal di Indonesia.264 Bahkan ia juga pernah menyatakan bahwa akan meminta WTO meningkatkan bantuannya kepada negara berkembang untuk menghadapi proteksionisme dan memaksimalkan manfaat kesepakatan perdagangan bebas dunia.265 Subyek kedua yang juga memiliki modalitas enunsiatif dalam praktik diskursif neoliberalisme dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah Boediono. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Beodiono merupakan ekonom yang memiliki reputasi tingkat dunia dengan keahlian spesifik dalam formasi diskursif ekonomi. Modalitas enunsiatif yang ia miliki menjadikannya berada dalam beberapa posisi penting dalam pemerintahan Indonesia selama lebih dari dua dekade. Pada tahun 1998-1999, Boediono menduduki posisi sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Kemudian selama tahun 2001-2004 ia menjabat sebagai Menteri Keuangan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid I (2005-2009), sampai ia dilantik menjadi Gubernur Bank Indonesia di tahun 2008 dan menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2009-2014. Memang praktik diskursif yang ia jalankan terkait dengan agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN ini tidak segencar sebagaimana yang dilakukan oleh Mari Pangestu sebagai Menteri Perdagangan dan bagian dari komunitas epistemis liberal lainnya. Namun, pernyataan-pernyataan diskursif yang mengandung makna optimisme, manfaat dan kesiapan teknis yang ia gulirkan sebagai Gubernur Bank Indonesia dan Menko Perekonomian, memiliki pengaruh yang efektif dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia. Sebagai Menko Perekonomian, seusai rapat koordinasi persiapan KTT ASEAN pada tahun 2007, Boediono mengeluarkan pernyataan kepada publik yang mengandung indikasi bahwa Indonesia siap menjadi bagian dari ASEAN Economic Community 2015.266 Dalam kesempatan tersebut ia
Menteri ASEAN Teken Persetujuan Internal ASEAN, Menjaga Stabilitas Ekonomi di Tengah Krisis Global, http://beritasore.com/2009/02/28/menteri-asean-teken-persetujuaninternal-asean-menjaga-stabilitas-ekonomi-di-tengah-krisis-global/, diakses pada 17 September 2010, pukul 21.02 wib. 264 Kompas, 5 Januari 2010. 265 Penguatan Daya Saing Terganjal, http://news.okezone.com/read/2009/11/26/320/279290/ penguatan-daya-saing-terganjal, diakses pada 17 September 2010, pukul 22.39 wib. 266 Boediono: Indonesia Siap Jadi Bagian AEC, http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/ Perpustakaan_old/Koleksi+E+Journal/default.aspx?iddl=51246, diakses pada 19 September 2010, pukul 21.18 wib. 263
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
217
menyatakan, “2015 kan masih lama, semua akan kita lakukan secara bertahap.”267 Dalam sambutan sebuah buku yang disusun oleh Tim Bank Indonesia, juga tercermin keyakinan Boediono atas manfaat dari Masyarakat Ekonomi ASEAN terhadap Indonesia. Ia meyakini bahwa manfaat ekonomi yang akan diperoleh dari proses integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN lebih besar dibandingkan dengan biaya atau risiko yang mungkin dihadapi apabila kita tidak ikut serta dalam proses integrasi. Selain itu, ketika ia menjabat sebagai Menko Perekonomian, Boediono juga menggulirkan pernyataan yang mencerminkan sikap optimis terhadap agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN, khususnya melalui penerapan ASEAN Single Window System. Pada Februari 2008, ia menyatakan bahwa Indonesia akan mendapatkan manfaat dari ASEAN Single Window System yang diimplementasikan sesuai dengan cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN.268 Lebih lanjut Boediono menyatakan bahwa ASEAN Single Window ini tidak hanya membawa manfaat bagi Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara lain.269 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, optimisme akan manfaat ini kemudian mempengaruhi langkah persiapan dalam konteks yang teknis, di mana menurut Boediono, Indonesia akan berupaya untuk mempersiapkan implementasi ASEAN Single Window ini pada tingkat nasional terlebih dahulu baru kemudian dilanjutkan pada tingkat ASEAN.270 Dalam pandangan Boediono, terdapat dua manfaat dari ASEAN Single Window. Pertama, ASEAN Single Window dapat mempercepat proses ekspor-impor dan meningkatkan kefektifan dan kinerja dari pengelolaan lalu lintas ekspor-impor.271 Kedua, hal ini juga dapat meminimalkan waktu dan biaya pengelolaan lalu lintas ekspor-impor.272 Tercermin dalam pernyataan ini, bagaimana langkah kesiapan dijalankan dalam bentuk kebijakan-kebijakan teknis yang mempengaruhi kelancaran liberalisasi perdagangan dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Sebagai Wakil Presiden RI, keyakinan terhadap pentingnya prinsip deregulasi yang diterjemahkan dalam wujud reformasi birokrasi tercermin dalam pernyataannya dalam upaya mempercepat implementasi reformasi di bidang birokrasi yang memainkan peranan penting dalam proses integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN.273 Terkait dengan langkah persiapan teknis pemerintah Indonesia, khususnya terkait dengan ASEAN Single Window (ASW), praktik diskursif lebih banyak bergulir dari Sri Mulyani dalam kapasitasnya sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia Kabinet Indonesia Bersatu. ASEAN Single Window System, merupakan suatu Boediono: Indonesia Siap Jadi Bagian AEC, http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/ Perpustakaan_old/Koleksi+E+Journal/default.aspx?iddl=51246, diakses pada 19 September 2010, pukul 21.18 wib. 268 RI to Take Advantage of ASEAN Single Window System, http://www.embassyofindonesia.org/news/2008/02/news02.htm, diakses pada 19 September 2010, pukul 19.56 wib. 269 RI to Take Advantage of ASEAN Single Window System, http://www.embassyofindonesia.org/news/2008/02/news02.htm, diakses pada 19 September 2010, pukul 19.56 wib. 270 RI to Take Advantage of ASEAN Single Window System, http://www.embassyofindonesia.org/news/2008/02/news02.htm, diakses pada 19 September 2010, pukul 19.56 wib. 271 RI to Take Advantage of ASEAN Single Window System, http://www.embassyofindonesia.org/news/2008/02/news02.htm, diakses pada 19 September 2010, pukul 19.56 wib. 272 RI to Take Advantage of ASEAN Single Window System, http://www.embassyofindonesia.org/news/2008/02/news02.htm, diakses pada 19 September 2010, pukul 19.56 wib. 273 Tingginya Biaya Ekspor Menyulitkan Pengusaha, http://hariansib.com/?p=125657, diakses pada 19 September 2010, pukul 19.51 wib. 267
218
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
sistem tunggal dan terpadu mengenai informasi dan data serta pengambilan kebijakan tunggal terkait dengan pajak dalam perdagangan di tingkat ASEAN. Sesuai dengan cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN, langkah-langkah untuk mewujudkan ASEAN Single Window ini diimplementasikan melalui penyederhanaan, harmonisasi dan standarisasi perdagangan dan pajak, proses, prosedur dan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dalam seluruh area yang terkait dengan fasilitasi perdagangan.274 ASEAN Single Window ini mengintegrasikan dan mengkoordinasikan National Single Window sepuluh negara ASEAN. Melalui National Single Window, diciptakan suatu pengumpulan data dan informasi tunggal, suatu pemprosesan data informasi yang tunggal dan sinkron dan pengambilan kebijakan tunggal terkait dengan pajak, yang diyakini dapat mempercepat proses perizinan, mengurangi biaya dan waktu transaksi dan meningkatkan efisiensi perdagangan dan daya saing.275 Dengan demikian, terwujudnya ASEAN Single Window sangat tergantung pada implementasi di masing-masing negara anggota dalam menciptakan National Single Window. Implementasi National Single Window di Indonesia sangat intensif dijalankan pada masa jabatan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia. Sri Mulyani sendiri mengakui bahwa pengembangan National Single Window ini didorong oleh adanya perjanjian ASEAN Single Window, sebagai bagian dari proses integrasi menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.276 Menurut Sri Mulyani, National Single Window, sebagai sistem layanan publik yang mengintegrasikan seluruh proses ekspor dan impor di pelabuhan secara online, dapat membawa manfaat dalam bentuk kepastian terhadap akses ekspor maupun impor barang di pintupintu masuk perdagangan.277 Selain itu, ia juga menyatakan bahwa sistem ini dapat mengurangi penyelundupan barang ke Indonesia, dikarenakan para importir harus terdaftar dalam sistem untuk bisa melakukan kegiatan impor.278 Dengan kata lain, sistem mendorong efisiensi yang diyakini dalam perspektif liberal dapat mendongkrak iklim perdagangan dan pada akhirnya memacu pertumbuhan serta meningkatkan kesejahteraan. Komitmen yang sangat kuat Pemerintah Indonesia terhadap agenda integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN tentu berlandaskan pada suatu keyakinan dan optimisme bahwa agenda neoliberal ini membawa manfaat besar bagi perekonomian Indonesia. Ketika keyakinan telah tertanam atas manfaat dari proses integrasi ekonomi yang berbasis neoliberal ini, maka upaya atau langkah-langkah yang ditem ASEAN Secretariat, ASEAN Economic Community Blueprint (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008), 9. 275 ASEAN Secretariat, ASEAN Economic Community Blueprint (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008), 9. 276 Sebuah “Jendela” untuk Layanan Terpadu, http://www.ciosociety. 274
com/2008/07/29/sebuah-%E2%80%9Cjendela%E2%80%9D-untuk-layanan-terpadu-2/, diakses pada 19 September 2010, pukul 20.32 wib. 277 Tekan Penyelundupan, Tahun 2012 seluruh Negara ASEAN Terintegrasi ke ASW, http://www.suarasurabaya.net/v06/ekonomibisnis/?id=324fa38f3767d074b4 6b54d7ced63197200967643, diakses pada 19 September 2010, pukul 20.34 wib. 278 Tekan Penyelundupan, Tahun 2012 seluruh Negara ASEAN Terintegrasi ke ASW, http://www.suarasurabaya.net/v06/ekonomibisnis/?id=324fa38f3767d074b4 6b54d7ced63197200967643, diakses pada 19 September 2010, pukul 20.34 wib
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
219
puh pemerintah sebagai cerminan dari komitmen yang kuat tersebut mewujud ke dalam implementasi langkah teknis sejalan dengan yang telah disepakati di dalam cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN. Implementasi National Single Window di Indonesia merupakan salah satu wujud dari langkah persiapan teknis pemerintah Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Implementasi langkah teknis prosedural yang menopang kelancaran perdagangan bebas ini, secara intensif terjadi pada masa kepemimpinan Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia. Komitmen terhadap implementasi persiapan teknis National Single Window ini dituangkan ke dalam sebuah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.01/2008 tentang Pedoman dan Pentahapan dalam Rangka Pembangunan dan Penerapan Indonesia National Single Window, pada masa ia menjabat sebagai Menteri Keuangan.279 Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersebut, pembangunan dan penerapan Indonesia National Single Window dijalankan melalui beberapa tahap, meliputi, ujicoba awal; Implementasi Tahap Kesatu; Implementasi Tahap Kedua; Implementasi Tahap Ketiga; Implementasi Tahap Nasional; dan Penggabungan ke ASEAN Single Window.280 Semasa jabatannya sebagai Menteri Keuangan, Indonesia telah mengimplementasikan sampai tahap kelima atau tahap nasional, dari tahun 2007 sampai dengan 2010. Tahap pertama penerapan Indonesia National Single Window ini diresmikan pada 17 Desember 2007 dan tahap kelima atau tahap nasional diluncurkan pada 29 Januari 2010.281 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, komitmen kuat pemerintah dalam langkah implementasi teknis menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN ini tidak terlepas dari keyakinan yang mendalam atas manfaat proses integrasi tersebut. Dalam konteks ini, dengan demikian langkah-langkah persiapan pemerintah Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN dalam bidang keuangan pada masa Sri Mulyani, lebih ditekankan pada langkah-langkah yang bersifat teknis yang menopang kelancaran perdagangan bebas. Langkah persiapan di bidang ini tidak ditekankan pada persoalan substantif, misalnya terkait dengan peningkatan anggaran pemerintah untuk memenuhi barang-barang publik khususnya pendidikan dan kesehatan. Praktik diskursif neoliberalisme dalam langkah menuju agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN tidak hanya bergulir melalui pernyataan-pernyataan subyek-subyek yang memiliki modalitas enunsiatif dalam tubuh pemerintahan. Praktik diskursif juga bergulir secara institusional dalam wujud pernyataan-pernyataan resmi lembaga-lembaga pemerintah terkait dengan pandangan optimis dan keyakinan akan manfaat dari proses integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Secara resmi dalam Laporan Perekonomian Indonesia tahun 2007 dan 2009, Bank Indonesia, mem Salinan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.01/2008 tentang Pedoman dan Pentahapan dalam Rangka Pembangunan dan Penerapan Indonesia National Single Window, http://www.bsn.or.id/news_detail.php?news_id=471, diakses pada 20 September 2010, pukul 17.39 wib. 280 Salinan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.01/2008 tentang Pedoman dan Pentahapan dalam Rangka Pembangunan dan Penerapan Indonesia National Single Window, http://www.bsn.or.id/news_detail.php?news_id=471, diakses pada 20 September 2010, pukul 17.39 wib. 279
Pemerintah Luncurkan Indonesia National Single Window Kelima, http://suaramerdeka. com/v1/index.php/read/news/2010/01/29/45624/Pemerintah-Luncurkan-Indonesia-National-SIngle-Window-Kelima-, diakses pada 20 September 2010, pukul 17.51 wib. 281
220
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
