MAGGIE STIEFVATER Penulis bestseller, Shiver
“Petualangan, fantasi, dan kisah cinta yang sangat memesona. Lament akan memikat sekalian pembaca dengan kehidupan normal dan magis yang diramu secara piawai.” —KLIATT “Sarat dengan misteri, musik, percintaan, dan sesuatu yang magis. Karakter-karakternya terbentuk dengan matang dan kisah Peri-nya sungguh luar biasa. Sebuah bacaan hebat, saya menyukai buku ini seratus persen.” —Realms of Fantasy “Kental dengan kutukan dan kejahatan, Lament adalah karya yang magis dan musikal, serta praktis memancarkan romansa. Sebagai gubahan tradisi lama, tulisan ini menggugah pikiran yang tajam dan hati yang puitis.” —Cynthia Leitich Smith, penulis Eternal
LAMENT Muslihat Ratu Peri Diterjemahkan dari LAMENT karya Maggie Stiefvater Copyright © 2008, Maggie Stiefvater Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Hak terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ada pada PT. Ufuk Publishing House Pewajah Sampul: Julia Jeffrey Tata Letak Isi: Ufukreatif Design Penerjemah & Penyunting: Leinovar Bahfein Pemeriksa Aksara: Uly Amalia
Untuk ayahku, karena dia seperti aku, dan untuk Ed, karena dia berbeda denganku.
Cetakan I: Agustus 2010 ISBN: 978-602-8801-35-5
UFUK PRESS PT. Ufuk Publishing House Anggota IKAPI Jl. Warga 23A, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12510, Indonesia Phone: 62-21 7976587, 79192866 Fax: 62-21 79190995 Homepage: www.ufukpress.com Blog : http://ufukpress.blogspot.com Email :
[email protected]
Pr olog
P
emuda itu tidak tahu sudah berapa lama dia berada di sana. Tetapi tampaknya sudah cukup lama sehingga
air sedingin es itu menjalarkan rasa dingin dari kaki ke bagian tubuhnya yang lain. Cukup lama sehingga jari-jarinya kelelahan menahan kepalanya tetap di atas air. Di kejauhan, ratapan anjing-anjing yang menakutkan membuat jantungnya berdegup kencang. Dia memejamkan mata, berkonsentrasi agar pegangannya� ������������ di pinggiran sumur itu tidak terlepas dan berusaha menenangkan detak jantungnya. Mereka tidak bisa mencium aromamu di sini. Aroma tubuhmu akan hilang di tengah aliran air dan mereka tidak akan menemukanmu. Sentuhan air yang dingin merayap semakin jauh sampai ke lehernya. Dia mengencangkan pegangan, menengadah ke
langit malam yang jernih. Mendesah. Lelah. Sudah berapa
Tiba-tiba sepasang tangan yang ramping mengangkat
lama dia seperti ini? Amat sangat lama. Di atas sungai,
merpati pucat dari tempatnya menggelepar-gelepar di dasar
geraman itu menyurut. Mereka tidak bisa mencium aroma
sangkar. Tubuhnya dikeluarkan dan diserahkan ke seorang
tubuhnya.
wanita bercahaya, yang memancarkan warna keemasan yang
Tolong, tinggalkan aku. Bukankah aku sudah banyak
aneh di tengah ruangan kelabu-hijau itu.
berkorban? Dia berdoa agar Mereka kembali ke tempat asal.
Ketika dia bicara, suaranya bergema, cukup indah
Tapi dia tidak berharap doanya dijawab. Perhatian Tuhan
untuk memancing air mata. “Sayap ini,” katanya lembut,
ditujukan kepada mereka yang berjiwa—status yang telah
mengangkat lilin. Perlahan jari-jari itu mengangkat sayap
dicabut darinya sejak seribu tahun lalu, atau bahkan lebih.
merpati sehingga tubuhnya condong ke wanita itu. Lilin
Dia menelan ludah. Jauh di dalam dadanya, dia merasakan
yang dipegangnya memantulkan warna-warni matahari di
desiran lembut dan aneh yang menandakan Mereka telah
mata merpati.
memasuki ruangan sangkar. Dia menelusupkan tangannya ke air, ke dalam saku celananya, menarik dua paku tua
Wanita itu tersenyum tipis dan memegang daging pucat di bawah sayap sang burung.
yang sudah karatan, dan menggenggamnya erat-erat. Yang
Pemuda di pinggiran sumur menggigil. Sambil menggigit
harus dia lakukan bukanlah menjerit. Dia harus berhasil
bibir, dia menekankan dahi ke lengannya, memaksa dirinya
melewati kemelut ini.
tenang. Rasa sakit di dadanya menjadi-jadi, memeras
Di tempat lain, dalam sebuah kamar batu kecil, bulat,
jantungnya dengan sentuhan yang menakutkan. Sama cepat
dan diselimuti lumut seperti bulu serigala, seekor merpati
dengan kemunculannya, rasa itu sirna. Pemuda itu tersengal-
mengepak-ngepakkan sayap dalam sebuah sangkar yang dibuat
sengal tanpa suara.
dari rangkaian kawat sehalus rambut. Sayapnya membentur-
Wanita di ruangan kelabu mengangkat lilin ke samping
bentur jeruji, dan cakarnya menggores-gores tempatnya
wajahnya, menyinari kecantikannya. Kecantikan yang
bertengger, hanya untuk terkapar di lantai sangkar. Tapi
mengalahkan keindahan hari-hari di musim panas. “Dia
kegelisahan itu bukan karena ia ingin melarikan diri—tidak
selalu memilih jalan yang sulit, bukankah begitu?” Merpati
ada pintu dalam sangkar itu. Akan tetapi karena ia takut.
mulai menggelepar-gelepar seiring kata-kata itu. Kali ini, sang
Ketakutan yang luar biasa dan membuatnya putus asa,
wanita mencondongkan lilin lebih dekat hingga membakar
sampai-sampai jantungnya berdegup kencang seolah akan
ujung bulu burung itu, membuatnya menggulung dan
melompat keluar dari dadanya.
menghitam seperti lembaran kertas. Merpati terdiam kaku,
paruhnya terbuka menahan sakit tanpa suara, matanya menatap kosong ke langit-langit. Di sumur, pemuda itu tersengal-sengal lagi. Dan dia berusaha tidak lupa menahan kepalanya di atas permukaan air. Jantungnya terperas di dalam tubuhnya. Dan saat dia memejamkan mata kuat-kuat, detak jantungnya berhenti. Perasaannya hampa, dia tergelincir ke dalam air, jari-jarinya lemas, kukunya perlahan menggoreskan garis dalam kegelapan di bawahnya. Kepalanya terdorong ke belakang, lehernya dipuntir dengan cengkeraman yang tidak manusiawi. Dia ditarik ke dalam malam dan dijatuhkan ke tanah beraroma semanggi, air menyembur dari mulutnya. “Jangan mati sekarang, Sobat.” Sang pemburu menunduk kepadanya. Entah senang atau marah dengan tangkapannya.