berikan ulasan khusus mengenai posisi Indonesia dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Di dalam kedua laporan tersebut tercermin bagaimana optimisme, manfaat dan langkah persiapan dalam aspek teknis Indonesia mewarnai pernyataan diskursif terkait dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pada Laporan Perekonomian Indonesia 2007 BI, misalnya dalam Bab 11 mengenai Perekonomian Dunia dan Kerjasama Internasional, diberikan suatu ulasan khusus mengenai peluang dan tantangan Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Di dalamnya dijelaskan bahwa secara teoritis, integrasi ekonomi menjanjikan peningkatan kesejahteraan bagi negara-negara di dalamnya, di antaranya melalui pembukaan akses pasar yang lebih besar, dorongan mencapai efisiensi dan daya saing ekonomi yang lebih tinggi, termasuk terbukanya peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar.282 Dinyatakan juga bahwa hal ini didukung oleh banyaknya hasil empiris yang menunjukkan adanya hubungan positif antara integrasi ekonomi suatu kawasan dengan pertumbuhan ekonomi.283 Meskipun di dalam penjelasan Bank Indonesia, terdapat pengakuan terhadap posisi teoritis yang memiliki pandangan berbeda terhadap manfaat dari integrasi ekonomi, tampaknya posisi pemerintah dengan komitmen yang kuat terhadap agenda integrasi ekonomi ASEAN lebih mencerminkan keyakinan terhadap posisi teoritis yang pertama. Sehingga tidak heran jika, ulasan terhadap peluang bagi Indonesia dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN lebih diarahkan kepada penciptaan keyakinan akan manfaat dari integrasi ekonomi berbasis neoliberal ini. Berdasarkan pola analisis yang dilakukan, tercermin dengan sangat jelas bagaimana kuatnya keyakinan Bank Indonesia terhadap manfaat positif dari penerapan prinsip neoliberal dalam proses integrasi ini bagi perekonomian Indonesia. Pertama, di dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa dari sisi perdagangan, terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN ini menjanjikan peluang potensial karena ASEAN yang terintegrasi membuat pasar produk Indonesia menjadi lebih besar.284 Kedua, dari sisi penanaman modal langsung (investasi), berbagai kerjasama regional untuk meningkatkan infrastruktur (pipa gas dan teknologi informasi) membuka peluang bagi perbaikan iklim investasi Indonesia, terutama dalam melancarkan program perbaikan infrastruktur domestik.285 Ketiga, dari sisi penarikan modal asing, perwujudan aliran modal asing yang masuk ke kawasan ASEAN untuk ditempatkan di aset berdenominasi rupiah.286 Berikutnya, yang menarik, dalam Laporan Bank Indonesia tahun 2007 ini juga dinyatakan bahwa salah satu aspek yang sangat penting dalam pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah bahwa integrasi akan memungkinkan dipacunya peningkatan kapasitas dan kualitas lembaga, peraturan terkait, dan sumber daya manusia Indonesia, yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing maupun efisiensi perekonomian nasional.287 Identifikasi terhadap peluang bagi Indonesia dari integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN Bank Indonesia ini dengan demikian lebih mencerminkan keyakinan terhadap manfaat dari penerapan prinsip-prinsip neoliberal bagi perekonomian In Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2007: Menjaga Stabilitas, Mendukung Pembangunan Ekonomi Negeri (Jakarta: Bank Indonesia, 2007), 177. 283 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2007, 177. 284 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2007, 177. 285 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2007, 177. 286 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2007, 177. 287 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2007, 177. 282
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
221
donesia. Sementara itu, di dalam analisis terhadap tantangan bagi Indonesia dari agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN, hanya satu dari empat poin tantangan yang benarbenar mencerminkan persoalan substantif perekonomian yang harus dibenahi. Tiga poin tantangan lainnya, justru lebih mengarah kepada persoalan hambatan-hambatan teknis dari lancarnya implementasi integrasi regional berbasis neoliberal ini. Dalam tantangan yang pertama, dijelaskan persoalan kesamaan keunggulan komparatif di tingkat kawasan Asia Tenggara.288 Khususnya bagi Indonesia, tantangan dalam aspek yang pertama ini, menuntut adanya peningkatan nilai tambah produk ekspor Indonesia di pasar ASEAN. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dengan sangat jelas terlihat bahwa selama periode 2004-2009, langkah-langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah ini cenderung tidak berarti, di mana daya saing dan kinerja industri manufaktur Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, terutama dalam bentuk rendahnya kontribusi produk-produk berteknologi menengah dan tinggi Indonesia dalam eskpor produk manufaktur dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Dalam aspek pertama tantangan yang diidentifikasi Bank Indonesia ini juga dijelaskan bagaimana sektor industri pariwisata Indonesia, sebagai salah satu sektor industri jasa utama yang diliberalisasi, juga masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain, terutama Singapura, Malaysia dan Thailand. Selama beberapa tahun terakhir, ketiga negara tersebut telah berhasil mengemas ulang industri pariwisata mereka dengan sedemikian rupa untuk menarik lebih banyak wisatawan mancanegara. Sementara industri pariwisata Indonesia masih ditekankan pada karakteristik alam dan budaya dari tujuan wisata, belum kepada kemasan gaya hidup yang telah dikembangan oleh ketiga negara tersebut. Ketiga tantangan lain bagi Indonesia dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN yang diidentifikasi Bank Indonesia, lebih banyak mewujud kepada persoalan-persoalan teknis, seperti hambatan nontarif, penyesuaian agenda nasional dengan komitmen Masyarakat Ekonomi ASEAN dan peningkatan kesadaran pemangku kepentingan atas jadwal strategis menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.289 Ketiga tantangan ini lebih kepada kekhawatiran akan persoalan-persoalan yang menghambat kelancaran proses integrasi ekonomi berbasis neoliberal, bukan kepada kekhawatiran akan dampak negatif dari integrasi tersebut terhadap perekonomian masyarakat. Praktik diskursif institusional dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN juga tercermin dari Laporan Perekonomian tahun 2009, Bank Indonesia. Di dalamnya terdapat suatu penjelasan mengenai kemajuan kesiapan Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pernyataan diskursif di dalam laporan ini sangat mencerminkan keyakinan mendalam neoliberalisme sebagai landasan bagi proses integrasi ekonomi Asia Tenggara. Penandatanganan cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Piagam ASEAN di tahun 2007, dipandang sebagai suatu keberhasilan dalam mencapai tahapan penting yang mendukung terwujudnya aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja dan aliran modal yang lebih bebas, atau yang dikenal sebagai lima elemen aliran bebas.290 Bahkan di dalam identifikasi Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2007, 178. Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2007, 178. 290 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2009 (Jakarta: Bank Indonesia, 2009), 197. 288 289
222
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
langkah persiapan yang dilakukan pemerintah di tingkat nasional dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN ini lebih ditekankan kepada persiapanpersiapan teknis sebagai wujud komitmen Indonesia demi terwujudnya agenda integrasi tersebut. Dalam laporan ini dinyatakan bahwa, di tingkat nasional, persiapan pencapaian komitmen Indonesia pada Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 dalam dua tahun pertama (2008-2009) dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi (FPE) 2008-2009).291 Persoalan langkah persiapan teknis, lagi-lagi, menjadi penekanan dalam langkah persiapan Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Ketentuan yang tertuang di dalam Inpres No, 5 tahun 2008 tersebut difokuskan pada pemantauan komitmen pencapaian ASEAN sebagai pasar tunggal dan kesatuan basis produksi.292 Dinyatakan juga bahwa, secara umum, Indonesia dapat memenuhi komitmennya sebagaimana tercermin dari dicapainya strategic schedule cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN periode 2008-2009.293 Melalui berbagai langkah-langkah teknis, pemerintah Indonesia telah berhasil membangun landasan penopang bagi kelancaran proses liberalisasi perdagangan sebagai wujud komitmen dari integrasi ekonomi regional. Laporan Perekonomian Indonesia tahun 2009 oleh Bank Indonesia juga menilai bahwa hasil pelaksanaan Inpres tersebut menjadikan Indonesia berhasil memenuhi komitmen di lima elemen aliran bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN.294 Misalnya, untuk arus bebas barang, pemerintah telah menerbitkan ketentuan mengenai penghapusan tariff bea masuk dalam 12 sektor prioritas integrasi, transparansi non-tariff measures (NTMs), reformasi dan perluasan rules of origin (ROO), dan penyederhanaan prosedur sertifikasi operasional ROO.295 Untuk arus bebas jasa, dinyatakan dalam laporan Bank Indonesia tersebut, bahwa pemerintah telah memenuhi komitmen threshold paket ketujuh ASEAN Framewrok Agreement Services (AFAS) untuk 68 subsektor, dari minimum 65 sub-sektor yang disekapati.296 Begitu juga halnya dalam rangka pencapaian arus bebas tenaga kerja, dilaporkan bahwa pemerintah sedang menyusun peraturan tentang kompetensi dan kualifikasi keahlian untuk pekerjaan dan pelatihan yang dibutuhkan khususnya di sektor yang telah disepakati untuk diliberalisasi.297 Memang dinyatakan juga bahwa selain pemenuhan komitmen, dalam wujud langkah teknis tersebut, pemerintah juga memiliki langkah-langkah substantif dalam peningkatan daya saing, terutama melalui program peningkatan perdagangan dan iklim investasi dalam rangka menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Akan tetapi berdasarkan penjelasan dalam laporan Bank Indonesia tersebut, kenyataannya langkah-langkah yang ditempuh pemerintah melalui program peningkatan perdagangan dan iklim investasi tersebut masih didominasi oleh langkahlangkah yang bersifat teknis. Misalnya, kebijakan peningkatan daya saing produk Indonesia ditempuh melalui pengaturan dan pengelolaan barang ekspor/impor, pengawasan dan pengendalian mutu barang serta fasilitasi perdagangan, pengemban 293 294 295 296 297
291
292
Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2009, 179. Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2009, 179. Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2009, 179. Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2009, 179. Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2009, 179. Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2009, 179. Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2009, 180.
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
223
gan produk dan akses pasar melalui penciptaan brand, identifikasi potensi ekspor, pengembangan produk, serta peningkatan kualitas dan kuantitas pelaku ekspor.298 Intinya, dalam konteks peningkatan perdagangan, pemerintah lebih mendorong terciptanya struktur pendukung bagi kelancaran perdagangan baik itu ekspor ataupun impor. Memang terdapat penekanan terhadap upaya untuk mendorong ekspor, akan tetapi kenyataannya tidak semua industri nasional yang berorientasi ekspor, sementara industri yang berorientasi pada pasar domestik justru dibanjiri oleh produkproduk kompetitor sebagai imbas dari perdagangan bebas. Ekspor Indonesia juga masih didominasi oleh produk-produk yang berbasis sumber daya alam, dalam wujud komoditas atau bahan mentah, yang memiliki nilai tambah yang terbatas. Meskipun pemerintah menyatakan bahwa kontribusi ekspor manufaktur terhadap PDB masih tinggi, akan tetapi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia masih berada pada posisi yang tertinggal. Di satu sisi, persoalanpersoalan teknis fasilitasi perdagangan ini memang dibutuhkan untuk mendorong impor, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mendorong tumbuhnya industri manufaktur yang dapat menghasilkan produk-produk bernilai tambah tinggi yang ditopang oleh kemampuan teknologi yang memadai. Yang dibutuhkan adalah insentif nyata dari pemerintah baik dari sisi permodalan ataupun perlindungan terhadap akses pasar, bukan hanya sekedar persoalan teknis fasilitasi perdagangan. Ironisnya, prinsip neoliberal melalui komitmen Masyarakat Ekonomi ASEAN ini justru mematikan langkah-langkah substantif yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing dan kinerja industri nasional. Selain dalam laporan perekonomian Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, praktik diskursif neoliberal dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN ini juga tercermin melalui sebuah buku yang diterbitkan oleh Departemen Perdagangan, dengan judul “Menuju ASEAN Economic Community 2015.”299 Di dalam buku tersebut juga diidentifikasi peluang dan tantangan bagi Indonesia dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Sebagaimana pernyataan diskursif institusional pemerintah lainnya, keyakinan akan manfaat dari proses integrasi ekonomi regional bagi Indonesia ini tercermin dengan sangat kuat. Dinyatakan bahwa komitmen Indonesia bersama dengan negara-negara ASEAN lainnya untuk membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN didasarkan pada keyakinan atas manfaatnya yang secara konseptual akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan kawasan ASEAN.300 Bahkan, integrasi ekonomi dalam mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 melalui pembukaan dan pembentukan pasar yang lebih besar, dorongan peningkatan efisiensi dan daya saing, serta pembukaan peluang penyerapan tenaga kerja di kawasan ASEAN, akan meningkatkan kesejahteraan seluruh negara di kawasan.301 Berdasarkan pernyataan ini, tampak jelas suatu keyakinan akan manfaat dari implementasi prinsip-prinsip neoliberal dalam wujud perdagangan bebas dan mekanisme pasar dapat membawa kesejahteraan, tidak hanya bagi Indonesia, Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2009, 180. Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community (Jakarta: Departemen Perdagangan, 2010). 300 Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community, 74. 301 Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community, 74.
298 299
224
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
tetapi juga bagi seluruh kawasan. Memang, dalam buku yang diterbitkan oleh Departemen Perdagangan ini, identifikasi terhadap tantangan lebih luas dibandingkan dengan pernyataan-pernyatan institusional pemerintah lainnya. Selain itu, identifikasi tantangan juga tampak sekilas lebih substantif terkait dengan kondisi perekonomian Indonesia dalam menghadapi agenda ini, seperti laju peningkatan ekspor dan impor, inflasi, dampak negatif dari arus modal yang lebih bebas, daya saing sektor prioritas integras, daya saing SDM, tingkat perkembangan ekonomi yang beragam, kepentingan nasional dan kedaulatan negara.302 Namun jika ditelaah secara mendalam, sudut pandang dalam melihat tantangan tersebut kenyataannya lebih diarahkan kepada adanya persoalan-persoalan yang menghambat kelancaran dan keberhasilan proses integrasi ekonomi. Sebagai contoh, identifikasi tantangan mengenai kepentingan nasional, sekilas tampak ada suatu kekhawatiran bahwa kepentingan nasional Indonesia terkait dengan mensejahterakan kehidupan bangsa akan terdistorsi melalui proses integrasi ekonomi ini. Akan tetapi, kenyataannya di dalam buku yang diterbitkan oleh Departemen Perdagangan ini, justru kepentingan nasional dipandang sebagai hambatan bagi kelancaran proses integrasi ekonomi berbasis neoliberal ASEAN. Di dalamnya dinyatakan bahwa kepentingan nasional merupakan yang utama yang harus diamankan oleh negara anggota ASEAN.303 Dilanjutkan kemudian dengan pernyataan bahwa kepentingan kawasan, apabila tidak sejalan dengan kepentingan nasional, merupakan prioritas kedua, sehingga berdampak pada sulitnya mencapai dan melaksanakan komitmen liberalisasi cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN.304 Dengan demikian, identifikasi tantangan yang harus dihadapi Indonesia dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN ini, masih dilihat melalui kacamata neoliberal, di mana tantangan-tantangan yang teridentifikasi lebih mengarah kepada hambatan bagi kelancaran implementasi liberalisasi ekonomi di tingkat kawasan. Sehingga tidak heran jika, meskipun telah teridentifikasi tantangan yang dihadapi Indonesia, keyakinan terhadap manfaat dari agenda integrasi ekonomi regional tetap tercermin dengan sangat kuat dalam buku ini. Hal ini tercermin dari pernyataan akhir yang menutup buku ini dalam wujud, “Dengan terbentuknya AEC pada tahun 2015 tentunya diharapkan terdapat peningkatan kesejahteraan kawasan yang lebih baik terutama pada tiga pilar yakni (i) keamanan, (ii) sosial budaya, (iii) ekonomi.”305 Penelusuran terhadap praktik diskursif institusional pemerintah dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN ini juga menemukan suatu fenomena yang menarik di mana terdapat suatu upaya yang sistematis institusional untuk mensosialisasikan dan menciptakan pemahaman terhadap manfaat bagi Indonesia dari agenda integrasi ekonomi regional neoliberal ini. Pertama, di dalam Laporan Perekonomian Indonesia 2007 oleh Bank Indonesia, dinyatakan salah satu tantangan bagi Indonesia dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN ini adalah peningka Departemen 78-82. 303 Departemen 81. 304 Departemen 81. 305 Departemen 86. 302
Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community, Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community, Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community, Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community,
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
225
tan kesadaran pemangku kepentingan (stakeholders) atas jadwal strategis menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Dikarenakan selama ini, dinilai bahwa pemahaman terhadap komitmen pemerintah dalam agenda ini dan tahapan implementasi yang akan dilakukan belum menyeluruh, maka peningkatan pemahaman akan memungkinkan proses persiapan dapat dilakukan secara lebih luas melibatkan segenap elemen masyarakat.306 Diyakini bahwa adanya konsultasi yang intensif dengan kelompok yang terpengaruh dapat menghindari reaksi yang tidak diinginkan.307 Sebagai hasilnya, tidak heran jika di tahun 2008 kemudian Tim Bank Indonesia menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Masyarakat Ekonomi ASEAN: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global.”308 Di dalam sambutannya, dengan sangat jelas Gubernur Bank Indonesia pada saat itu Boediono menyatakan bahwa buku tersebut dapat memberikan pemahaman yang utuh tentang manfaat integrasi ekonomi bagi Indonesia.309 Kedua, Menteri Perdagangan memainkan peranan penting dalam mensosialisasikan pelaksanaan komitmen Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Sesuai dengan Inpres No. 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Nasional, pemerintah melakukan pemantauan atas pelaksanaan komitmen Indonesia menuju pasar tunggal ASEAN dan kesatuan basis produksi di setiap elemen.310 Instansi yang bertindak selaku koordinator dan penanggung jawab komitmen Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, sedangkan penanggung jawab ‘Sosialisasi Pelaksanaan Komitmen Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015’ adalah Menteri Perdagangan.311 Sehingga tidak heran, di dalam penjelasan sebelumnya dapat dicermati bagaimana praktik diskursif dengan massif dijalankan oleh Menteri Perdagangan mengenai aspek-aspek positif dari agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dengan demikian, praktik diskursif neoliberal di Indonesia dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN ini tidak hanya dijalankan oleh para subyek dengan modalitas enunsiatif yang berada pada posisi kunci dalam pemerintahan. Akan tetapi, praktik diskursif juga berjalan secara sistematis melalui pernyataan-pernyataan resmi institusional dari lembaga-lembaga pemerintah. Alhasil, praktik diskursif yang berjalan secara sistematis ini telah berhasil menjadikan neoliberalisme sebagai perspektif yang absah dalam memahami agenda integrasi ekonomi regional Masyarakat Ekonomi ASEAN. Ketika neoliberalisme telah menjadi perspektif yang absah, lahirlah suatu sikap yang optimis akan manfaat dari implementasi prinsip-prinsip neoliberal sebagai landasan dari proses integrasi. Sebagai hasilnya, tidak heran jika selama periode 2003-2008, langkah-langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan perekonomian secara riil dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN lebih ditekankan pada langkah-langkah persiapan teknis yang menopang kelancaran liberalisasi ekonomi kawasan menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dengan berlandaskan pada langkah-langkah persiapan Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2007, 177. Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2007, 177. 308 Sjamsul Arifin, Rizal A. Djaafara & Aida S. Budiman (eds.), Masyarakat Ekonomi ASEAN: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global (Jakarta: Tim Biro Hubungan dan Studi Internasional Bank Indonesia & PT. Elex Media Komputindo, 2008), v-vi. 309 Prof. Dr. Boediono, “Sambutan Gubernur Bank Indonesia,” vi. 310 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2009, 197. 311 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2009, 197.. 306
307
226
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
teknis, bukan yang bersifat substantif untuk meningkatkan kinerja dan daya saing perekonomian, tidak heran jika tidak terjadi perbaikan-perbaikan kondisi ekonomi riil yang signifikan pada periode tersebut sebagai suatu syarat mutlak bagi keberhasilan Indonesia untuk mendapatkan manfaat besar dari agenda integrasi ekonomi regional di tingkat kawasan Asia Tenggara.
Kedalaman Hegemoni dalam Formasi Diskursif: Praktikalitas, Inevitabilitas dan Optimalitas dalam Menghadapi Agenda Neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN Berdasarkan pendekatan Gramscian-Foucauldian yang dikembangan oleh Richard Peet, kedalaman hegemoni bersandar pada kemampuan formasi diskursif untuk menciptakan batasan spesifik mengenai parameter, yaitu tentang apa yang bersifat praktikal, realistis dan masuk akal di antara kelompok intelektual, teoritis, praktisi politik dan pengambil kebijakan. 312 Kedalaman hegemoni dalam formasi diskursif ini melahirkan tiga konsep yang terkait dengan pembatasan pemikiran dan ekspresi dalam wujud, praktikalitas (practicality), inevitabilitas (inevitability) dan optimalitas (optimality). Praktikalitas merupakan pembatasan terhadap pemikiran dan ekspresi sebagai produksi institusional, yaitu pemahaman sosial mengenai batas-batas dan isi dari praktik yang dapat dilakukan. Sementara inevitabilitas, merupakan suatu keadaan tanpa pilihan dan tidak dapat dihindarkan. Sebagai hasil lainnya, muncul optimalitas, yaitu suatu pembatasan pemikiran mengenai pilihan terbaik dari suatu keadaan. Kedalaman hegemoni neoliberal dalam formasi diskursif ekonomi di Indonesia telah melahirkan tiga wujud pembatasan pemikiran dan ekspresi tersebut, khususnya dalam langkah-langkah persiapan pemerintah Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Berdasarkan analisis praktik diskursif dari subyek-subyek yang memiliki modalitas enunsiatif di atas, kedalaman hegemoni dalam formasi diskursif ini terkonfirmasi melalui pernyataan-pernyataan yang mencerminkan sikap pemikiran dan ekspresi yang merupakan wujud dari praktikalitas (batasan mengenai apa yang boleh dibicarakan terkait dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN), inevitabilitas (sikap pemikiran mengenai kondisi tidak ada pilihan lain selain meleburkan diri ke dalam integrasi regional dan menerapkan prinsip ekonomi neoliberal), dan optimalitas (suatu sikap optimis akan manfaat dari Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai suatu pilihan terbaik bagi Indonesia). Praktikalitas tercermin dalam pernyataan-pernyataan yang mencerminkan suatu pembatasan pemikiran dan ekspresi mengenai keengganan untuk membicarakan kesiapan riil perekonomian Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Selain itu, fenomen praktikalitas ini juga tercermin dari pembatasan pembicaraan untuk menekankan pada manfaat-manfaat dan peluang-peluang positif dari Masyarakat Ekonomi ASEAN bagi Indonesia. Praktikalitas ini juga tercermin dari pembatasan pembicaraan mengenai langkah-langkah kesiapan teknis Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN dalam pernyataan dari subyek yang memiliki modalitas enunsiatif tersebut. Dalam wujud inevitabilitas, sebagai suatu sikap pemikiran yang memandang Richard Peet, Unholy Trinity, 25.
312
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
227
bahwa liberalisasi perdagangan yang menjadi landasan dari Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai sesuatu yang sifatnya tidak dapat terhindarkan dan merupakan hal yang niscaya, juga tercermin dalam praktik diskursif dari subyek yang menguasai modalitas enunsiatif tersebut. Inevitabilitas ini dalam bahasa yang sederhana dapat diterjemahkan ke dalam suatu sikap yang memandang bahwa “siap atau tidak siap” liberalisasi perdagangan pasti akan terjadi dan tidak dapat dihindari. Dengan demikian, Masyarakat Ekonomi ASEAN yang mengandung prinsip liberalisasi perdagangan merupakan sesuatu yang tidak dapat terhindarkan dan harus dijalankan. Suatu hal yang mutlak lahir sebagai hasil dari kedalaman hegemoni dalam formasi diskursif adalah optimalitas. Hal ini tercermin dalam pandangan mengenai manfaat dan komitmen pemerintah Indonesia terhadap agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai pilihan kebijakan yang terbaik juga lahir sebagai hasil dari kedalaman hegemoni neoliberal dalam formasi diskursif ekonomi di Indonesia. Praktikalitas, inevitabilitas dan optimalitas sebagai hasil dari kedalam hegemoni dalam formasi diskursif ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia dalam mempersiapkan diri menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Pembatasan pemikiran, sikap dan ekspresi terhadap agenda neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN, dengan demikian akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan apa yang ditempuh pemerintah sebagai langkah persiapan menuju terwujudnya integrasi regional tersebut. Ketika telah muncul praktikalitas, maka ‘apa yang boleh dibicarakan’ terkait dengan agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah seputar kepercayaan diri dan langkah persiapan, bukan persoalan ketidaksiapan. Lebih lanjut, ketika masuk ke persoalan langkah persiapan, yang menjadi fokus perhatian adalah persoalan kesiapan teknis, dikarenakan adanya pengaruh optimalitas akan manfaat dan keuntungan dari agenda neoliberal yang dalam batasan inevitabilitas merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dan niscaya terjadi. Di bawah pengaruh ketiga sikap inilah kemudian, formasi kebijakan ekonomi Indonesia secara teknis dijalankan menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015. Persoalan ketidaksiapan, bukanlah topik pembicaraan yang ‘diizinkan’ dan ‘diinginkan’ dalam wacana Masyarakat Ekonomi ASEAN. Sementara, melalui telaah terhadap ketidaksiapan ekonomi secara riil itulah, langkahlangkah persiapan yang bersifat substantif dalam dibangun untuk meningkatkan daya saing dan kinerja perekonomian Indonesia. Sehingga, sebagai hasilnya, tidak mengherankan jika kemudian, langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia selama periode 2003-2008, lebih kepada persoalan teknis dan tidak berarti dalam meningkatkan kemampuan atau kesiapan perekonomian Indonesia untuk dapat bersaing dan mengambil manfaat besar dari perwujudan Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Perjuangan Hegemoni dan Praktik Diskursif melalui Tiga Pusat Kekuasaan (Power Centers) dan Blok Historis Neoliberalisme di Indonesia Sebagaimana yang dijelaskan oleh Richard Peet, bahwa terdapat tiga kelompok ahli yang memiliki sudut pandang yang berbeda-beda dan penting dalam for-
228
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
masi kebijakan ekonomi suatu negara.313 Tiga kelompok ahli tersebut di antaranya adalah: 1. Penteori-penteori yang konvensional dan berbakat di dalam elit-elit universitas, khususnya mereka yang didatangi oleh elit-elit di masa datang – kepentingan ideologis (the ideological interests). 2. Pemain kunci di luar aparatus negara, tetapi terhubungkan melalui pertukaran personil, melalui konsultasi yang rutin, dan mekanisme diskursif lainnya – terutama, kepentingan ekonomi (the economic interests). 3. Kepala negara yang terpilih (presiden atau perdana menteri) dan orangorang yang ditunjuk untuk mengendalikan badan-badan negara, seperti departemen-departemen di dalam pemerintahan, bersama-sama dengan pejabat-pejabat pada lembaga-lembaga pemerintah di mana kebijakan diperdebatkan – Richard Peet menyebutnya sebagai kepentingan politik (the political interests). Memang kenyataannya tidak kesemua dari tiga kelompok pakar tersebut memiliki sudut pandang yang sama. Seringkali juga terjadi pertentangan-pertentangan pandangan yang mempengaruhi formasi kebijakan ekonomi negara. Pertarungan di antara kepentingan-kepentingan yang berbeda tersebut kemudian membawa pengaruh pada instabilitas kebijakan hegemoni. Akan tetapi, akan selalu muncul subyeksubyek kunci yang kemudian dengan gaya-gaya baru yang lebih canggih mengekspresikan tujuan-tujuan politik yang kemudian menjaga diskursus kebijakan menjadi tetap segar.314 Mereka menggunakan kosakata-kosakata baru, istilah-istilah yang inovatif, bahkan suatu tipikal estetika dalam rancangan dan ekspresi gagasan yang mereka sampaikan, juga tanpa adanya dorongan motif untuk memenangkan kompetisi reputasi, kekuasaan, status dan biaya konsultasi.315 Menurut Peet, diskursus dengan kedalaman hegemoni berakar dari suatu pusat-pusat kekuasaan yang sedikit, di mana hanya serangkaian gagasan yang terbatas yang boleh ditampilkan dan dielaborasi.316 Dalam menganalisis persoalan ini, kelompok-kelompok institusi ekonomi dan politik yang memproduksi dan melegitimasi teori, dan menyebarkan resep-resep kebijakan, merupakan agen yang sangat penting.317 Ketika pusat-pusat kekuasaan yang terbatas ini berhasil mempertahankan hegemoni dari penentanganpenentangan yang terjadi dalam suatu jangka waktu yang cukup panjang, maka pada titik itulah blok historis hegemoni tercipta. Begitu juga halnya dalam menganalisis perjuangan hegemoni dan praktik diskursif neoliberal di Indonesia, tidak semua kelompok-kelompok ahli memiliki suatu sudut pandang yang sama dalam mempengaruhi formasi kebijakan ekonomi pemerintah. Banyak juga intelektual-intelektual di kalangan akademisi di Indonesia yang justru menjadi penentang keras terhadap kebijakan-kebijakan neoliberal. Secara ideologis, mereka lebih mengedepankan suatu sudut pandang yang nasionalis dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah. Sama juga halnya dengan kepentingan ekonomi, para pemain kunci dalam perekonomian Indonesia juga tidak 315 316 317 313 314
Richard Peet, Unholy Trinity, 24. Richard Peet, Unholy Trinity, 24. Richard Peet, Unholy Trinity, 24. Richard Peet, Unholy Trinity, 24. Richard Peet, Unholy Trinity, 24.