Bagian Satu …kau meninggalkanku yang terguncang akibat penderitaan tak terperikan. Kuingin kau tahu betapa aku mengagumi wajahmu yang tenang dan keindahanmu akan selalu menyertaiku, ke mana pun kupergi. —“Bridgit O’Malley”
Pengejaran telah usai, jadi kesenangan telah berlalu. Anjinganjing mengelilingi tubuh sang pemuda yang tergeletak di tengah semanggi. “Tugas sudah menunggu.” *
1 K
“
au akan baik-baik saja setelah kau muntah,” kata Ibu dari kursi depan. “Biasanya begitu.” Berdiri di belakang mobil bak kami yang berdebu,
aku mengerjap di tengah rasa pening dan melepas kotak harpaku dari punggung. Aku merasa mual. Pernyataan Ibu tadi nyaris menjadi satu-satunya alasan yang kubutuhkan untuk menghindari karier sebagai musisi yang tampil di depan umum. “Teruskan pidatonya, ‘Bu.” “Jangan kasar begitu.” Ibu melempar cardigan kepadaku. Warnanya serasi dengan celana panjangku. “Pakai itu. Kau akan kelihatan lebih profesional.” 10
11
Aku bisa saja menolak, tapi akan lebih mudah jika
lomba. Aku menyipitkan mata dan memeriksa tembok beton
kuterima saja sarannya. Seperti yang dikatakan Ibu, semakin
sekolah yang lebar. Terbentang sebuah spanduk besar yang
cepat aku masuk ke auditorium dan tampil di atas panggung,
berkilau di awal siang yang terik. Di sana tertulis, Pintu
semakin legalah aku. Begitu semuanya selesai, aku bisa
Masuk Peserta. Aku benar-benar berharap tidak harus
kembali ke kehidupan sehari-hariku sampai berikutnya dia
kembali ke sekolah ini sampai akhir masa SMA-ku. Yeah,
memutuskan untuk mengeluarkan aku dari sangkar. Aku
selamat tinggal sarang mimpi.
menampik tawaran Ibu membawakan harpaku, meskipun
Aduh, panas sekali. Aku menengadah ke matahari,
banyak siswa lain yang diiringi orangtua mereka. Entah
menyipit, dan mataku terpaku ke bulan yang tergantung
mengapa, lebih nyaman rasanya menjadi orang yang benar-
di langit, di samping matahari. Karena alasan tertentu,
benar tak terlihat. Tidak ada orang yang mengawasimu.
kemunculan hantu bulan ini menggelitik perutku—saraf-
“Kalau begitu kita akan parkir mobil dulu. Lalu mencari
saraf dari jenis berbeda. Semacam kekuatan magis yang
tempat duduk. Telepon aku kalau kau butuh sesuatu, ya?”
membuatku ingin tetap menatapnya sampai aku ingat
Ibu menepuk tas birunya, yang serasi dengan atasan sewarna
mengapa ia memesonaku. Tapi berdiri di tengah suhu yang
yang tipis melayang. “Dan mestinya sebentar lagi Delia
terik begini membuat kondisi perutku semakin parah. Jadi
datang.”
kutinggalkan saja lempengan pucat itu dan berjalan menuju
Bayangan akan tanteku yang bak diva mendorongku
“Pintu Masuk Peserta”.
semakin dekat ke titik muntah dalam skala yang mengerikan.
Saat aku mendorong pintu yang berat, terlintas dalam
Dia akan berkata keras-keras, Oh Deirdre, bolehkah aku
pikiranku bahwa aku sama sekali tidak ingin muntah sebelum
membantumu memainkan not-not tinggi? Kau ini agak payah
ibuku mengatakannya. Aku sama sekali tidak memikirkan
di nada tinggi. Kemudian aku akan muntah di depannya.
kompetisi. Sungguh. Mataku berair, tapi memang selalu
Hei, mungkin itu bukan rencana buruk. Meskipun aku
begitu. Dalam perjalanan aku berusaha tidak memperhatikan
sangat kenal tanteku. Dia akan mengoreksi penampilanku.
gerakan yang cepat, tapi bukan karena alasan yang ada
Deirdre sayang, aku tidak bercanda, kau butuh tempolong
dalam pikiran ibuku. Aku masih larut dalam mimpi tadi
muntah yang lebih baik kalau kau ingin bermain secara
malam. Tapi sekarang, karena dia mengatakannya, dan
profesional.
dengan kompetisi yang sudah di depan mata, dunia pun
“Bagus,” kataku. Orangtuaku melambaikan tangan
kembali seperti semula dan perutku bertingkah.
dan meninggalkan aku yang harus mencari lokasi peserta 12
13
Seorang perempuan berdagu ganda dan memegang map menanyakan namaku. “Deirdre Monaghan.” Dia menyipitkan mata—atau barangkali itu adalah ekspresi normal wajahnya. “Barusan seseorang mencarimu.”
siswa di sekitar sini, sarafku sudah menegang. Ya Tuhan, aku benar-benar payah. Kotak harpaku berbunyi. Ponselku. Aku mengeluarkannya dan melongo. Sehelai semanggi berkelopak empat menempel di bagian belakangnya. Lembap dan segar. Bukan jenis daun
Kuharap yang dia maksud adalah James, sahabat sekaligus
yang kelopak keempatnya tidak berkembang sempurna, dan
satu-satunya temanku. Aku tidak tertarik kepada yang
kau bisa melihat kelopak itu hanyalah kelopak ketiga yang
lain sekiranya mereka mencariku. Aku ingin menanyakan
bermutasi. Tidak, keempat kelopak semanggi ini terbentuk
bagaimana rupa orang itu. Tapi aku khawatir, kendaliku
dengan sempurna dan melebar.