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
229
semuanya terjebak dalam hegemoni neoliberalisme. Banyak di antara mereka yang masih melihat pentingnya proteksi dan subsidi bagi pengembangan industri nasional. Akan tetapi, dalam ranah kepentingan politik tampaknya kekuatan hegemoni neoliberal telah mematikan pandangan-pandangan yang bertentangan terhadap neoliberalisme. Di tengah arus penentangan yang cukup deras dari beberapa kelompok ahli di Indonesia terhadap kebijakan ekonomi neoliberal, kecanggihan presentasi dan ekspresi gagasan dari kelompok ahli neoliberal tampaknya memenangkan pertarungan dalam mempengaruhi formasi kebijakan ekonomi pemerintah. Hal ini terbukti dari terus diimplementasikan secara berkelanjutan dan konsisten kebijakankebijakan ekonomi neoliberal, terutama dalam wujud kesepakatan perdagangan bebas, termasuk di dalamnya agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kelestarian, kebersinambungan dan kemapanan neoliberalisme dalam mempengaruhi kebijakan ekonomi Indonesia menjadi bukti dari terciptanya blok historis neoliberal ini. Lebih lagi, keberhasilan perjuangan hegemoni dalam waktu yang lama ini juga telah berhasil bertahan dari berbagai pergeseran dari kekuatan-kekuatan sosial yang ada, terutama keberhasilan dalam bertahan dari gerakan-gerakan perlawan terhadap hegemoni neoliberal (counter-hegemony) di Indonesia. Jika kita amati perjuangan hegemoni dan praktik diskursif neoliberal di Indonesia, terdapat suatu fenomena yang sangat unik dalam pola relasi di antara kelompok-kelompok ahli dalam ranah kepentingan-kepentingan yang berbeda. Fenomena unik terletak pada kemampuan dari komunitas epistemis liberal di Indonesia dalam menempatkan anggota-anggotanya sekaligus di dalam ketiga kelompok ahli atau kelompok kepentingan tersebut. Memang pada awalnya, sebagian dari komunitas epistemis liberal Indonesia ini berada dalam ranah kepentingan ideologis, yaitu para ahli atau intelektual di berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia. Akan tetapi, tidak sedikit dari mereka yang juga merupakan pelaku ekonomi yang juga mewakili kepentingan ekonomi di Indonesia. Bahkan dalam perjalanan gerakan dari komunitas epistemis ini juga telah berhasil menempatkan anggota-anggotanya pada posisi-posisi kunci dalam pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Sebagaimana halnya Mari Elka Pangestu, Sri Mulyani dan Boediono, ketiganya berawal sebagai subyek yang berada dalam ranah kepentingan ideologis, yaitu sebagai ahli ekonomi dari perguruan tinggi di Indonesia. Akan tetapi, kemudian mereka berhasil menempati posisi-posisi kunci yang menentukan arah kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Dengan demikian, tiga pusat kekuasaan di Indonesia yang memainkan pengaruh besar dalam formasi kebijakan ekonomi, diisi oleh subyek-subyek yang sama. Dalam konteks di mana diskursus dengan kedalaman hegemoni berakar dari pusat-pusat kekuasan ini, tidak heran jika kemudian, kelompok-kelompok liberal ini dapat memperoleh posisi hegemoni dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Melalui tiga pusat kekuasaan yang mereka kendalikan inilah perjuangan hegemoni dan praktik diskursif neoliberal dijalankan dalam mempengaruhi formasi kebijakan ekonomi pemerintah dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Melalui kecanggihan penyampaian gagasan-gagasan yang dikemas dalam bahasa yang sangat altruis dan memperhatikan kepentingan masyarakat luas, perjuangan hegemoni dan praktik diskursif neoliberal dijalankan dan dipertahankan. Alhasil, dengan sangat mudah kemudian neoliberalisme menjadi landasan formasi kebijakan dalam wujud langkah-langkah persiapan
230
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
teknis Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Kaburnya Paradigma dan Arah Kebijakan Pembangunan Nasional Meskipun neoliberalisme secara de facto, tidak dapat dipungkiri lagi, memainkan pengaruh yang sangat kuat terhadap kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia, namun secara konstitusional dan tertulis, negara tetap memainkan peranan besar dalam pembangunan ekonomi nasional. Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dinyatakan dengan sangat jelas dan tegas bahwa negara ditetapkan sebagai entitas yang memainkan peranan besar dalam segenap kehidupan bangsa sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia.318 Yakni, “Untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan.” Paradigma memainkan peranan yang sangat penting dalam pembangunan perekonomian suatu bangsa. Bahkan landasan paradigma merupakan suatu hal yang mutlak dalam pembangunan ekonomi.319 Paradigma sebagai suatu sudut pandang, suatu perspektif terhadap realitas ekonomi, yang landasan bagi langkah aksi atau kebijakan pembangunan. Paradigma terkait dengan pandangan mengenai entitas mana yang memiliki peranan besar dalam perekonomian, apakah entitas pasar ataukah entitas negara. Secara konstitusional, telah jelas bahwa negara diberikan peranan yang sangat besar dalam pembangunan ekonomi bangsa Indonesia, khususnya untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, konstitusi bangsa ini memberikan ruang bagi peranan negara yang besar dalam pembangunan, bukan entitas pasar, sebagaimana yang diasumsikan oleh paradigma neoliberal. Ironisnya, perjuangan hegemoni dan praktik diskursif neoliberalisme yang dijalankan oleh komunitas epistemis liberal telah menjadikan perspektif ini secara de facto sebagai perspektif yang absah sebagai landasan dalam pembangunan ekonomi. Posisi hegemoni neoliberal di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya kekaburan paradigma yang sangat mutlak dibutuhkan dalam menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi. Dalam kenyataannya, selama tiga dekade terakhir telah terjadi upaya yang sistematis untuk semakin meminimalkan peranan penting negara di dalam aktivitas ekonomi. Berbagai kebijakan neoliberal yang ditempuh pemerintah, yang semakin intensif terutama selama sepuluh tahun terakhir, semakin menegaskan peranan entitas dan mekanisme pasar dalam menentukan arah pembangunan ekonomi Indonesia. Sebagai hasilnya, landasan paradigma pembangunan Indonesia menjadi kabur, seakan-akan pembangunan ekonomi Indonesia berjalan tanpa adanya paradigma jelas dan tegas sebagai landasannya. Kaburnya paradigma pembangunan ini tentu saja membawa beberapa dampak yang sangat negatif terhadap perekonomian Indonesia. Pertama, kaburnya paradigma pembangunan ekonomi sebagai imbas dari distorsi neoliberalisme terhadap posisi konstitusional peran negara dalam perekonomian telah membawa dampak pada terjadinya pelemahan negara. Sangat penting untuk dipahami bahwa, negara Dodi Mantra, “Paradigma Pembangunan,” Kompas, 21 Juli 2010, 6. Dodi Mantra, “Paradigma Pembangunan,” Kompas, 21 Juli 2010, 6.
318 319
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
231
memiliki dua fungsi yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup bangsa, yaitu fungsi keamanan dan fungsi kesejahteraan. Dalam sebuah wawancara dengan Makmur Keliat, dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, terungkap bahwa implementasi kebijakan-kebijakan perdagangan bebas, terutama dalam wujud Masyarakat Ekonomi ASEAN, membawa dampak pada terjadinya pelemahan negara dalam menjalankan dua fungsi pentingnya tersebut.320 Dalam pandangan Makmur Keliat, penciptaan single market melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN pasti akan mengakibatkan terjadinya pengurangan penerimaan negara, terkait dengan penghapusan tarif bea masuk.321 Jika kemudian penerimaan negara dari tarif bea masuk mengalami penurunan, maka penekanan dilakukan terhadap pajak domestik untuk menggenjot penerimaan negara yang menjadi instrumen dalam menjalankan kedua fungsinya tersebut. Sementara itu, kita juga tidak berharap bahwa pajak domestik akan semakin progresif, karena jika pajak tinggi, maka modal juga tidak akan masuk, menurut Makmur Keliat.322 Berdasarkan wawancara tersebut, juga sangat penting digarisbawahi bahwa sampai detik ini negara masih menjadi entitas yang menjadi sandaran dari masyarakat. Selain itu, penerapan kesepakatan perdagangan bebas melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN ini juga mengandung kontradiksi yang inheren dalam strategi pembangunan pemerintah Indonesia. Penciptaan pasar tunggal ASEAN, salah satunya adalah liberalisasi tenaga kerja terampil atau terdidik. Sementara itu, untuk meningkatkan pendidikan sangat dibutuhkan kapasitas negara dalam menjalankan fungsinya yang ditopang oleh adanya sumber dana yang kuat dari penerimaan yang besar. Sementara itu, kesepakatan perdagangan bebas telah menyebabkan terjadinya penurunan penerimaan negara yang berdampak pada menurunnya kapasitas negara dalam menjalankan fungsinya, termasuk dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.323 Sehingga liberalisasi perdagangan ini justru akan menimbulkan permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan kapasitas negara yang semakin melemah. Dalam wawancara dengan Makmur Keliat, juga dijelaskan bahwa di dalam persaingan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN tidak semuanya akan menjadi pemenang. Tidak semua orang dapat menang bersaing dalam pasar bebas. Tidak semua pelaku usaha akan menang dalam agenda liberalisasi ini. Jika kemudian justru banyak yang mengalami kekalahan di dalam persaingan dan terjadi penganguuran besar-besaran, negara akan kembali lagi sebagai tempat bersandar bagi mereka. Sementara itu, liberalisasi perdagangan telah menyebabkan peranan negara ini menjadi sangat lemah. Yang sangat menarik untuk dicatat, ketika negara mengalami pelemahan kapasitas, institusi regional ASEAN juga belum mampu mengambil peranan untuk menggantikan negara sebagai tempat bersandar. Menurut Makmur Keliat, jika kemudian perusahaan-perusahaan mengalami kebangkrutan, tercipta pengangguran dalam jumlah yang besar, maka mereka akan kembali kepada negara dalam penyelesaiannya, bukan kepada ASEAN.324 Dengan demikian, menurut Makmur Keliat, perhatian Indonesia terhadap Masyarakat Ekonomi ASEAN, lebih 322 323 324 320 321
Makmur Keliat, wawancara oleh Dodi Mantra, 8 Juli 2010. Makmur Keliat, wawancara oleh Dodi Mantra, 8 Juli 2010. Makmur Keliat, wawancara oleh Dodi Mantra, 8 Juli 2010. Makmur Keliat, wawancara oleh Dodi Mantra, 8 Juli 2010. Makmur Keliat, wawancara oleh Dodi Mantra, 8 Juli 2010.
232
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
banyak kepada integrasi ekonomi regional yang negatif, yaitu lebih berorientasi pada penghilangan aturan-aturan yang menghambat aktivitas ekonomi.325 Bukan integrasi regional yang positif dalam pengertian peningkatan peranan institusi regional untuk mengatasi permasalahan yang muncul ketika peranan negara semakin lemah.326 Selain itu, distorsi neoliberal dalam berbagai aspek juga telah berimbas pada pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang merupakan instrumen penting bagi negara untuk menjalankan kedua fungsinya tersebut. Distorsi neoliberalisme dalam landasan paradigma pembangunan Indonesia telah menyebabkan terjadinya pembatasan peranan negara di dalam instrumen APBN. Hal ini, menurut Makmur Keliat, tercermin dari kebijakan-kebijakan swastanisasi, penjualan aset negara kepada pihak asung, yang memungkinkan pihak asing untuk masuk ke sektor-sektor tertentu, dan ini menunjukkan peranan negara yang semakin kecil.327 Dengan demikian, kaburnya paradigma dalam konteks ini membawa dampak negatif yang sangat besar bagi keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia yang sangat membutuhkan peranan negara. Sebagai hasilnya, langkahlangkah pemerintah Indonesia yang tidak berarti dalam mempersiapkan perekonomian Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena semakin menurunnya kapasitas negara dalam menjalankan dua fungsi dasarnya yang disebabkan oleh lingkaran setan liberalisasi perdagangan. Kedua, kaburnya paradigma pembangunan ini membawa dampak pada kaburnya arah kebijakan pembangunan yang terwujud secara spesifik dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang bersifat parsial dan sendiri-sendiri dalam setiap bidang atau lembaga pemerintahan. Jika kita cermati berbagai kebijakan ekonomi pemerintah selama satu dekade terakhir, tercermin adanya suatu tumpang tindih kebijakan di antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Kementerian Perdagangan sangat berorientasi kepada liberalisasi perdagangan, khususnya dalam wujud Masyarakat Ekonomi ASEAN. Meskipun kenyataannya memang dalam Kementerian Perindustrian terdapat optimisme akan manfaat dan keuntungan dari Masyarakat Ekonomi ASEAN, namun masih tersisa pandangan mengenai pentingnya peran atau campur tangan negara dalam meningkatkan kinerja dan daya saing industri nasional. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kesepakatan perdagangan bebas (FTA) sendiri, yang menjadi prioritas kebijakan Kementerian Perdagangan, merupakan hambatan bagi industrialisasi nasional, yang menjadi fokus perhatian dari Kementerian Perindustrian. Begitu juga halnya persoalan pengelolaan APBN yang di bawah pengaruh prinsip kebijakan fiskal ketat neoliberal dalam wujud penghapusan subsidi bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik, menjadi persoalan pasokan energi yang dibutuhkan oleh industri. Kebijakan liberalisasi perbankan yang memberikan ruang masuk bagi pihak asing untuk memiliki mayoritas saham pada perbankan swasta nasional menyebabkan orientasi pinjaman lebih diarahkan kepada sektor-sektor yang pasti dan dapat dikelola dengan mudah, bukan kepada pemberian modal dengan bunga rendah kepada sektor industri. Kebijakan perpajakan yang menyebabkan tingginya biaya produksi industri menjadi persoalan yang juga masih belum terselesaikan sampai dengan Makmur Keliat, wawancara oleh Dodi Mantra, 8 Juli 2010. Makmur Keliat, wawancara oleh Dodi Mantra, 8 Juli 2010. 327 Makmur Keliat, wawancara oleh Dodi Mantra, 8 Juli 2010. 325 326
Kebijakan Ekonomi Indonesia Menuju MEA
233
sekarang, juga merupakan wujud dari arah kebijakan pembangunan yang kabur sebagai imbas dari kaburnya paradigma pembangunan ekonomi di negeri ini. Kondisi kebijakan yang bersifat parsial dan tidak terintegrasi di masing-masing lembaga pemerintah ini, dengan demikian memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap langkah-langkah persiapan yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN selama periode 2003-2008. Tumpang tindih dan kontradiksi kebijakan lintas bidang yang terjadi selama ini, menjadi salah faktor yang menyebabkan tidak berartinya langkah-langkah pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan perekonomian menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Kaburnya paradigma yang menjadi landasan pembangunan sebagai imbas dari perjuangan hegemoni dan praktik diskursif neoliberalisme di Indonesia menjadi akar dari persoalan ini. Sebagai hasilnya, ketiadaan arah kebijakan pembangunan ekonomi yang jelas berujung pada tidak berartinya langkah-langkah pemerintah selama ini dalam meningkatkan daya saing dan kinerja perekonomian nasional guna memperoleh manfaat besar dari agenda integrasi ekonomi regional Asia Tenggara. Demikianlah bagian ini berupaya untuk melakukan pembongkaran terhadap perjuangan hegemoni dan praktik diskursif neoliberalisme di balik langkah tidak berarti pemerintah Indonesia menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015. Perjuangan hegemoni neoliberalisme yang melalui proses panjang dan meliputi strategi yang beragam dan terintegrasi telah berhasil menjadikan neoliberalisme sebagai perspektif yang absah yang menlandasi formasi kebijakan pemerintah Indonesia dalam menuju agenda integrasi regional yang juga merupakan wujud lain dari implementasi neoliberalisme. Praktik diskursif neoliberalisme yang dijalankan baik secara individual oleh subyek yang memiliki modalitas enunsiatif atau bahkan secara institusional oleh lembaga pemerintah, semakin mengukuhkan posisi istimewa neoliberalisme dalam langkah menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Lebih lagi, kedalaman hegemoni dalam formasi diskursif ekonomi di Indonesia telah melahirkan fenomena praktikalitas, inevitabilitas dan optimalitas dalam memandang agenda integrasi berbasis neoliberal tersebut. Perjuangan hegemoni dan praktik diskursif neoliberal yang berjalan dengan sangat massif selama ini, pada akhirnya bermuara pada kaburnya paradigma yang menlandasi kebijakan pembangunan ekonomi pemerintah Indonesia. Sehingga, tidak mengherankan jika langkah-langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia selama ini dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN sangatlah tidak berarti dalam meningkatkan fundamen ekonomi secara nyata dan substantif. Sebagi hasilnya, komitmen dan semangat membabi buta pemerintah Indonesia terhadap agenda neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN selama ini hanya akan berujung pada keterpurukan ekonomi yang secara nyata akan dirasakan oleh jutaan rakyat Indonesia.
Bab 6 Kesimpulan
Analisis dalam buku ini berangkat dari sebuah posisi analitis yang menilai bahwa perekonomian Indonesia berada dalam kondisi yang tidak siap untuk dapat bertahan dan mengantisipasi dampak negatif dari agenda neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan diwujudkan di tahun 2015. Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan pada satu bab tersendiri di dalam penelitian, tercermin suatu kondisi riil ketidaksiapan ekonomi Indonesia dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN, sebagai suatu proses integrasi regional yang berlandaskan pada prinsip neoliberalisme. Sebagai bagian dari gelombang kedua regionalisme di dunia, proses integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN dijalankan berdasarkan pada penerapan prinsip-prinsip neoliberalisme di dalam ekonomi. Hal ini dapat diamati dari Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN yang menekankan pada upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan bagi aktivitas ekonomi. Berdasarkan pada telaah komparatif historis yang dilakukan di dalam buku ini, terungkap bahwa kesiapan ekonomi secara substansif dan riil merupakan suatu syarat yang mutlak bagi suatu negara untuk dapat mengantisipasi dampak negatif dan bertahan dari implementasi kebijakan-kebijakan ekonomi berbasis neoliberalisme. Neoliberalisme merupakan sebuah paradigma yang mengandung kecacatan melekat di dalamnya, sebuah paradigma yang benar-benar tidak memihak kepada kepentingan rakyat. Akan tetapi, pemerintah Indonesia dengan semangat dan komitmen yang sangat besar telah mengikatkan diri kepada suatu agenda yang sangat neoliberal, yakni pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015. Pada dasarnya sangat jelas kita tidak menginginkan dan menolak dengan tegas neoliberalisme dijadikan sebagai landasan kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Analisis dalam buku ini mencoba untuk memasuki suatu ranah permainan berdasarkan aturan main neoliberal yang telah dipilih oleh pemerintah Indonesia. Jika memang pemerintah telah memutuskan untuk bermain dalam arena neoliberal ini, seharusnya dalam tataran ideal komitmen dan semangat yang sangat besar harus diejawantahkan dalam langkah-langkah persiapan yang berarti dalam dimensi substantif dan riil. Dalam suatu kondisi ekonomi yang tidak siap, menyimak proses liberalisasi di negara-negara berkembang, implementasi beragam prinsip neoliberal yang selama ini diterapkan justru akan membawa keterpurukan ekonomi yang lebih mendalam. Dengan demikian, dalam menghadapi agenda neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN, suatu upaya penyiapan ekonomi untuk meningkatkan daya sa-
Kesimpulan
235
ing dan kinerja perekonomian adalah suatu hal yang mutlak harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia jika tidak ingin menjadi pihak yang kalah dalam era kompetisi pasar bebas. Akan tetapi, berdasarkan telaah empiris dan komparatif yang dilakukan dalam buku ini justru memperlihatkan suatu kondisi di mana langkah-langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia selama periode 2003-2008, tidak memiliki arti yang besar dalam meningkatkan kinerja dan daya saing riil perekonomian Indonesia. Terbukti selama periode tersebut, dalam beberapa sektor yang sangat penting, seperti industri manufaktur, kualitas sumber daya manusia, ketrampilan dan tingkat pendidikan tenaga kerja, pariwisata dan iklim investasi, Indonesia masih jauh tertinggal, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam. Bahkan dalam beberapa aspek tertentu, Vietnam sebagai anggota baru dari ASEAN telah berada pada posisi yang lebih maju dibandingkan dengan Indonesia. Sebuah permasalahan besar muncul sebagai imbas dari tidak berartinya langkahlangkah yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan diri menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pada tataran yang ideal, seharusnya komitmen pemerintah yang sangat kuat terhadap agenda integrasi ekonomi berbasis neoliberal ini diiringi dengan langkah-langkah yang bersifat substantif untuk meningkatkan daya saing dan kinerja perekonomian Indonesia. Upaya untuk menjelaskan realitas yang kontradiktif dalam wujud tidak berartinya langkah pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan perekonomian, kemudian persoalan utama yang dianalisis dalam buku ini. Dengan berlandaskan pada pendekatan Gramscian-Foucauldian yang dikembangkan oleh Richard Peet, analisis dalam buku ini mendapatkan beberapa temuan yang memberikan jawaban terhadap permasalahan tersebut. Pertama, tampak bahwa perjuangan hegemoni yang dilakukan oleh komunitas epistemis liberal di Indonesia telah berhasil menanamkan suatu visi ideologis neoliberal dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia. Bersama dengan berjalannya program pemulihan ekonomi IMF di Indonesia, komunitas ini menjalankan perjuangan hegemoni dengan menyebarkan gagasan-gagasan atau visi neoliberalisme melalui mekanisme yang bersifat konsensual. Keberadaan para anggota dari komunitas epistemis liberal Indonesia ini, yang memiliki status dan reputasi kepakaran atau keahlian di bidang ekonomi, menjadikan upaya penyebaran gagasan/visi neoliberal sebagai landasan dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia dapat dijalankan secara efektif. Berbagai wujud kebijakan ekonomi yang merupakan pengejawantahan dari prinsip neoliberalisme dapat digulirkan melalui perjuangan hegemoni ini. Suatu hal yang menarik dalam analisis perjuangan hegemoni di Indonesia, terjadi suatu kolaborasi apik antara gerakan penyebaran gagasan dalam ranah institusi sipil dan injeksi anggota komunitas epistemis liberal ke dalam tubuh pemerintahan. Sebagai hasilnya terciptalah suatu keyakinan konsensual terhadap asumsi-asumsi neoliberal dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Masyarakat Ekonomi ASEAN sendiri merupakan produk kebijakan yang dilandaskan pada perspektif neoliberal ini. Ketika neoliberalisme telah menjadi sebuah perspektif yang diyakini kebenarannya, akan tercipta suatu wujud keyakinan fundamental akan manfaat dari penerapan perspektif ini, khususnya di dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pada suatu titik ketika keyakinan fundamental telah tercipta, maka dalam kondisi apapun perekonomian Indonesia pasti atau niscaya manfaat atau keuntungan dari agenda
236
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
integrasi regional berbasis neoliberal ini akan didapatkan. Posisi hegemoni neoliberal dalam formasi kebijakan ekonomi inilah yang kemudian mempengaruhi minimnya langkah-langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia selama periode 2003-2008 untuk mempersiapkan perekonomian dalam rangka menghadapi terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Kedua, dalam penelusuran dan analisis dengan menggunakan konsep diskursus Michel Foucault, telah terjadi praktik diskursif yang dijalankan oleh subyek-subyek yang memiliki modalitas enunsiatif untuk menjadikan neoliberalisme sebagai perspektif yang absah dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia. Praktik diskursif mewujud ke dalam pernyataan-pernyataan dari para ahli atau subyek yang memiliki modalitas enunsiatif. Akan tetapi, praktik diskursif tidak bermakna sebagai pernyataan semata. Praktik diskursif merupakan pernyataan-pernyataan yang memiliki kekuatan konstitutif, dalam bahasa Foucault disebut sebagai “berbicara adalah berbuat.” Penelusuran terhadap praktik diskursif neoliberalisme di Indonesia dalam penelitian ini difokuskan pada pernyataan-pernyataan dari tiga subyek yang memiliki modalitas enunsiatif, yaitu Mari Elka Pangestu, Boediono dan Sri Mulyani, yang tersebar di beberapa media cetak dan elektronik selama periode 2004-2010. Praktik diskursif yang dijalankan oleh ketiga subyek tersebut mewujud ke dalam pernyataan-pernyataan yang memiliki makna optimisme, keyakinan akan manfaat positif bagi perekonomian Indonesia dan langkah-langkah kesiapan teknis yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Praktik diskursif yang lahir di dalam suatu formasi disjkursif ekonomi yang didominasi oleh neoliberalisme ini, telah berhasil menjadikan perspektif tersebut berada dalam posisi yang absah yang menjadi panduan bagi elaborasi teoritis dan konseptual sebagai landasan pembuatan kebijakan ekonomi. Dengan demikian, melalui praktik diskursif neoliberal ini, wacana Masyarakat Ekonomi ASEAN dimaknai dalam demarkasi atau batasan-batasan neoliberal dalam suatu formasi diskursif ekonomi, yaitu dalam bentuk sikap, pemikiran dan ekspresi optimis, keyakinan akan manfaat dan komitmen dalam implementasi langkah-langkah persiapan teknis sesuai dengan cetak biru yang telah disepakati. Sehingga kemudian tidak heran jika kemudian dapat kita amati, langkah-langkah persiapan ekonomi lebih ditekankan pada persoalan yang bersifat teknis, bukan langkah-langkah yang secara substantif dapat meningkatkan kinerja dan daya saing ekonomi nasional. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa praktik diskursif ini tidak hanya dijalankan oleh subyek-subyek yang memiliki modalitas enunsiatif. Praktik diskursif neoliberalisme di Indonesia, kenyataannya selama ini juga dijalankan secara sistematis dan institusional, yaitu melalui pernyataan-pernyataan resmi lembagalembaga pemerintah terkait dengan sikap optimisme, keyakinan akan manfaat dan langkah persiapan teknis menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Ketiga, dalam kerangka pendekatan Gramscian-Foucauldian, kedalaman hegemoni dalam formasi diskursif telah melahirkan pembatasan pemikiran dan ekspresi dalam tiga bentuk, yaitu praktikalitas, inevitabilitas dan optimalitas. Berdasarkan telaah terhadap praktik diskursif yang digulirkan oleh tiga subyek dengan modalitas enunsiatif tersebut, tercermin ketiga pembatasan pemikiran dan ekspresi yang lahir dari kedalaman hegemoni dalam formasi diskursif. Dalam konteks praktikalitas, terlihat suatu sikap keengganan untuk membicarakan persoalan siap atau tidak siapnya kondisi perekonomian Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi
Kesimpulan
237
ASEAN. Pembatasan pemikiran dan ekspresi juga lebih ditekankan kepada persoalan membangun kepercayaan diri dalam proses menuju integrasi ekonomi ini, pembicaraan mengenai ketidaksiapan justru menjadi suatu hal yang ditakutkan. Lebih dari itu, tercermin juga suatu pandangan yang melihat proses liberalisasi perdagangan ini sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan. Pandangan ini menjelma ke dalam sikap dan pemikiran mengenai persoalan siap atau tidak siap, liberalisasi pasti akan terjadi sebagai sesuatu yang niscaya. Sebuah reproduksi pembatasan ekspresi dan pemikiran di tahun 1980-an ketika neoliberalisme dikampanyekan di tingkat internasional melalui Konsensus Washington, dengan slogan yang sangat terkemuka, There is No Alternative (TINA). Sementara itu, optimalitas dapat diamati dari sikap pemikiran yang diwarnai oleh keyakinan akan manfaat pasti dari agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN bagi Indonesia. Kebijakan pemerintah Indonesia, dalam konteks ini, untuk meleburkan diri ke dalam agenda integrasi ekonomi regional berbasis neoliberal merupakan suatu pilihan yang tepat dan terbaik. Hasilnya, kebijakan-kebijakan yang ditempuh pemerintah sebagai langkah persiapan menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN yang bersifat substantif menjadi sangat minim dikarenakan demarkasi atau pembatasan yang tercipta dari kedalaman hegemoni neoliberal dalam formasi diskursif ekonomi di Indonesia. Keempat, penelitian ini juga menemukan suatu penjelasan tambahan mengenai kekaburan paradigma dan arah kebijakan pembangunan nasional yang mempengaruhi minimnya langkah persiapan pemerintah Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Perjuangan hegemoni dan praktik diskursif neoliberal di Indonesia telah menyebabkan terjadinya distorsi terhadap landasan paradigma dalam menentukan arah pembangunan ekonomi Indonesia. Secara konstitusional, negara diberikan peranan yang besar dalam pembangunan di negeri ini, bukan entitas pasar sebagaimana yang diasumsikan oleh neoliberalisme. Akan tetapi, kampanye gagasan neoliberal telah berhasil mengikis peranan penting negara dan menegakkan supremasi mekanisme pasar bebas dalam pembangunan ekonomi. Kaburnya paradigma yang menjadi landasan pembangunan di Indonesia telah menyebabkan terjadinya pelemahan terhadap kapasitas negara dalam menjalankan dua fungsinya, yaitu fungsi keamanan dan fungsi kesejahteraan. Liberalisasi perdagangan dalam berbagai bentuk, terutama agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN, merupakan akar dari terjadinya pelemahan kapasitas negara ini, khususnya melalui penurunan penerimaan negara sebagai imbas dari penghapusan tarif bea masuk dalam perdagangan. Sehingga, tidak heran jika kemudian langkah-langkah substantif yang ditempuh pemerintah untuk meningkatkan kinerja dan daya saing perekonomian nasional menjadi sangat minim, dikarenakan kapasitas yang terus tergerus oleh implementasi neoliberalisme dalam wujud kesepakatan perdagangan bebas. Selain itu, kaburnya paradigma ini juga menyebabkan arah kebijakan pembangunan nasional menjadi tidak menentu. Dalam kondisi yang seperti ini, kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh lembaga-lembaga pemerintah menjadi parsial, tidak terintegrasi, bahkan saling bertentangan satu sama lain. Suatu hal wajar kemudian, apabila sangat minim kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah yang ditujukan untuk mempersiapkan perekonomian secara substantif dalam menghadapi agenda integrasi neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN. Akhirnya, hasil analisis dalam buku ini berada pada posisi yang konfirmatif terhadap pendekatan Gramscian-Foucauldian yang dijadikan sebagai panduan.