yang lemah terhadap refleks tersedakku akan lepas sekiranya
Kemudian aku teringat, ponselku berbunyi. Aku melihat
aku banyak bicara. Berada di dekat area kompetisi saja
nomornya, berharap bukan Ibu yang menelepon, dan
sudah membuat keinginan muntahku kumat.
menjawabnya. “Hai,” kataku tegang, sambil mengelupas
“Perempuan tinggi, rambut pirang.”
semanggi itu dari teleponku dan memasukkannya ke dalam
Bukan James. Tapi juga bukan Delia. Membingungkan,
saku. Tidak ada salahnya kalau kusimpan.
tapi bukan prioritas dibandingkan hal-hal lain.
“Oh,” kata James simpatis, paham dengan nada suaraku.
Perempuan itu menggoreskan sesuatu ke samping tulisan
Meskipun suaranya halus dan pecah-pecah, tetap saja
namaku. “Kau harus mengambil paket di ujung koridor.”
memberikan efek menenangkan seperti biasanya. Cairan di
Aku menutup mulut dengan tangan dan bertanya hati-
dalam tenggorokanku menyurut. “Seharusnya aku menelepon
hati, “Ada ruangan tempat latihan?” “Kalau kau melalui koridor ini, melewati tempat kau mengambil paket, ada dua pintu besar di—” Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. “Oke. Ruangan kelas di sana?”
lebih awal, ya? Kau hampir muntah.” “Yeah.” Aku berjalan pelan ke arah pintu ganda di ujung koridor. “Tolong alihkan pikiranku.” “Well, aku terlambat,” katanya ceria. “Jadi mungkin aku terpaksa menyetel obo di mobil. Kemudian aku akan
Dia menggoyangkan dagu. Aku menafsirkannya sebagai
keluar tanpa kemeja, karena tidak akan sempat memakainya.
“ya” dan berjalan ke sana. Mataku tidak bisa segera beradaptasi
Belakangan ini aku latihan angkat beban. Jika mereka tidak
dengan cahaya. Tapi hidungku langsung berfungsi dengan
terpesona dengan bakat musikku yang luar biasa, mungkin
baik. Aroma SMA-ku yang sangat kukenal. Meskipun tanpa 14
15
mereka akan memberiku nilai tinggi karena aku punya six
obo ke mobil, tapi aku akan menemuimu sebentar lagi.
pack.”
Usahakan jangan pingsan.”
“Kalau kau hanya mengenakan rok, mungkin para juri akan memberi nilai Braveheart untukmu.” “Hei, jangan menghina kilt aku, ya! Omong-omong, kau bermimpi manis semalam?”
“Yeah, trims,” kataku. Ponselku hening, dan aku memasukkannya kembali ke dalam kotak saat aku sampai di depan pintu ganda. Samar-samar terdengar gumaman tidak beraturan. Aku mengantre untuk mendapatkan paket,
“Emm…” Meskipun James dan aku cuma teman, aku
sambil menggendong harpa di punggung. Akhirnya aku
ragu-ragu menceritakannya. Mimpi-mimpiku yang kuat
mendapatkan amplop manila dan pergi. Karena terburu-buru
dan mendetail biasanya menjadi bahan hiburan bagi kami.
keluar dari sana, tanpa kusadari posisi harpaku miring.
Dua malam lalu aku bermimpi diwawancarai oleh seorang
Tiba-tiba seorang siswa di belakangku tersenggol harpa.
dekan Harvard yang tenggelam dalam kubangan keju
“Uh—ya ampun.” Perlahan dia membetulkan posisi
sampai ke lehernya (rasanya itu keju Gouda). Kesan yang
harpaku dan ternyata aku mengenalnya. Dia Andrew,
ditimbulkan mimpi semalam masih kurasakan, dalam arti
pemain instrumen tiup di orkestra sekolah. Mungkin
yang menarik. “Aku tidak bisa tidur nyenyak semalam,”
terompet. Pokoknya sesuatu yang nyaring. Dia tersenyum
kataku akhirnya.
lebar—menatap dadaku lebih dulu, lalu wajahku. “Kau
Oh. Bulan. Mendadak aku ingat. Aku bermimpi melihat
harus hati-hati. Benda mati itu akan lari darimu.”
bulan di siang hari bolong. Karena itulah aku mengalami
“Yeah.” Kalau dia melucu lagi, aku akan muntah di
sensasi déjà vu. Aku kecewa hal itu bukanlah sesuatu yang
depannya. Aku menggeser harpaku beberapa inci darinya.
luar biasa.
“Maaf.”
“Well, itu wajar,” kata James. “Delia datang,” kataku. “Oh, jadi akan ada pertengkaran kakak-adik hari ini, huh?” “Bukan, ini akan menjadi pertengkaran model ‘anakku lebih berbakat darimu’.”
“Hei, kau boleh menyenggolkan harpamu ke tubuhku kapan saja.” Aku tidak tahu bagaimana menanggapinya, jadi aku cuma bilang, “Yeah.” Tanpa repot-repot, aku menjadi tak terlihat dan Andrew pergi. Lucu sekali, ini seperti pengalaman sehari-hariku di SMA.