238
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme
Temuan-temuan yang diperoleh memperlihatkan bahwa memang terdapat keyakinan mendalam akan paradigma neoliberal dalam formasi kebijakan ekonomi di Indonesia, yang mempengaruhi minimnya langkah-langkah dan strategi persiapan ekonomi Indonesia selama periode 2003-2008 menuju agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Selain itu, penelitian ini juga mengembangkan penelaahan terhadap konsep baru, terkait dengan pengaruh dari kaburnya paradigma pembangunan ekonomi terhadap minimnya langkah-langkah persiapan tersebut. Dengan demikian, analisis dalam buku ini berujung pada rekonstruksi teoritis dan modifikasi model analisis Gramscian-Foucauldian dalam memahami minimnya langkah dan strategi pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan perekonomian dalam menghadapi agenda integrasi regional Masyarakat Ekonomi ASEAN. Buku ini berada penilaian terhadap posisi hegemoni neoliberalisme yang menjadi akar dari berbagai persoalan ekonomi yang terjadi di negeri ini. Untuk itu, upaya perlawanan terhadap hegemoni (counter-hegemony) neoliberalisme ini harus terus digulirkan oleh gerakan-gerakan masyarakat sipil. Berhasilnya neoliberalisme berada pada posisi yang hegemon dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia, diakui oleh komunitas epistemis liberal tidak dapat dilepaskan dari kampanye penyebarluasan gagasan-gagasan atau visi liberal, di mana pada titik inilah mekanisme konsensual hegemoni tersebut diterapkan. Kampanye gagasan yang dilakukan oleh komunitas liberal telah berhasil mentransformasikan arah kebijakan ekonomi Indonesia dari yang bersifat sentralistis menuju kepada liberalisme. Oleh karena itu, gerakan-gerakan sosial yang terdiri kelompok-kelompok yang tidak terjebak dalam ilusi pasar bebas dan liberalisasi perdagangan harus terus melakukan upaya dekonstruksi, suatu upaya untuk meruntuhkan neoliberalisme dari posisi hegemoninya dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Kapasitas negara dalam menjalankan dua fungsi dasarnya harus ditingkatkan. Dalam mekanisme perjuangan hegemoni, posisi dominan neoliberalisme sebagai visi dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia dapat diperoleh melalui cara-cara yang bersifat konsensual. Dengan demikian, terdapat persetujuan dari dalam tubuh pemerintah sendiri atas visi neoliberal yang telah terinternalisasikan ini. Karenanya, sulit untuk mengharapkan perubahan dan kesadaran hegemoni dapat muncul dari dalam pemerintahan. Keberhasilan gerakan sosial untuk melakukan counter hegemony, dengan demikian dapat membebaskan pemerintah Indonesia dari hegemoni neoliberalisme. Suatu visi yang baru, suatu paradigma pembangunan yang memihak kepada rakyat harus dibangun dan disebarkan untuk menggantikan posisi dominan dari neoliberalisme. Ketika telah muncul suatu paradigma yang tegas dan jelas dengan posisi dan kapasitas pemerintah yang kuat dalam membangun perekonomian, sebagaimana cita-cita pendirian negara ini dalam Pembukaan UUD 1945, maka akan terwujud kebijakan-kebijakan yang secara substantif dapat meningkatkan kinerja dan daya saing perekonomian. Berbagai kebijakan-kebijakan yang membawa dampak negatif terhadap perekonomian rakyat dan melemahkan negara dalam menjalankan fungsi dasarnya, terutama dalam bentuk kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas, seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN, harus ditinjau ulang di bawah paradigma memihak kepada rakyat. Bahkan tidak menutup kemungkinan dilakukan moratorium (penundaan) atau bahkan penghentian segala bentuk liberalisasi ekonomi yang telah merugikan rakyat. Sebuah paradigma pembangunan yang benar-benar memihak kepada kepentingan rakyat
Kesimpulan
239
harus ditegakkan sebagai landasan dari kebijakan ekonomi. Sehingga cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan bangsa yang cerdas dan sejahtera dapat benar-benar terwujud di negeri ini.
Daftar Pustaka
Buku Antonio Ocampo, Jose & Joseph E. Stiglitz, eds. Capital Market Liberalization and Development. Oxford: Oxford University Press, 2008. Arifin, Sjamsul, Rizal A. Djaafara & Aida S. Budiman, eds. Masyarakat Ekonomi ASEAN: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global. Jakarta: Tim Biro Hubungan dan Studi Internasional Bank Indonesia & PT. Elex Media Komputindo, 2008. ASEAN Secretariat. ASEAN Economic Community Blueprint. Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008. B. Steger, Manfred & Ravi K. Roy. Neoliberalism: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press, 2010. Badan Pusat Statistik. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia: Agustus 2010. Jakarta: BPS, 2010.Bryman, Alan. Social Research Method. New York: Oxford University Press, 2004. Bank Indonesia. Laporan Perekonomian Indonesia 1998/1999. Jakarta: Bank Indonesia, 1999. Bank Indonesia. Laporan Perekonomian Indonesia 2000. Jakarta: Bank Indonesia, 2000. Bank Indonesia. Laporan Perekonomian Indonesia 2001. Jakarta: Bank Indonesia, 2001. Bank Indonesia. Laporan Perekonomian Indonesia 2007: Menjaga Stabilitas, Mendukung Pembangunan Ekonomi Negeri. Jakarta: Bank Indonesia, 2007. Bank Indonesia. Laporan Perekonomian Indonesia 2009. Jakarta: Bank Indonesia, 2009. Breslin, Shaun, Christopher W. Hughes, Nicola Phillips & Ben Rosamond, eds. New Regionalisms in the Global Political Economy: Theory and Cases. London & New York: Routledge, CSGR, 2002.. C. Feenstra, Robert & Shang-Jin Wei. China’s Growing Role in World Trade. London: The University of Chicago Press, Ltd. & National Bureau of Economic Research, 2010. Chang, Ha-Joon. Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective. London: Anthem Press, 2002. Chwieroth, Jeffrey M. Capital Ideas: The IMF and the Rise of Financial Liberalization. Princeton & Oxford: Princeton University Press, 2010. David Morton, Adam. Unravelling Gramsci: Hegemony and Passive Revolution in the Global Economy. London: Pluto Press, 2007. Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Menuju ASEAN Economic Community. Jakarta: Departemen Perdagangan, 2010. Dormael, A. Van. Bretton Woods: Birth of a Monetary System. New York: Holmes and Meier, 1978. Downing, Lisa.`The Cambridge Introduction to Michel Foucault. Cambridge: Cambridge University Press, 2008. Dunn, Bill. Global Political Economy: A Marxist Critique. London: Pluto Press, 2009. E. Weatherbee, Donald. International Relations in Southeast Asia: The Struggle for Autonomy. Maryland: Rowmand & Littlefield Publishers, Inc., 2009. Edkins, Jenny & Nick Vaughan-Williams. Critical Theorists and International Relations.
Daftar Pustaka
241
London & New York: Routledge, 2009. Eichengreen, Barry. Global Imbalances and the Lessons of Bretton Woods. Cambridge, Massachusetts: The MIT Press, 2007. Eichengreen, Barry. Globalizing Capital: A History of the International Monetary System, 2nd Edition. Princeton & Oxford: Princeton University Press, 2008. Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. New York: Harper and Row, 1972. Foucault, Michel. The History of Sexuality, Vol. I: An Introduction. Harmondsworth: Penguin, 1978. Fujita, Masahisa, Satoru Kumagai & Koji Nishikimi, eds. Economic Integration in East Asia: Perspectives from Spatial and Neoclassical Economics. Massachusetts: Edward Elgar Publishing, Inc., 2008. Gramsci, Antonio. Prison Notebooks, disunting dan diterjemahkan oleh J.A. Buttigieg. New York: Columbia University Press, 1996. Gramsci, Antonio. Selection from the Prison Notebooks, disunting dan diterjemahkan oleh Quintin Hoare & Geoffrey Nowell Smith. London: Lawrence & Wishart, 1971. Gilpin, Robert. Global Political Economy: Understanding the International Economic Order. New Jersey: Princeton University Press, 2001. Harper, Richard H.R. Inside the IMF: An Ethnography of Documents, Technology and Organisational Action. San Diego, London & Boston: Academic Press, 1998. Harvey, David. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press, 2007. Hazlitt, Henry. From Bretton Woods to World Inflation: A Study of Causes and Consequences. Chicago: Regnery Gateway, 1984. Howson, Richard & Kylie Smith, eds. Hegemony: Studies in Consensus and Coercion. New York & London: Routledge, 2008. Hudson, Michael. Super Imperialism: The Origins and Fundamentals of U.S. World Dominance. London: Pluto Press, 1972. Irwin, Douglas A. Free Trade Under Fire, Third Edition. Princeton: Princeton University Press, 2009. Jovane, F. E. Westkamper & D. Williams. The Manufuture Road: Towards Competitive and Sustainable High-Adding-Value Manufacturing. Berlin: Springer, 2009. K. Daas, Dilip. Regionalism in Global Trade. Cheltenham & Northampton: Edward Elgar, 2004. Khan, Haider A. Global Market and Financial Crises in Asia: Towards a Theory for the 21st Century. New York: Palgrave, 2004. Killick, Tony. IMF Programmes in Developing Countries: design and impact. London & New York: Routledge, 1995. Kiely, Ray. Empire in Age of Globalization: US Hegemony and Neoliberal Disorder. London: Pluto Press, 2005. Krugman, Paul. Kembalinya Depresi Ekonomi. Bandung: Penerbit ITB, 2000. Krugman, Paul. The Return of Depression Economics and The Crisis of 2008. New York: W.W. Norton & Company, Inc., 2009. Kuhn, Thomas. The Structure of Scientific Revolutions: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000. Lee, Donna & Rorden Wilkinson, eds. The WTO after Hong Kong: Progress in, and prospect for, the Doha Development Agenda. London & New York: Routledge, 2007. Luhulima, CPF., Dewi Fortuna Anwar, Ikrar Nusa Bhakti, Yasmin Sungkar dan Ratna Shofi Inayati. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015. Yogyakarta & Jakarta: Pustaka Pelajar & Pusat Penelitian Politik-LIPI, 2008. Mallarangeng, Rizal. Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992. Jakarta: Kelompok Penerbit Gramedia, 2004. McCulloch, Neil, L. Alan Winters & Xavier Cirera. Trade Liberalization and Poverty: A Handbook. London: Centre for Economic Policy Research, 2001.
242
Daftar Pustaka
McNally, Mark & John Schwarzmantel, eds. Gramsci and Global Politics: Hegemony and Resistance. New York & London: Routledge, 2009. Mills, Sara. Michel Foucault. London & New York: Routledge, 2003. Neuman, W. Lawrence. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. London: Allyn and Bacon, 2000. Nesadurai, Helen E.S. Globalisation, Domestic Politics and Regionalism: The ASEAN Free Trade Area. London & New York: Routledge, 2003. OECD. Regionalism and the Multilateral Trading System. Paris: OECD, 2003. O’Farrell, Clare. Michel Foucault. London, California & New Delhi: Sage Publications, 2005. Payer, Cheryl. The Debt Trap: The IMF and the Third World. London: Monthly Review Press, 1974. Peet, Richard. Unholy Trinity: the IMF, World Bank and WTO 1st Edition. London: Zed Books, 2003. Peet, Richard. Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, Second Edition. London & New York: Zed Book, 2009. Rajan, Ramkishen S. & Sunil Songala. Asia in the Global Economy: Finance, Trade and Investment. Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd, 2008. Ranis, Gustav, James Raymond Vreeland & Stephen Kosack. Globalization and the NationState: The Impact of the IMF and the World Bank. London & New York: Routledge, 2006. Sachs, Jeffrey. The End of Poverty: Economic Possibilities for Our Time. New York: Penguin Press, 2005. Sally, Razeen. Classical Liberalism and International Economic Order: Studies in Theory and Intellectual History. London & New York: Routledge, 1998. Sally, Razeen. New Frontiers in Free Trade: Globalization’s Future and Asia’s Rising Role. Washington D.C.: Cato Institute, 2008. SAPRIN. Structural Adjustment: The SAPRI Report The Policy Roots of Economic Crisis, Poverty and Inequality. London & New York: Zed Books, Ltd., 2004. Sanderson, Samuel E. The Politics of Trade in Latin American Development. Stanford: Stanford University Press, 1992. Simon, Roger. Gramsci’s Political Thought: An Introduction. London: Lawrence & Wishart, Ltd., 1991. Solis, Mireya Barbara Stallings & Saori N. Katada. Competitive Regionalism: FTA Diffussion in the Pacific Rim. New York: Palgrave MacMillan, 2009. Steans, Jill & Lloyd Pettiford. International Relations: Perspectives and Themes. London: Pearson Education, 2001. Stiglitz, Joseph E. Globalization and Its Discontents. London: Penguin Books, 2002. Stiglitz, Joseph E. & Andrew Charlton, Fair Trade for All: How Trade Can Promote Development. Oxford: Oxford University Press, 2005. Stiglitz, Joseph E. Making Globalization Work: the Next Step to Global Justice. London: Penguin Books, 2006. The World Bank. Doing Business 2008: Comparing Regulation in 178 Economies. Washington D.C.: World Bank, 2007. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). World Investment Report 2006: FDI from Developing and Transition Economies: Implications for Development. New York & Jeneva: United Nations, 2006. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). World Investment Report 2008: Transnational Corporations and the Infrastructure Challenge. New York & Jeneva: United Nations, 2008. United Nations Development Programme. Human Development Report 2007/2008 Fighting Climate Change: Human solidarity in a divided world. New York: UNDP, 2007.
Daftar Pustaka
243
United Nations Development Programme. Human Development Report 2009 Overcoming barriers: Human mobility and development. New York: UNDP, 2009. United Nations Industrial Development Organization. Industrial Development Report 2009, Breaking in and Moving Up: New Industrial Challenges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries. UNIDO, 2009. V. Femia, Joseph. Gramsci’s Political Thought: Hegemony, Consciousness, and the Revolutionary Process. Oxford: Clarendon Press, 1981. Vreeland, James Raymon. The International Monetary Fund: Politics of Conditional Lending. London & New York: Routledge, 2007. Wunderlich, Jens-Uwe. Regionalism, Globalisation and International Order: Europe and Southeast Asia. Hampshire &Burlington: Ashgate, 2007. Young, R. ed. Untying the Text: A Post-Structuralist Reader. London: Routledge, Kegan & Paul, 1981. Zimmerman, Fred & Dave Beal. Manufacturing Works: The Vital Link Between Production and Prosperity. Chicago: Dearborn Financial Publishing, Inc., 2002. Zon, Fadli. The IMF Game: The Role of the IMF in Bringing Down the Soeharto Regime in May 1998. Jakarta: Institute for Policy Studies, 2004.
Jurnal Fukase, Emiko & Will Martin. “Free Trade Area Membership as Stepping Stone to Development: The Case of ASEAN.” World Bank Discussion Paper No. 421, 10. Hutchison, Michael. “A Cure Worse than the Disease? Currency Crises and the Output Costs of IMF-Supported Stabilization.” Pacific Basin Working Paper No. PB01-02 (2001): 27. Mikesell, Raymond. “The Bretton Woods Debates: A Memoir.” Essays in International Finance, No. 192 March (1994): 34. Williamson, John. “Democracy and the “Washington Consensus.” World Development 21, No. 8 (1993): 1329-36. Zainal Abidin, Mahani & Wai Heng Loke. “Revealed Comparative Advantage of Malaysian Exports: The Case for Changing Export Composition.” Asian Economic Papers Vo. 7 Issue 3, 137.
Dokumen Resmi Pemerintah Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009. Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2009-2014. Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), 2009.
Media Cetak Kompas, 26 Februari 2005, hal. 9. Kompas, 5 Januari 2010. Mantra, Dodi. “Jurus Tendang Tangga China.” Kompas, 4 Februari 2010, hal. 6. Mantra, Dodi. “Sri Mulyani dalam Telaah Bourdie.” Kompas, 7 Mei 2010, hal. 6. Mantra, Dodi. “Paradigma Pembangunan,” Kompas, 21 Juli 2010, hal. 6.