“Sudahlah, sudahlah,” imbuh James menenangkan. “Oh,
Meskipun sebenarnya bukan. Berdiri di sebelah pintu
sialan. Aku benar-benar terlambat. Aku harus memasukkan
ganda, mendengar gemuruh suara dan instrumen-instrumen
16
17
di belakangnya, aku tidak bisa lupa, mengapa kami ada di
merasa frustrasi. Dan sekarang aku nyaris sampai ke titik
sini. Ratusan siswa berlatih sebelum melakukan pertunjukan
itu.
di panggung untuk memenangkan piala 26th Annual Eastern
Selang beberapa saat, aku merasakan tangan yang dingin
Virginia Arts Festival. Mereka berusaha membuat perwakilan
merapikan rambut dari wajahku. Aku tidak mendengar
kampus dan sekolah seni terkesan.
seseorang masuk ke toilet ini. Tapi entah mengapa, aku
Perutku bermasalah lagi. Kali ini aku tidak bisa menghin-
tidak kaget. Seolah-olah aku sudah menduga seseorang akan
dar. Aku berlari ke toilet wanita yang terletak di basement,
menemuiku di sini. Tanpa melihat, aku tahu itu adalah
di bawah arena senam. Jadi aku bisa muntah tanpa ada
tangan lelaki. Dan yang pasti bukan tangan James.
yang tahu. Kuletakkan harpa di samping wastafel, hampir
Aku mulai mengangkat kepala, merasa malu ketika sang
saja terlambat. Tanganku berpegangan di dudukan toilet yang
pemilik tangan berkata tegas, “Jangan khawatir. Sebentar
berwarna abu-abu kuning. Banyak bercak di sana, akibat
lagi selesai.”
terlalu banyak zat pembersih dan terlalu banyak siswa yang telah menggunakannya.
Dan memang benar. Akhirnya aku tidak muntah lagi. Hanya merasa gemetar dan benar-benar hampa. Dan karena
Aku benci sekali. Perutku semakin bergejolak. Inilah
alasan tertentu, aku tidak sepenuhnya terganggu dengan
rutinitasku setiap kali akan tampil di depan umum. Aku
kehadiran seorang cowok di belakangku. Aku berbalik untuk
tahu, takut pada keramaian itu bodoh sekali. Dan aku tahu,
melihat orang yang menyaksikan hal paling tidak seksi yang
muntah-muntah dan menjadi gugup itu semua salahku. Tapi
bisa dilakukan seorang cewek. Kalau dia Andrew, aku akan
tetap saja aku tidak bisa menghentikannya. James telah
menonjoknya karena telah menyentuhku.
mencarikan informasi tentang “takut merasa malu di depan
Tapi bukan Andrew. Dia adalah Dillon.
umum” (katagelofobia) untukku. Suatu sore kami bahkan
Dillon.
mencoba mempraktikkan hipnosis, lengkap dengan pamflet-
Cowok dalam mimpiku. Hadir untuk menyelamatkanku
pamflet pengaktualisasian diri dan musik penenang. Ujung-
dari kemungkinan akan mendapat malu di depan umum
ujungnya kami menjadi penggemar musik New Age.
dan membimbingku untuk menerima tepuk tangan para
Persoalanku belum lagi berakhir. Rambutku berantakan.
hadirin dengan rasa bangga.
Potongan rambutku terlalu pendek di bagian depan sehingga
Dia menjulurkan tisu kepadaku dan tersenyum ramah,
tidak bisa dikuncir. Terbayang diriku naik ke panggung
“Hai. Aku Luke Dillon.” Suaranya begitu lembut dan penuh
dengan rambut acak-acakan. Aku hanya menangis ketika
kendali diri. Jenis suara yang tidak bisa kita bayangkan
18
19
menjadi nyaring. Sungguh, sekalipun dalam konteks kamar mandi yang penuh muntahan, suaranya luar biasa seksi.
Aku tidak menjawab. Aku nyaris pingsan di depan cowok asing yang tampan di lantai kamar mandi. Luke
“Luke Dillon,” aku membeo, berusaha tidak terperangah.
menjangkau ke antara sudut kedua tangan dan kakiku
Aku mengambil tisu itu dengan tangan yang masih gemetar
dan menempelkan tisu basah ke dahiku. Pendengaranku
lalu menyeka wajah. Sosoknya tidak terlalu jelas dalam
normal kembali.
mimpiku. Tapi aku yakin, dialah yang hadir dalam mimpiku. Ramping seperti serigala, dengan rambut pirang pucat dan
“Terima kasih,” gumamku, sebelum duduk tegak dengan sangat perlahan.
mata yang bahkan lebih pucat lagi. Dan seksi. Mimpiku
Luke berjongkok di depanku. “Kau sakit?” Dia tampak
sepertinya kurang menegaskan hal ini. “Kau masuk ke
tidak khawatir apakah penyakitku menular atau tidak. Meski
toilet wanita.”
begitu aku menggelengkan kepala dengan mantap.
“Aku mendengar kau masuk ke sini.” Dengan suara lebih gemetar dari yang kuinginkan, aku menambahkan, “Kau menghalangi jalanku ke wastafel.” Luke bergeser ke samping agar aku bisa berbelok dan menghidupkan keran untuk membasuh wajah. “Kau ingin duduk?” “Tidak—ya—mungkin.” Dia kembali dengan kursi lipat dari kamar kecil di belakang konter dan meletakkannya di sampingku. “Wajahmu sangat pucat. Kau yakin baik-baik saja?”
“Gugup. Aku selalu muntah sebelum hal-hal semacam ini. Memang, seharusnya aku lebih waspada—tapi aku tidak bisa menghentikannya. Setidaknya sekarang aku tidak akan muntah di panggung. Meskipun mungkin masih pusing.” “Jangan sok kuat,” sindir Luke. “Apakah pusingnya sudah berhenti sekarang? Maksudku, apakah kau masih ingin di sini, atau keluar?” Aku berdiri. Setelah beberapa detik, aku masih berdiri. Jadi tentunya aku sudah pulih. “Tidak, sudah baikan—emm—harus latihan. Sepertinya
Aku duduk di kursi. “Kadang setelah aku selesai—
tinggal empat puluh lima menit lagi. Entah sudah berapa
emm—melakukan itu, aku pingsan.” Aku tersenyum lemah
banyak waktu yang terbuang.” Aku menunjuk ke konter,
saat telingaku mulai bergemuruh. “Salah satu—emm—dari
tempat dia menemukanku.
sekian banyak pesonaku.” “Tundukkan kepalamu di antara lutut.” Luke membungkuk di samping kursi dan mengawasi wajahku yang
“Kalau begitu, ayo keluar dan berlatih. Mereka akan memberi tahu kapan kau harus melanjutkan dan di sana lebih sepi.”
terbalik. “Matamu sangat cantik, kau tahu itu?” 20
21
Kalau dia cowok lain, tentu aku tidak akan menggubrisnya.
dan menuju salah satu bangku piknik di dekat lapangan
Rasanya ini adalah percakapan terpanjang yang kulakukan
sepak bola. Panggilan terhadap seorang siswa terdengar
dengan seseorang selain James atau keluargaku dalam dua
menggelegar dari corong pengeras suara di dekat pintu
tahun terakhir. Dan bahkan itu tidak termasuk bagian
belakang. Luke menatapku, “Betul, ‘kan? Kau akan tahu
ketika aku muntah.
kapan kau harus pergi.”
Luke mengambil kotak harpaku. “Biar aku bawakan,
Kami tetap di sana. Dia di atas meja piknik dan aku di
karena kau lemah dan suka berpura-pura. Bisa bawakan
bangku, di sebelah harpaku. Dengan matahari yang bersinar
ini untukku?” Dia menyodorkan sebuah kotak kayu kecil
terang, matanya sama pucatnya dengan kaca.
dengan ukiran indah. Lebih berat dari kelihatannya. Tapi
“Apa yang akan kau mainkan untukku?”
aku suka—sepertinya ada rahasia di dalamnya.
Perutku melilit. Dia akan berpikir aku orang yang
“Apa isinya?” Begitu pertanyaan ini terlontar, aku sadar, itulah pertanyaan pertamaku kepadanya sejak dia
sangat mengibakan. Terlalu gugup untuk memainkan harpa, sekalipun di hadapannya saja. “Emm…”
menyentuh rambuku. Tidak terlintas dalam pikiranku
Dia mengalihkan pandangan, membuka kotak flute-nya,
untuk menanyakan hal-hal lain tentang dirinya. Seolah-olah
dan dengan hati-hati menyetel bagian-bagiannya. “Jadi kau
segala sesuatu sebelum sekarang tidak bisa dipertanyakan
mengaku seorang musisi hebat tapi tidak ingin membaginya
dan diterima. Seolah-olah itu bagian dari perjanjian tidak
ke orang lain?”
tertulis di antara kami. “Flute.” Luke mendorong pintu toilet dan menuju salah satu pintu belakang.
“Well, kedengarannya sangat egois kalau kau mengatakannya seperti itu!” Dia memiringkan mulut saat mengangkat flute-nya.
“Kau ikut lomba apa?”
Terdengar nada “A” diiringi desahan napas lalu dia membe-
“Oh, aku tidak ikut lomba.”
tulkan posisi corong flute-nya. “Well, aku sudah menyentuh
“Jadi kenapa kau di sini?”
rambutmu. Tidakkah itu membuatku layak mendengar
Dia menoleh dan menebar senyum yang sangat cemerlang
permainan musikmu? Pusatkan perhatianmu pada musik.
sehingga aku mendapat kesan dia tidak sering tersenyum seperti itu. “Oh, aku datang untuk menonton permainanmu.” Dia berbohong. Bagaimanapun juga, aku suka jawabannya.
Anggap aku tidak ada.” “Tapi kau ada.” “Anggap aku meja piknik.”
Dia membimbingku ke area terbuka di belakang sekolah 22
23
Aku menatap tangan berotot di balik lengan T-shirt-nya. “Kau jelas bukan meja piknik.” Ya Tuhan, cowok ini jauh sekali dari meja piknik. Luke menatapku. “Mainkan.” Suaranya tegas, dan aku mengalihkan pandangan. Bukan karena merasa tersinggung, tapi karena aku tahu, dia benar.
Laguku terputus karena aku mendengar flute-nya mengiringi musikku. “Kau tahu lagu ini?” “Tentu saja. Apakah kau akan bernyanyi sampai ke bait ketika dia terbunuh?” Aku mengerutkan dahi. “Aku hanya tahu sebagian. Aku tidak tahu dia mati.”
Aku beralih ke harpaku—halo, sobat—dan memasangnya
“Kasihan sekali. Tentu saja dia mati. Ini lagu Irlandia,
di sandaran setinggi enam inci agar pas dengan lekukan
‘kan? Selalu ada kematian dalam lagu-lagu Irlandia. Akan
bahuku. Pandangan sekilas ke senar menunjukkan semuanya
kunyanyikan untukmu. Kau harus ikut bermain agar nadaku
masih oke, dan aku mulai bermain. Senar-senar itu begitu
tidak meleset.”
indah dan lemas di bawah jemariku. Harpaku menyukai cuaca yang hangat dan lembap seperti sekarang. Aku bernyanyi. Pada awalnya suaraku parau, kemudian
Aku memainkan harpaku, menyesuaikan diri ke jenis suaranya. Dia mengangkat wajah dan bernyanyi.
menguat begitu aku menyadari keinginanku membuatnya terkesan.
Datang dan pergi engkau dalam mimpi-mimpiku Mentari bersinar menembus jendela
Mengikuti irama harpa yang terus mengalun
Dan menyinari rambutmu
Pengorbanan yang kuserahkan ketika kau
Seolah kau ada di sampingku
pergi hari itu
Tapi aku tahu kau tidak di sana
Kuberikan segenap hatiku
Kau akan duduk di samping jendela
Datang dan pergi engkau dalam mimpi-mimpiku
Membelai rambutku dengan jemarimu
Seiring hancurnya hatiku
Kau selalu di sampingku
Takkan lagi kunyanyikan lagu ini
Tapi aku tahu kau tidak di sana Oh, berada di sampingmu lagi
Takkan lagi kudengar alunan harpa…
Oh, berpegangan tangan denganmu lagi Oh, berada di sampingmu lagi Oh, berpegangan tangan denganmu— 24
25
“Betul, ‘kan, dia terbunuh—”
Komentar “polos” jelas tidak bisa kuterima, sekalipun dari
“—menyedihkan,” selaku.
Luke Dillon yang misterius.
“—dan lagu ini sangat tua,” Luke melanjutkan. “Bagian
“Kalau kurang polos tidak akan seperti itu,” aku berhasil
yang tadi kau nyanyikan— ‘oh berada di sampingmu,’—itu
mengatakannya dengan tenang. Aku gampang naik darah
adalah tambahan. Aku belum pernah mendengarnya. Tapi
seperti ibuku. Tapi sama dengannya juga, aku tidak pernah
bagian yang kunyanyikan memang bagian yang asli. Kau
menunjukkannya. Kurasa komentar Luke tadi membawaku
tidak tahu itu?”
ke posisi antara “dingin seperti es” dan “risiko terkena
“Tidak,” kataku, lalu menambahkan dengan tulus, “Suaramu sangat bagus. Seperti yang terdengar di CD.”
radang beku”. Luke menyunggingkan seulas senyum yang aneh. “Jangan
“Kau juga,” kata Luke. “Suaramu seperti malaikat.
marah, gadis cantik. Aku hanya ingin mengatakan kau benar-
Lebih baik dari yang kuduga. Dan ini lagu perempuan.
benar bisa menggubah interlude manis yang khas dirimu.
Liriknya sangat perempuan, kau tahu?”
Sedikit berimprovisasilah—spontan. Munculkan sesuatu. Kau
Pipiku merona. Tentu saja, ini bodoh. Karena aku
berbakat untuk itu. Hanya saja kau tidak mencoba.”
sudah sering mendengar orang mengatakan aku hebat.
Butuh waktu sejenak bagiku untuk mencerna rayuannya
Saking seringnya, komentar itu seolah tidak berarti apa-apa
agar bisa menyadari maksud ucapannya. “Aku menciptakan
lagi bagiku. Tapi sekarang hatiku seakan melompat keluar
beberapa nada,” kataku. “Cukup memakan waktu. Berminggu-
mendengar pujiannya.
minggu. Berhari-hari, maksudku. Rasanya aku tahu di bagian
“Sangat perempuan,” aku berhasil memprotes. Luke mengangguk. “Tapi kau bisa melakukannya jauh lebih baik. Kau sama sekali tidak memaksakan diri. Sangat polos.” Suasana hatiku langsung berubah dari senang menjadi jengkel. Aku telah berlatih memainkan “Rintihan Gadis Peri”
mana aku bisa memasukkannya.” Dia menggeser tubuhnya lebih dekat dan mengangkat flute. “Bukan itu maksudku. Ciptakan sesuatu sekarang.” “Tidak bisa. Akan berantakan.” Luke mengalihkan tatapan. “Semua orang bilang begitu.”
selama berbulan-bulan. Juga mengaransemennya dengan begitu
Aku mendapat firasat sesuatu yang besar akan terjadi
banyak polesan yang sulit dan mengubah kord-nya sehingga
pada momen ini. Tepatnya apakah aku akan menyerah atau
pemain harpa yang paling sinis sekalipun akan terpesona.
berusaha. Hanya saja aku tidak yakin, yang mana yang akan terjadi. Aku cuma tahu bahwa aku tidak ingin membuatnya
26
27
kecewa. “Kalau begitu, bermainlah bersamaku. Bantu aku memikirkannya. Aku akan berusaha.” Tanpa menatapku, dia mengangkat flute-nya dan memainkan nada-nada pembuka. Aku menyertainya dengan harpaku
“Aku akan memberi tahu panitia.” Aku hendak berdiri, tapi dia menggamit tanganku. “Mereka sudah tahu,” katanya lembut. “Kau ingin berlatih lagi?”
tak lama kemudian. Kami bermain bersama-sama. Selesai
Jelas aku kaget. Terpana dengan kata-katanya, perlahan
melewati bagian pertama, jari-jariku otomatis menemukan
aku duduk, menatapnya dengan ekspresi kebingungan. Sesuatu
not-notnya. Tidak berbeda dengan diriku yang otomatis
dalam diriku menggelitik dengan semacam peringatan atau
menerima kehadiran Luke berikut seluruh keanehannya
harapan. Aku punya pilihan—kekuatan untuk memutuskan
sejak setengah jam terakhir. Seolah aku telah membaca
yang mana yang berlaku. Kalau mau aman, itu adalah
skrip yang dituliskan untukku.
peringatan.
Tetapi pada bagian kedua, jemariku membuat sedikit
Aku mengangguk mantap. “Yeah. Ayo latihan.”
variasi. Bahkan bukan sekadar beberapa not saja. Melainkan
“Dee—rupanya kau di sini.”
lebih dari itu—suatu keputusan untuk memegang kendali
Pikiranku buyar. Aku menoleh dan mendapati James
dan menjadikan nada itu sebagai milikku. Untuk pertama
di belakangku. Butuh waktu sejenak untuk mengingat kali
kalinya, aku memanggil nada dan rasanya mengagumkan.
terakhir aku berbicara dengannya. “Aku muntah.”
Tak ada penyesalan. Tak ada ragu-ragu. Di kesempatan ketiga, Luke berhenti setelah bait pertama dan aku merangkai delapan melodi baru dengan harpaku.
“Kilt yang bagus,” kata Luke. James menatapnya jengkel. “Apakah aku pernah bertemu denganmu sebelum ini?”
Luke tersenyum.
“Lapangan parkir,” kata Luke enteng. “Toko CD.”
“Tinggi hati itu tidak baik,” kataku kepadanya.
Anehnya, sulit membayangkan Luke berada di tempat
“Sangat,” ujarnya setuju.
lain, tempat yang biasa. Tapi James tampaknya percaya.
Aku menggigit bibir, berpikir. Sekarang aku benar-benar
“Oh—benar. Bagaimana dengan pemain biola yang bermain
berada dalam teritori yang asing. Dan aku tidak tahu
denganmu?”
aturannya seperti apa. “Kalau—bagaimana kalau—maukah
“Dia harus pulang.”
kau bermain bersamaku sore ini? Seandainya aku bisa
Aku curiga mereka merahasiakan sesuatu. Kuputuskan
menukar posisiku dari solo ke duet?” “Ya.” 28
untuk bertanya dengan James nanti. “Kau main sebentar lagi?” tanyaku. 29
“Mereka baru selesai dengan a capella atau apalah
“Tenang, ya,” kata Luke. “Jangan pingsan. Mereka
namanya itu. Sekarang mulai kelompok duet. Jason Byler—kau
akan menunggu.” Luke bangkit dan menggendong harpaku.
ingat dia—aku memutuskan mengganti obo dengan gitar
Flute-nya disodorkan kepadaku lagi. Kemudian dia menahan
listriknya, sekadar untuk melihat apakah penonton suka. Jadi,
pintu tetap terbuka untukku. “Silakan, Ratuku.” Aku
ya, sebentar lagi. Aku masuk dulu dan mencari Jason. Tapi
memejamkan mata sejenak saat pintu tertutup di belakang
aku akan memasang telinga sekiranya namamu dipanggil.”
kami, menunggu serangan gugup melumpuhkanku lagi.
James masih menatap Luke, seolah-olah dia adalah spesies tanaman langka. “Semoga beruntung,” kata Luke. “Yeah. Terima kasih.” Dia menjulurkan tangan, meremas jari-jariku. “Sampai nanti, Dee.” Setelah dia pergi, Luke berkata, “Dia senang menjadi orang yang berbeda dari yang lain.”
“Kau tahu bagaimana sebagian orang bisa melakukan segalanya?” Aku membuka mata. Sadar dia menungguku berjalan ke auditorium, aku mulai melangkah ke tangga. “Apa maksudmu?” Saat kami semakin dekat ke auditorium, siswa yang sedang menunggu di koridor sudah semakin banyak saja.
Aku sependapat.
Semuanya berisik, tapi aku bisa mendengar suara Luke di
“Lain denganmu,” imbuhnya.
belakangku tanpa kesulitan. “Maksudku, kita minta mereka
Aku cemberut. “Itu tidak benar. Aku senang menjadi
menciptakan nada, mereka memberikan sebuah simfoni
orang yang unik. Tapi entah mengapa, segala sesuatu yang
dalam waktu cepat. Kita suruh mereka menulis buku,
membuat orang di luar sekolah mengenaliku malah membuatku
mereka menghasilkan novel dalam sehari. Kita minta mereka
tidak kelihatan di dalam sekolah.” Aku mengangkat bahu.
menggerakkan sendok tanpa menyentuhnya, mereka bisa.
“Cuma James teman sejatiku.” Aku langsung merasa telah
Jika mereka ingin sesuatu, mereka membuatnya terpenuhi.
kebanyakan bicara, sehingga aku khawatir aku tidak akan
Nyaris seperti keajaiban.”
berarti juga di mata Luke. Tapi dia hanya membelai flute-nya seolah tidak memperhatikan, sebelum menatapku. “Mereka rugi.” “Deirdre Monaghan. Luke Dellom.”
“Emm, tidak tahu,” kataku. “Kecuali di saluran SainsFiksi. Kau tahu seseorang yang bisa melakukannya?” Suara Luke mengambang, “Kalau tahu, aku akan memintanya melakukan keajaiban untukku.”
Aku tersentak mendengar namaku dipanggil melalui pengeras suara. 30
31
Kami melewati kerumunan orang di belakang panggung. Duet sebelumnya, dua pemain terompet, masih tampil di hadapan para juri. Mereka luar biasa.
“Mata kering?” “Mataku aneh. Aku ingin melihat segalanya malam ini.” Dia mengerjap, matanya berkilau dengan tetesan obat
Luke berkeras, “Maksudku, kau bisa saja berjalan di
mata dan bulu mata bawahnya dipenuhi butiran air mata.
samping orang seperti itu. Tapi kau tak akan tahu bahwa
Dengan sekali sapuan, mata dan bulu matanya pun kering,
kau seperti itu kecuali kau berusaha.”
meskipun tak kurang bercahaya. Sesuatu menyangkut mata itu
“Ini soal improvisasi nada, ya?” aku mencari panitia di
membuatku ingin melihat segalanya yang akan dia lihat.
antara sekian banyak orang. Kepalaku mulai pening. Tubuhku
“Deirdre? Ah, sudah kukira kamulah orangnya.” Mr.
juga mulai kelewat hangat, artinya aku bisa ambruk atau
Hill, guru musik di sekolah dan kepala band, menyentuh
pingsan tak lama lagi. “Aku paham. Kalau tidak ada kau,
sikutku. Dia bertindak sebagai mentor musikku sejak
aku tak akan tahu aku bisa berimprovisasi seperti itu.”
aku duduk di bangku SMA. Aku tahu, dia berpikir aku
“Deirdre Monaghan dan Luke Dillohm?” seorang wanita
ditakdirkan menjadi orang hebat. “Apa kabar?”
lain yang juga memegang map, keliru menyebut nama
Mata Mr. Hill tersenyum di balik bingkai kacamatanya.
keluarga Luke. “Bagus. Kalian yang berikutnya. Tunggu
“Bagus. Saya ingin mengucapkan semoga beruntung. Meskipun
sampai mereka turun, lalu kalian akan diperkenalkan. Kalian
tentu saja, kamu tidak membutuhkannya. Tapi ingatlah,
bisa berbicara singkat tentang kelebihan kalian. Singkat
jangan sampai suaramu melengking di nada-nada tinggi.”
saja.” Dengan ekspresi kasar, dia menoleh ke para musisi di belakang kami dan mulai mengulangi pidato itu. “Aku cuma berpikir kau kurang mengangkat dirimu,” kata Luke, melanjutkan pembicaraannya. “Kau puas dengan menjadi biasa-biasa saja.” Komentarnya menyinggung perasaanku, aku menoleh. Aku akan memanggil nada itu. “Aku tidak mau biasa-biasa saja.” Luke tersenyum kepadaku, atau ke sesuatu di belakangku. Ekspresinya tidak terbaca. Kemudian dia mengeluarkan botol kecil tanpa merek dari sakunya. 32
Aku membalas senyumannya. “Terima kasih. Saya bermain duet. Anda tahu itu?” Mr. Hill menatap Luke dan senyumnya hilang. Dengan dahi berkerut dia bertanya, “Apakah saya mengenalmu?” “Tidak ada yang mengenal saya,” jawab Luke. Aku memandangnya. Aku akan mengenalmu. “Deirdre? Lucas? Giliran kalian.” Wanita dengan map itu menggamit sikutku dengan keras dan menunjukkan arah panggung kepadaku. “Semoga beruntung.” Bersama-sama, kami naik ke panggung yang terlalu terang. Rambut Luke bercahaya sehingga nyaris tampak 33
putih. Aku menatap barisan penonton, berusaha mencari keluargaku. Tapi para penonton tertutup bayangan. Memang
Terdengar tepuk tangan pelan dan teriakan dari sejumlah ayah yang berisik.
sebaiknya begitu. Aku tidak ingin melihat ekspresi Delia
“Sepertinya Anda kurang senang. Ini adalah acara musik
yang angkuh. Aku melirik wajah-wajah gelap itu sekali lagi
akbar bagi siswa-siswi dalam radius enam ratus mil. Kami
sebelum duduk di kursi lipat. Masih terasa hangat karena
mengincar penghargaan besar. Di sini adalah anak-anak
tubuh peserta yang gugup sebelum kami.
kalian dan rekan-rekan mereka, bermain dengan sepenuh
Setelah menurunkan harpa, Luke membuat tanda salib di belakangku dan berbisik, “Jangan menjadi biasa-biasa saja.”
hati! Sekali lagi, Anda senang, atau tidak?” Hadirin bertepuk tangan dan bersorak-sorai, kentara sekali lebih riuh. Luke tersenyum lebar. “Sekarang, Dee
Aku menggigil dan mendekatkan harpa ke tubuhku.
dan aku akan memainkan sebuah lagu tua dari Irlandia.
Sesuatu memberi tahu aku bahwa “biasa-biasa saja” mustahil
Judulnya ‘Rintihan Gadis Peri’. Semoga Anda suka. Kalau
ada jika menyangkut Luke. Dan pikiran itu lebih mendebarkan
ya, tunjukkanlah!”
dan menakutkan dibandingkan kompetisi ini. “Deirdre Monaghan dan Luke DeLong dengan harpa sandar dan flute kayu.” Aku mencondongkan badan ke Luke dan berbisik, “Semuanya salah mengucapkan namamu.” Gigi-gigi Luke membentuk senyum tipis. “Semuanya begitu.” “Aku tidak, betul ‘kan?”
Pada momen inilah aku biasanya muntah atau pingsan. Tapi kali ini keduanya tidak terjadi. Aku merasa tersenyum selebar senyuman Luke. Aku merasa mampu menaklukkan musisi kawakan. Perasaan terbaik yang pernah kualami. Ke manakah perginya aku yang sejati? Karena aku tak ingin dia kembali. “Siap, Dee?” tanya Luke pelan. Senyumnya menular dan untuk pertama kalinya, aku
Lampu panggung memantul ke matanya seperti pan-
merasa percaya diri berada di atas panggung. Aku tersenyum
caran danau. Aku terpana tanpa bisa ditahan. “Betul, kau
lebar kepadanya dan mulai bermain. Senar-senar masih
tidak.”
lembut karena panas di luar tadi. Dan akustik panggung
Dia menyesuaikan posisi mikrofon dan menghadap
membuat bunyi harpaku sangat kuat. Luke bersiap dengan
hadirin. Pandangannya menyapu wajah-wajah di depan,
instrumennya dan mulai bermain. Bunyi flute-nya rendah
seolah berharap melihat seseorang yang dia kenal. “Senang
dan berat seperti suaranya ketika bernyanyi, sarat ekspresi
berada di sini, hadirin?”
dan lepas. Permainan kami terdengar bak sebuah orkestra,
34
35
di luar lagu itu sendiri yang kuno dan asing. Ketika aku
Kuberikan segenap hatiku
bernyanyi, auditorium menjadi hening seperti malam di
Datang dan pergi engkau dalam mimpi-mimpiku
musim dingin. Apakah suaraku benar-benar seperti malaikat? Suara yang mengisi ruangan ini sepertinya bukan suaraku—lebih
Seiring hancurnya hatiku Takkan lagi kunyanyikan lagu ini Takkan lagi kudengar alunan harpa.
dewasa, kompleks, sama menderitanya seperti Gadis Peri dalam lirik lagu.
Saat kami masuk ke refrain terakhir, Luke tersenyum
Bait pertama selesai dan aku merasa bunyi flute terhenti
begitu lebar hingga dia nyaris tidak bisa bermain. Aku
sejenak, menunggu. Aku mulai memainkan melodi kedua,
membiarkan suaraku turun perlahan, menghilang seiring
sesuatu yang tidak pernah terdengar sebelumnya. Baru kali
nada flute terakhir, dan kembali ke mana pun yang menjadi
ini dan aku tahu, aku bisa berkelana dalam melodinya
muasal melodi kedua yang menakjubkan itu.
tanpa tersesat. Kali ini aku menyerang melodi kedua dengan
Ruangan hening total.
tikaman manis. Bunyinya menukik, pahit dan indah. Bunyi
Luke menyunggingkan senyum kecil, nyaris tidak kentara.
flute kembali mengalunkan nada-nada rendah yang meninggi
Kemudian hadirin berdiri, bertepuk tangan dan bersiul-siul.
seiring alunan harpaku, sampai ke tingkat yang nyaris tak
Bahkan para juri di kursi depan pun berdiri. Aku menggigit
tertahankan.
bibir. Pipiku merona di wajahku yang berseri-seri. Kami
Kemudian aku mulai menyanyikan bait terakhir. Bait
saling berpandangan, aku dan Luke.
yang baru kupelajari dari Luke. Lain hari mungkin aku
Panitia membimbing kami menuruni panggung untuk
akan lupa liriknya. Tapi tidak hari ini, ketika suara Luke
peserta berikutnya yang akan tampil. Luke menarik tanganku,
saat menyanyikannya masih tertanam kuat dalam benakku.
wajahnya memancarkan cahaya yang seolah berasal dari
Kata-kata itu seperti memiliki makna baru saat aku me-
dalam dirinya. “Gadis yang hebat!” Dia melepas tanganku.
nyanyikannya. Sesuatu yang nyata.
“Hebat! Aku harus pergi—tapi aku akan kembali untuk
Akulah sang Gadis Peri.
acara resepsi malam ini.” “Kau harus apa?” aku mengulangi ucapannya. Tapi dia
Datang dan pergi engkau dalam mimpi-mimpiku Mengikuti irama harpa yang terus mengalun
telah menghilang di antara kerumunan orang di belakang panggung. Aku merasakan kesepian yang ganjil.
Pengorbanan yang kuserahkan ketika kau pergi hari itu 36
37