244
Daftar Pustaka
Thesis yang Tidak Diterbitkan Mantra, Dodi. “Hubungan RI-IMF: Studi tentang Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Tekanan IMF terhadap Pemerintah Indonesia Periode 1997-2004.” Thesis Master, Universitas Indonesia, 2007.
Wawancara Elka Pangestu, Mari. Wawancara oleh Myrna Ratna dan Elly Roosita. Kompas, 1 Agustus 2010. Keliat, Makmur. Wawancara oleh Dodi Mantra. 8 Juli 2010.
Makalah Seminar dan Focus Group Discussion Elka Pangestu, Mari. Tantangan Membangkitkan Daya Saing Indonesia dan Sektor Riel, makalah dalam “Debat Ekonomi ISEI 2004” di Jakarta Convention Centre, 15-16 September 2004. Jemadu, Aleksius. Pemerintah Daerah dan ASEAN Economic Community: Tinjauan Teoritis. Materi Presentasi dalam Focus Group Discussion “Pemerintah Daerah dan ASEAN Community, Universitas Al Azhar Indonesia, 26 Agustus 2010. Soetanto, Herry. Evaluasi Penyiapan Ekonomi Daerah dalam Menghadapi ASEAN Community 2015. Materi presentasi dalam Focus Group Discussion “Pemerintah Daerah dan ASEAN Community,” Universitas Al Azhar Indonesia, 26 Agustus 2010.
Sumber Elektronik (Internet) ASEAN Vision 2020, http://www.aseansec.org/1814.htm ASEAN Concord II/Bali Concord II, http://www.aseansec.org/15159.htm ASEAN Economic Community Blueprint, http://www.aseansec.org/21083.pdf ASEAN urges Japan to open market wider to spur regional integration, Asian Economic News, Find Artcles.com, http://findarticles.com/p/articles/mi_m0WDP/is_2006_ June_19/ai_n16486715 ASEAN Perlu Percepat Integrasi Ekonomi untuk Motori Pertumbuhan Asia, http://hariansib. com/?p=3797 Boediono: Indonesia Siap Jadi Bagian AEC, http://www.antara.co.id/arc/2007/11/5/boediono-indonesia-siap-jadi-bagian-aec/ Daya Saing Melemah, http://fspmipemi.multiply.com/photos/hi-res/upload/RqRkAQoKCm0AADweNK01 Doing Business 2008: Indonesia is number two reformer in East Asia but still lags behind major regional economies, http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0,,contentMDK:21486695~pa gePK:1497618~piPK:217854~theSitePK:226309,00.html http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sri-mulyani-indrawati/index.shtml Historic ASEAN Charter Reveal Divisions, http://www.nytimes.com/2007/11/20/world/ asia/20iht-asean.1.8403251.html?_r=1 Human Development Indices: A statistical update 2008 - HDI rankings, http://hdr.undp.org/ en/statistics/ Identifikasi: Periode Liberalisasi Perdagangan dalam Kasus Beras Indonesia, http://www. fspi.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=161&Itemid=38 Iklim Usaha Tak Dukung Industri Hilir: Perluasan Lahan Sawit Ditunda, http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/26/02133769/iklim.usaha.tak.dukung.industri.hilir
Daftar Pustaka
245
Kalangan Pengusaha Sangat Khawatir dalam Menghadapi Integrasi Pasar ASEAN 2015, http://www.kadin-indonesia.or.id/en/berita_isi.php?news_id=2358&title=06+%96+1 2+%96+2007.+Kalangan+Pengusaha+Sangat+Khawatir+Dalam+Menghadapi+Integr asi+Pasar+ASEAN+2015 Kebijakan Kompetisi dan Ekonomi Pasar di Indonesia, http://www.kedai-kebebasan.org/ special/article.php?id=105 Kwik Kian Gie. Sri Mulyani Indrawati (SMI), Berkeley Mafia, Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), IMF dan World Bank (WB), diakses dari http://www.pokrol.com/sri-mulyaniindrawatismi-dan Mari Elka Pangestu: Ekonom Indonesia Kelas Dunia, http://www.tokohindonesia.com/ ensiklopedi/m/mari-pangestu/index.shtml Memperdag: Indonesia Dapat Manfaat Besar dari Blueprint AEC, http://www.depkominfo. go.id/berita/berita-utama-berita/menperdag-indonesia-dapat-manfaat-besar-dari-blueprint-aec/ Menteri ASEAN Teken Persetujuan Internal ASEAN, Menjaga Stabilitas Ekonomi di Tengah Krisis Global, http://beritasore.com/2009/02/28/menteri-asean-teken-persetujuaninternal-asean-menjaga-stabilitas-ekonomi-di-tengah-krisis-global/ Pemerintah Luncurkan Indonesia National Single Window Kelima, http://suaramerdeka. com/v1/index.php/read/news/2010/01/29/45624/Pemerintah-Luncurkan-IndonesiaNational-SIngle-Window-KelimaPelaksanaan Blueprint AEC Empat Tahap sampai 2015, http://www.depkominfo.go.id/berita/berita-utama-berita/pelaksanaan-blueprint-aec-empat-tahap-sampai-2015/ Penguatan Daya Saing Terganjal, http://news.okezone.com/read/2009/11/26/320/279290/ penguatan-daya-saing-terganjal Perdagangan Indonesia Tertinggi Se-ASEAN, http://bisnis.vivanews.com/news/read/83023perdagangan_indonesia_tertinggi_se_asean Pertemuan ke-39 Para Menteri Ekonomi ASEAN, Manila 24-26 Agustus 2007, http://ditjenkpi.depdag.go.id/index.php?module=news_detail&news_content_id=572&detail=true Polemik Globalisasi (2) Kuncinya Peningkatan Daya Saing, http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/10/06/217/151293/kuncinya-peningkatan-daya-saing Potensi Industri Hilir Sawit Terabaikan: Dininabobokan Ekspor CPO, http://cetak.kompas. com/read/xml/2008/11/25/00365371/potensi.industri.hilir.sawit.terabaikan RI to Take Advantage of ASEAN Single Window System, http://www.embassyofindonesia. org/news/2008/02/news02.htm Salinan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.01/2008 tentang Pedoman dan Pentahapan dalam Rangka Pembangunan dan Penerapan Indonesia National Single Window, http://www.bsn.or.id/news_detail.php?news_id=471 Sebuah “Jendela” untuk Layanan Terpadu, http://www.ciosociety.com/2008/07/29/sebuah%E2%80%9Cjendela%E2%80%9D-untuk-layanan-terpadu-2/ Sebuah “Jendela” untuk Layanan Terpadu, http://www.ciosociety.com/2008/07/29/sebuah%E2%80%9Cjendela%E2%80%9D-untuk-layanan-terpadu-2/ Sloan, Mark. The Proliferation of World Wide Free Trade Agreements - What it Means for U.S. Business diakses dari http://www.glgroup.com/News/The-Proliferation-ofWorld-Wide-Free-Trade-Agreements---What-it-Means-for-U.S.-Businness-27247. html Tambunan, Tulus. Daya Saing Global Indonesia 2008-2009 versi World Economic Forum (WEF), http://www.kadin-indonesia.or.idenmimagesdokumenKAD IN-98-2737-14042008.pdf Tekan Penyelundupan, Tahun 2012 seluruh Negara ASEAN Terintegrasi ke ASW, http:// www.suarasurabaya.net/v06/ekonomibisnis/?id=324fa38f3767d074b46b54d7c ed63197200967643 Tenaga Kerja Asing di Indonesia Meningkat, http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/
246
Daftar Pustaka
jasa-transportasi/1id63281.html Tingginya Biaya Ekspor Menyulitkan Pengusaha, http://hariansib.com/?p=125657 UKM Makanan Sulit Bersaing di Pasar Tunggal ASEAN, http://www.sinarharapan.co.id/ berita/0609/02/eko08.html
Indeks
A Agreement on Agriculture (AoA) 7 Amerika Serikat vii, 7, 8, 21, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 41, 42, 43, 44, 47, 50, 51, 56, 70, 71, 77, 87, 96, 97, 181, 200, 202 Anggaran Belanja dan Penerimaan Negara (APBN) 187 Arus bebas investasi 207 ASEAN i, iii, iv, v, vi, vii, viii, ix, xiii, xiv, xv, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 50, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 140, 141, 143, 144, 146, 149, 150, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 160, 166, 172, 173, 174, 176, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237 ASEAN-Australia, New Zealand FTA (AANZFTA) 88 ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) 88, 114, 210 ASEAN Community 3, 114, 153, 154, 236 ASEAN Concord II 3, 79, 236 ASEAN Economic Community 3, 4, 79, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 115, 136,
153, 154, 195, 205, 207, 208, 210, 211, 212, 217, 218, 232, 236 ASEAN Economic Ministers’ High Level Task Force (HLTF) on Economic Integration 83, 84, 87, 193, 205 ASEAN Economic Ministers Meeting (AEM) 3, 193 ASEAN-European Union FTA 88 ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) 83 ASEAN Framewrok Agreement Services (AFAS) 216 ASEAN Free Trade Area (AFTA) 79, 80, 81, 82, 83, 84, 90 ASEAN-India FTA 88 ASEAN Investment Area (AIA) 83, 86 ASEAN-Korea Selatan FTA 88 ASEAN, KTT 9 ASEAN Single Window 209, 210, 211, 212, 213, 237 ASEAN Single Window System 210, 211, 237 ASEAN-USA FTA 88 ASEAN, Visi 3 ASEAN-X (ASEAN minus X) 87 Asia Tenggara vi, xiii, xv, 3, 4, 6, 8, 9, 11, 12, 14, 15, 16, 74, 77, 78, 79, 80, 81, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 93, 94, 95, 107, 118, 121, 125, 131, 150, 153, 186, 193, 197, 200, 204, 206, 207, 214, 215, 219, 226, 233 Asia Timur viii, 47, 71, 88, 90, 95, 102, 108, 109, 148 Azis, Iwan Jaya 181
248
Indeks
B Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 185, 210 Bali Concord II 3, 79, 83, 236 Bangladesh 59, 60, 64, 65, 66, 67, 189 Bank Dunia 5, 11, 29, 31, 32, 34, 41, 53, 54, 56, 59, 60, 62, 64, 68, 69, 70, 71, 80, 81, 82, 145, 149, 165, 185, 186, 187, 200 Basri, Chatib 179, 188, 191, 193 Beal, Dave 96, 235 ‘Blok historis’ (historical bloc) 166, 174 Boediono 9, 192, 195, 196, 197, 199, 200, 210, 211, 218, 222, 229, 236 Boothman, Derek 160, 161 Bowles, Paul 52, 79, 80 Bretton Woods v, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 37, 56, 59, 232, 233, 235 British Corn Laws 38 Brunei 11, 12, 50, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 133, 134, 136, 143, 151, 152, 228 Business capital 119 C Cambodia 84 Cambodia, Laos, Myanmar and Vietnam (CLMV ) 84 Center for Policy and Implementation Study (CPIS) 183 Center for Policy Study (CPS) 183 Center for Strategic and International Studies (CSIS) 183 Cetak Biru (Blue Print) Masyarakat Ekonomi ASEAN 83 Chang, Ha-Joon 96 Charlton, Andrew 39, 40, 68, 69, 234 Chili 47, 50 China 43, 72, 88, 96, 99, 100, 101, 107, 114, 149, 154, 188, 209, 210, 232, 235 Churcill, Winston 24 CIP UNIDO 109 Cirera, Xavier 70 Citizen’s Assessment of Structural Adjustment (CASA) 59 Civil society 17 Class “prestige 163
Common Effective Preferential Tariff (CEPT) vii, 78, 79, 81, 82, 83, 84, 85 Common market 197 Competitiveness Industrial Performance viii, 107, 108, 109 Competitive Sustainable Development 97 Competitive Sustainable Manufacturing 97 Consultative Group on Indonesia (CGI) 186 Coordinating Committee on Services 85 Counter-hegemony 174, 222, 231 Critical Theory 16 Croce, Benedetto 160 Crude Palm Oil (CPO) 12 Custom Valuation 42 D Daas, Dilip K. 90, 95 Daftar Eksepsi Umum (General Exception List/GEL) 81 Daftar Ekslusi Sementara (Temporary Exclusion List/TEL) 81 Daftar Inklusi (Inclusion List/IL) 81 Daftar Sensitif (Sensitive List/SL) 81 Daya saing SDM Indonesia 12 Defisit neraca pembayaran 5, 23, 28, 29, 32, 40 Deindustrialisasi xv, 104 Depresi Besar 38, 39, 47 Deregulasi suku bunga 6 Developmental regionalism 90 Digital divide 133 Discourse 18, 167 Discursive formations 159, 169 Discursive function 169 Disiplin fiskal 5 Diskursus xv, 2, 17, 18, 19, 156, 157, 159, 160, 167, 168, 169, 171, 172, 173, 174, 197, 198, 199, 200, 201, 205, 208, 221, 223, 229 Djiwandono, Sudradjat 181 Doha Development Round 43 Doing Business 11, 150, 152, 234, 236 E Economic Structural Adjustment Program (ESAP) 63 Education, Research and Technologi-
Indeks cal Development and Innovation (E&RTD&I) 97 Ekonomi neoklasik 59 Ekuador 59, 60, 63, 65, 66, 68 Engel, Susan 165, 166 Enunciative modalities 170 European Atomic Energy Community (EURATOM) 75 European Coal and Steel Community (ECSC) 75 European Economic Community (ECC) 75 Extended fund facility (EFF) 55 F Foreign Direct Investment (FDI) ix, 90, 145, 146, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 234 Federalisme 75 Femia, Joseph V. 162 Filipina 11, 36, 50, 59, 60, 65, 67, 68, 77, 85, 107, 108, 109, 111, 112, 113, 115, 120, 121, 125, 126, 131, 132, 133, 143, 149, 151, 152, 228 Fiscal austerity 5, 35 Formasi diskursif 2, 18, 19, 159, 169, 170, 171, 172, 173, 198, 199, 200, 202, 205, 207, 210, 219, 220, 226, 229, 230 Foucault, Michel xv, 2, 17, 18, 156, 157, 159, 160, 167, 168, 169, 170, 171, 198, 199, 229, 232, 233, 234 Framework Agreement on the ASEAN Investment Area (AIA) 86 Fraser, Malcolm 35 Freedom Institute 188, 191, 193 Free Trade Agreements(FTAs) v, 44, 47, 53, 114 Friedman, Milton 34 Fujita, Masahisa 46, 71, 72, 88, 89 Fungsi diskursif 169 Fungsionalisme 75 G Gelombang kedua regionalisme 44, 52, 75, 77, 78, 227 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) v, vii, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 81 Ghana 59, 60, 65, 67, 68
249
Gie, Kwik Kian 181, 182, 186, 187, 236 Gilpin, Robert 6, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 34, 37 Global Competitiveness Report 10, 11, 135, 136 Gramsci, Antonio xi, xv, 17, 18, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 173, 174, 179, 181, 195, 197, 198, 232, 233, 234, 235 Gramscian-Foucauldian vi, xii, xv, 16, 17, 19, 156, 157, 160, 167, 172, 175, 191, 219, 228, 229, 230, 231 Grand Bargain 42, 43 Group of Seven (G-7) 30 H Haas, Ernst 75, 76 Hak Kekayaan Intelektual (HKI) 14 Hambatan tarif 38, 39, 79, 84, 209 Hayek, Friedrich von 34 Hegemoni xv, 2, 17, 18, 19, 20, 24, 27, 30, 72, 76, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 172, 173, 174, 176, 177, 178, 179, 180, 183, 184, 185, 187, 191, 192, 193, 195, 197, 198, 203, 208, 219, 220, 221, 222, 223, 226, 228, 229, 230, 231 Hegemonic stability 27 Hegemoni neoliberalisme 2, 157, 172, 173, 222, 226, 231 High politics 76 Homo economicus 158 Hubungan Internasional 17, 75, 76 Hudson, Michael 25, 28 Human capital 119 Human Development Index (HDI) 11, 12, 120, 121, 122, 123, 124, 127, 128, 129, 130, 134, 236 Hungaria 59, 60, 63, 64, 65, 66, 68 I Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) 184 Ikhsan, Mohamad 188, 189, 190, 191 Indochina 77 Indonesia i, iii, v, vi, vii, xi, xii, xiii, xiv, xv, 2, 3, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 37, 50, 77, 94, 95, 97, 99, 101, 102, 103, 104,
250
Indeks
105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 143, 144, 145, 146, 147, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 159, 160, 161, 163, 165, 166, 167, 169, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 235, 236, 237 Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) 114 Indonesia, sektor pariwisata 13 Industrial Development Report 95, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 234 Industri Manufaktur Indonesia vi, 95 Inevitabilitas (inevitability) 2, 19, 173, 219, 220, 226, 229 Inggris 21, 24, 25, 26, 27, 34, 35, 38, 77, 96, 168 Initiative for ASEAN Integration 4 Integrasi kawasan 52, 74, 75, 76, 78, 79, 153 Integrasi pasar global 207 ‘Intelektual organik’ (organic intellectual) 165 International Monetary Fund (IMF) vii, xi, xii, 5, 6, 7, 8, 17, 19, 21, 23, 25, 27, 29, 30, 31, 32, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 41, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 62, 64, 68, 69, 70, 71, 80, 82, 145, 157, 172, 176, 177, 178, 179, 185, 186, 187, 188, 200, 202, 228, 232, 233, 234, 235, 237 6, 21, 30, 235 International Trade Organization (ITO) 21, 37 Inter-regional free trade agreements 44 Invinsible hand 5 J Jepang 41, 42, 50, 77, 87, 90, 95, 107, 114, 131, 188, 209
Joedono, S.B. 184 Jufri, Fikri 181, 182 K Kamboja 11, 28, 82, 84, 85, 112, 125, 126, 143, 149, 152 Kanada 24, 35, 70 Kapitalisme 17, 38, 180 Kawasan perdagangan bebas ASEAN 79, 193 Kebenaran ilmiah (scientific truth) 157 Kebijakan moneter 5, 24 Kekuatan sosial (Social Forces) 17, 163, 164, 165, 166, 174, 177, 179, 192, 222 Kelas kapitalis 16 Kepentingan ekonomi (economic interests) 25, 39, 173, 176, 177, 221, 222 Kepentingan ideologis (ideological interests) 173, 221, 222 Kepentingan-kepentingan sempit ‘ekonomi-korporat’ 164 Kepentingan politik (political interests) 50, 157, 173, 176, 221, 222 Kesepakatan Cobden-Chevalier 38 Kesepakatan Perdagangan Bebas v, vii, 7, 44, 48, 51 Keynesian 5, 22, 24, 30, 35 Keynes, John Maynard 22 Knowledge capital 119 Komunitas epistemis liberal 2, 179, 180, 181, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 200, 201, 202, 210, 222, 223, 228, 231 Konferensi Bretton Woods 21, 22, 24, 26, 27 Konferensi Havana 37 Konsensus Washington 34, 35, 186, 230 Kontrol kapital 24, 27, 29 Krisis Asia 36 Krisis finansial 32, 36, 69, 79 Krisis moneter 102 Krisis utang 31, 32, 54 KTT ASEAN 9, 209, 210 Kuhn, Thomas 179, 180 Kumagai, Satoru 46, 71, 72, 88, 89, 233 Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun 181, 182, 186, 192
Indeks L Laos 28, 82, 84, 85, 125, 143, 149, 152 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 183 Lender of the last resort 176 Letter of Intent (LoI) 177 Liberalisasi xv, 2, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 17, 19, 20, 21, 24, 27, 29, 30, 31, 35, 36, 38, 39, 41, 44, 47, 50, 51, 52, 53, 59, 60, 62, 63, 64, 68, 69, 70, 71, 74, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 94, 113, 115, 118, 135, 136, 152, 153, 178, 179, 180, 184, 185, 187, 193, 195, 196, 197, 198, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 216, 218, 219, 220, 224, 225, 226, 227, 229, 230, 231 Liberalisme 6, 7, 16, 17, 20, 21, 22, 24, 26, 27, 36, 38, 53, 54, 71, 72, 75, 76, 78, 179, 180, 183, 184, 185, 193, 209, 231 Lima elemen inti dari Masyarakat Ekonomi ASEAN 84 Low politics 76 Lembaga Penelitian Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) 183, 186, 188, 189, 190, 191, 193, 194, 200
251
Masyarakat Ekonomi ASEAN i, iii, v, vi, xiii, xiv, xv, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 74, 75, 77, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 93, 94, 95, 106, 107, 113, 114, 115, 118, 131, 135, 136, 143, 144, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 160, 166, 171, 172, 173, 174, 176, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 232 McCulloch, Neil 69, 70 Meksiko 7, 8, 32, 36, 47, 50, 59, 60, 64, 65, 66, 67, 68, 70, 71 Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) 177 Merkantilis 38 Mikesell, Raymon 24 Modalitas enunsiatif 2, 157, 170, 171, 172, 199, 200, 201, 210, 213, 219, 220, 226, 229 Mohammad, Goenawan 181 Most-Favoured Nation (MFN) 86 Mulroney, Brian 35 Mulyani, Sri 186, 187, 188, 192, 199, 200, 211, 212, 213, 222, 229, 235, 236 Mutual Recognition Arrangement (MRAs) 84
M Machiavelli 161, 162 Makarim, Nono Anwar 181, 183, 191 Malaysia 9, 10, 11, 12, 13, 14, 36, 50, 51, 94, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 115, 117, 118, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 136, 138, 141, 143, 149, 150, 151, 152, 154, 215, 228 Mallarangeng, Rizal 179, 180, 181, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 191, 192, 193, 194, 201 Maquiladora 71 Market-driven economy 87 Market-driven regional economic integration 90 Market failures 21 Marx, Karl 16, 160, 161 Masyarakat ASEAN xiii, 3, 153, 193
N North American Free Trade Agreement (NAFTA) 7, 8, 51, 70, 71 National single window 196 Natural capital 119 Neofungsionalisme 75, 76 Neoliberalisme xiii, xv, 2, 4, 5, 6, 8, 10, 15, 16, 19, 20, 30, 32, 34, 35, 36, 37, 52, 54, 55, 56, 59, 62, 64, 68, 69, 71, 72, 74, 76, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 93, 94, 114, 144, 145, 146, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 160, 166, 167, 172, 173, 174, 176, 177, 178, 185, 186, 187, 188, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 208, 209, 210, 213, 215, 219, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231
252
Indeks
Neoliberal regionalism 90 Nesadurai, Helen E.S. 88, 90, 92 Newly Industrialised Asian Economies (NIAEs) 90 New Zealand FTA (AANZFTA) 88 Nishikimi, Koji 46, 71, 72, 88, 89, 233 Nitisastro, Widjojo 180, 185, 186, 192, 198 Non-Tariff Measures/NTMs 85, 216 O Oetama, Jakob 181, 182 Oil Boom 31 Open regionalism 90 Optimalitas (optimality) 2, 19, 173, 219, 220, 226, 229, 230 Orde Baru 180, 184, 188, 192, 198, 201, 202 P Pangestu, Marie Elka 9, 23, 195, 196, 197, 202, 206, 207, 209, 210, 211, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 236, 243, 250, 251 Paradigma pembangunan 4, 5, 224, 225, 226, 230, 231 Pariwisata Indonesia 13, 94, 116, 117, 118, 154, 215 Pasar bebas 4, 5, 8, 15, 16, 22, 25, 29, 30, 34, 59, 71, 72, 83, 89, 193, 194, 195, 197, 200, 224, 228, 230, 231 Pasar tunggal 4, 9, 11, 52, 83, 84, 87, 113, 135, 143, 215, 218, 224 Pasar tunggal dan basis produksi 4, 9, 11, 83, 84, 143 Payer, Cheryl 35 Peet, Richard xv, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 32, 34, 37, 38, 39, 41, 157, 158, 159, 160, 167, 173, 191, 219, 221, 222, 228 Pengangguran di Indonesia 137 Penghapusan hambatan nontarif 207 Penurunan tarif bea masuk 206, 207, 208 Perancis 38, 77, 161 Perang Dingin 44, 47, 50, 52, 74, 76, 77, 78, 80 Perang Dunia Kedua 20, 25, 75, 77 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 23, 25, 37
Persetujuan (consent) 162 Potensi pasar 205, 207 Praktikalitas (practicality) 2, 19, 173, 219, 220, 226, 229 Praktik diskursif 2, 169, 199, 200, 201, 209, 213, 215, 226, 229 Prawiro, Radius 180 Privatisasi xv, 5, 8, 36, 64, 66, 67, 68, 70, 178, 187, 200, 201 Produksi sosial-politik 158 Produksi sosiokultural 159 Program penyesuaian struktural 30, 31, 32, 34, 53, 55, 59, 60, 63, 64 Proteksionisme 21, 22, 38, 96, 184, 210 Public health expenditure 126 Public institutional capital 119 Purchasing power parity (PPP) 121 Pusat Kekuasaan (Power Centers) 221 Putaran Pembangunan Doha 43 Putaran Uruguay 41, 42, 43 R Reagan, Ronald 34 Realisme/neoreralisme 76 Reciprocal Trade Agreement Act (RTAA) 39, 47 Reformasi ekonomi berbasis deregulasi 207 Regionalisme 44, 52, 53, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 82, 87, 88, 89, 90, 91, 115, 176, 227 Regional Trade Agreements (RTAs) 45, 53 Relasi kekuatan militer 163 Relasi kekuatan politik 163 ‘Relasi kekuatan’ (relations of force) 163 Relasi kekuatan sosial 163 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 95, 102, 103, 104, 105, 107, 108, 114, 115, 116, 117, 120, 125, 126, 131, 132, 133, 135, 137, 138, 140, 143, 144, 147, 148, 149, 235 Research and Technological Development and Innovation (E&RTD&I) 97 ‘Revolusi dari atas’ (revolution from above) 166 Revolusi finansial 29, 31 ‘Revolusi pasif’ (passive revolution) 166 Reagan, Ronald 34 Roosevelt, Franklin Delano 24, 39 Rules of origin (ROO) 216
Indeks
253
S
T
Sachs, Jeffrey 118, 119, 120, 144 Sadli 181, 182, 191 Salim, Emil 186 Sanitary and Phyto-Sanitary Standards 42 SAPRIN/CASA 59 Seda, Frans 181, 182 Senior Economic Officials Meeting (SEOM) 193, 205 Serious speech act 18, 159 Simandjuntak, Djisman 181, 182 Simon, Roger 166 Singapura 9, 11, 12, 13, 14, 43, 50, 78, 83, 94, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 115, 117, 118, 120, 121, 125, 126, 131, 132, 133, 141, 143, 150, 151, 152, 154, 207, 215, 228 Single Window 83, 209, 210, 211, 212, 213, 237 Siregar, Arifin 184 Sistem Bretton Woods v, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31 ‘Sistem penyebaran’ (system of dispersion) 170 Sjahrir 181, 182, 184 Skandinavia 24 Skema tarif preferensial efektif bersama 78 Smith, Adam 5, 21, 34, 38 Soeharto 184, 185, 186, 235 Soesastro, Hadi 181, 182, 183, 191, 201 Southeast Asia Collective Defense Treaty 77 Southeast Asian Treaty Organisation (SEATO) 77 Speech act 18, 159 Stand-by credit (SBA) 55 Stiglitz, Joseph E. 35, 39, 40, 41, 69, 70, 71, 91, 232 Structural Adjustment Participatory Review Iniative (SAPRI) 59 Structural adjustment programs (SAPs) 30 ‘Struktur’ ekonomi 164 Subaltern 162, 165 Sub-Sahara Afrika 41 Sumarlin 180 Sumber Daya Manusia Indonesia vi, 118 Sumitro 181, 182, 184 Sunset industry 10 Superstruktur politik dan sipil 17 Suprastruktur 158, 161, 164, 165, 177 ‘Suprastruktur’ ideologis 164
Tata kelola perekonomian global 20, 21, 25, 26, 35, 37, 43, 53, 54, 56, 72 Tenaga kerja yang terampil (skilled labor) 135, 144 Tenaga kerja yang tidak terampil (unskilled labor) 144 Teori Kritis v, 16, 158 Terms of trade 40, 63, 95 Thailand 9, 10, 11, 12, 13, 14, 36, 50, 51, 77, 94, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 115, 117, 118, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 136, 141, 143, 149, 150, 151, 152, 154, 209, 215, 228 Thatcher, Margaret 34, 35 The International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) 21 There Is No Alternative 35 The Structural Adjustment Participatory Review International Network (SAPRIN) 59 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 140 Total health expenditure 125 Trade-Related Intellectual Propoerty Rights (TRIPs) 42 Trade-related investment measures (TRIMs) 41, 42 Trickle down effect 6 “Trilema” finansial internasional 22 U Usaha Kecil dan Menengah (UKM) 14, 15, 237 Uni Eropa 41, 43, 50, 52, 87, 97 United Nations Development Program (UNDP) 11 United Nations Educational, Scientific and Cultural Organziation (UNESCO) 131 United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) 108 V Vietnam 9, 11, 28, 50, 82, 84, 85, 112, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 132, 133, 134, 136, 143, 149, 151, 152, 165, 166, 228
254
Indeks
Viner, Jacob 22 Visi ASEAN 3, 4, 79 W Wahid, Abdurrahman 186, 192 Wardhana, Ali 180, 185 Washington Consensus v, 5, 31, 34, 35, 36, 56, 235 Wibisono, Christianto 181, 182 Winters, L. Alan 69, 70, 233 World Economic Forum (WEF) 10, 11, 237 World Intellectual and Property Organization (WIPO) 132 World Investment Report (WIR) 149 World Trade Organization (WTO) v, 5, 7, 17, 20, 21, 32, 34, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 47, 50, 51, 53, 69, 70, 71, 82, 83, 88, 157, 204, 210, 233, 234 Z Zimbabwe 59, 60, 63, 65, 66, 67, 68 Zimmerman, Fred 96
Tentang Penulis Dodi Mantra (lahir di Palembang tahun 1982) adalah dosen pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Al Azhar Indonesia. Anggota dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHI).