workshop on wise use and sustainable peatlands management practices th
th
October, 13 - 14 , 2003 Bogor - Indonesia
Seri Prosiding No. 05
Proceeding
Indonesia Programme Wildlife Habitata Canada Habitat Faunique Canada
Ditjen. PHKA
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Production Team Compiler Design/Lay Out Typing Cover Photographs
: : : :
Yus Rusila Noor Achmad Alimi and Yus Rusila Noor Lilis Herlisah Yus Rusila Noor and Alue Dohong
Workshop Committee Facilitators
: 1. Dibjo Sartono (Programme Director Wetlands International – Indonesia Programme) 2. I Nyoman Suryadiputra (Technical Director Wetlands International – Indonesia Programme) 3. Jill Heyde (Project Manager CCFPI)
Team Leader Secretariat Finance Publication Workshop Session Committee
: : : :
Interpreters Logistics
Yus Rusila Noor Lilis Herlisah Lusiana Nurisyiadah and Labueni Siboro Vidya Fitrian and Triana
: M. Ilman, Iwan Tri Cahyo Wibisono, Lili Muslihat, Wahyu Catur Adi Nugroho, Roh Santoso, Alue Dohong, Indra Arinal : Ayu Ratna Khairina, Lani Puspita, Sumarni, Sita Maha Nansita Basuki : Hidayat Sunarsyah, Dody Permadi, Umar Istokharah, Sakimin
WETLANDS INTERNATIONAL – INDONESIA PROGRAMME Jl. A. Yani 53 – Bogor 16161 Tel. 0251 – 312189 ; Fax. 0251-325755 E-mail :
[email protected] Web Site : http://www.wetlands.or.id
Reference : CCFPI. 2004. Wise Use and Sustainable Peatlands Management Practices. Proceeding of Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia (CCFPI) Project. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
The views expressed herein are those of the authors and do not necessarily reflect the views of Wetlands International, DG PHKA, Wildlife Habitat Canada nor the funding agency
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia FOREWORD
Dibjo Sartono Programme Director Wetlands International – Indonesia Programme Pemanfaatan yang bijaksana (wise-use) adalah salah satu kunci yang sangat penting dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan (sustainable management). Kita sadari bahwa masyarakat setempat/lokal, yang di Indonesia pada umumnya masih sangat tergantung pada pemanfaatan sumberdaya alam setempat, tidak akan terlalu peduli dengan upaya perlindungan untuk kelestarian, bila mereka tidak merasakan manfaat bagi diri dan kehidupan mereka (welfare). Mereka memang masih sangat tergantung dan tidak tahu cara lain untuk hidupnya. Oleh karena itu, penyadaran, peningkatan peduli dan peningkatan ketrampilan mereka dalam mengelola dan memanfaatkan secara bijaksana sumberdaya alam disekitarnya sangatlah menjadi penting, disertai informasi bahaya-bahaya yang bisa terjadi bila mereka mengingkari kaidah-kaidah ini, bukan saja untuk sumberdaya alamnya, tetapi juga untuk keberlangsungan kesejahteraan mereka sendiri. Dalam rangka upaya itulah, Wetlands International - Indonesia Programme, dalam rangkaian kegiatan Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia (CCFPI) yang merupakan kegiatan kerjasama dengan Wildlife Habitat Canada (WHC) dengan dukungan dana dari CIDA, menyelenggarakan Lokakarya “Wise Use and Sustainable Peatlands Management Practices”. Dalam lokakarya ini dipadukan hasil-hasil pengkajian praktek-praktek di masyarakat yang dinilai telah memenuhi kaidah pemanfaatan berkelanjutan, yang pada umumnya belum scientific-based, konsepkonsep yang dikembangkan yang praktis namun sudah didasarkan pada analisis ilmiah, serta upayaupaya yang dapat dipertimbangkan dalam menanggulangi bencana, antara lain kebakaran dan sebagainya. Kita dapat melihat bahwa beberapa praktek masyarakat selama ini sudah memenuhi kaidah keberlanjutan, namun, di samping belum berlandaskan analisis ilmiah, juga kenyataannya berhasil dalam format yang kecil/terbatas. Misalnya, praktek pembakaran terkendali (controlled-burning) yang hanya berhasil bila hanya beberapa hektar saja, tetapi begitu kegiatan tersebut diperluas, kemudian menjadi tidak terkendali lagi (uncontrolled). Dengan wokshop ini, diharapkan semua pengalaman praktek selama ini, dipadukan dengan konsepkonsep baru yang lebih ilmiah, ditambah lagi dengan peringatan-peringatan bahaya salah urus/bencana, diharapkan selanjutnya kita dapat merumuskan paket-paket best managemen” yang terbaik, adaptif dan aplikatif, yang akan dapat dijadikan bahan untuk penguatan masyarakat, terutama masyarakat setempat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam, yang dalam hal ini adalah gambut disekitarnya. Dengan tetap berpegang pada keyakinan bahwa pengelola terbaik sumberdaya alam adalah masyarakat yang berada disekitarnya maka lokakarya ini merupakan awal kegiatan. Kita baru mulai, pekerjaan rumah kita masih panjang. Semogalah ada manfaatnya.
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
CONTENTS WORKSHOP BACKGROUND
1
PROJECT INFORMATION SHEET
3
THE BOGOR STATEMENT ON WISE USE AND SUSTAINABLE PEATLANDS MANAGEMENT PRACTICES
5
WORKSHOP PROGRAMME
13
PRESENTATION Recognizing Environmental Services of Peatlands and Their Relevance to International Markets (Daniel Murdiyarso and Nyoman Suryadiputra)
17
Concept of Exploiting Peat-Swamp Pools (Beje) and Ditches (Parit) as Participative Fuel/Fire Break in Peat Forest and Peatlands (Wahyu Catur Adi Nugroho)
31
Strategi Pemanfaatan Hutan Gambut yang berwawasan Lingkungan (Dedik Budianta)
45
Uji Coba Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Bekas Kebakaran di Lokasi Taman Nasional Berbak bersama Kelompok Masyarakat Desa Pematang Raman, Jambi (Harry Subagyo dan Indra Arinal)
53
Lesson Learnt from PT. Dyera Hutan Lestari in Developing Planting Jelutong on Peatlands Area (Hamri Rosera)
61
The Servant was Destroy by Master Weapon : The Potrait of Structural Dissaster in Jambi Province (Rivani Noor)
77
PAPERS Potensi dan Ketersediaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Komoditas Pertanian Unggulan di Riau, Sumatera Barat dan Jambi (A. Hidayat dan Sofyan Ritung)
87
Forest and Land Fire Management in Peatland Areas (Bambang Hero Sahardjo)
97
Rancangan Desain Sistem Tata Air pada Pengembangan Lahan Gambut Pasang-Surut Berwawasan Lingkungan (Nana M. Arijaya dan Dedi Kusnadi Kalsim)
107
Fire Management and Strategies in Peatlands (Brett Shields and Dicky Simorangkir)
119
Global Warming Effect of Converting Peat Swamp Forest to Agricultural Fields in Kalimantan (Abdul Hadi, Kazuyuki Inubushi, Yuichiro Furukawa and Haruo Tsuruta)
131
Konsep Pemanfaatan Beje dan Parit sebagai Sekat Bakar Partisipatif di Hutan dan Lahan Gambut (Wahyu Catur Adinugroho)
139
Panduan Silvikultur untuk Rehabilitasi Lahan Gambut Bekas Kebakaran dan Terlantar (Iwan Tri Cahyo Wibisono)
149
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Evaluasi Sumberdaya Lahan untuk Kelayakan Pertanian pada Lokasi Proyek Percontohan CCFPI di Sumatera dan Kalimantan (Lili Muslihat)
155
Konsep Penutupan Parit di Sungai Puning dan Ex. PLG, Kalimanatan Tengah (Roh Santoso B.W.)
171
Strategi Pemanfaatan Hutan Gambut yang Berwawasan Lingkungan (Dedik Budianta)
183
Uji Coba Rehabilitasi Hutan Rawa gambut Bekas Kebakaran di Lokasi Taman Nasional Berbak bersama Kelompok Masyarakat Desa Pematang Raman, Jambi (Hari Subagyo dan Indra Arinal)
193
Agricultural Practices on Peatlands of South Kalimantan: the Farmers’ Knowledge (Muhrizal Sarwani)
211
Studi Pemanfaatan Gambut Asal Sumatera: Tinjauan fungsi gambut sebagai bahan ekstraktif, media budidaya dan peranannya dalam retensi carbon (Iin P. Handayani)
219
Pembentukan dan Pengembangan Kelompok Brigade Kebakaran Hutan di Desa Sungai Rambut, Kecamatan Rantau Rasau, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi (Hairul)
233
Pengalaman PT. Dyera Hutan Lestari (DHL) dalam Pengembangan Hutan Tanaman Industri di Areal Lahan Gambut (Hamri Rosera)
245
Promoting Best Agriculture Practices for Peatlands Conservation and Income Generating Activities (Gusti Anshari, Fadjar Rianto, Arie Mirjaya, and Fransiska Nelly)
255
Working with Internally Displaced People to Develop Sustainable Agriculture Activities on Peatlands in West Kalimantan, Indonesia (Catholic Relief Services – Gemawan)
263
Controlled Burning Practices in Peatland Areas (A Case Study in West Kalimantan, Indonesia) (Lailan Syaufina)
273
Proses Awal Pemulihan Hutan Gambut Kelampangan-Kalimantan Tengah Pasca Kebakaran Hutan Desember 1997 dan September 2002 (Herwint Simbolon)
281
Pertanian di Lahan Gambut: Masa Lalu, Kini dan Besok (Mohamad Noor dan Muhrizal Sarwani)
291
Kondisi Awal Kualitas Perairan di Saluran Primer Induk (SPI) eks-PLG 1 Juta Hektar dan Wilayah Dusun Muara Puning, Kalimantan Tengah (Kembarawati dan Lilia)
297
Reduce Haze by Converting Fuel Materials (Bambang Hero Saharjo)
313
Pengaruh Penurunan Muka Air Tanah terhadap Karakteristik Gambut (Teguh Nugroho dan Budi Mulyanto)
321
Beberapa Catatan Tentang Pengelolaan Lahan Gambut Di Kalimantan Tengah: Peluang Pengembangan Teknologi Secara Partisipatif (CARE International Indonesia)
333
Air Hitam Laut Watershed Management . A Review in the context of Berbak National Park Conservation (Aswandi Dipa Satriadi Rais)
347
Bertanam Sayur di Lahan Gambut (Maslian)
357
Analisis Stabilitas Lereng untuk Konservasi Tanah dan Air di Kecamatan Banjarwangi, Kabupaten Garut (Mustafril)
367
LIST OF PARTICIPANTS
381
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia (CCFPI), merupakan proyek yang berkaitan dengan serapan karbon (carbon sequestration) dan dibiayai melalui Dana Pembangunan dan Perubahan Iklim Kanada. Proyek ini dirancang untuk meningkatkan pengelolaan berkelanjutan pada hutan dan lahan gambut di Indonesia agar kapasitasnya dalam menyimpan dan menyerap karbon meningkat serta mata pencaharian masyarakat di sekitarnya menjadi lebih baik. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam proyek ini, baik di tingkat lokal maupun nasional, dikaitkan dengan usaha-usaha perlindungan dan rehabilitasi hutan dan lahan gambut. Dalam pelaksanaannya di lapangan, proyek ini menerapkan pendekatan-pendekatan yang bersifat kemitraan dengan berbagai pihak terkait (multi stakeholders) dan dengan keterlibatan yang kuat dari masyarakat setempat.
The Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia (CCFPI) project is a carbon sequestration initiative funded through the Canada Climate Change Development Fund. The project is designed to promote the sustainable management of forests and peatlands in Indonesia in order to increase their capacity to sequester and store carbon, and to improve local livelihoods. Initiatives related to the protection and rehabilitation of forests and peatlands are being implemented at both the local and national levels. Activities are based on a multistakeholder approach, with the strong involvement of local community members.
Head Office: Wetlands International-Indonesia Programme Jl. Ahmad Yani No 53-Bogor 16161 PO. Box 254/BOO-Bogor 16002 Tel:+62-251-312189; Fax: +62-251-325755 E-mail:
[email protected] Sumatra Office: Jl. A. Thalib No. 28 Kec. Telanaipura - Jambi 36124 Tel: +62-741-60431 E-mail:
[email protected]
Kalimantan Office: Jl. Teuku Umar No 45 Palangka Raya 73111 - Kal Teng Tel/Fax: +62-536-38268 E-mail:
[email protected]
The Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia (CCFPI) Project undertaken with the financial support of the Government of Canada provided through the Canadian International Development Agency (CIDA) Canadian International Agence canadienne de Development Agency développement international
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia SEMINAR AND WORKSHOP ON WISE USE AND SUSTAINABLE PEATLANDS MANAGEMENT PRACTICES Bogor, October 13th – 14th, 2003
BACKGROUND OF WORKSHOP The tropical peatland areas in Southeast Asia is estimated to be about 25-30 million ha, which is 60% of the world’s tropical peatlands and roughly one tenth of the entire extent of global peatland resources. The majority of the peatlands of Southeast Asia occurs in Indonesia, which is over 70% of total peatland areas in Southeast Asia. Other major peatland areas are found in Malaysia, Thailand, Vietnam, Brunei and the Philippines. Southeast Asia peatswamp forests vegetation have been recognized as an important reservoir of plant diversity (Silvius et al., 1984; Whitmore, 1984). For instance in Indonesia, more than 300 tree species have been recorded in swamp forests of Sumatra, some of which are becoming increasingly rare (Giesen, 1991), while in Thailand, some 470 species were identified in the Narathiwat peatswamp forest (Urapeepatanapong, 1996). Many of the plants are restricted or endemic to this habitat. The peatswamp forests in Southeast Asia also provide many commercial timber species including Ramin (Gonystylus bancanus), Jelutung (Dyera costulata), Meranti (Shorea spp.). These forests are home to many rare and endangered wildlife species such as Malaysian Blue Flycatcher (Cyornis turcosa), Sumatran Tiger (Panthera tigris sumatranus), Tapir (Tapirus indicus), Asian Elephant (Elephas maximus sumatrensis), Lesser One-horned Rhino (Rhinoceros sondaicus), Orangutan (Pongo pygmaeus) and hundreds of bird species, including Hornbills and Cassowaries. Black-water rivers (peatland rivers) are important habitat for fish that often have higher degree of endemism than other type of rivers, and are important source of aquarium fishes. Southeast Asia’s peatlands are significant carbon stores and sinks. If disturbed by drainage and burning, the carbon is released to the atmosphere contributing to the global greenhouse effect. If maintained in their natural state, CO2 is incorporated as organic carbon into dying biomass and stored in the peat moderating greenhouse gas emissions. Forest fires during 1997 and 1998 are estimated to have released more than 750 million tones of CO2 (over 50% was as a result of combustion of peat). Southeast Asia peatswamp forest play important functional roles in regulation of hydrology. Such functions as flood control, flow regulation, water supply and prevention of saline water intrusion are crucial to maintain integrity of the surrounding ecosystem. For instance the upper reaches of the Air Hitam Laut (peatswamp) River of which at the middle and at the lower sections dissected Berbak National Park, Jambi (Indonesia), play an important hydrological role in regulating the quantity and quality of waters in the park. Disturbances at the upper reaches of this river, e.g. due to forest conversion that has created land and forest fires, may affect the park’s ecosystem. Many activities carried out on peatland areas, such as forestry (including logging) and agriculture, have been identified to jeopardize the peatlands ecosystem. Canals that have been constructed to transport logs as well as to drain water from peatswamp area for agriculture purposes have been causing peat dryness and this dry peat are susceptible to fire during dry season. Fires are not only burning the peat but it will adversely affect biodiversity and other functions and benefits provided by peat ecosystem. By knowing the roles/functions and benefits that can be provided by peatswamp forest at the local, national and global level, it is therefore the management of peatswamp forest must be carried out wisely and in the sustainable manners. Management aspects on peatlands that need to be handled appropriately, including: (a) activities on agriculture and forestry; (b) land and forest fires; (c) rehabilitation on abandoned/neglected and on ex-burnt peatlands area; and (d) water management in peatlands areas (e.g. through canal blocking).
1
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia In order to obtain inputs related to both the failures and success stories in managing peatlands areas in Southeast Asian countries, the CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia) project funded by the Canadian Climate Change Development Fund will be organizing a workshop on Wise Use and Sustainable Peatlands Management Practices. The Workshop attempts to bring together local experts and managers to discuss common experience in restoring and implementing sustainable activities on local peatlands. International presentation from ASEAN member countries will be welcomed. Through this workshop, a mechanism to look into approaches of managing or implementing environmentally sounds activities and on restoring peatlands will be conducted by bringing together all parties in this area to work in a more comprehensive manner. WORKSHOP OBJECTIVES The objectives of the workshop are: 1. To provide a platform for experts and peatlands managers to share experiences and knowledge on peatlands management and restoration; 2. To provide exposure to local participants on successful peatlands management practices and restoration exercises and share experiences on technical approaches. THEMES OF THE WORKSHOP This two-day workshop will discuss common experiences in restoring and implementing best management practices (sustainable activities) on peatlands areas and is open to all individuals and organisations that are interested and involved in the broad sense of peatland management. The following major areas and related topics will be discussed : 1. 2. 3. 4.
Agriculture and forestry management in peatlands areas; Land and forest fires in peatlands; Rehabilitation on abandoned/neglected and ex-burnt peatlands area; Water management in peatlands areas.
DATES AND VENUE The Workshop is held on 13 and 14 October 2003 at the Hotel Pangrango II, Bogor West Java. Bogor is one among the four districts that encircled the Indonesia’s capital city of Jakarta. The Bogor district is very popular worldwide as for its gigantic botanical garden and its President Palace. The district located 60 km south of Jakarta or 85 km south west of the Sukarno-Hatta airport. WORKSHOP ORGANIZATION The workshop is organized by the CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia) project. CCFPI is a carbon sequestration initiative funded through the CIDA’s Canadian Climate Change Development Fund and implemented in Indonesia by Wetlands International - Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada (WHC) in collaboration with Global Environmental Center, Malaysia. The project is designed to promote the sustainable management of forests and peatlands in Indonesia in order to increase their capacity to sequester and store carbon, and to improve local livelihoods.
2
PROJECT INFORMATION SHEET Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia (CCFPI) Introduction Peatlands cover about 3% of the earth and contain 20-35% of the carbon in the terrestrial biosphere/soils (IGBP/Wetlands International), while at the same time supporting a very high diversity of species, many of which are unique to this ecosystem. Degradation of peatlands leads to massive carbon emissions. For example, it is estimated that during the 1997 fire event in Indonesia between 0.81 and 2.57 gigatonnes of carbon was released to the atmosphere as the result of burning peat and vegetation, an amount equivalent to 13-40% of mean annual global carbon emissions from fossil fuels.1 Since August 2001 Wetlands International – Indonesia Programme, Wildlife Habitat Canada and Indonesian, Canadian and international partners have been working to implement the Climate Change, Forests and Peatlands (CCFPI) project in Indonesia. The project will run until March 2005, and is working with a range of stakeholders in Jambi, South Sumatra, Central Kalimantan and at the central government level. The project is funded by the Canadian Climate Change Development Fund, with co-funding from the Global Environment Facility (through the project Integrated Management of Peatlands for Biodiversity and Climate Change coordinated by the Global Environment Centre and Wetlands International), and the Global Peat Initiative.
Objective of the Project The objective of the project is to enhance management of two peatland areas in Indonesia and national capacity to participate in evolving climate change mitigation initiatives in order to promote sustainable community livelihoods and carbon storage and sequestration.
Components and Activities Components One and Two: Central Kalimantan and Sumatra Practical community-based management approaches for peatland forests • • •
1
Pilot projects in peatland areas under different resource management regimes, including: protected areas, community-managed area, parts of the ex-mega rice project and a national park. Indicative activities include: the development of alternative livelihood options for communities reliant on peatland areas, restoration of hydrology to maintain storage capacity and other important environmental services, replanting of degraded peatland. Training and awareness.
Page, Susan; Siegert, Florian; Rieley, J.; Boehm, Hans Dieter; Jaya, Adi; Limin, Suwido. Nature. Vol 420, 7 November 2002. pp 6165
Component Three: Technical Component • • • •
Development of a method of carbon measurement in peatlands which allows for maximum involvement of local residents and is up to verifiable emission reduction standards, where possible. Indonesian language training materials to disseminate the carbon measurement method. Compilation of peatland management practices. Preparation of awareness materials on peatland management practices for use in project locations, and more broadly.
Component Four: Integration of community-based peatland management into national climate change policy • • •
Compilation of information on the scope and status of Indonesia’s peat resources, and estimates of the amount of carbon stored in those peatlands. Awareness raising on the importance of peatlands for climate change mitigation. Support for involvement in ASEAN and global activities related to peatlands and climate change.
Component Five: Partnership and sustainability mechanisms • • •
Preparation of a database of funding mechanisms for climate change initiatives in peatland environments. Capacity development to enable Indonesian stakeholders to engage in existing or emerging climate change initiatives. Collation and dissemination of information and lessons learned and promotion of awareness to key stakeholders.
Budget The Canadian Climate Change Development Fund of the Canadian International Development Agency has approved funding of C$3,900,000 for project implementation. Co-funding of approximately C$200,000 is being provided by the Global Environment Facility and the Global Peat Initiative.
For more information, please contact: Jill Heyde Project Manager Wildlife Habitat Canada 200 – 7 Hinton Ave. N Ottawa, ON, K1Y 4P1, Canada Tel: +1 613 722-2090; Fax: +1 613 722-3318 E-mail:
[email protected]
Yus Rusila Noor Project Coordinator Wetlands International – Indonesia Programme Jl. Ahmad Yani No. 53-Bogor 16161 PO Box 254/BPP-Bogor 16002 Tel: 0251 312189; Fax: +62 251 325755 E-mail:
[email protected]
Telly Kurniasari Sumatra Liaison Officer Jl. A. Thalib No. 8 RT 03 Kel. Pematang Sulur Kec. Telanaipura Jambi – 36124 Tel: 0741 60431 E-mail :
[email protected]
Alue Dohong Kalimantan Site Coordinator Jl. Teuku Umar 45 Palangkaraya Kalteng – 73111 Tel: 0536 38268 E-mail:
[email protected]
Web Sites: http//: www.indo-peat.net and www.peat-portal.net
Indonesia Programme
Wildlife Habitat Canada Habitat Faunique Canada
Ditjen. PHKA
The Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia (CCFPI) Project is undertaken with the financial support of the Government of Canada provided through the Canadian International Development Agency (CIDA)
LEMBAR INFORMASI PROYEK Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia (CCFPI) Pendahuluan Lahan gambut memiliki luas 3% dari seluruh luas permukaan bumi dan mengandung 20 – 35% karbon biosfer terestrial/tanah (IGBP/Wetlands International). Gambut mendukung keanekaragaman jenis yang tinggi, dimana beberapa diantaranya bersifat unik pada ekosistem tersebut. Degradasi lahan gambut akan mengacu kepada emisi karbon dalam jumlah besar. Sebagai contoh, selama terjadinya kebakaran di Indonesia pada tahun 1997, diperkirakan antara 0,81 hingga 2,57 Gigaton karbon dilepaskan ke atmosfir akibat terbakarnya lahan dan hutan gambut beserta vegetasi diantasnya. Jumlah tersebut setara dengan 13 – 40% dari rata-rata emisi karbon global tahunan yang berasal dari bahan bakar fosil.1 Sejak Agustus 2001 Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada serta beberapa mitra kerja telah melaksanakan kegiatan Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia (CCFPI). Proyek yang akan berjalan hingga Maret 2005 tersebut, melibatkan berbagai pelaku di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan serta di instansi pemerintah tingkat nasional. Proyek ini didanai oleh Canadian Climate Change Development Fund, dengan tambahan dana dari Global Environment Facility – GEF (melalui Proyek Integrated Management of Peatlands for Biodiversity and Climate Change and Climate Change yang dikoordinasikan oleh wetlands International dan Global Environment Centre) serta dari Global Peat Initiative. Tujuan Proyek Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan dua areal lahan gambut di Indonesia serta meningkatkan kapasitas nasional untuk berpartisipasi dalam meningkatkan inisiatif dibidang mitigasi perubahan iklim guna mempromosikan pendapatan masyarakat yang berkelanjutan serta terjaganya penyerapan dan penyimpanan karbon. Komponen dan Kegiatan Dalam melaksanakan kegiatannya, Proyek terbagi menjadi beberapa komponen : Komponen Satu dan Dua Kalimantan Tengah dan Sumatera Praktek pendekatan pengelolaan hutan dan lahan gambut berbasis masyarakat • •
•
1
Proyek percontohan di beberapalahan gambut yang berada dibawah sistem pengelolaan yang berbeda, termasuk areal lindung, areal yang dikelola oleh masyarakat, sebagian dari areal bekas Pengembangan Lahan Gambut, serta di kawasan Taman Nasional Beberapa kegiatan yang bersifat indikatif, termasuk pengembangan pilihan-pilihan untuk alternatif mata pencaharian masyarakat yang bergantung kepada keberadaan lahan gambut, restorasi hidrologi to mempertahankan kapasitas penyimpanan air dan jasa lingkungan penting lainnya, serta penanaman di areal lahan gambut yang telah mengalami degradasi Pelatihan dan penyuluhan
Page, Susan; Siegert, Florian; Rieley, J.; Boehm, Hans Dieter; Jaya, Adi; Limin, Suwido. Nature. Vol 420, 7 November 2002. pp 61-65.
Komponen Tiga Komponen Teknis • • • •
Pengembangan metoda pengukuran karbon di lahan gambut yang memungkinkan adanya keikutsetaan yang memadai dari masyarakat setempat, dan jika memungkinkan kemudian bisa memenuhi standar pengurangan kadar emisi yang dapat diverifikasi Publikasi material pelatihan dalam Bahasa Indonesia yang dapat digunakan untuk menyebarkan metoda pengukuran karbon Kompilasi praktek-praktek pengelolaan lahan gambut Pembuatan bahan-bahan penyuluhan yang terkait dengan praktek pengelolaan lahan gambut yang dapat digunakan dilingkup proyek maupun pada lingup yang lebih luas
Komponen Empat Pemaduan pengelolaan lahan gambut berbasis masyarakat kedalam kebijakan perubahan iklim secara nasional • • •
Kompilasi informasi mengenai cakupan dan status sumber daya gambut di Indonesia, dan perkiraan jumlah karbon yang terkandungdi dalamnya Penyuluhan mengenai pentingnya lahan gambut bagi keperluan mitigasi perubahan iklim Mendukung keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kegiatan di ASEAN dan secara global yang terkait dengan lahan gambut dan perubahan iklim
Komponen Lima Mekanisme kemitraan dan keberlanjutan • • •
Penyiapan pangkalan data mengenai mekanisme pendanaan inisiatif-inisiatif yang terkait dengan perubahan iklim di lingkungan gambut Pengembangan kapasitas yang memungkinkan para pihak di Indonesia dapat terlibat dalam berbagai inisiatif yang terkait dengan perubahan iklim, baik yang telah ada maupun yang akan datang. Pengumpulan dan penyebaran berbagai informasi dan pelajaran serta mempromosikan bahanbahan penyuluhan kepada para pihak penting.
Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi : Jill Heyde Project Manager Wildlife Habitat Canada 200 – 7 Hinton Ave. N Ottawa, ON, K1Y 4P1, Canada Tel: +1 613 722-2090; Fax: +1 613 722-3318 E-mail:
[email protected]
Yus Rusila Noor Project Coordinator Wetlands International – Indonesia Programme Jl. Ahmad Yani No. 53-Bogor 16161 PO Box 254/BPP-Bogor 16002 Tel: 0251 312189; Fax: +62 251 325755 E-mail:
[email protected]
Telly Kurniasari Sumatra Liaison Officer Jl. A. Thalib No. 8 RT 03 Kel. Pematang Sulur Kec. Telanaipura Jambi – 36124 Tel: 0741 60431 E-mail :
[email protected]
Alue Dohong Kalimantan Site Coordinator Jl. Teuku Umar 45 Palangkaraya Kalteng – 73111 Tel: 0536 38268 E-mail:
[email protected]
Web Sites: http//: www.indo-peat.net and www.peat-portal.net
Indonesia Programme
Wildlife Habitat Canada Habitat Faunique Canada
Ditjen. PHKA
The Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia (CCFPI) Project is undertaken with the financial support of the Government of Canada provided through the Canadian International Development Agency (CIDA)
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia THE BOGOR STATEMENT on Wise Use and Sustainable Peatlands Management Practices The Wise Use and Sustainable Peatlands Management Practices workshop was held in Bogor, Indonesia, on 13-14th October 2003 and was jointly organized by Wetlands International – Indonesia Programme, Wildlife Habitat Canada and the Global Environment Center and funded by Canadian International Development Assistance Agency (CIDA) through the Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia project (CCFPI). The workshop was attended by over 100 national and international participants from governmental and non-governmental organisations, research institutions and the private sector. Participants were drawn from the conservation, agricultural, forestry and plantation sectors. The major issues reviewed included national and international experience and best practices in peatland management, peatland fire prevention and control and post fire rehabilitation and water management. The workshop noted that peatland ecosystems play a significant role in flood control, water storage and supply; carbon storage/sequestration and greenhouse gas/climate regulation; biodiversity conservation; socio-economic development and livelihoods. Furthermore it noted that peatlands are fragile and vulnerable to degradation. The workshop expressed concern about the significant loss and degradation of peatland ecosystems in SE Asia and the negative impacts of this on local communities, as well as the regional and global environments. Conversion, drainage and over-exploitation of peatlands were recognised as the root causes of fires which have destroyed or degraded over two million ha of peatlands in the region in recent years, as well as leading to significant emissions of greenhouse gases and smoke. The workshop welcomed the recent adoption by the ASEAN countries of the ASEAN Peatland Management Initiative and encouraged rapid progress in developing and implementing national plans for peatland management. The meeting recognized the need to •
Develop and implement integrated land use plans for peatlands based on ecosystem and hydrological functions and using a basin management approach, while drawing on local knowledge and wisdom,
•
Focus on the fundamental importance of maintaining or restoring the natural water regime of peatlands as the basis of measures for protection, sustainable use and rehabilitation of peatlands,
•
Stop the further drainage and conversion (for agriculture, plantation, forestry and other uses) of deep peat, peat domes, undisturbed peatlands as well as other areas of conservation importance; future plantation, agriculture or development activities in peatlands should thus be focused in areas which have already been cleared or degraded,
•
Take urgent measures to protect remaining intact or important peatlands,
•
Require that all users of peatlands, including sustainable management practices,
•
Prevent peatland fires by addressing the root causes of fires such as drainage or inappropriate land use and also strengthen capacity at the local level to respond to fires,
•
Support and empower local communities to protect and sustainably use peatland resources to contribute to their livelihood and environmental security,
•
Facilitate the free and open sharing of information, experiences and lessons learned in order to support cooperative and effective peat management.
5
forestry, agriculture and plantations,
apply
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia The Workshop strongly URGED Governmental and non-governmental organizations, the private sector and communities to work together to protect, rehabilitate and sustainably manage peatland areas for current and future generations and the global environment. PROPOSED ACTIONS The Workshop further called for the following actions to be undertaken. Regional
Encourage the active implementation of the ASEAN Peatland Management Initiative,
Enhance regional information sharing on peatland extent, status and management and develop handbooks for best management practices,
National
Formulate or update national policies and strategies or action plans for conservation and wise use of peatlands,
Undertake or revise national inventories of peatlands and zone them for protection, rehabilitation and other uses,
Establish networks of pilot project sites to test and demonstrate sustainable peatland management options.
Working Group Recommendations Fire Management in Peatland Areas •
Maintaining or restoring natural water tables in peatlands is the key to fire prevention,
•
Strengthen the coordination among agencies involved in peatland fire prevention and control, including establishment of peat fire prevention units in agencies responsible for forestry and agriculture,
•
Actively involve villagers in fire prevention and fighting,
•
Adopt zero burning strategies for all commercial agriculture,
•
Improve law enforcement as well as monitoring and predicting of fire risk.
Rehabilitation of Peatlands •
Each country with degraded peatlands is encouraged to develop a programme for peatland rehabilitation,
•
Degraded peatlands should be identified and classified according to the rehabilitation options,
•
Proper guidelines or manuals should be developed based on regional experience and promoted widely,
•
Pilot projects to test techniques should be established,
•
The first measures at the site should relate to restoration of the water table (such as blocking of drains) and prevention of conditions which may lead to the lowering of the water table or initiation of fires,
•
Restoration should be undertaken with appropriate indigenous species.
6
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Agriculture in peatland areas •
Indigenous knowledge and modern methodologies, such as techniques for prevention of subsidence and over-drainage, low impact land clearing and agricultural practices should be documented and promoted in existing peatland agricultural areas,
•
Affordable and appropriate options for land clearing should be developed and provided to communities living in peatland areas,
•
Promote haze-free agriculture through incentive and disincentive measures.
Water Management in Peatland Areas •
Treat each peat dome as a hydrological unit for management and integrate the management of peatlands with the management of relevant river basins,
•
Blocking of drainage and logging canals in peatland areas is an important strategy to restore natural water levels and ecosystem values as well as to prevent fires and stop the sedimentation of adjacent waterways,
•
Control the drainage of peatlands and restore and maintain water tables both within and in buffer zones around peatlands .
Participants requested the organizers of the meeting to widely disseminate the statement and to coordinate follow-up activities.
7
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PERNYATAAN BOGOR Mengenai Pemanfaatan Bijaksana serta Praktek-praktek Pengelolaan Lahan Gambut yang Berkelanjutan
Lokakarya mengenai Pemanfaatan Bijaksana serta Praktek-praktek Pengelolaan Lahan Gambut yang Berkelanjutan telah diadakan di Bogor, pada tanggal 13 – 14 Oktober 2003, diorganisir bersama oleh Wetlands International – Indonesia Programme, Wildlife Habitat Canada dan the Global Environment Center serta didanai oleh Canadian International Development Assistance Agency (CIDA) melalui Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia (CCFPI). Lokakarya tersebut dihadiri oleh lebih dari 100 orang peserta dari instansi Pemerintah, Organisasi LSM, Institusi Penelitian serta sektor Swasta. Mereka bergerak dibidang konservasi, pertanian, kehutanan dan perkebunan. Topiktopik utama yang dibahas dalam lokakarya tersebut meliputi pengalaman nasional dan internasional serta praktek-praktek terbaik dibidang pengelolaan lahan gambut, pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan, rehabilitasi pasca kebakaran serta pengelolaan air. Lokakarya mencatat bahwa ekosistem lahan basah memainkan peranan yang signifikan dalam pengaturan penanggulangan banjur, penyimpanan dan pemasokan air, penyimpan karbon serta pengaturan iklim/gas rumah kaca.; konservasi keragaman hayati; pengembangan sosial-ekonomi dan mata pencaharian penduduk. Lebih jauh, dicatat bahwa lahan gambut bersifat rentan menuju degradasi. Lokakarya mengemukakan kekhawatirannya mengenai kehilangan dan kerusakan ekosistem lahan gambut yang signifikan di wilayah Asia Tenggara, serta pengaruh negatifnya baik terhadap masyarakat setempat maupun terhadap lingkungan regional dan global. Konversi lahan, drainase dan eksploatasi berlebih terhadap lahan gambut telah diketahui merupakan akar penyebab munculnya kebakaran yang telah menghancurkan atau merusak lebih dari dua juta hektar lahan gambut di wilayah ini selama tahun-tahun terakhir, sekaligus menjadi penyebab yang signifikan terhadap timbulnya asap serta emisi gas rumah kaca. Workshop menyambut diadopsinya ASEAN Peatland Management Initiative oleh negara-negara ASEAN baru-baru ini, dan mendukung kemajuan pesat dalam mengembangkan dan melaksanakan rencana nasional untuk pengelolaan lahan gambut. Pertemuan mengetahui adanya kebutuhan untuk •
Mengembangkan dan melaksanakan rencana tata ruang terpadu untuk lahan gambut yang didasarkan kepada ekosistem dan fungsi hidrologis, serta menggunakan pendekatan pengelolaan DAS, dengan memperhatikan pengetahuan dan kebijakan setempat,
•
Menekankan keperluan dasar untuk mempertahankan atau memperbaiki rejim perairan alami dari lahan gambut sebagai landasan bagi berbagai kegiatan perlindungan, pemanfaatan berkelanjutan dan rehabilitasi lahan gambut,
•
Menghentikan kegiatan drainase dan konversi (untuk keperluan pertanian, perkebunan, kehutanan dan pemanfaatan lain) lebih lanjut dari gambut-dalam, kubah gambut, lahan gambut utuh serta lahan lain yang penting untuk konservasi; ke depan, kegiatan perkebunan, pertanian atau pembangunan di lahan gambut kemudian hendaknya ditekankan di areal yang telah terbuka atau rusak,
•
Mengambil tindakan mendesak untuk melindungi lahan gambut utuh dan penting yang masih tersisa,
•
Meminta seluruh pengguna lahan gambut, termasuk kehutanan, pertanian dan perkebunan, untuk menerapkan praktek-praktek pengelolaan yang berkelanjutan,
9
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia •
Mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut dengan menekankan pada akar penyebab kebakaran tersebut, seperti drainase atau tata ruang yang tidak memadai, serta juga memperkuat kapasitas di tingkat lokal dalam menangani kebakaran,
•
Mendukung dan memberdayakan masyarakat setempat untuk melindungi dan memanfaatkan sumber daya lahan gambut secara berkelanjutan untuk memberikan sumbangan bagi mata pencaharian mereka sekaligus untuk keamanan lingkungan,
•
Memfasilitasi pertukaran secara terbuka dan bebas dibidang informasi, pengalaman serta pembelajaran untuk mendukung pengelolaan gambut secara gotong royong dan efektif.
Lokakarya sangat MENDESAK agar Pemerintah dan organisasi non-pemerintah, sektor swasta serta masyarakat untuk bekerja bersama dalam melindungi, merehabilitasi dan secara berkelanjutan mengelola areal lahan gambut untuk generasi kini dan mendatang serta lingkungan global. AKSI-AKSI YANG DIRENCANAKAN Lokakarya lebih lanjut menghimbau aksi-aksi berikut untuk dilaksanakan Regional
Mendorong pelaksanaan aktif dari ASEAN Peatland Management Initiative.
Memacu pertukaran informasi regional mengenai luasan, status dan pengelolaan lahan gambut, dan mengembangkan buku panduan untuk praktek-praktek pengelolaan terbaik.
Nasional
Merumuskan atau memperbaharui kebijakan-kebijakan, strategi atau rencana-rencana nasional untuk konservasi dan pemanfaatan bijaksana dari lahan gambut,
Melakukan atau merevisi inventarisasi lahan gambut nasional dan melakukan pemintakatan (zonasi) untuk keperluan perlindungan, rehabilitasi dan pemanfaatan lain,
Membentuk jaringan kerja situs-situs lokasi proyek untuk membuat percobaan pilihan-pilihan pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan.
Rekomendasi Kelompok Kerja Pengelolaan Kebakaran di Areal Lahan Gambut •
Kelola atau restorasi muka air alami di lahan gambut sebagai kunci untuk pencegahan kebakaran,
•
Perkuat koordinasi diantara berbagai institusi yang terkait dengan pencegahan dan penanggulangan kebakaran di lahan gambut, termasuk pembentukan unit-unit pencegahan kebakaran gambut pada institusi-institusi yangbbertanggung jawab untuk kegiatan kehutanan dan pertanian,
•
Libatkan secara aktif masyarakat desa dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran
•
Adopsi strategi tidak membakar (zero burning) untuk semua kegiatan pertanian komersial,
•
Tingkatkan penegakan hukum serta pemantauan dan prakiraan resiko kebakaran.
Rehabilitasi Lahan Gambut •
Setiap negara yang memiliki lahan gambut rusak didorong untuk mengembangkan program rehabilitasi lahan gambut,
10
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia •
Lahan gambut rusak harus diidentifikasi dan diklasifikasikan berdasarkan pilihan-pilihan rehabilitasi,
•
Petunjuk atau arahan yang memadai harus dikembangkan berdasarkan pengalaman regional dan dikenalkan secara luas,
•
Proyek-proyek percontohan untuk mencoba berbagai teknik harus dibentuk,
•
Kegiatan pertama yang dilakukan di lokasi harus terkait dengan restorasi muka air (seperti melalui penabatan/blocking aliran genangan) dan pencegahan kondisi yang akan menimbulkan penurunan muka air atau pemicu kebakaran,
•
Restorasi harus dilakukan dengan jenis-jenis setempat (indigenous) yang sesuai.
Pertanian di Lahan Gambut •
Pengetahuan masyarakat setempat dan metodologi modern, seperti teknik-teknik pencegahan pengamblasan (subsidence) dan pengeringan berlebih, pembukaan lahan yang kurang menimbulkan masalah dan praktek-praktek pertanian; harus didokumentasikan dan dikenalkan kepada masyarakat yang melakukan kegiatan pertanian di lahan gambut,
•
Pilihan-pilihan untuk pembukaan lahan yang memadai dan tergapai harus dikembangkan dan disediakan untuk masyarakat yang hidup di areal lahan gambut,
•
Kenalkan pertanian bebas asap melalui kegiatan-kegiatan pemberian insentif dan dis-insentif.
Pengelolaan Air di Areal Lahan Gambut •
Perlakukan setiap kubah gambut sebagai suatu unit hidrologis pengelolaan dan padukan pengelolaan lahan gambut dengan pengelolaan Daerah Aliran Sungai terkait,
•
Penabatan (blocking) saluran-saluran pengeringan atau jalan keluar kayu di areal lahan gambut merupakan strategi penting untuk merestorasi tingkat muka air alami dan nilai-nilai ekosistem, sekaligus untuk mencegah kebakaran dan menghentikan sedimentasi jalan air di dekatnya
•
Atur pengeringan di lahan gambut dan perbaiki serta pertahankan muka air baik di dalam maupun di mintakat penyangga sekitar lahan gambut.
Peserta meminta panitia pertemuan untuk secara luas menyebarkan penyataan ini dan untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan tindak lanjutnya.
11
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia SEMINAR & WORKSHOP ON WISE USE AND SUSTAINABLE PEATLANDS MANAGEMENT PRACTICES WORKSHOP PROGRAMME 13th to 14th October 2003
Day 1- 13th October 2003 Monday Time 08.00 –09.00
Event REGISTRATION
09.00– 09.40
MC Report from OC + information on workshop agenda Opening remarks (CIDA Jakarta) Opening (Wetlands International – IP) Session I – Plenary Session Chair Person : Faizal Parish (GEC) 09.45 – 10.05 Peatlands Management and International Markets. D. Murdiyarso (CIFOR) and I Nyoman N. Suryadiputra (WI-IP) 10.05 – 10.25 Best Management Practice on Indonesian Peatlands BMP Team – Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia (CCFPI) 10.25 – 10.45 Peatlands Distribution and Current Status in Indonesia (Sumatera and Kalimantan) Wahyunto (Puslitbangtanak-Bogor). 10.45 – 11.05 Q&A 11.05 – 11.20 Tea Break 11.20 – 11.40 Forest and Land Fire Management in Peatland Areas Dr. Bambang Hero Sahardjo, Head of Forest Fire Laboratory- Department of Forest Management, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University (IPB-Bogor). 11.40 – 12.00 Development and Application of Fire Danger Rating in Tropical Peatlands Dr Mike Braddy (FDRS Project) 12.00 – 12.20 Agriculture in peatswamp/land soil areas. Dr. Subagjo (Puslitbangtanak) 12.20 – 12.40 Water Management in Peatlands Areas (lesson learnt from Indonesia). By Dr Nana Mulyana 12.40 – 13.00 Q & A 13.00 – 14.00
Lunch & Pray
SESSION II – PLENARY SESSION Chairperson : Lailan Syaufina (IPB) 14.00 – 14.20 Sustainable Fibre Plantation on Peat Soil. By Mark Werren and Rolland Offrel (APRIL) 14.20 – 14.40 Forest Management and Rehabilitation of degraded peatlands areas in Indonesia from researches perspectives. By Dr Istomo, Forest Ecology Laboratory, IPB) 14.40 – 15.00 International Scenarios and Experiences in Peatlands Management. By Faizal Parish (GEC-Malaysia) 15.00 – 15.20 Q & A 15.20 – 15.35 Tea Break
13
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia 15.35 – 15.55 Fire Management and Strategies in Peatlands. Dr. Dicky Simorangkir, Brett Shields and Dr. Peter Moore 15.55 – 16.15 Global Warming Effect of Converting Peat Swamp Forest to Agricultural Fields in Kalimantan Abdul Hadi, Kazuyuki Inubushi, Yuichiro Furukawa and Haruo Tsuruta 16.15 – 16.35 Asean Peatland Management Initiative : The Mechanism. Chew Tong Yiew. GEC-Malaysia CONFIRMED 16.35 – 16.55 Q & A 16.55 – 17.00 Agenda for second day Workshop (Organising Committee) Day 2 : Parallel Session Session II A Forest and Land Fire Management in Peatland Areas
Session II B Session II C Session II D Rehabilitation in the ex- Agriculture in peatswamp/ Water Management in burnt Peatswamp Forest land soil areas Peatland Areas Area
Chairman : Dr Bambang Hero Saharjo
Chairman: Dr Istomo
Chairman : Dr Subagjo
Chairman : Achmadi Partowijoto
Raporteur : Wahyu C. Adinugroho 09.00 – 09.30 Concept manual on forest 1 and land fire management in peatland areas.
Raporteur : Iwan Tri Cahyo Wibisono Silviculture manual for rehabilitation of exburnt and abandoned peatland areas.
Raporteur : Lili Muslihat Concept manual on Environmentally Friendly Agricultural Activities in Peatland Areas.
Raporteur : Roh Santoso Concept manual on Water Management in Peatland Areas (special topic on Canal Blocking concepts).
Wahyu C. Adinugroho (CCFPI Consultant). 09.30 – 09.55 Strategy on the 2 environmental-friendly use of peatlands
Iwan TriCahyo Wibisono (CCFPI Consultant). Rehabilitation on the exburnt peatswamp areas in Berbak National Park, Jambi.
Lili Muslihat (CCFPI Consultant). Agriculture Practices in South-Kalimantan Peatlands area.
Roh Santoso (CCFPI Consultant). Studi Pemanfaatan Gambut asal Bengkulu, Sumatra: Tinjauan terhadap dampak drainase dan pemupukan
Hari Subagyo (PT PDIW) & Indra Arinal (CCFPI), Jambi Lessons learnt from PT DHL in Developing Industrial Timber Plantation (HTI) on peatlands Area.
Sarwani (Balitra, Banjarbaru)
I.P. Handayani (Universitas Bengkulu).
Global Warming Effect of Converting Peat Swamp Forest to Agricultural Fields in Kalimantan.
Canal Blocking in Sungai Puning and in Ex-Megarice Project Central Kalimantan
Abdul Hadi, Kazuyuki Inubushi, Yuichiro Furukawa and Haruo Tsuruta.
Alue Dohong, Nyoman Suryadiputra & Roh Santoso (CCFPI).
Dedik Budianta (UNSRI)
09.55 – 10.20 The Establishment and 3 Empowerment of Community Based Forest Fire Brigade. Khairul Saleh (Yayasan PINSE)
Hamri Rosera Director of Production of PT DHL, Jambi
10.20 – 10.50 Q&A 10.50 – 11.10 Tea Break
14
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia 11.10 – 11.35 Lessons learnt and matters 4 need to be considered to handle peatland fire (case study from central Kalimantan and Sumatera)
Pengelolaan lahan dan ekosistem hutan rawa gambut: contoh kasus dari Kalimantan Barat
Alue Dohong & Indra Arinal Gusti Z. Anshari (Yayasan Konservasi (CCFPI). Borneo)
Mengelola lahan gambut Canal blocking by untuk pertanian bersama farmers in Lebung pengungsi di Pontianak. Jangkar Village, South Sumatra Sara A. Calvert (Catholic Relief Services Indonesia – Pontianak).
Deddy Permana (Yayasan WBH, South Sumatra) Water quality on the canal of ex-PLG, Central Kalimantan
11.35 – 12.00 Controled Burning 5 Techniques in Peatland Areas
Agriculture in Peatland Rehabilitation in exburnt PeatswampAreas Areas. in ex-MRP, Central Kalimantan
Dr. Lailan Syaufina (Faculty of Forestry , IPB) 12.00 – 12.30 Q & A
Herwint Simbolon (Puslit Biologi – LIPI) Q&A
Muhammad Noor (Balitra, Banjarbaru) Q&A
Kembarawati (CCFPI Consultant) Q&A
Session III A Forest and Land Fire Management in Peatland Areas
Session III B Rehabilitation in the exburnt Peatswamp Forest Area
Session III C Agriculture in peatswamp/land soil areas
Session III D Water Management in Peatland Areas
Chairman : Dr Suyanto
Chairman : Hamr i- PT DHL
Chairman : Dr Budi Mulyono
Chairman : Nyoman Suryadiputra
Raporteur : Iwan Tri Cahyo The impact of subsidence into the peat characteristics
Raporteur : Lili Muslihat Participatory Technology Development on Peatland Sustainable Agriculture
Raporteur : Roh Santoso Berbak National Park Protection Through the Management of Air Hitam Laut Catchment Area.
Ujang Suparman (CARE Kalteng)
Dipa Rais UNJA
Vegetables and horticulture farming on peatland areas.
Water conservation in Merang Peatlands Area, South Sumatera.
Dedy Wahyu Murtianto, Maslian Ahmad Yani and Basuki (Yayasan PINSE, Jambi) Sumawinata (IPB)
Suryanto (BSP, South Sumatera)
12.30 – 13.30 Lunch & Pray
Raporteur : Wahyu 13.30 – 13.55 Reduce Haze by converting 6 fuel materials (shrubs, grasses, twigs etc) into charcoal brickets and organic fertilizer.
Dr Bambang Hero Saharjo Teguh Nugroho and (Faculty of Forestry, IPB) Dr. Budi Mulyanto (Soil Department, IPB) New approaches in 13.55 – 14.20 Impact of Government tropical peatlands’ bulk 7 policies and its possible density determination connection to forest and land fire. Rivani Noor (Walhi Jambi)
14.20 – 14.45 8
Agriculture Practices in Kalampangan Peatland Areas in Central Kalimantan Suyandi (Kalampangan Farmer, Central Kalimantan)
14.45 – 15.15 Q & A 15.15 – 15.30 Tea Break
15
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia 15.30 – 15.45 Information dissemination on BMP and Peat Portal Operation David Lee (Global Environment Centre, Malaysia) 15.45 – 16.30 Group Report 16.30 – 17.00 Q & A 17.00 Closing
Posters 1. Development and Management Of Maludam National Park, Sarawak, Malaysia Malcom Demies & Mohd. Shahbudin Sabki (Sarawak Forest Department, Kuching Sarawak, Malaysia
[email protected] 2. Sustainable Management of Peat Swamp Forest of Sarawak with Special Reference to Ramin (Gonystylus bancanus) Malcom Demies & Francis Chai (Sarawak Forest Department, Kuching Sarawak, Malaysia
[email protected] &
[email protected] 3. Fire Danger Rating System (Mike Brady)
16
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia WORKSHOP ON WISE USE AND SUSTAINABLE PEATLANDS MANAGEMENT PRACTICES Hotel Pangrango, Bogor 13-14 OKTOBER 2003 LIST OF PARTICIPANTS Angella Keller-Herzog CIDA World Trade Centre Lt. 6 Jl. Jend. Sudirman Kav. 29
Abdul Hadi Universitas lampung Jl. Sumantri Brojonegoro Bandar lampung 35145 HP. 0812 5006982 Email.
[email protected]
Jakarta 12920 Telp. (021) 25507800 Fax. (021) 25507813 HP. 0811 981391 Email.
[email protected]
Adelina Kamal Asean Secretariat Jl. Sisingamaraja No. 70A Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Telp. (021) 7243340 Fax. (021) 7398234 Email.
[email protected]
Arie Mirjaya International Ogranization For Migration (IOM) Akcaya III Jl. Dr. Ismail Idris No. 9 Pontianak 78121 Kalimantan Barat Telp. (0561) 765720 Fax. (0561) 735096 Email.
[email protected]
Ir. Achmadi Partowijoto, Cert. AE Persatuan Insinyur Indonesia Jl. Padjajaran Indah No. 9 Bogor Telp/Fax. (0251) 323018 HP. 0811119701 Email.
[email protected]
A.R. Muda Sagala Program Konervasi Mawas Jl. Yos Sudarso No. 1A Palangka Raya 73111 Kalimantan Tengah Telp/Fax. (0536) 20998 HP. 0811 529591 Email.
[email protected]
Achmad Sain Puslitbangtanak Jl. Ir. H. Juanda No. 32 Bogor
A.Taufik Dinas Kehutanan Sumsel Sumatera Selatan
Alue Dohong Kalimantan Site – CCFPI Wetlands International Jl. Ahmad Yani No. 53 Bogor Telp. (0251) 312189 Fax. (0251) 325755 HP. 0812 5072406 Email.
[email protected]
Aris Munandar Bappeda Sumsel Palembang 30139 Telp. (0711) 356118 Fax. (0711) 356118
Andreas Wisnu Kuncoro Lembaga Gemawan Divisi Kemanusiaan Jl. Pulau Wei 153 Pontianak - Kalbar Telp/Fax. (0561) 734341 HP. 0815 2234535 Email.
[email protected]
Basman Proram Konservasi Mawas Jl. Yos Sudarso No. 1A Palangka Raya 73111 Kalimantan Tengah Telp. (0536) 20998 Email.
[email protected]
381
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Dedy Permana Wahana Bumi Hijau Komplek Mutiara Indah I blok A No. 8 Inderalaya, OKI 30660 Palembang Telp. (0536) 581377 Email.
[email protected]
Dr. Ir. Bambang Hero Sahardjo, M.Agr.0 Fakultas Kehutanan – IPB Kampus Darmaga IPB PO Box 168 Bogor 16001 Telp. (0251) 421929 Fax. (0251) 621256 HP. 08161948064 Email.
[email protected] Brad Sanders Riau Andalan Pulp dan Paper Sektor Pelawan, Pangkalan Kerinci Kab. Pelalawan Pekan Baru - Riau PO BOX 1080 HP. 0812 7582043 Email.
[email protected]
Dr. Ir. Dedik Budianta, MS Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Jl. Indralaya, 30662 Sumatera Selatan Telp. (0711) 580460 Fax. (0711) 580276 HP. 0812 7859781 Email.
[email protected]
Dr. Budi Mulyono Jurusan tanah - Fakultas Pertanian IPB Kampus Dramaga Bogor
Dipa Rais Universitas Jambi Jl. H.A. Manat, Kampus Telanaipura Jambi HP. 0812 7499890 Dr. Dicky Simorangkir Tropenbos International Jl. Jend. Sudirman Balikpapan Permai Blok F2 No. 31 Rt. 16/04 P.O. Box 494 Balikpapan 76100 Telp. (524) 820503 Fax. (542) 735773 HP. 0811 530560 Email.
[email protected]
Cahyo Wibowo Fakultas Kehutanan IPB Kampus Darmaga IPB Bogor Canesio Munoz Riau Andalan Pulp dan Paper P.O. Box 1080 Pekan Baru Telp. (021) 21330134 HP. 0811 756939 Email.
[email protected]
Ir. Djoko Prasetyonohadi Hatfindo Jl. Bango 2-4 Tanah Sareal Bogor 16161 Telp. 0251 324487 Fax. 0251 340414
Dadang Rahadian Subasli, S.Si Balitbang Zoologi – Puslitbang Biologi LIPI Widyasatwaloka Jl. Raya Bogor Km 46 Cibinong 16911 Telp. (021) 8765056-64 Fax. (021) 8765068 Email.
[email protected]
Drasospolino WWF Kalteng Jl. Agung No. 15 Palangka Raya Kalimantan Tengah 73111 HP. 0811 522071 Email.
[email protected]
David Lee Global Environment Centre (GEC) 2nd Floor, Wisma Hing, No. 78 Jalan SS2/72 47300 Petaling Jaya Selangor, Malaysa Telp. 60 3 7957 2007 Fax. 60 3 7957 7003 Email.
[email protected]
Edy Nasriadi Sambas Herbarium Bogoriense, PuslitBiologi – LIPI Jl. Ir. Juanda No. 22 Bogor 16122 Telp. (0251) 322035 Fax. (0251) 336538 HP. 0812 1300351 Email.
[email protected]
382
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Hidayati Coreetha Rirys Asean Secretariat Jl. Sisingamaraja No. 70A Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Telp. (021) 7243340 Fax. (021) 7398234 HP. 0816 892331 Email.
[email protected]
Eka Andriani Lembaga Gemawan Divisi Kemanusiaan Jl. Pulau Wei 153 Pontianak - Kalbar Telp/Fax. (0561) 734341 Email.
[email protected] Eris Achyat South Sumatra Forest Fire Management Project Jl. Jend. Sudirman No. 28-37 KM 3,5 Palembang 30129 Telp. (0711) 353186 Fax. (0711) 377821 Email.
[email protected]
Dr. Ir. Iin P. Handayani, M.Sc Universitas Bengkulu Jl. Pepaya II/139 Panorama Bengkulu 38226 Telp. (0736) 341476 Fax. (0736) 21290 Email.
[email protected]
Guntur PT. Riau Andalan Pulp and Paper P.O. Box 1080 Pekan Baru Telp. (0761) 491837 Faz. (0761) 95305/304 HP. 0811 762016 Email.
[email protected]
Indra Arinal Sumatra Site – CCFPI Wetlands International Jl. Samsoe Bahri No. 28 Rt. 24/8 Kel. Payolebar Kec. Jelutung Jambi 36135 HP. 0819 2547083 Email.
[email protected]
Gusti Z. Anshari Yayasan Konservasi Borneo Jl. Paris 2 Perumahan Balimas 2 No 5B Pontianak 78124 Kalimantan Barat Email.
[email protected]
I Nyoman Suryadiputra Project Facilitator – CCFPI Wetlands International Jl. Ahmad Yani No. 53 Bogor Telp. (0251) 312189 Fax. (0251) 325755 HP. 0816 950113 Email.
[email protected]
Hamri Rosera PT. Dyera Hutan Lestari Jl. Raden Pamuk No. 14 Jambi 36141 Telp. (0741) 50683 Fax. (0741) 31620
Iwan Tri Cahyo Wibisono CCFPI – Consultant Jl. Samsoe Bahri No. 28 Rt. 24/8 Kel. Payolebar Kec. Jelutung Jambi 36135 Telp/fax. (0741) 64445 HP. 0819 2549507 Email.
[email protected]
Harijal Jalili Yayasan Tropika Jl. Gunung Agung No. 2B Pekan Baru 28142 Telp. (0761) 45530 HP. 0812 7603003 Happy Widiastuti Balai Penelitian BioTeknologi Perkebunan Jl. Taman Kencana No. 1 Bogor Telp. (0251) 324048 Email.
[email protected]
Jill Heyde Wildlife Habitat Canada 200-7 ave.N., Hinton Ave., Ottawa Ontario K1Y4P1 Canada Julia Kalmirah KEHATI Patra Jasa Lt. 1 Gatot Subroto Kav. 32-34 Jakarta Telp. (021) 5228031 Fax. (021) 5228033 HP. 0818 861255
Herwint Simbolon Herbarium Bogoriense – LIPI Jl. Ir. H. Juanda No. 22 Bogor Telp. (0251) 322035/Fax. (0251) 336538 Email.
[email protected]
383
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Maslian PINSE Jl. Oerip Sumoharjo Lorong Jaya Rt. 16/30 Jambi Telp./Fax. (0741) 63166 HP. 0812 7880043
Kembarawati Jl. Teuku Umar No. 45 Palangka Raya 73111 Kalimantan Tengah Khairul Saleh PINSE Jl. Oerip Sumoharjo Lorong Jaya Rt. 16/30 Jambi Telp./Fax. (0761) 63166 HP. 0819 2547875
Mark Werren Riau Andalan Pulp and Paper Sektor Pelawan, Pangkalan Kerinci Kab. Pelalawan Pekan Baru - Riau PO BOX 1080
Dr. Lailan Syaufina Fakultas Kehutanan IPB Kampus Darmaga Bogor (0251) 421929 (0251) 621256 HP. 0813 11088233 Email.
[email protected]
Mike Brady Canadian Forest Service Jl. MH. Thamrin No. 8 Gedung BPPT Lt. I Gd. I Jakarta Pusat 10340 Telp. (021) 31901424 Moch. Waladi Isnan Kasubdit Lahan Basah Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan Gedung Manggala Wanabahkti No. 10 Gatot Subroto Jakarta HP. 0813 11216525
Labueni Siboro Account Officer – CCFPI Wetlands International Jl. A.hmad Yani No. 53 Bogor Telp. (0251) 312189 Fax. (0251) 325755 HP. 0812 8844887 Email.
[email protected]
Muhammad Ilman Wetlands International Jl. Ahmad Yani No. 53 Telp. (0251) 312189 Fax. (0251) 325755 HP. 0811 167027 Email.
[email protected]
Lilis Herlisah Secretary – CCFPI Wetlands International Jl. A.hmad Yani No. 53 Bogor Telp. (0251) 312189 Fax. (0251) 325755 HP. 0812 9051245 Email.
[email protected]
Muhammad T. Wilson Asean Secretariat Jl. Sisingamaraja No. 70A Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Telp. (021) 7243340 Fax. (021) 7398234 Email.
[email protected]
Lili Muslihat CCFPI – Counsultant Jl. A.hmad Yani No. 53 Bogor Telp. (0251) 312189 Fax. (0251) 325755 HP. 0813 10395621
[email protected]
Dr. Muhrizal Sarwani Balitra Jl. Kebun Karet, Laktobat Banjarbaru 70712 Telp. (0511) 772534 Fax. (0511) 773034 HP. 0812 5175145 Email.
[email protected]
Malcolm Demies Forestry – Depart. Serawak Malaysia
[email protected]
384
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Roh Santoso Budi Waspodo CCFPI – Counsultant Jl. A.hmad Yani No. 53 Bogor Telp. (0251) 312189 Fax. (0251) 325755 HP. 0813 10796642 Email.
[email protected]
Mustafril Jurusan Tehnik Pertanian Fak. Pertanian – Univ. Syah Kuala Darusalam – Banda Aceh Telp. (0651) 51977 Fax. (0651) 51097 HP. 0812 1997113 Email.
[email protected]
Rolland Offrel Riau Andalan Pulp and Paper Sektor Pelawan, Pangkalan Kerinci Kab. Pelalawan Pekan Baru - Riau PO BOX 1080 Email.
[email protected]
Nana Mulyana Fahutan – IPB Kampus Darmaga IPB Bogor Telp. (0251) 622031 HP. 0811117549 Email.
[email protected]
Roslan Arifin Planning & Management, Selangor, Malaysa
Nurul Winarni Wildlife Convention Society (WCS) Jl. Pangrango No. 8 Bogor Telp. (0251) 321527 Email.
[email protected]
Sara A. Calvert Catholic Relief Service Jl Parit Haji Husin II Kompleks Alex Griya I Blok D No. 18 Pontianak 78124 Kalimantan Barat Telp. (0561) 711150-713212 Fax. (0561) 711150 Email.
[email protected]
Reginawanti Hindersah Universitas Padjajaran Jl. Dipati Ukur Bandung HP. 0811 221834 Email. regina@pasca_unpad.ac.id
Tanit Nuyim Royal Forestry, Thailand
Rivani Noor WALHI Jambi Jl. Urip Sumoharjo, Dahli No. 32 Telanaipura Jambi Telp/Fax. (0741) 61715 Email.
[email protected]
T.Y. Chee Global Environment Centre (GEC) 2nd Floor, Wisma Hing, No. 78 Jalan SS2/72 47300 Petaling Jaya Selangor, Malaysa Telp. 60 3 7957 2007 Fax. 60 3 7957 7003 Email.
[email protected]
Riena Prasiddha Asean Secretariat Jl. Sisingamaraja No. 70A Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Telp. (021) 7243340 Fax. (021) 7398234 HP. 0811 966299 Email.
[email protected]
Teguh Nugroho Faperta – IPB Kampus Darmaga IPB Bogor Upik Rosalina Fahutan - IPB KampusDarmaga IPB Bogor Telp. (0251) 629012 HP. 0811119091 Email.
[email protected]
Ir. Robinson Harahap Herbarium Bogoriense, PuslitBiologi - LIPI Jl. Ir. Juanda No. 22 Bogor 16122 Telp. (0251) 322035
385
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Wahyu Catur Adi nugroho CCFPI – Consultant Wetlands International - IP Jl. A.hmad Yani No. 53 Bogor Telp. (0251) 312189 Fax. (0251) 325755 HP. 0813 10320380 Email.
[email protected]
Prianto Wibowo Berbak Sembilang Project Jl. Sumpah Pemuda Blok K-3 Kel. Lorok Pakjo Palembang 30137 Telp/Fax .(0711) 350786 HP. 0812 9272763 Email.
[email protected] Dr. Subagyo Puslitbangtanak Jl. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor Telp. (0251) 314126 Fax. (0251) 303095
Vidya Fitrian Publication Officer – CCFPI Wetlands International Jl. A.hmad Yani No. 53 Bogor Telp. (0251) 312189 Fax. (0251) 325755 HP. 0812 8844890 Email.
[email protected]
Suyandi Jl. Teuku Umar No. 45 Palangka Raya 73111 Kalimantan Tengah
Vinca Safrani Asean Secretariat Jl. Sisingamaraja No. 70A Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Telp. (021) 7243340 Fax. (021) 7398234 Email.
[email protected]
Dr. Suyanto ICRAF Jl. CIFOR – Sindangbarang Bogor Telp. (0251) 625415 Fax. (0251) 625416 Suryanto Adi W. Berbak Sembilang Project Jl. Sumpah Pemuda Blok K-3 Kel. Lorok Pakjo Palembang 30137 Telp/Fax .(0711) 350786 HP. 0812 7323584 Email.
[email protected]
Yayat Ruchiat CIFOR Jl. Cifor Situ Gede Sindang Barang Bogor Telp. 0251 622622 Fax. 622070 HP. 08129318756 Email.
[email protected]
Ujang Suparman CARE International – Kalteng Jl. Pattimura No 15 Palangka Raya 73111 Telp. (0536) 23244 Fax : (0536) 25040 HP. 0811520902
[email protected] et.id
Yus Rusila Noor Project Coordinator CCFPI Wetlands International – IP Jl. Ahmad Yani No. 53 Bogor Telp. (0251) 312189 Fax. (0251) 325755 Email.
[email protected]
Dr. Wahyunto Puslitbangtanak Jl. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor Telp. (0251) 323012 Fax. (0251) 311256 HP. 08128937934
386
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Recognizing Environmental Services of Peatlands and Their Relevance to International Markets
Daniel Murdiyarso Center for International Forestry Research
I Nyoman Suryadiputra Wetlands International - Indonesia Program
Outline
Issues and Challenges Environmental Services
Biodiversity conservation Water/hydrological functions Carbon storage
Markets and rewarding mechanisms
Local National International
17
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
1. Issues and Challenges
Tebal
Peat dome and accumulation of organic matters
Sungai
Sungai
Tanah Organik > 6m
< 1m
<
Tanah Mineral Jarak
Kepres No 32/1990; UU Tata Ruang No 21/1992: tentang pengelolaan kawasan lindung: Gambut di atas 3 meter dilindungi Kebijakan DepTan : Gambut Dangkal (0.5-1m) – Sedang (1-2 m) Berpotensi untuk Pertanian
18
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Peatlands area Southeast Asia 1992: 35-40 mill ha (Immirzi and Maltby, 1992). 2002: 25-30 million ha (estimate) Indonesia 1987: 20 million ha (Silvius et al, 1987). 70% of peatland area in Southeast Asia 50% of the world’s tropical peatlands 2002: 17 million ha
Peatland conversions
19
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Peatlands and global climate
The German Advisory Council on Global Change (GACGC) indicates that peatlands in the tropics are estimated to store 1700-2880 t C/ha while peatlands in boreal/temperate regions store 1314-1315 t/c/ha Forest fires in Indonesia during 1997 and 1998 is estimated to have released more than 750 million tones of CO2 (over 50% was as a result of combustion of peat). The drainage or degradation of peatlands releases large amounts of GHGs in the range of 2-20 tC/ha/yr and in certain circumstances up to 100tC/ha/yr. (Maltby and Immirzy 1993; GACGC,1998).
2. Environmental Services
a. Biodiversity conservation
20
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Biodiversity values Sebangau area (600,000 ha) Diantara S.Sebangau & S. Katingan Kab. Katingan, Pulang Pisau & Kota Palangkaraya 166 spesies flora, 6 sub tipe hutan: riverine, mixed, transition, low pole, tall interior forest (Antara lain: Belangeran (Shorea belangeran), Ramin (Gonystlus bancanus), Mentangur (Callophyllum sclerophyllum).). 116 spesies burung (Bangau rawa, Bangau tong-tong, Enggang, Julang, Elang). 35 spesies mamalia (Antara lain: bekantan, owa, kelasi, beruk, beruang madu, orangutan) (CIMTROP 2002)
Biodiversity values (contd.) Biodiversity Sumatra: > 300 tree species: including ramin (Gonystylus bancanus), jelutung (Dyera costulata), meranti (Shorea spp.) Endangered wildlife: Malaysian blue flycatcher (Cyornis turcosa), Sumatran tiger (Panthera tigris sumatranus), tapir (Tapirus indicus), Asian elephant (Elephas maximus sumatrensis), lesser one-horned rhino (Rhinoceros sondaicus), orang utan (Pongo pygmaeus) and hundreds of Bird species: including hornbills and cassowaries. Kalimantan: aquarium fishes (S. Puning river - 52 species, Perian: 98 species) Thailand: some 470 species were identified in the Narathiwat peat swamp forest (Urapeepatanapong, 1996)
21
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Water/Hydrology (S. Puning tributary)
• • • •
flood control flow regulation water supply and prevention of saline water
Carbon and climate change
Cara paling mudah membersihkan lahan Menghasilkan abu yang untuk sementara meningkatkan kesuburan tanah Mengendalikan hama dan penyakit tanaman Biomassa tidak memiliki nilai ekonomi selain menjadi kayu bakar Pajak dan retribusi atas kayu rakyat merupakan disincentive Lemahnya penegakan hukum
22
Forest fires in 1997/98 in Indonesia burnt or partially degraded more than 1.45 million ha of peatlands (ADB)
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Pendekatan dalam pembangunan di lahan gambut Pendekatan dengan kehati-hatian (precautionary approach) Dimulai dengan skala kecil sebelum dikembangkan secara besar-besaran Pendekatan ekosistem (ecosystem approach) Memperhatikan kondisi seluruh ekosistem dan DAS Pendekatan terpadu (integrated approach) Melibatkan berbagai sektor dan stakeholder Pendekatan pengelolaan lahan (land-use allocation approach) Kegiatan HTI, HPH di lahan gambut harus memperhatikan fungsi hidrologi, keanekaragaman hayati, cadangan karbon
JENIS PROYEK CDM •
Reforestasi: Proyek penanaman pohon pada kawasan hutan yang sejak awal tahun 1990 kawasan tersebut sudah tidak memenuhi kriteria hutan (e.g. Agf, HTI, Rehabilitasi, HKM) •
CDM - Hanya dana tambahan
LAHAN APA YANG BISA UNTUK
•
Skala kecil Harga rendah (US$ 10-30/tC) Biaya transaksi tinggi (ratusan ribu dolar AS) Pajak untuk dana adaptasi 2% Bukan solusi masalah kehutanan
23
Lahan hutan yang sudah bukan hutan sejak awal tahun 1990 Apa itu lahan yang bukan hutan: lahan yang luasnya kurang dari 0.05-1.00 ha yang ditumbuhi oleh pohon/tanaman yang penutupan tajuknya kurang dari 10%-30% dan tingginya tidak akan melebihi 2-5 m.
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Peatlands area (ha) and its carbon contents (million tons) in Sumatera (1990 – 2002)* Year
1990 2002
Year
Peaty soil (ha), < 0.5m
644.646
Peatlands area in Sumatera (ha) Deep 2–4m
Shallow 0.5-1.0m
Medium 1–2m
156.321
3.058.468 1.121.925
2.222.944
6.559.657
7.204.302
778.233
1.561.421
1.027.874
4.122.888
7.204.302
755.360
Very deep >4m
Grand Total Total
3.081.413
Peaty soil (mill ton C)
Carbon Contents in Sumatera Peatlands (million ton)
Shallow
Medium
Deep
Very deep
Total
1990
-
171,51
4.672,25
3.522,10
13.917,33
22.283,19
2002
203,29
854,33
3.184,73
3.884,29
10.686,73
18.813,37
C-loss in 12 years (million t)
-3.469,82 = - 3,5 Gt
Source: CCFPI – WI-IP & WHC, 2003
Markets and Rewarding Mechanisms
24
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Canal blocking at Sungai Puning Area, Central Kalimantan, (CCFPI WI-IP WHC 9 Sep 2003)
Local livelihoods
Blackwater fish
Ramin
25
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Economic values of peatswamp forest in Perian No .
Jenis Hasil Hutan
Volume Produksi
1
Kayu bangunan
2.843,30 m
2
Kayu bakar
439.799 ikat
Manfaat Ekonomi Per Tahun (Rp)
Kontribusi Terhadap Manfaat Total (%)
3
852.991.200
10,49
1.011.538.648
12,45
3
Kayu
754 btg
565.740
0,007
4
Sirap
51.534 pak
386.507.430
4,76
5
Bambu
14.569 btg
4.370.669
0,05
6
Rotan
164.273 btg
62.423.719
0,77
7
Damar
222,91 kg
144.893
0,002
8
Tumbuhan obat
10.345 btg/jenis
14.896.829
0,18
9
Rusa
168 ekor
82.484.465
1,02
10
Babi
71 ekor
5.313.600
0,07
11
Trenggiling
1 ekor
37.786
0,00
12
Burung Tiung
1 ekor
94.464
0,001
13
41 ekor
614.016
0,008
14
Burung Murai Batu Burung Telisak
1 ekor
2.390
0,00
15
Burung Punai
301 ekor
452.049
0,006
16
Ikan
2.852.851,56 kg
5.705.703.120
70,20
8.128.141.017
100
Jumlah
Sumber: WI-IP, 2000
Proyek CDM (Clean Development
Penurunan Emisi Non-Annex I melalui penjualan CER
Emisi Annex I Perdagangan
Emisi Non-Annex I Penurunan Emisi Annex I melalui pembelian CER
Proses: Jual-beli CER (Certified Emission Reduction)
26
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Perolehan C untuk Menghitung CER AB = Baseline AC = Additionality AD = Leakage
abcd = perolehan abef = kehilangan abcd-abef = perolehan neto
C
Cadangan C
c
d b
a A f
e t1
Waktu
t2
Non-Kyoto Markets
Climate Protection (UNFCCC) Biodiversity conservation (CBD) Land Conservation (CCD)
27
B D
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Marrakesh Accord
Reforestation (<1990 unforested) Afforestation (50 yrs ago unforested) Capped at 1% of the assigned amount First commitment period (20082012)
Oversupply - lowered market price
Developed country demand
Supply without sinks
Price ($/tC)
Supply with sinks included Lowered price
Quantity (juta tC)
28
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Emerging Markets BCF -
LULUCF sector (Kyoto compliance) Second window (non-Kyoto compliance) Biodiversity and Land Conservation Agroforestry, shade coffee, grassland rehabilitation US$ 11-22/tC
Adjusting project documents Forest carbon Project Design
Redesign
Comply with Kyoto Rules ?
No
Redesign
No
Yes
Strong biodiversity cons & comm dev.
Yes
Redesign
Adptation project? No
Yes
CDM Market
Philanthropic sources
2nd window of BioCarbon
29
Adaptation Fund (GEF) No C-credit
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
CONCEPT OF EXPLOITING PEAT-SWAMP POOLS (Beje) AND DITCHES (Parit) AS PARTICIPATIVE FUEL/FIRE BREAK IN FOREST AND PEAT LANDS Wahyu Catur A. Consultant - CCFPI
Dry Area Forest and Land fire :
Wet Area ( Forest / Peat land) (0,73 million hectare concentration in area ex-PLG have been burnt at 1997, the burning of core zone TNB about 12000 hectare in the year 1998, more or less 100 hectare of area of puning river and 150 hectare of area of DAS Barito have been burnt at oktober 2002)
31
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Forest and peat land fire
• Become by dry season • Its cause : Majority is act of human being
- Land Conversion ; settlement, rice field, industrial ( becoming open critical areal)
• Intentional combustion Vegetation (land preparation done at the land conversion, land preparation by society for Shifting Cultivation, to facilitating to access the society in natural resource exploiting) • Activity in natural resource exploiting (smoking, camp fire) • Ditch/canal making (happened by the over drying in dryn season). • Big Threat potency for global climate (fire in the year 1997 / 1998 in Indonesia have caused the dread of citizen malaysia, singapore from yielded smoke impact)
THE IMPORTANCE TO CONTROL OF FOREST AND PEAT LAND FIRE - Forest / peat land Function and potency •as reserve / water depositor ( aquifer) •as environmental / ecology buffer •as agriculture farm •as producer of various wood product, flora ( crop), fauna ( fish, bird, etc) - Affect the Forest and peat land fire •Degradation of environmental condition ( degradation of quality of peat physical, the annoying of process dekomposition, the annoying of process succesion, damage of hydrology cycle, the bulk carbon emission) •human being health •The annoying of economic activity •( loss of living source, the annoying of transportation) - Type of Forest and peat land fire •Surface fire which creep to become ground fire •Combustion which not a light •A lot of finding difficulties in Extinction activity.
Api berbentuk seperti kantong asap
32
Lap.Tanah Gambut Lap.Tanah Mineral
Wahyuccfpi doc
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
THE CRISIS OF FOREST AND PEAT LAND FIRE Factor influencing crisis level of the forest and peat land fire : - Climate condition •The rainfall level •Highest crisis dry season ( Low CH, high heat intensity of sun) this condition is became at juny until october and sometime may until nopember taking place symptom el_nino ( hard fire in 1997 / 1998) •Crisis low progressively at condition where strarting to descend the rain - Physical condition The degradation of condition of PLG (box 1) physical of forest and peat lands ( Policy to convert the forest and peat land illegal logging, forest and peat land for the activity of settlement and rice field big scale have been done by indonesia conversion, the making of government of through mega rice project. ditches/canal). This project is finally discontinued and -Condition of Economic and Social Culture. areal peat land is nutrient poor and suffused by a water every year. society live on only by hunting / catching fish and illegal logging.
give the very big environmental damage impact, activity of land clearing use the fire become the root cause the happening of fire and smoke pollution in the year 1997 in Centra Aleu-ccfpi.doc l Kalimantan. Jack Rieley, dkk ( 2002) indicating that areal peat burnt by year 1997 reaching 0,73 million hectare and concentration in area ex PLG. Canal Making for the irrigating of have pushed the happening of abundant peat draining in dry season. The picture at above describe one site of ex PLG in unifinished north block A and ex- burnted and also have been happened the degradation of water table.
33
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
TO MINIMIZE THE CRISIS OF FOREST AND PEAT LAND FIRE WITH THE MAKING FUEL/FIRE BREAK PARTISIPATIVE - Prevention and To control of Forest and land Fire: • Depend by efficacy take along the society in emotion, feeling and spirit of held forest suitanable. • Needing approach of forest management comprehending humanity aspect. - Fuel/Fire Break Partisipative : • Process of its done partisipatively by society of pursuant to condition of local economic, culture and social • Fuel/fire break permanent made by exploiting beje (peat-swamp pools) and ditches. - Fire Management : • Instructed for the activity of prevention of have bases to society beside not disregard the effort fire extinguishing • Activity of Prevention is cover the work which aim to wild fire is not happened fuel • Process of the happening of combustion
Oxygen
Heat/fire
Simple concept to prevent the happening of combustion process • Eliminating one of fire triangle component (eliminating or lessening heat source / fire, eliminating or lessening fuel accumulation)
The fuel manipulation effort • Conducted by a fuel management • Cutting or blocking out fuel with the fuel break • This objective is divide the wide fuel carpet become the some part with fuel/fire break, so that if happened by the fire, fire not burn over entire/all area.
34
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
The potential for development of fuel/fire break in forest and peatlands • Beje (Peat-swamp pool) A pool which is made by a society (generally by dayak tribe) in Central Kalimantan hinterland forest to catch (snare) the fish Beje in puning river
box 2
Picture at beside represent the example of pool beje which is a lot of found in region of puning river, Shouth Barito regency Central Kalimantan. this bejebeje located in forest with the distance more or less 500 metre from settlement. size measure of Beje is vary, wide 1.5 - 2 m, depth 1-1.5 m, length 10-20 m. This Beje represent fish supply source at dry season. Fish variety which is there are ( snared in beje at rainy season when water of river around bubble up), gabus ( Chana Sp), lele ( Clarias Sp), betok ( Anabas Testudineus), sepat ( Trichogaster Sp), tambakan ( Helostoma Sp). This condition beje still be suffused in dry season and remain to be done treatment by its owner
Ditches • • • • •
Functioning to connect the forest with the river closest to release the wood A lot of conducted at the time of activity of illegal logging still be high Generating negative impact Changing of it morphology and water quality the river Happened by the stream to river so that cause the peat land experience of the abundant draining in dry season.
Society ditch in Muara Puning
box 3
Ditch made by a society to connect the river with the forest to release the wood of result of cutting away ( illegal logging) in rainy season where logging activity done at the dry season. Ditch made by diging to form the channel use the simple appliance. the Ditch length range from 3-5 km, wide 60-200 cm, and deepness among 35-95 cm. The picture at beside is one of ditch own society in subvillage muara puning, south barito regency-central Kalimantan. The partly of ditch condition now is not used because on the decrease logging activity which is one of its cause is have tree commercial ending. Dry season moment , this ditch is only loaded by a few/little water somewhere dry and condition of peat land of around ditch is ex- burnt. Fire that happened indication in consequence of illegal logging and abundant peat draining in dry season, of effect of the making ditch ( happened the stream to river so that to decrease water table in peat land). ditch existence always have estuary to river, the ditch which have estuary to river in batilap vllage show in tables 1.
35
Table 1. Ditch and river in Batilap Vil. River name sum of ditch Kelamper 1 Tana 1 Damar Puti 1 Pamantungan 1 Maruyan 1 Bateken 7
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Vegetasi kering, layu
Bekas Kebakaran 2002/2003, Pohon-pohon bertumbangan dan berupa arang Bekas Kebakaran 1980, Areal bervegetasi
Vegetasi kering, layu
Bekas Kebakaran 2002/2003, Pohon-pohon bertumbangan dan berupa arang, mulai sedikit ditumbuhi tumbuhan bawah Areal bervegetasi, terdapat tanaman rotan
Keterangan : Beje Pemukiman
Ditch in Merang RiverKepahiyang SUMSEL Ditch Making by ilegal is also done by society of Merang River-Kepahiyang of South Sumatra as a mean to release the wood of result of logging in the rainy season. 113 of ditch have been builded and 83 among other things there are in peat area. ditch made by using chainsaw, wide 1.7 m, deepness 1,5 m and length 1.5-5 km. Ditch condition in this time have is not used again and indication have caused the happening of abundant draining at dry season and erosion. Even Bakung river have been happened by the fire which indication as impact of ditch making.
36
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Canal Ex-Plg
Big sized canal and made officially by government (area of ex PLG)
The picture at beside represent the canal of primary channel in area eksPLG, length of tens of km, wide more or less 20 m. in this area there are hundreds of big sized channel Primer, secunder, tertier). present condition have is not used again ( unifinished), if this canal is done by a blocking, imaginable how many beje / pool and also fuel break to yielded
37
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
38
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
MODEL THE PARTICIPATIVE FUEL/FIRE BREAK IN FOREST AND PEAT LAND
Elementary idea : Existence of Beje and ditches in forest / peat land with the physical condition in the form of pool and always suffused in dry season can be made by delimiter of fuel (peat,litter), barrier of fire spreading and as tandon / water stock for the execution of extinction
Benefit of Beje and Ditches which have been partitioned /blocked as fuel/fire break partisipative :
The fire crisis level can to decrease with the making fuel break, society get the benefit from beje / ditches which is partitioned/blocked
39
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Ditches Indication have caused the degradation Its condition have is not used again Effort which can be done
of water table
blocking show ; box 6.
Ditch partitioning/blocking in Puning River (BOX 6) The picture at beside represent one of ditch in puning river which is not re-exploited and let unifinished is which have been done by a partitioning/blocking. condition of Moment of dry season is only a few suffused by a water even dry. The Partitioning done by using easy go material around ditch (wood/log, board and peat which have been compacted as filler). Partitioning/blocking done by some dot adapted by a land topography. Aim to increase the water table, so that peat land remain to be damp at dry season to support the succesion and rehabilitate around ditch mostly in the form of ex-burnt land.
40
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Ditches which have been partitioned/blocking :
To increase water table so that at dry season, peat land remain to be damp so that fire risk decrease, quickening process of land closing at land opened or ex- burnt
can be functioned as beje / ordinary pool and fuel/fire break
how many beje / ordinary pool and fuel break to yielded if done by partitioning/blocking at canal of ex PLG
Some practical consideration in exploiting beje and ditch which have been partitioned/blocking as fuel/fire break : 1. Beje which have been there, improve by its condition, that is by throwing away mud in it so that water volume in beje or ditches which is partitioned/blocking can be defended and condition beje / ditches as habitat of fish can be defended . 2. Cutting root penetrating beje, cleaning areal of around beje (more or less 50 cm) from vegetasi. 3. Ditch condition have to be improve, that is by cleaning ditch from waste of other organic garbage and wood, if skin-deep have require to be done dig return
41
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
4. Location fuel break to encircle the lands, so that enable the new making beje-beje and so that fuel/fire break to function optimal. Beje size is, wide 2 m, depth maximum 2 m, length 10-20 m or more. this beje size can be adapted with field condition. 5. If lands condition in the form of degradate land with the low closing vegetasi even opened hence require to be done acceleration succesion by conducting to rehabilitate around location beje. 6. In management of beje and ditches which is partitioned/blocking as fuel/fire break, can be made group of owner beje. This group can function as fire brigade in society level. Group member hold responsible to do the patrol and observation in area their beje and around, included of forest which around its. Finding of existence of fire source or human activity which to threaten the happening of fire is immediately reported by group chief to posko of fire operation.
Gambar:
Sketsa pemanfaatan beje dan parit yang telah disekat sebagai sekat bakar
42
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Conclusion 1. Forest and peat land represent the ecosystem which high risk of the happening of fire especially in dry season 2. Forest fire and peat land influenced by condition of peat physical which degradate of effect of ditch making / canal, condition of climate and source fire influenced by economic circumstance, cultural social of buffer society 3.
To increase water table can be done by conducting partitioning of ditches. Ditch which have been partitioned/bocking also can be functioned as beje or ordinary pool
4. Beje and ditches which have been partitioned/ blocking can be functioned as fuel/fire break in forest and peat land which can degrade the crisis of fire in dry season and also society can benefit by the exploiting beje/ditches which have been partitioned/blocking as beje or ordinary pool.
43
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Strategi Pemanfaatan Hutan Gambut Yang Berwawasan Lingkungan
Dedik Budianta
Pendahuluan • Indonesia memiliki gambut terluas no 4 di dunia (sekitar 26 juta ha) • Akibat kebakaran hutan tahun 1997, maka perlu dilakukan inventarisasi kembali untuk menyusun langkah strategi pengelolaan • Di daerah tropis gambut dapat ditemukan di dataran tinggi dan dataran rendah
45
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Tabel. Penyebaran gambut tebal (>2 m )di Indonesia
No
Daerah
Luas (ha)
1 Sumatra 4.800.000 2 Kalimantan 3.200.000 3 Irian Jaya 800.000
• • • •
Tempat plasma nutfah Tinggi menyerap air Buka gambut merubah iklim Sulit kembali ke ekosistem semula • Tidak boleh sewenangwenang membuka gambut • Mempunyai kesuburan dan akses rendah
46
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Pengertian gambut • Tumpukan (akumulasi) bahan organik yang belum terdekomposisi (tidak terdekomposisi dengan baik), memerangkap dan menyerap karbon • Lahan dengan profil yang disusun oleh bahan organik dengan ketebalan 50 cm20 m • Kandungan bahan organik di lahan > 65%
Pembentukan Gambut • Faktor Iklim (curah hujan > 2500 mm/th) yang dominan • Tanaman berdaun lebar menghalangi sinar matahari dan menjaga kelembaban tinggi • Suasana langka oksigen (anaerob) • Longgokan BO berlapis-lapis • Kualitasnya tergantung penyusun BO
47
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Karakteristik Gambut • Sifat fisik: menyerap air tinggi, BV sangat rendah (0,1-0,2 cm/gm3), hidropobik kalau kering berkelanjutan, subsidence, dan mudah terbakar • Sifat Kimia: Kandungan unsur hara N, P, K, Ca, dan Mg dan mikro rendah, pH rendah • Tergantung sifat dan asal penyusun dan tingkat dekomposisi
Pemanfaatan Gambut • Fungsi ekonomi : Lahan budidaya, industri • Fungsi sosial: pemukiman • Fungsi lingkungan : – Penyangga kehidupan – Penyangga iklim – Konservasi plasma nutfah – Konservasi karbon – Konservasi air, dll
48
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Pemanfaatan untuk budidaya • Gambut dangkal • Dipercapat kematangan • Ditambah basa • Pupuk makro & mikro • Dicari varietas toleran • Dikelola terpadu (on farm & off farm)
Dampak Pembukaan Gambut • • • •
Perubahan ekosistem Perubahan ciri-ciri ekologi Perubahan iklim mikro Perubahan ketebalan gambut (dibakar) • Perubahan tataguna lahan • Perubahan keberadaan flora dan fauna
49
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Strategi Pemanfaatan Gambut • Pendekatan konservasi : – Gambut tebal jangan dibuka, digunakan sebagai konservasi flora dan fauna, penyimpan cadangan karbon, penyangga perubahan iklim, sebagai pusat penelitian alam
• Kawasan Non Budidaya – Digunakan sebagai preservasi alam (buffer zone) – Jalur hijau di sepanjang pantai dan sungai – Luasnya sekitar 1/3 dari wilayah yang dibuka – Melindungi kerusakan lahan terhadap erosi maupun abrasi
50
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
• Konsep Tampung Hujan – Diletakkan di bagian hulu sungai – Sebagai sumber air pada waktu musim kemarau
• Pendekatan agro-menejemen terpadu : – Kesuburan sangat jelek – Aksesibilitas juga rendah – On farm process tidak ada – SDM, teknologi, modal sangat rendah – Pendekatan ini harus dilakukan
• Pendekatan teknis budidaya (untuk meningkatkan lahan marjinal menjadi subur) : – Teknik hidrologi (mengatur tata air mikro) – Teknik kimiawi (pemberian ameloran dan pupuk) – Bioteknologi (manipulai genetik untuk mencari varietas toleran pada tanah masam)
51
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Penutup • Gambut di Indonesia perlu dilakukan inventarisasi kembali • Pembukaan gambut perlu memperhatikan strategi (konservasi, non budidaya, tampung hujan, agro-menejemen terpadu dan teknik budidaya) • Lahan gambut perlu dioptimalkan (teknik hidrologi, teknik kimiawi dan bioteknolgi)
52
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
UJI COBA REHABILITASI HUTAN RAWA GAMBUT BEKAS KEBAKARAN DI LOKASI TAMAN NASIONAL BERBAK BERSAMA KELOMPOK MASYARAKAT DESA PEMATANG RAMAN Oleh : 1) Hari Subagyo, 2) Indra arinal
I. PENDAHULUAN Keberadaan Hutan Rawa Gambut : Fungsi Utama
: Ekologis dan Ekonomis.
Ekologis : Tempat perlindungan flora - fauna, Konservasi Tanah, Tata Air, dan Kestabilan Iklim, serta penyimpan sumberdaya genetic/Ragam Hayati (Plasma Nutfah). Ekonomis : Sumber Produk Kehutanan, kayu maupun non kayu. Perubahan Fungsi Hutan Menurun, bahkan Hilang disebabkan : Eksploitasi Hutan, Alih Fungsi, dan Bencana Kebakaran. Terdapat keterkaitan antara fungsi ekologis dengan komponen tanahnya (gambut). Sebagai komponen ekosistem hutan rawa gambut, terjadinya perubahan pada tanah gambut akan menimbulkan dampak negatif, dan mengancam terhadap stabilitas ekoistem hutan rawa gambut. Kebakaran dan Dampak Kebakaran pada Hutan Rawa Gambut : Faktor terbesar penyebab kebakaran hutan adalah manusia baik sengaja ataupun tanpa sengaja. Untuk hutan rawa gambut, bisa berlangsung secara periodic (musim kemarau Panjang). Dampak kebakaran : Kematian (musnah) tegakan hutan, dan hilangnya sumberdaya genetic. Kerusakan Gambut : lapisan gambut hilang pada areal bergambut tipis, dan terjadi subsidence pada lokasi bergambut tebal.
53
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
REHABILITASI HUTAN RAWA GAMBUT BEKAS TERBAKAR Suksesi alami dapat bergerak maju (progresif) atau mundur (retrogresif). Namun apabila terjadi gangguan seperti kebakaran berulang dll maka yang akan terjadi adalah disklimaks. Atas dasar hal ini, diperlukan intervensi manusia dalam hal mempercepat suksesi, dengan melakukan kegiatan rehabilitasi Upaya rehabilitasi pada hutan rawa gambut, relatif lebih rumit bila dibandingkan hutan daratan (tanah mineral). Ada faktor pembatas berkaitan dengan karekteristik lahannya : -
Tanah gambut (Gambut Ombrogen) umumnya miskin unsur hara, reaksi tanah yang masam, dan lainnya.yang mengakibatkan secara tidak langsung tingkat pertumbuhan pohon lambat. Adanya fluktuasi genangan air (banjir) secara musiman Efek irriverisble drying yang menyebabkan gambut dalam keadaan kering rawan akan kebakaran. Adanya penurunan tanah gambut (subsidence) pada hutan rawa gambut bekas terbakar, sehingga arealnya lebih banyak mengalami genangan.
. Kegiatan uji coba rehabilitasi yang pernah dilakukan : Oleh HPH PT Putraduta Indah Wood (ALAS KUSUMA GROUP) pada arealnya yang telah terbakar, dengan menunjukan hasil yang relatif cukub baik (tanaman hidup > 70 %). Metode yang digunakan adalah penyiapan lahan dengan pola gundukan, dengan menggunakan jenis unggulan setempat (in situ). Hasil uji coba tersebut akan dipakai sebagai acuan pelaksanaan Uji Coba Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Bekas Kebakaran di Areal TN. Berbak, Bersama Kelompok Masyarakat Desa Pematang Raman ini. MAKSUD, TUJUAN DAN SASARAN Maksud kegiatan ini adalah bentuk intervensi manusia untuk mempercepat suksesi , dengan melaksanakan pembuatan tanaman di areal bekas kebakaran Taman Nasional Berbak dengan pelaksana rehabilitasi adalah masyarakat Desa Pematangraman. Berkaitan dengan lokasi kegiatan dan sifat pelaksanaannya (yang menyertakan kelompok masyarakat), maka Tujuan dari kegiatan ini adalah : -
Model Kerjasama antara HPH dan Taman Nasional. Meningkatkan Pengertian Masyarakat local sehubungan dengan kegiatan dan dampak kegiatannya terhadap sumberdaya alam dan stok karbon.
54
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Merehabilitasi areal hutan rawa gambut di daerah penyangga dan Taman Nasional Sasaran yang hendak dicapai pada kegiatan ini : - Diperolehnya informasi mengenai berbagai hal yang meliputi teknis rehabilitasi pada hutan rawa gambut bekas terbakar, yang kelak dapat dipakai sebagai acuan teknis pada skala yang lebih luas. - Sebagai upaya menciptakan partisipasi dari berbagai pihak, terutama kelompok-kelompok masyarakat rehabilitasi badan dan lembaga lainnya. -
Hasil akhir (out put) yang diharapkan adalah : - Teknis rehabilitasi hutan rawa bekas kebakaran, tanpa mengubah ekosistemnya. - Upaya menumbuh kembangkan partisipasi kelompok masyarakat yang ada di dalam Taman Nasional Berbak dalam pelestarian dan rehabilitasi hutan. II. GAMBARAN UMUM LOKASI KEGIATAN. Lokasi dan Aksesibilitas. Lokasi Kegiatan adalah : Hutan Rawa Gambut di Taman Nasional yang telah mengalami kebakaran. Posisi Geografisnya adalah 01o23 LS, dan 104o13 BT Aksesibilitas menuju lokasi dapat ditempuh perjalan dari Jambi – Ds. Pematang Raman Transportasi darat sejauh 60 KM, Desa Pematang Raman – S. Air Hitam Laut melewati areal HPH PT Putraduta Indah Wood dengan menggunakan jalan rel (logging), sejauh 15 KM, dilanjutkan dengan menelusuri S. Air Hitam Laut menuju lokasi kegiatan sejauh 10 KM. Aksesibilitas yang paling sulit terletak pada alur S. Air Hitam Laut yang kondisi badan sungai banyak ditutupi ole vegetasi air (pandan berduri, dll), sisa-sisa kayu dari kegiatan illegal logging. Kelompok Masyarakat : Secara garis besar ada 3 kelompok masyarakat yang tinggal bermukim sementara disekitar lokasi kegiatan. Kelompok-kelompok tersebut adalah Kelompok Penebang Kayu liar (illegal loging), Kelompok Pengumpul Getah Jelutung (Dyera sp), dan Kelompok Pencari Ikan (Nelayan Sungai). Atas dasar rekomendasi dari Penelitian Minat dan Pendapat oleh Tim dari Universitas Jambi, maka Kelompok Pencari Ikan (Nelayan Sungai) yang berminat melakukan kegiatan rehabilitasi ini. Terhadap mereka sebelum pelaksanaan kegiatan dilapangan terlebih dahulu dibekali denga serangkain pelatihan teknis budidaya tanaman hutan.
55
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Karekteristik Lahan : Secara ringkas karekteristik lahan dapat digambarkan sebagai berikut:
KAREKTERISTIK LAHAN LOKASI KEGIATAN
Permukaan Tanah Gambut
> 50 CM Permukaan Air Pada Puncak Musim Hujan S. Air Hitam Laut
Leeve
Permukaan Air Pada Musim Kemarau/Kering Fluvaquent
Hidraquent Tropofibrist
Lapisan Tanah Mineral
56
Tropohemist
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia III. PELAKSANAAN KEGIATAN Pra Kegiatan : 1. MOU antara Taman Nasional Berbak, PT Putraduta Indah Wood, dan CCFPI (WI-IP). 2. Penelitian Minat dan Pendapat Masyarakat thd Program Rehabilitasi. 3. Survey Lokasi Rehabilitasi. Penyiapan Kelompok Rehabilitasi : Disadari bahwa keberhasilan kegiatan ini erat kaitannya dengan keberadaan kelompok masyarakat yang ada disekitarnya. Upaya menumbuhkembangkan kesadaran dan menggerakan partisipasi mereka adalah bagian yang penting dalam pelaksanaan kegiatan ini, dengan memberikan kesadaran dan pengertian tentang manfaat langsung yang mereka terima maupun tidak langsung bagi kehidupan global yang lebih luas. Tahapan Penyiapan Kelompok Masyarakat Peserta Rehabilitasi meliputi : 1. Indentifikasi Kelompok yang bersedia. 2. Recruitmen Peserta : sebanyak 30 Orang. 3. Pelatihan Kelompok Peserta Rehabilitasi. Pelatihan dipandang suatu keharusan, hal ini dikarenakan latar belakang kelompok rehabilitasi adalah Nelayan Sungai yang tidak/kurang mengenal perihal aspek budidaya tanaman. Pembuatan Tanaman : Pembuatan tanaman untuk uji coba rehabilitasi ini ditekankan pada pemilihan jenis yang akan ditanam dan pola persiapan lahannya. Hal ini menyangkut karekteristik lahan yang akan ditanami (di rehabilitasi). 1. Pemilihan Jenis. Jumlah bibit yang ditanam pada kegiatan ini direncanakan sejumlah 20.000 batang, terdiridari jenis local (in situ), dengan maksud menyesuaikan dengan habitat aslinya sebelum terbakar. 2. Persiapan Lahan. Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah pembuatan tanaman dengan teknik penyiapan lahan pola gundukan. Ada beberapa alas an dengan penerapan pola gundukan ini diantaranya upaya rehabilitasi/penananam lahan hutan rawa gambut bekas terbakar tanpa merubah ekosistemnya. Selain itu juga dimaksudkan sebagai perbaikan drainase dan menghindari tanaman yang baru tumbuh dari fluktuasi genangan musiman.
57
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Penanaman dan Pemeliharaan. Ada beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian dari kegiatan penanaman ini adalah : - Pemilihan jenis yang disesuaikan dengan karekteristik lahannya. - Pemilihan Bibit dalam hal ini adalah tinggi bibit yang akan ditanaman disesusuaiakan dengan kondisi fluktuasi genangan. - Penanaman tidak berdasarkan garis lurus (line planting), tetapi secara acak, hal ini mengingat lokasi rehabilitasi adalah taman nasional yang harus menghindari kesan artificial. Sistem pemeliharaan adalah berupa pembebasan semak/tumbuhan bawah disekitar piringan gundukan. Interval pembebasan adalah dilakukan setiap 4 bulan (3 kali) pada tahun pertama, dan 6 bulan sekali (2 kali) pada tahun kedua. 4. Pengamatan Uji Coba. Parameter yang akan diamati pada kegiatan uji coba rehabilitasi ini diantaranya adalah : -
Pertumbuhan jenis tanaman pohon hutan pada berbagai karakteristik lahan hutan rawa gambut bekas terbakar, yang meliputi persen hidup, tinggi tanaman, dan diameter. Tingkat partisipasi Kelompok Masyarakat Rehabilitasi dari Desa Pematang Raman, prestasi kerja dan persepsinya pada kegiatan ini.
58
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia POLA PENYIAPAN LAHAN DENGAN SISITEM GUNDUKAN
Genangan Air Pada Puncak Musim Hujan
>100 % 100 % 50 % 0% 100 CM Pola Penyiapan Lahan Dengan Gundukan 100 % Tinggi Genangan Air Musim Hujan.
100 CM Pola Penyiapan Lahan Dengan Gundukan lebih dari 100 % Tinggi Genangan Air Musim Hujan
59
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Lesson Learnt From PT. Dyera Hutan Lestari in Developing Planting Jelutong on Peat lands A r ea
By Dyera Hutan Lestari (DHL)
Introduction PT. Dyera Hutan Lestari (PT.DHL) established based on SK Menhut No. 31/Kpts-II/1997, January 13 1997
Total Area : 8.000 Ha Effective area : 7.200 Ha Administrative : Muaro Jambi District and Tanjung Jabung Timur District. JAMBI INA
61
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Seed Collecting z From villages area z Surrounding village, Berbak National Park z Seed period : July-September z Mature Fruit : Dark Brown z Each fruit approximately 12-20 seeds
SEED COLLECTING/SELECTION
62
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
SELECTION AND STORAGE
Sowing and Seed Scattering z Sowed in Germination Box z Scattered Box 4 X 1 m z Media used : peat land mix with wood powder and sand z 2/3 seed planted deep z 5 cm distance among seed z Twice a day seed showering
SEED SCATTERING
63
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
MAINTENANCE z Diameter of poly bag is 14 cm, 22 cm length and 0.3 mm width with 24 holes on it. z Media used : Peat and mineral soil mix with fertilizer z Twice fertilizing z Tending below the shading net (60%) during 6 months until the plant reach 15-20 cm height
MAINTENANCE
Nursery z Location : Sungai Aur Village, Jambi z Area : 2 Ha
64
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
NURSERY
PLANTING • • • • • •
Land Separation Land Preparation Seed Transportation Plant Hole Planting Tending
Land Separation z Determined railway or small river as a main road z Determined planted area 1 km from right and left side of the railway z 1000 ha planted area need 5 km railway on the left and right side (5.000 X 1.000 m) z Block divided into compartment 100 acre wide (1.000 X 1.000 m) z Compartment divided into blocks (100 X 1.000 m)
65
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
LAND SEPARATION
Land Preparation z Land clearing in divided blocks (except Jelutong and Pulai). z The whole felling tress are exported from the area. z Signing code (ajir) with range 5 x 5 m z On the prepared area, Pakis are planted as a cover crop.
LAND CLEARING AND PREPARATION
66
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
LAND PREPARATION
Seed Transportation z Seed transported by pompong/boat z Seed selection : good one and bad one z Selected seed (good one) are transported by little wagon to the vicinity planting area z Meanwhile the bad one, firstly are treated in the edge of river before transported to the planting area
SEED TRANSPORTATION FROM NURSERY
67
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
SEED TRANSPORTATION TO PLANTING AREA
Planting System z Row System (Sistem Jalur) z Row width : 2-3 m z Line spacing :5mx5m z Tending activities every 3 months
ROW SYSTEM
68
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
PLANT HOLE PREPARATION z On the signing code (ajir), made plant hole dimension about 30 X 30 cm and 30-40 cm depth. z Plant hole is made on the unsaturated area
SIGNING CODE
Planting z Planting started from the furthest plant hole of the railway. z Seedling are released from the poly bag before it’s planted. z On the saturated plant hole, seedling need to be tight to the signing code (ajir) z Monitoring should be done in the first three months particularly in the area where influenced by water level
69
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
PLANTING IN ROW SYSTEM
PLANTING IN ROW SYSTEM IN EXS BURNT AREA
Tending z Tending (cleared area from the interfere plants) are carried out three times in a year z Penyulaman are carried out during the first year
70
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
TENDING
Planting Realization z 1991 / 1992 z 1992 / 1993 z 1993 / 1994
: 60 Ha : 260 Ha : 593 Ha
PLANTING IN 1991/1992
71
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
PLANTING IN 1992/1993
PLANTING IN 1993/1994
Successful Planting Based on an observation z 1991/1992 plot : growth percentage of it about 94.76 % z 1993/1994 plot : growth percentage of it about 91.62 %
72
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Plants Growth z Growth estimation is about 2 cm per year z Research to figure out percentage of shabbing are still in progress
GROWTH MEASUREMENT
SHABBING
73
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Plants Observation Forest fire occurred two times at PT. DHL area, that is: z In 1997, burnt of 7000 ha (include Jelutong plants 1.769 ha) from total area 8000 ha . Source of fire was from HPH PT. Kamiaka Surya z In 2003, burnt of 5.000 ha (include Jelutong and Pulai 1.775 ha) . Source of fire was 1 km from illegal local sawmill z Up to now the vast destruction of Jelutong is caused by forest fire
FOREST FIRE IN 1997
FOUR YEARS LATER AFTER BURNING
FOREST FIRE IN PT. DHL IN 2003
74
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Constrains z Difficulties of collecting Jelutong seed. Harvest time occurred only in 1993 and 1997 (once every 4-5 years). z Difficulties to find the area for nursery since DHL company is peat land area . z High cost to built the railway in the peat land area z Difficulties in seed transportation manually
75
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
“THE SERVANT WAS DESTROY BY MASTER WEAPON “: The Potrait of Structural Dissaster in Jambi Province
Wrote By :
Rivani Noor
Social Worker, Deputy Director of WALHI Jambi
THE SPREADING WET LAND IN SUMATERA & MUARO JAMBI REGENCY
Source : www.wetlands.or.id Source : Berbak-Sembilang Project
77
77
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
78
THE SPREADING & CHARACTERISTIC OF PEAT LAND IN JAMBI PROVINCE (Source : Sarwono Hardjowigeno & Widiatmaka, Peyebaran Dan Sifat-Sifat Tanah Gambut Sumatera; Sebaran Gambut Di Indonesia, Prosiding Lokakarya Kajian Status dan Sebaran Gambut di Indonesia, Bogor 25 Oktober 2002)
The Thickness of Peat Land in Jambi Province THICKNESS (Hectare) SURVAY AREAS
Pamusiran Laut (1973) Tanjung (1975) Lagan (1977) Kumpeh (1982) Sungai Betara (1983) Kumpeh Seberang (1984) Total (Hectare)
4-15
15-40
40-130
130-200
200-300
-300
TOTAL OF SURVAY AREAS
8330 21970 20070 11580 2260 17320
7670 6082 25500 1410 470 750
9020 7908 20540 4700 2700 1500
1450 39785 4730 20610 11720 890
33160 110
16330
86470 75741 104000 38300 16700 36900
81530 27.35
41882 14.05
46368 15.55
78735 26.41
33270 11.16
16330 5.48
298115 100
MUARO JAMBI REGENCY & BIG SCALE OIL PALM PLANTATION •
The width of big scale oil palm plantation in Muaro Jambi Regency 68,168 Hectares, CPO production 118,784 Ton and Tandan Buah Segar (Fresh Bunch Fruit) 593,920 Ton (Dinas Perkebunan Propinsi Jambi, 2001), and this is the largest oil palm plantationin Jambi Province.
•
The vision of Jambi Regency is build up, which basic on agro – business
•
The program of Estate and Forest Department Muaro Jambi to improve the local original income (Pendapatan Asli Daerah) by building up oil palm plantation about 1,500 hectares which will be operated by Badan Usaha Milik Daerah (Harian Jambi Ekspres, 26 Juni 2003, Hutbun Bangun Kebun Sawit 1.500 Ha).
•
National Land Body (Badan Pertanahan Nasional) Muaro Jambi realizes that some areas in Muaro Jambi (include PT Bahari Gembira Ria) is not suitable to be planted oil palm in big scale, because it is wet land, as a place of water reserve (wawancara dengan pihak BPN Muaro Jambi, September 2003).
(Menuju Desa Mandiri, Dibumi Sailun Saimbai, Pemkab Muaro Jambi-PSHK ODA, 2003).
78
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
BIG SCALE OIL PALM PLANTATION & TRANSMIGRAN AREA ON PEAT LAND •
•
•
Some plantation companies build up big scale oil palm plantation on peat land, like PT Bahari Gembira Ria (PT BGR) and PT MAKIN Group (PT Muaro Kahuripan Group). The transmigrant’s settlements were also build on peat land (Sumber Agung village devided into 3 units of transmigrant’s settlements) In “some chances” the company conduct land clearing on peat land by burning, it was also conducted by the transmigrant’s, also Transmigration Department in opening area.
TO PLANT OIL PALM ON PEAT LAND WAS LAND CLEARING BY BURNED
79
79
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
80
BIG SCALE OIL PALM PLANTATION & CANAL’S •
Big Scale Oil Palm Plantation also build up canals, which are multi functions as ; a boundary area, a tool of swamp water and a transport of fresh bunch fruit.
•
There are two kinds of canals (from its size and function) they are primary canal and secondary canal. The depth and the width of canal around 5 – 6 meter.
•
Secondary canal is in the area of plantation and its size is smaller than primary canal.
•
Primary canal is bigger and as the boundary of plantation area.
WHY BIG SCALE OIL PALM PLANTATION ? •
•
To Improve the Local Original Income (PAD). To Support the Implementation of Development. •
To Improve the Community participations in Development.
(Source : Book II, Laporan Pertanggung Jawaban Bupati Muaro Jambi, 2003)
80
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
WHAT’S PROBLEM?
Two Domains Problem : (1) Problems on Ecology (2) Problems on Social-Economy
PROBLEM’S ON ECOLOGY •
Drying up peat land ; draining water held by canals and the absorbing the peat water by oil palm.
•
The destroying ecosystem of swamp peat ; tree or special plant of peat land until now still been cut and strike by transmigrants, the scheme of big scale plantation and monoculture as a pressure toward the habitat of swamp peat and the structure of peat land.
•
The anomaly of peat land ; peat contain is 90% water, it means is not easy burn, however the buffer zone of Berbak National Park (Kumpeh Ulu), the peat land is very dry and easy burn.
•
The lost of carbon element.
•
The descrease of air quality.
(Source : Investigation of WALHI Jambi-WANALA Elgun, Documentation of WALHI Jambi)
81
81
82
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
FIRE ON PEAT LAND (July – August 2003) 21st July 2003, around 15 hectares in plasma reserve area. 24th July 2003, around 50 hectares, land clearing by company plantation. 28th July 2003, around 5 hectares, fireworks. 30th July 2003, around 10 hectares, the opening transmigration area. (a) 8th August 2003, the firing on land reserve, around 8 hectares. Fire from the fired wood. (b) 8th August 2003, around 2,5 hectares, community protected forest , fireworks. (c) 8th August 2003, around 7 hectares, the opening transmigration area. 12th August 2003, around 2 hectares, reserve area. (Source : Investigation of WALHI Jambi-WANALA Elgun)
FIRE ON PEAT LAND (FIRE AND SMOKE COME OUT FROM THE PEAT LAND)
82
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
PEAT LANDS WAS BURNED
PROBLEM’S ON SOCIAL-ECONOMY •
•
•
•
•
The prosperity and uncertainty living (the wage as daily labour is Rp 14,500/day, exclude food). The strike wood as the to survive (there are 5 illegal sawmills in the area PT BGR) --- 1 cubic of meranti wood Rp 25,000, 1 cubic of unspecial wood Rp 15,000, average 2 – 4 cubic/day, 1 group consist of 5 – 6 person). The low sense of belonging of community to extinguish the firing land or forest, or even to take care of it. The low sanitation and healthy medium of transmigrat ; drink from peat water that has been filtered. Kesehatan yang terganggu akibat asap. The assaulting because of the activity of other social-economy, like air transportation and land transportation.
(Source : Investigation of WALHI Jambi-WANALA Elgun, Documentation of WALHI Jambi)
83
83
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
84
HOW IT COULD BE HAPPEN ? •
•
•
•
•
The incomprehensive Tata Ruang (The Zone Plan), basis on temporary economy-minded and not basis on sustainability environment/sustainability development. Un-populist policy (which do not side with community and environment), sectoral institution and partial --- the policy about transmigration nd the opening of peat land to plantation big scale. There is no Forestry Data Base and The Potensial Natural Source, also scheme of its operation at the level of policy makers. There is no feasibly comprehensive study about the development of big scale plantation. Understanding toward disaster still using paradigm of “reaction” not paradigm “prevention”.
STRUCTURAL DISASTER The disaster that happen, both effected the environment and socialeconomy, are not because of the natural dynamics. But its more because of the product of structural policies which has exploitative, un-sustainable and put aside the community’s participation. The policy to operate forest and its natural resources by model HPHHPHTI, conversion land, arrangement pragmatism area and even the wood industry which exploitate to run after export target, and also the non-integrative of birocration’s work are the elements nonnatural which contribute disaster significantly. The fragile toward disaster, or increase of high risk quality of disaster getting opener wide, when the policy and the arrangement of natural resource is unclear. “The weapon” of policy maker, those are authority making policy has swallow many victims, community or “servant” and environment.
84
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
WHAT NEXT ? •
•
•
•
TO COMPREHENSIVE OF THE ZONE PLAN, USING APPROPRIATE TIME, BASIS ON SUSTAINABILITY DEVELOPMENT AND PROENVIRONMENT/PRO-POPULIS. TO INTEGRATIVE OF THE BIROCRATION SYSTEM AMONG INSTITUTIONS. COMPREHENSIVE THE FEASIBILITY STUDY TO OPEN BIG SCALE PLANTATION OR OTHER AGRIBUSSINES IN BIG SCALE SCHEME. TO CHANGE OF PARADIGM DISASTER OF POLICY MAKER --- FRAGILE PERSPECTIVE AND CAPACITY OF COMMUNITY/ENVIRONMENT.
“THANK YOU”
85
85
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia POTENSI DAN KETERSEDIAAN LAHAN GAMBUT UNTUK PENGEMBANGAN KOMODITAS PERTANIAN UNGGULAN DI RIAU, SUMATERA BARAT DAN JAMBI A. Hidayat dan Sofyan Ritung Balai Penelitian Tanah Jl. Ir. H. Juanda 98 - Bogor
Abstrak Potensi sumberdaya lahan gambut di Propinsi Riau, Sumatera Barat dan Jambi cukup beragam karena adanya perbedaan iklim, bahan induk tanah, dan topografi/relief. Keragaman potensi sumberdaya lahan gambut tersebut mengindikasikan perlunya suatu perencanaan penggunaan lahan yang tepat, optimal dan berkelanjutan. Untuk mendukung perencanaan tersebut diperlukan data dan informasi lahan yang meliputi distribusi atau luas penyebaran, potensi dan kendala pengembangan serta teknologi pengelolaan lahan sesuai dengan sifat dan karakteristik lahannya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi yang akurat mengenai ketersediaan lahan dan penyusunan pewilayahan komoditas unggulan di lahan gambut.. Kegiatan ini terutama memanfaatkan data hasil pemetaaan tanah yang telah dihasilkan oleh Puslitbangtanak dan instansi lainnya. Teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) digunakan dalam pembuatan dan penyusunan peta-peta. Evaluasi lahan dilakukan menggunakan program ALES (Automated Land Evaluation System). Penyusunan peta pewilayahan komoditas berdasarkan kesesuaian lahan secara biofisik dengan mempertimbangkan keadaan penggunaan lahan yang telah ada (existing landuse) yang bersifat permanen dan komoditas unggulan daerah. Dari peta pewilayahan komoditas yang ditumpangtepatkan (overlay) dengan peta penggunaan lahan saat ini yang merupakan hasil analisis citra satelit Ladsat TM, maka diperoleh luas dan penyebaran lahan yang tersedia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan gambut di Riau dapat dipilah menjadi 6 wilayah komoditas, yaitu wilayah untuk tanaman Padi sawah (342.593 ha), Nenas ( 237.222 ha), Karet ( 13.171 ha), Kelapa sawit (225.155 ha), Kelapa ( 646.238 ha) dan tanaman Kelapa/ Kelapa sawit (244.690 ha). Di Jambi lahan gambut dapat dipilah menjadi 5 wilayah, yaitu untuk tanaman Padi sawah (104.502 ha), Nenas (1.750 ha), Karet (36.884 ha), Kelapa sawit (138.750 ha) serta tanaman Kelapa/ kelapa sawit (77.937 ha). Di Sumatera Barat hanya dapat dipilah menjadi 4 wilayah, yaitu untuk tanaman Padi sawah (17.240 ha), Kelapa sawit (43.457 ha), Kelapa (71 ha) serta tanaman Kelapa/ kelapa sawit (8.749 ha). Ketersediaan lahan gambut di Riau untuk pengembangan ialah untuk tanaman Kelapa/ Kelapa sawit ( 244.690 ha), tanaman Nenas (237.009 ha) dan Padi sawah (37.477 ha), sedangkan di Jambi yang tersedia untuk pengembangan ialah untuk tanaman kelapa/ kelapa sawit ( 58.596 ha) serta untuk tanaman nenas (1.750 ha). Di Sumatera Barat lahan gambut yang tersedia untuk pengembangan ialah hanya untuk tanaman kelapa/ kelapa sawit ( 7.529 ha).
87
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PENDAHULUAN Pembangunan pertanian sebagaimana digariskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 bertumpu pada dua program utama, yaitu (1) Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional (PKP), dan (2) Pengembangan Agribisnis (PA). Kedua program ini mengandalkan potensi sumberdaya lahan sebagai resources base. Lahan rawa gambut merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai fungsi hidro-orologi dan lingkungan bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta mahluk hidup lainnya. Dalam penggalian dan pemanfaatan sumber daya alam termasuk lahan rawa gambut serta dalam pembinaan lingkungan hidup perlu perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang tepat sehingga mutu dan kelestarian sumber alam dan lingkungannya dapat dipertahankan untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Dengan mengetahui sifat-sifat sumberdaya lahan rawa gambut, dan penggunaan lahan pada saat sekarang (existing landuse) akan dapat dibuat perencanaan yang lebih akurat untuk mengoptimalisasikan pemanfaatan dan usaha konservasinya. Lahan rawa pasang surut di Indonesia cukup luas, sekitar 20,109 juta ha, atau sekitar 10,8 % dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa tersebut sebagian besar terdapat di empat pulau besar yaitu Sumatera 33%, Kalimantan 40%, Sulawesi 5% dan Papua 22 % (Subagjo dan Widjaya Adhi,1998). Potensi sumberdaya lahan gambut cukup beragam karena adanya perbedaan iklim, bahan induk tanah, dan topografi/relief. Keragaman potensi sumberdaya lahan tersebut mengindikasikan perlunya suatu perencanaan penggunaan lahan yang tepat, optimal dan berkelanjutan. Untuk mendukung perencanaan tersebut diperlukan data dan informasi lahan kering yang meliputi distribusi atau luas penyebaran, potensi dan kendala pengembangan serta teknologi pengelolaan lahan sesuai dengan sifat dan karakteristik lahannya. Sejak awal tahun 1980-an hingga saat ini telah dilaksanakan berbagai upaya untuk memperbaiki dan mempertajam sistem perencanaan fisik daerah di tingkat propinsi, baik yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian cq. Puslittanak maupun instansi lainnya. Kegiatan tersebut berupa pemetaan tanah tingkat tinjau secara sistematis berskala 1:250.000 di beberapa propinsi, penyusunan peta sistim lahan skala 1:250.000 oleh Departemen Transmigrasi melalui proyek RePPProT (Regional Physical Planning Programme for Transmigration) seluruh Indonesia, pemetaan satuan lahan se-Sumatera (LREP I, tahun 1986-1991); penyusunan peta potensi dan kesesuaian lahan komoditas perkebunan, hortikultura, tanaman pangan dan peternakan diberbagai propinsi (tahun 1991-1994); peta arahan tata ruang pertanian di 15 propinsi (1995-1997), dan evaluasi ketersediaan lahan skala 1:50.000 di 15 lokasi di 14 propinsi. Sebagian dari data dan informasi tersebut ternyata masih mengalami hambatan untuk digunakan para pengguna, karena beberapa hal diantaranya adalah : (i) peta satuan lahan atau peta tanah tinjau masih memerlukan tahap interpretasi lebih lanjut untuk keperluan penilaian berbagai komoditas yang diinginkan, (ii) peta kesesuaian lahan yang ada bersifat “single value” sehingga menyulitkan untuk melihat peluang pengembangan suatu wilayah terhadap berbagai komoditas, (iii) informasi penggunaan lahan yang digunakan saat itu sudah kurang sesuai dengan keadaan pengunaan saat ini, dan (iv) peta ketersediaan yang disusun terakhir berskala 1:50.000 belum memberi informasi secara keseluruhan dari propinsi tersebut. Data dan informasi potensi lahan, khususnya lahan gambut, yang berasal dari kegiatan-kegiatan yang telah disebutkan diatas (skala peta 1:250.000), belum diketahui secara rinci luasannya yang tersedia dan dapat dipakai untuk pengembangan pertanian. Data tersebut masih perlu diverifikasi dengan penggunaan lahan sekarang (present land use), agar luasan yang tersedia dan dapat dipakai untuk pengembangan pertanian diketahui. Dengan memanfaatkan data citra satelit yang bisa memberikan informasi penggunaan lahan aktual dan penutupan vegetasinya, maka selanjutnya luas lahan yang tersedia akan dapat diketahui. Oleh karena itu untuk mendapatkan informasi yang baik perlu disusun suatu arahan pewilayahan komoditas dan ketersediaan lahan gambut yang bersifat komprehensif berdasarkan kesesuaian lahan secara biofisik.
88
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Penelitian ini bertujuan untuk : (a) Menyusun peta pewilayahan komoditas pertanian unggulan pada lahan gambut di Propinsi Riau, Sumatera Barat dan Jambi (b) Menyediakan data dan informasi potensi ketersediaan lahan gambut untuk pengembangan komoditas pertanian unggulan, dalam rangka mendukung program ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis di Riau, Sumatera Barat dan Jambi.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan Bahan yang digunakan sebagai sumber informasi dalam penelitian ini antara lain: a.
Citra satelit Landsat TM (Tahun 2000 atau 2001),
b.
Peta Administrasi (dalam format digital),
c.
Peta dasar digital skala 1:250.000,
d.
Peta Land unit LREP-I daerah Propinsi Riau,Sumatera Barat dan Jambi Skala 1:250.000,
e.
Peta pewilayahan curah hujan Sumatera skala 1:1.000.000
f.
Peta Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Riau skala 1:500.000,
g.
Peta Paduserasi daerah Propinsi Sumatera Barat dan Jambi skala 1:250.000 (Ditjen Intag., 1999),
h.
Peta penggunaan tanah skala 1:250.000 dan 1:500.000,
i.
Peta penyebaran perkebunan daerah Riau dan Sumatera Barat skala 1:500.000,
j.
Database sumberdaya lahan daerah Riau, Sumatera Barat dan Jambi (LREP I, 1988-1991),
k.
Data/informasi komoditas unggulan daerah Propinsi Sumatera Barat (Bappeda, 1997), Riau (Bappeda, 1998) dan Jambi (Bappeda, 2000).
Metode Penelitian Penilaian kesesuaian lahan dalam penelitian ini menggunakan data dari Peta Satuan Lahan dan Tanah skala 1:250.000 dari LREP-I yang dilengkapi dengan buku keterangan peta (Booklet) dan basis data tanah/lahan. Penilaian dilakukan dengan cara mengkorelasikan (correlation) dan mencocokkan (matching) antara data karakteristik lahan (Land Characteristics, LC) dengan persyaratan tumbuh tanaman/kelompok tanaman (Land Use Requirements, LUR) yang diproses melalui program ALES (Automated Land Evaluation System) versi 4.5 (Rossiter and van Wambeke, 1997). Dalam penelitian ini tingkat kesesuaian lahan dibedakan menjadi 3 kelas, yakni : sesuai (S), sesuai bersyarat (CS), dan tidak sesuai (N). Identifikasi penggunaan lahan saat ini (present landuse) menggunakan data citra satelit Landsat TM terbaru dan tersedia (Tahun 2000 - 2001 ) dan kualitas terbaik. Citra satelit dipilih yang sesuai dengan musim tertentu (setelah panen atau bera) berdasarkan pola tanam agar dapat terefleksi dan dibedakan antara lahan pertanian dengan tanaman permanen (tanaman tahunan) dan tanaman semusim (palawija), dan lahan yang belum diusahakan, misalnya lahan alang-alang, rumput dan semak belukar.
89
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Peta pewilayahan komoditas disusun terutama didasarkan pada hasil evaluasi kesesuaian lahan. Selain itu dipertimbangkan prioritas komoditas yang akan dikembangkan, komoditas unggulan pada tiap-tiap kabupaten, penggunaan lahan saat ini atau existing landuse, dan kawasan hutan (hutan padu serasi). Komoditas unggulan untuk tiap-tiap kabupaten didasarkan pada hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi masing-masing, dan dipertimbangkan juga komoditas unggulan hasil kajian Departemen Pertanian ( Deptan, 2001). Dalam menyusun pewilayahan komoditas, lahan-lahan yang telah digunakan dan bersifat permanen, misalnya perkebunan, akan dipertahankan selama kelas kesesuaiannya termasuk sesuai dan tidak membahayakan keadaan lingkungan. Analisis ketersediaan lahan dilakukan dengan sistem tumpangtepat (overlay) antara peta pewilayahan komoditas dan peta penggunaan lahan saat ini. Dari hasil tumpang-tepat diperoleh luas penyebaran lahan yang dapat digunakan untuk pengembangan pertanian, atau lahan-lahan yang tersedia untuk pengembangan pertanian.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan dan Tanah Berdasarkan hasil analisis citra Landsat TM tahun 2000-2001 penggunaan lahan gambut di daerah penelitian terdiri dari hutan rawa yang merupakan terluas, yaitu di Riau (3.128.760 ha), Sumatera Barat (86.590 ha) dan Jambi (493.055 ha). Sedangkan pengunaan lainnya adalah belukar dan rumput rawa, sawah, kelapa, kelapa sawit dan kebun campuran. Tanah-tanah di daerah penelitian berkembang pada iklim tropika dengan curah hujan dan suhu relatif sama, maka variasi dari sifat tanah akan ditentukan oleh interaksi antara bahan induk, topografi, dan vegetasi/organisme terutama aktivitas manusia dan waktu. Berdasarkan ciri morfologi dan sifat fisiko kimianya, tanah-tanah pada lahan gambut di daerah penelitian diklasifikasikan menurut Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1987) kedalam Tropofibrits, Sulfohemists, Sulfihemists dan Tropohemists Gambut di daerah penelitian terdiri dari gambut eutropik, gambut oligotropik dan gambut yang telah diolah, masing-masing merupakan gambut air tawar maupun gambut air asin. Sedangkan menurut kedalamannya dibedakan atas gambut dengan tebal 0,5 – 2 m dan > 2m (Tabel 1). Berdasarkan Tabel 1, lahan gambut di Riau luasnya 3.918.746 ha., dimana sebagian besar merupakan gambut dengan kedalaman > 2 m , yaitu 3.918.746 ha. Sedangkan di Sumatera Barat luasnya 120.881 ha dan di Jambi 62221.493 ha. Tabel 1. Luas Gambut di Riau, Sumatera Barat dan Jambi. Propinsi Simbol
Jenis Gambut
Riau
Sumatera Barat
Jambi
(Ha) D.1.2.2 Gambut Etropik, kedalaman 0,5 – 2 m.
8.299
D.2.1.2 Gambut Oligotropik air tawar, kedalaman 0,5 - 2 m. D.2.1.3 Gambut Oligotropik air tawar, kedalaman >2 m. D.2.2.2 Gambut Oligotropik air asin, kedalaman 0,5 - 2 m. D.2.2.3 Gambut Oligotropik air asin, > 2 m.
475.232
42.817 133.009
2.600.516
78.064 386.076
215.979 25.952
D.2.3.2 Gambut diolah, kedalaman 0,5 - 2 m.
575.609
D.2.3.3 Gambut diolah, kedalaman >2 m.
102.408
17.159 3.918.746
90
120.881 621.493
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Pewilayahan Komoditas Pewilayahan komoditas di daerah penelitian seperti telah dikemukakan dalam bab metodologi, ditentukan atas dasar hasil penilaian kesesuaian lahannya untuk berbagai komoditas unggulan, keadaan lereng/ wilayah secara umum, serta kondisi penggunaan lahan saat ini. Tabel 2 menyajikan hasil pewilayahan komoditas untuk masing-masing kabupaten. Tiap Wilayah Komoditas menunjukkan adanya satu atau lebih tanaman yang dapat dikembangkan pada wilayah tersebut. Di Riau lahan gambut dapat dipilah menjadi 6 wilayah, yaitu wilayah untuk tanaman padi sawah, nenas, karet, kelapa sawit, kelapa dan tanaman kelapa/ kelapa sawit. Di Jambi lahan gambut dapat dipilah menjadi 5 wilayah, yaitu untuk tanaman padi sawah, nenas, karet, kelapa sawit serta tanaman kelapa/ kelapa sawit, sedangkan di Sumatera Barat hanya dapat dipilah menjadi 4 wilayah, yaitu untuk tanaman padi sawah, kelapa sawit, kelapa serta tanaman kelapa/ kelapa sawit. Wilayah komoditas yang cukup luas di Riau adalah untuk tanaman kelapa (646.238 ha) dan Padi Sawah (342.593 ha). Wilayah kelapa di Riau paling banyak dijumpai di kabupaten Indragiri Hilir, Bengkalis dan Pelelawan, sedangkan wilayah padi sawah antara lain terdapat di kabupaten Indragiri Hilir, Rokan Hilir, Pelelawan, Dumai dan Bengkalis. Di Jambi wilayah yang cukup luas adalah untuk tanaman kelapa sawit (138.750 ha), padi sawah (104.502 ha), dan kelapa/ kelapa sawit (77.937 ha). Wilayah kelapa sawit yang cukup luas terdapat di kabupaten Merangin, Sarolangun dan Batanghari. Wilayah padi sawah yang cukup luas di Jambi terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Timur, sedangkan wilayah kelapa, kelapa sawit terdapat cukup luas di kabupaten Batanghari dan Tanjung Jabung Barat dan Timur. Di Sumatera Barat wilayah yang cukup luas adalah untuk kelapa sawit (43.457 ha), padi sawah (17.240 ha) dan kelapa/ kelapa sawit (8.749 ha). Wilayah kelapa sawit terutama terdapat di kabupaten Pesisir Selatan dan Agam, sedangkan untuk wilayah Padi Sawah terutama terdapat di kabupaten Pasaman dan Pesisir Selatan.
91
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Tabel 2. Pewilayahan Komoditas Pertanian Unggulan di Daerah Penelitian Komoditas Kabupaten
Padi Sawah Nenas
Karet Kelapa Sawit
Kelapa, Kelapa Kelapa Sawit
Total
(Ha) Propinsi Riau 29.434
29.321 114.320
385.805
102.853
1.984
83.276 489.775
677.888
4.312
10.770
18.754
33.836
56.129
15.581
74.184
Bengkalis
123.221
Ind. Hilir Ind. Hulu
89.509
Kampar
2.474
Karimun Pelelawan
26.330
Rokan Hilir
44.860
55.115
4.916
427
39.210
61.159
28.318
155.444
48.831
12.545
611
167.420 4.598
4.598
Siak
12.864
47.851
Dumai
28.153
44.747
26.438 4.812
20.946
8.305
3.101
3.101 342.593 237.222 13.171 20,0
13,9
225.155
116.404 85.473
7.761
Pekan Baru %
4.909
5.458
Rokan Hulu
Sub-Total
7
244.690 646.238 1.709.069
0,8
13,2
14,3
37,8
100
36.884
24.075
38.932
100.111
Sarolangun
28.502
3.714
32.216
Merangin
83.525
Propinsi Jambi Batang Hari
220
T. Jabung Barat
58.239
T. Jabung Timur
46.043
1.750
2.648
Jambi Sub-Total %
104.502 29,0
1.750 36.884 0,5
10,3
83.525 18.481
81.118
16.409
62.452
401
401
138.750
77.937
0
359.823
38,6
21,7
0,0
100
7.375
Propinsi Sumatera Barat Pesisir Selatan
5.779
23.919
Pasaman
9.226
9.211
Agam Sub-Total %
37.073 18.437
10.327
1.374
71
14.007
17.240
0
0
43.457
8.749
71
69.517
24,8
0,0
0,0
62,5
12,6
0,1
100
2.235
Ketersediaan Lahan Pewilayahan komoditas dapat dipakai untuk pedoman bagi para perencana atau pemakai untuk memilih lokasi lahan-lahan yang dapat dikembangkan untuk komoditas yang diinginkan. Namun untuk operasionalnya Pewilayahan Komoditas ini harus dihitung Ketersediaan lahannya untuk masing-masing wilayah komoditas, agar dapat diketahui luasan yang betul-betul dapat dikembangkan untuk perluasan areal tanaman yang bersangkutan (Areal Extensifikasi).
92
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Tabel 3. Ketersediaan Lahan Gambut untuk Komoditas Pertanian Unggulan di Daerah Penelitian Komoditas Kabupaten
Padi Sawah
Nenas
Karet
Kelapa Kelapa, Kelapa Sawit Kelapa Sawit
Total
(Ha) Propinsi Riau 0
29.321
0 118.830
0
0
83.276
0
0
0
18.754
18.754
0
0
15.581
15.581
7
0
7
0
0
61.159
0
61.159
0
0
12.545
0 104.924
Bengkalis
0
Ind. Hilir Ind. Hulu
89.509
Kampar Karimun Pelelawan
0
Rokan Hilir
37.477
54.902
Rokan Hulu 0
47.851
Dumai
0
44.747
0 0
%
37.477 237.009 7,2
45,7
20.946
0
68.797 44.747
0
Pekan Baru Sub-Total
0
0
Siak
83.276
3.101
3.101 0 519.176
0
0
244.690
0,0
0,0
47,1
0
0,0
100
Propinsi Jambi 0
19.992
19.992
Sarolangun
0
3.714
3.714
Merangin
0
0
0
0
18.481
20.231
16.409
16.409
Batang Hari
0
T. Jabung Barat
0
T. Jabung Timur
0
1.750
Jambi Sub-Total %
0
1.750
0
0
58.596
0
60.346
0,0
2,9
0,0
0,0
97,1
0,0
100
Propinsi Sumatera Barat Pesisir Selatan
0
0
6.155
6.155
Pasaman
0
0
0
0
Agam
0
0
1.374
0
1.374
Sub-Total
0
0
0
0
7.529
0
7.529
0,0
0,0
0,0
0,0
100,0
0,0
100
%
Untuk menghitung ketersediaan lahan pada masing-masing wilayah komoditas, maka hasil pewilayahan komoditas ditumpangtepatkan (dioverlay) lagi dengan penggunaan lahan saat ini. Lahan yang dianggap tersedia untuk perluasan areal bagi suatu komoditas, jika penggunaan lahan saat ini berupa hutan (H); karet/kelapa sawit/belukar/kebun campuran (Kr/KS/Bl/Kc); belukar/semak/rumput (Bl/Sm/R); dan belukar/kayumanis/kebun campuran (Bl/Km/Kc). Seperti telah disajikan pada Tabel 2, di Propinsi Riau dapat dibedakan atas 6 Wilayah Komoditas, di Jambi 5 Wilayah Komoditas dan di Sumatera Barat 4 Wilayah Komoditas. Selanjutnya untuk masingmasing Wilayah Komoditas tersebut dihitung Ketersediaan Lahannya, dimana hasilnya disajikan pada Tabel 3. Berikut ini diuraikan ketersediaan lahan untuk masing-masing Wilayah Komoditas.
93
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Di Riau lahan gambut yang tersedia untuk pengembangan ialah untuk tanaman kelapa/ kelapa sawit ( 244.690 ha) serta untuk tanaman nenas (237.009 ha) dan padi sawah (37.477 ha). Lahan tersedia untuk tanaman kelapa, kelapa sawit terutama terdapat di Indragiri Hilir, Pelelawan dan Bengkalis, sedangkan untuk tanaman nenas terutama terdapat di Bengkalis, Rokan Hilir, Siak dan Dumai. Untuk tanaman Padi Sawah lahan gambut tersedia untuk pengembangan hanya terdapat di kabupaten Rokan Hilir. Di Jambi lahan gambut yang tersedia untuk pengembangan ialah untuk tanaman kelapa/ kelapa sawit ( 58.596 ha) serta untuk tanaman nenas (1.750 ha). Lahan tersedia untuk tanaman kelapa/ kelapa sawit terutama terdapat kabupaten Batanghari dan Tanjung Jabung Barat dan Timur, sedangkan untuk pengembangan nenas hanya terdapat di kabupaten Tanjung Jabung Barat.. Di Sumatera Barat lahan gambut yang tersedia untuk pengembangan ialah hanya untuk tanaman kelapa/ kelapa sawit ( 7.529 ha) yang terdapat di kabupaten Pesisir Selatan dan Agam.
KESIMPULAN
1.
Lahan gambut di Riau dapat dipilah menjadi 6 wilayah komoditas, yaitu wilayah untuk tanaman padi sawah (342.593 ha), nenas ( 237.222 ha), karet ( 13.171 ha), kelapa sawit (225.155 ha), kelapa ( 646.238 ha) dan tanaman kelapa/ kelapa sawit (244.690 ha). Di Jambi lahan gambut dapat dipilah menjadi 5 wilayah, yaitu untuk tanaman padi sawah (104.502 ha), nenas (1.750 ha), karet(36.884 ha), kelapa sawit (138.750 ha) serta tanaman kelapa/ kelapa sawit (77.937 ha), sedangkan di Sumatera Barat hanya dapat dipilah menjadi 4 wilayah, yaitu untuk tanaman padi sawah (17.240 ha), kelapa sawit (43.457 ha), kelapa (71 ha) serta tanaman kelapa/ kelapa sawit (8.749 ha).
2.
Ketersediaan lahan gambut di Riau untuk pengembangan ialah untuk tanaman kelapa/ kelapa sawit ( 244.690 ha), tanaman nenas (237.009 ha) dan padi sawah (37.477 ha), sedangkan di Jambi yang tersedia untuk pengembangan ialah untuk tanaman kelapa/ kelapa sawit ( 58.596 ha) serta untuk tanaman nenas (1.750 ha). Di Sumatera Barat lahan gambut yang tersedia untuk pengembangan ialah hanya untuk tanaman kelapa/ kelapa sawit ( 7.529 ha).
94
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Bappeda. 1997. Analaisis Komoditi Unggulan Propinsi Sumatra Barat. Laporan Ringkas Kegiatan Ilmiah-Teknis TA 1996 – 1997. Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatra Barat. Bappeda. 1998. Laporan Akhir Pengwilayahan Agribisnis dan Agroindustri di Propinsi Riau. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan daerah Tingkat I riau dengan Balai Pengkajian Teknologi pertanian Padang Marpoyan Riau. Bappeda. 2000. Rencana Induk/Master Plan Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Propinsi Jambi Bagian Wilayah Barat. Bappeda. 2000. Rencana Induk/ Master Plan Pengembangan Kawasan sentra Produksi Propinsi Jambi Bagian Wilayah Tengah. Barbosa, P. M., M. A. Casterada and J. Herrero. 1996. Performance of Several Landsat 5 Thematic Mapper Image Classification Methods for Crop Extent Estimates in an Irrigation District. International Journal of Remote Sensing. Volume 17 Number 18, 18 December 1996, pp:3665-3674. Bunting, E.S. 1981. Assessments of the effecs on yield of variations in climate and soil characteristics for twenty crops species. AGOF/INS/78/006, Technical Note No 12. Centre for Soil research, Bogor, Indonesia Deptan. 2001. Program Pembangunan Pertanian 2001 – 2004. Departemen Pertanian. Ditjen Intag. 1999. Peta Paduserasi daerah Propinsi Sumatera Barat dan Jambi skala 1:250.000. Djaenudin, D., Marwan H., H. Subagyo, Anny Mulyani dan Nata Suharta. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Versi, Pusat Penelitian Tanah dan Agoklimat, Bogor. Hanggono, Aryo. 1998. Kombinasi Metoda dan Maximum Likelihood untuk menghasilkan Citra Thematik daerah Muara Sabak-Jambi, in Remote Sensing & Geographic Information Systems, Year Book 97/98, BPPT, Jakarta, hal. 56. Puslitbangtanak. 2001. Peta Arahan Tata Ruang Pertanian skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Bogor. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1986 – 1990. Buku Keterangan Peta Satuan Lahan dan Tanah Propinsi Riau, Sumatera Barat dan Jambi, Skala 1 : 250.000. Proyek Perencanaan dan Evaluasi Sumber Daya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Rossiter, D. G., and A. R. Van Wambeke. 1997. Automated Land Evaluation System. ALES Version 4.5. User Manual. Cornell University, Departement of Soil Crop & Atmospheric Sciences. SCAS. Teaching Series No. 193-2. Revision 4. Ithaca, NY USA. Soil Survey Staff. 1987. Keys to Soil Taxonomy. SMSS (Soil Management Support Service). Handbook 6. US. Departement of Agriculture. Surmaini E., Irsal Las, Erni Susanti, Suciantini dan Aris Pramudia. 2000. Pemutakhiran wialayah curah hujan dan agroklimat. Laporan Akhir No. 07-c/Puslittanak/2000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
95
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia FOREST AND LAND FIRE MANAGEMENT IN PEATLAND AREAS
Bambang Hero Saharjo Forest Fire Laboratory, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University PO.BOX 168 Bogor 16001, West Java E-mail
[email protected] Abstract The forest fire episode of 1997/1998 in Indonesia consumed 10 million hectares of forest and lands and released 2.6 Gt of C to the atmosphere, where damage cost was estimated at US$ 10 Billion. Most of the smokes believed come from peatlands due to the land preparation using fire. Transboundary haze pollution due to the smoke from land preparation using fire become a big problem in Indonesia every years especially when the dry season come since last 10 years. It has been found that the smoke of fire rooted from land preparation using fire mostly (60-80%) from an oil palm and industrial forest plantation illegally where rest of it to be believed made by shifting cultivation which unfortunately usually blaming for the smokes occurred. Forest management and land use practices in Sumatra and Kalimantan have evolved very rapidly over the past three decades. Poor logging practices resulted in large amounts of waste will left in the forest, greatly elevating fire hazard. Failure by the government and concessionaires to protect logged forests and close old logging roads led to an invasion of the forest by agricultural settlers whose land clearances practices increased the risk of fire. Field experiment had been done in peat area belong to the local community in Pelalawan village, Pelalawan district, Riau Province during dry season in the period of 2001 to 2002 especially in order to know the possibility to using fire in the land preparation area. Results of the research shown that fuel load drying can be used to minimize fuel moisture content that hopefully would reduce smoke production during burning. Burning technique and accompanied by slashing activity and drying for at least 3-4 weeks will help combustion process which finally reduce peat destruction through penetration heat. Reducing peat destruction could be reached if penetration heat from fire could be protected downward through close canal made surrounded burnt area. Keywords: Fire, peat, forest, haze, management
97
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia INTRODUCTION Fire is a significant source of gases and particulate to the atmosphere: environmentally important gases produce by fire includes carbon dioxide, carbon monoxide, methane, non-methane hydrocarbons and oxides of nitrogen. Fire also produces large amounts of small, solid particles or “particulate matter”, which absorb and scatter incoming solar radiation, and hence the impact of our planet as well as provoking a variety of human health problems (Levine et al, 1996). Fire can therefore be considered one of the local points of the multiple relationships between humans and the environmental changes in fire patterns can be taken as indicator of change in land-use patterns and overall environmental conditions (Malingreau and Gregorie, 1996). Biomass burning is considered a major source of trace gas species and aerosol particles (Logan et al, 1981) which play a vital role in tropospheric chemistry and climate (Crutzen and Andreae, 1996). It has been scientifically demonstrated beyond reasonable doubt that fire has been part of the natural ecosystem in Indonesia for many thousands of years, and burning coal seams have been part of the landscape in that time. The vulnerability of Indonesian forest is also linked to more fundamental issues of forest management and the role of communities and local governments. There is very little attention given to the existence of local communities living close to the forests, including those that are vulnerable to fire (UNCHS, 1999). Finally it was found that Indonesian forest fire management lacked useful data rooted from forest fire research, making effective action against forest fires very weak. There was also a weakness in the interest of the people who working in the forest plantations and agricultural activities such as rubber and oil palm plantations that use fire in land preparation without any clear guidelines. There is no alternative solution for shifting cultivators who have been using fire for land clearing for thousand of years. To solve the problem, the management of Indonesian forest fires must be based on information sources from research; and not just those directly translated from other countries experiences without any adjustments. The local people who live near the forest must also be approached, giving them the best alternative solutions, so that their life style will be highly appreciated. INDONESIAN FOREST AND FIRE RISK The forests of Indonesia are being logged at a rate of approximately 40 million cubic meters per year, a rate that is nearly twice that recommended by the Ministry of Forests for sustainable yield (UNCHS, 1999). Commercial use of forest resources and forest lands was very limited up to and including the middle decades of this century. This changed dramatically when forestry basic law 1967 (UUPK 1967) used. Millions of hectares of forest land where awarded as timber concessions in the late 1960s and early 1970s, leading to a timber boom in Sumatra and Kalimantan that changed the landscape of these two islands over a period of two decades. The government policies and procedure for allocating and supervising timber concessions were deeply flawed and riddled with corruption, leading to severe impacts on forest ecosystems, biodiversity and forest dwelling peoples. Forest management and land use practices in Sumatra and Kalimantan have evolved very rapidly over the past three decades (Scweithelm, 1998). Poor logging practices resulted in large amounts of waste would left in the forest, greatly elevating fire hazard. Failure by the government and concessionaires to protect logged forests and close old logging roads led to and invasion of the forest by agricultural settlers whose land clearances practices increased the risk of fire. The fact that Sumatra and Kalimantan remained forested until recent decades indicates that neither naturally-caused fires nor human use of fire caused significant deforestation in the past (Schweithelm, 1998). Fire risk is increased dramatically by the conversion of material forests to rubber and oil palm plantations, and by the logging of natural forests, which opens the canopy and dries out the ground cover. Plantations are drier and trees are move evenly spaced than natural tropical moist forests, thus increasing the opportunities for fire to spread. Evidence also suggests that fires burned mostly easily in secondary forests that had already been disturbed through (frequently illegal) timber operations. Selective logging destroys much of the most undergrowth and the closed canopy that reduces the likelihood and impact of forest fires in natural forests (Dudley 1998). Recently fire is used to exploit the natural rain forest especially in Kalimantan by the name of salvage logging. It was realized when fire
98
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia come to their area and they do not have ability to fight it, resulted in the cleaning of the natural forest from shrubs and grass create a condition which easily entered. Unfortunately the do not cut down the trees burned but also fresh tress which is the main target. SOURCE OF FIRES Illegal Shifting Cultivators Usually when fire broke up in many provinces in Indonesia, many people’s blames shifting cultivator as cause of it, because they use fire for land preparation for agricultural purposes. Shifting cultivators use fire for they land preparation, because it was cheap, and easy to do, and it was done for thousands years ago (Goldammer 1993) without any environmental problems like it happens now. Shifting agriculture systems in their early practice and extends use largely determined by low human population pressure on the forest resources. They provided a sustainable base of subsistence for indigenous forest inhabitants, and their patch impacts had little effects on overall forest ecosystem stability (Nye and Greenland 1960). By burning they will took a free mineral from ash that rich of organic-carbon, phosphorus, magnesium, potassium, and sodium. The nutritional value increase temporarily after burning, however, because when rainy comes, it will be leached and decline (Saharjo 1995). The origin of the 1982-83 fire has not been definitely identified, but swidden agriculture has been considered as one of the most plausible sources (Wirawan 1985). Swidden, slash-and-burn or shifting agriculture has been traditionally practiced by rural people in Borneo, as in many other parts of the tropics. With the intention of planting crops at the onset of the rainy season in November and December, they usually start clearing and then burning their fields during the second half of the dry or less rainy period, usually in September and October, while in Sumatra on August to September. The timing of their slash-and-burn practice is well established and is primarily based on the annual variation of the Monsoon. One of the reasons why shifting cultivators activity become environmental problem is because of illegal shifting cultivator did it (Saharjo and Husaeni 1998). They are not the real shifting cultivators but they are a new comer from other cities or region who never did shifting cultivation and without any experienced. For the real shifting cultivator they are know how to burn and prevent fire jump to other place, for instance using fire breaks and they know also when fire should be put down and stop. This knowledge is not a simple and easy thing to be done quickly by the new comer. Some time they never think about this, then, burn it directly and we can imagine what would happen, burned are become larger and spread everywhere. Some time it takes several days, with black smoke in the sky. Forest concessions and estate crops It had been commonly recognized that the sources of fires in 1997 were mostly from land preparation using fire for forest plantation and estate crops. Fire is used in land preparation for forest plantation, as it is easy, cheap and very simple. Using fire, companies can save three times as much as money and so, naturally, prefer is benefits. Companies cut down trees in areas ranging from 10 to 20 ha, sometimes up to 40 ha, store them for two or three weeks in the sun to reduce the water moisture content and burn them. If the fuel load per ha is about 40 tons (Saharjo 1998), flame temperature will increase to 750-850°C with heavy smoke and flame height at 15-20 meters. With a greater fuel load, flame temperature will increase to more than 1000°C. In one hour, this kind of fire can burn 20 ha. If the fire is prevented from jumping to other areas such as plantation forest, shrubs, "alang-alang" (Imperata cylindrica) grassland or secondary forest by using fire breaks and fire brigade support, there is not a problem. Problems do arise when the fire jumps to other areas, or when the source of the blazes is arson. The use of fire is officially forbidden although every company uses it, because this is the only viable and economic method of reducing the huge biomass. The underlying cause is, hence, the policy that plans to convert 500,000 ha of forest into plantations every year (Schindler 1998). The government (CIFOR 1998) has licensed and stimulated many companies to develop new industrial plantations of rubber, oil palm and pulpwood, as well as transmigration sites. These activities require the clearing of
99
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia hundreds of thousands of hectares of land, and fires are their cheapest option. The traditional method of claiming forested land as in many parts of the world has been to burn and then plant. It seems likely that migrants, particularly in areas near cites, as well as large government-sponsored agricultural or forestry development programs, are clearing forest to establish land claims. Logging Logging activities have greatly increased both fire risk and hazards (Mackie 1984). Access roads opened up the forests to both immigrant and local people for making field (Wirawan 1993). By opening up the forest canopy, logging activities have greatly stimulated the growth and accumulation of plant biomass near the ground. Additional dead biomass is also provided by deformed logs and branches left behind by loggers. The failure of the rainy season to arrive on time, as was the case in late 1982, prolonged dry season, dried this plant biomass and then helped the fires started by shifting cultivators in September or October to spread wildly unchecked for several months until heavy rain fall in May 1983. As a result, 70 % of the burned forest in East Kalimantan, occurred in the logged-over forest areas (Wirawan 1993). When logging companies enter into a new area, they automatically bring with them the fire problem. They are opening up the forests and making them more susceptible to forest fires through road, logging waste, bulldozing through the stands and opening up the canopy and finally bringing in people as the source of fire (Schindler 1998). PEAT AND FIRE Most Indonesian peat forests are of the Dipterocarp type and are completely dependent on rainfall and almost constant amount of recycling nutrients (Subagyo and Driessen, 1974). The majority of Indonesian peat land (16.5 million ha) is deeper than 60 cm with a minimum organic content of 65 % (Andriesse, 1974). Peat formation is a true carbon sink, the carbon being sequestered out of the system and converted into peat through biological activity. Peat swamps forests originally represented major ecosystems in Indonesia and ranged 16.5-27 million ha. In their original state, Indonesian peat swamp forests sequestered between 0.01-0.03 Gigatons of carbon annually. These important ecosystems have however in recent years been reduced through drainage and conversion to agriculture lands and other activities (Sorensen, 1993). Peat forms when the rate of decay of plant litter fails to keep pace with that of addition. This normally occurs because decomposition is in some way slowed down on inhibited (Maltby and Immirzi, 1993). However, decay of the peat was may follow as a result of the normal developmental processes or be induced by some external factor. A number of natural and non-induced events can have catastrophic impacts on mires by arresting or reversing accumulation or accelerating decay. Documented natural and anthropogenic impacts include erosion, fire, drainage, cultivation, deforestation, reforestation, afforestation, peat cutting and mining (Maltby and Immirzi, 1993). Burning peat is especially detrimental because it release carbon into the atmosphere that has been in storage for thousands of year, and smoke from peat fires contain high levels of Sulfur oxide (Sweithelm, 1998), and it was estimated that peat fires in Indonesia in 1997/1998 could release more carbon dioxide than the annual contribution from cars and power stations in western Europe (WWF, 1997), and contributed 22% of worlds carbon dioxide where over 700 million tones was released that elevating Indonesia to one of the largest polluters of carbon in the world (UNCHS, 1999). Impacts of fire on the atmosphere occur at all scale. Visibility effects and the changes in chemical constituents in the atmosphere (such as CO2, water vapour, CO, and particulate matter) are a concern at the scale of a small fire of less than a hectare. At a landscape and regional scale, changes in atmosphere processes and chemical deposition emerge as issues, although visibility and the chemical content of air are still important. The major environmental concern on a global scale is the response of atmospheric processes to the chemical constituents added to the atmosphere from the burning of fuels in forests, shrub lands and grasslands (Debano et al, 1998). Not only does climate influence fire, but fire activity also can influence climate. Regionally, large fires with their change in albedo and removal of vegetation with the accompanying drop in
100
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia evapotranspiration, can influence the energy budget and climate. Recent evidence suggests that local to regional changes in the land surface characteristics can significantly alter the climate of that region (Couzin, 1999). In addition to climatic influences on the fire regime other factors such as ignition agents, length of the fire season, vegetation characteristics and human activities such as fire management policies and landscape fragmentation may greatly influence the fire regime in the next century. FIRE AND PEATLAND MANAGEMENT In order to know the possibility of using fire in the land preparation especially in peatland area, an integrated research being conducted in peatland area belong to the local community located in the Pelelawan village, Pelelawan district, Riau Province during dry season July 2001 to October 2002. The site was dominated by was dominated by shrubs and ferns, vegetation found was Shorea macrophylla, Macaranga pruinosa, Ficus sundaica, Stenochlaena palustris, Parastemon uruphyllus, Baccaurea pendula, Nephorlepis flaccigera and Gleinchenia linearis. Climate in Pelalawan district cannot be separated from Riau province condition, generally the site was tropical climate with annually rainfall range between 2500-3000 mm with daily temperature between 22°C to 31°C. According to data made by Meteorological and Geophysical Agency, Ministry of Transportation, annually rainfall in the period between January-December 2001 in the site was 3794.5 mm that accompanied by 86 rainy days. Results of research shown that fuel load was vary depend on the level of peat decomposition level namely fibric, hemic and sapric. Fuel load in Fibric was vary from 61.5 to 62.7 ton/ha and fuel bed depth was vary from 97 to 106 cm (Table 1); while in hemic fuel load was vary from 38.5 to 95.67 ton/ha and fuel bed depth was vary from 71.8 to 108.4 cm (Table 3); and in sapric fuel load was vary from 110.83 to 32.22 ton/ha and fuel bed depth that vary from 82.2 to 98.4 cm (6). During burning it had been found that in fibric, flame height was vary from 3.69 to 4.12 m, rate of the spread of fire vary from 1.47 to 3.31 m/minute that resulted in fire intensity that vary from 5300 kW/m to 6721 kW/m and flame temperature that vary from 900 to 1050°C (Table 1); while in hemic, flame height was vary from 2.87 to 4.19 m, rate of the spread of fire was vary from 1.07 to 2.48 m/minute that resulted in fire intensity that vary from 2949.95 to 6534.83 kW/m and flame temperature that vary from 900 to 1150°C (Table 3); and in sapric, flame height was vary from 1.56 to 3.09 m, rate of the spread of fire was vary from 0.47 to 1.11 m/minute that resulted in fire intensity that vary from 792.96 to 1830.55 kW/m and flame temperature that vary from 800 to 1000°C (Table 6). During burning it had been known that green house gas emitted in fibric site was 11,273,281 ppb where smoldering combustion stage produce 5,699,500 ppb, at glowing stage produce 4,649,312 ppb and at flaming stage 924,469 ppb (Table 2); while in hemic site green house gas emitted was vary from 6,523,601 to 8,097,078.5 ppb where smoldering combustion stage dominant in hemic 2 and flaming combustion stage in hemic 1 (Table 5); and in sapric site green house gas emitted was vary from 10,407,929.5 to 11,767,466 ppb where soldering combustion stage dominant in sapric 2 while glowing combustion stage in sapric 1 (Table 7). Following burning it had been found that no fibric peat burnt or destroyed, while in hemic site peat destruction vary from 6 to 12.6 cm (Table 4) and in sapric site it was vary from 12.72 cm to 31.88 cm (Table 8). CONCLUSION AND RECOMMENDATION A.
Conclusion 1.
Heat effect resulted during burning especially in sapric and hemic site will cause peat destruction which depend on fuel (potency, characteristic, load and moisture) and peat characteristic. Even burnt peat depth was categorized low destruction (<25 cm) but the role of peat to reserve the water loss
101
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia 2. 3.
4.
B.
Green house gasses produce during burning was depend on what stage it occurred, flaming, smoldering, or glowing. The gasses emitted was also influence on the combustion process at fuel bed depth. Water that source from canal and rain fall have an important role also in affecting the performance of the site during and following burning. High moisture content of peat will protected from high heat penetration into the peat which then resulted in less destructed of peat. Burning at the end of dry seasons which then followed with rainy seasons seems will give different impact to the site.
Recommendation 1. 2.
Using fire for land preparation especially when fuel load is high is better to stop, because it will caused peat destruction, low quality and high green house gasses produced. If fire should be used (no other alternative ), special treatment should be conducted as followed : a. b. c. d. e. f. g.
No large area permitted to burning Log with diameter more than 10 cm must be through away from burning area. There must be slashed and drying for at least three weeks One meter canal full of water surrounded burning area must be established before burning Burning must be conducted in the afternoon between 13.30 – 16.00 pm under supervised Burning should be conducted also at the end of dry seasons and incoming of rainy seasons. Burning must be done through certain circle not at the same time with big area.
REFERENCES Andriesse, J.P. 1974. Tropical lowland peat in South-east Asia. Communication 63. Dept. Res. Amsterdam. CIFOR. 1998. Fire in Indonesia in 1997. CIFOR News, no.16:1 Couzin, J. 1999. Landscape changes make regional climate run hot and cold. Science 283: 317-318 Crutzen, P.J and M.O. Andreae. 1990. Biomass burning in the tropics: Impact on atmospheric chemistry and biogeochemical cycles. Science 250: 1669-1678 Debano, L., D.G. Neary and P.F. Ffolliott. 1998. Fire’s effects on ecosystems. John Wiley and Sons, Inc. 319 pp. Dudley, N. 1998. The year the world caught fire. WWF International. 35 pp. Goldammer, J. G. 1993. Fire Management. In : Pancel, L. (ed.). Tropical forestry handbook. Vol. 2 : 1221 - 1267. Levine, J.S. 1996. Introduction. In: Levine, J.S (eds.). Biomass burning and global change. Vol.1. The MIT press. Pp;1 Mackie, C. 1984. The lessons behind East Kalimantan's forest fire. Borneo Research Bulletin, 16 : 63 : 74. Malingreau, J.P and J.M. Gregorie. 1996. Developing a global vegetation fire monitoring system for global change studies; A frame work. In: Levine, J.S (eds.). Biomass burning and global change. Vol.1. The MIT press.pp: 14-24
102
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Maltby, E and P. Immirzi. 1993. Carbon dynamic on peatlands and other wetlands soils regional and global perspectives. Chemosphere 27(6): 999-1023 Nye, P.H and Greenland, D.J. 1960. The soil under shifting cultivation. Technical communication 51. Commonwealth bureau of soils. UK. Saharjo, B.H. 1995. The changes in soil chemical properties following burning in a shifting cultivation area in South Sumatra. Wallaceana 75: 23-26 Saharjo, B. H. and E. A. Husaeni. 1998. Why East Kalimantan Burns ? Wildfire magazine Vol.7(7): 19-21 Schindler, L. 1998. The Indonesian fires and SE Asean Haze 1997/98. Review, Causes and Necessary steps. Paper presented at the Asia - Pasific regional workshop on transboundary atmospheric pollution. Singapore, 27 - 28 May. Schweithem, J. 1998. The fire this time : An overview of Indonesia's forest fire in 1997/1998. Sorensen, K.W. 1993. Indonesian peat swamp forest and their roles as a carbon sink. Chemosphere 27(6): 1065-1082 Subagyo, H and P.M. Driessen. 1974. The ombrogenous peats in Indonesia. Research papers 19681974. Agr.Coop. Indonesia/the Netherlands.pp: 193-205 UNCHS. 1999. Inter-agency report on Indonesian forest and land fires and proposal for risk for reduction in human settlements. UNCHS (Habitat), UNDP, UNHD and ADPC. 36 pp. Wirawan, N. 1985. Kutai National Park Management Plan 1985 - 1990, World Wildlife Fund/International Union for Conservation of Nature, Bogor. Wirawam, N. 1993. The hazard of fire. In : Brookfield, H and Y. Byron. (ed.). South - East Asia's environmental future : The search for sustainability. pp : 2 WWF. 1997. The year the world caught fire. WWF International Discussion paper by Nigel Dudley. Switzerland.
103
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Table 1. Weather condition and Fire Behavior during burning in Fibric site
Parameter Temperature (°C) Relative humidity (%) Wind speed (m/sec.) Fire behavior Fuel load (ton/ha) Fuel moisture (%) • Leaves • Branches • Peat surface Flame length (m) Fire int. (kW/m) R.of the spr.(m/mnt) Flame Temp (oC) • 1 cm below ground • Ground Slope (%) Plot Size (ha) Duration (mnt.) Burning time
Plot 1
Plot 2 37 53 1.05
36 52 0.67
(62.67±12.59)
(61.56±13.16)
(8.63±1.10) (15.60±3.59) (85.6±1.34) (4.12±1.53) (6721.24±5018.34) (3.31±1.27)
(9.19±4.59) (12.85±4.85) (84.75±0.78) (3.69±1.8) (5300.28±4117.48) (1.47±0.39)
75 875 0 0.04 15.18 12.25pm
90 900 0 0.04 16.30 13.30pm
Table 2 . Green house gasses production through burning in Fibric site Combustion stage CO2 (ppb) CO (ppb) CH4 (ppb) N2O (ppb) Flaming 836,000 81,000 7,100 369 Smoldering 4,263,000 1,285,000 150,900 600 Glowing 3,762,000 812,000 74,700 612 Total 8,861,000 2,178,000 232,700 1,581
Total GHG (ppb) 924,469 5,699,500 4,649,312 11,273,281
Table 3. Weather condition and fire behavior parameters during burning in hemic site
Parameter Weather condition Temperature (°C) Relative humidity (%) Wind speed (m/sec.) Fire behavior Fuel load (ton/ha) Fuel moisture (%) • Leaves • Branches • Log • Peat surface Flame length (m) R.of the spr.(m/mnt) Fire int. (kW/m) Flame temp. (°C) • 1 cm below ground • Ground Slope (%) Plot Size (ha) Duration (mnt.)
Plot 1
Plot 2
Plot 3
36 55 0.41
39 48 0.90
38 49 1.07
37 53 0.68
(39.5±8.0)
(51.8±5.7)
(43.7±3.2)
(95.7±6.8)
(11.92±3.52) (21.64±6.65)
(12.35±1.87) (24.54±7.01)
(10.19±4.72) (19.4±5.91)
(81.8±1.5) (2.9±0.3) (1.1±0.2) (2949.9±547.3)
(77.2±1.4) (3.6±0.4) (1.9±0.2) (5050.9±1052.4)
(74.2±0.2) (3.4±0.3) (2.5±0.4) (2552.3±977.2)
(10.22±2.99) (16.23±4.01) (42.3±12.3) (74.4±1.1) (4.2±0.3) (1.2±0.2) (6524.2±1424.0)
100 900 0 0.04 18.0
130 1100 0 0.04 9.3
120 1000 0 0.04 9.0
150 1150 0 0.04 14.15
Table 4. Burnt peat depth and size in hemic site Plot 1. 2. 3. 4.
Depth (Cm.) (7.16±0.9) (12.6±1.3) (6.0±0.8) (10.0±1.2)
Plot 4
2
Burnt Size (m ) 4.7 13 16 8
Percentage (%) 1.75 3.25 4 2
104
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Table 5. Green house gasses production through burning in Hemic site Combustion stage Flaming Glowing Smoldering Total Flaming Glowing Smoldering Total
CO2 (ppb) 3,157,000 1,147,500 2,560,000 6,865,000 1,222,500 2,176,000 2,481,500 5,880,000
CO (ppb) 566,500 127,500 406,500 1,100,500 136,500 76,500 335,000 548,000
CH4 (ppb) 94,300 8,900 27,700 130,900 9,900 30,400 54,100 94,400
N2O (ppb) 383 368 427.5 1,178.5 361.5 434 405.5 1,201
Total GHG (ppb) 3,818,183 1,284,268 2,994,627.5 8,097,078.5 1,369,261.5 2,283,334 2,871,005.5 6,523,601.0
Table 6. Weather condition and fire behavior parameters during burning in sapric site
Parameter
Plot 1
Weather condition Temperature (°C) Relative humidity (%) Wind speed (m/sec.) Fire behavior Fuel load (ton/ha) Fuel moisture (%) • Litter • Branches • Log • Peat surface Flame length (m) R.of the spr.(m/mnt) Fire int. (kW/m) Flame temp. (°C) • 1 cm below ground • Ground Slope (%) Plot Size (ha) Duration (mnt.) Burning time
Plot 2
Plot 3
Plot 4
38 55 0.41
38 50 1.09
39 49 1.07
35 52 0.63
(119.16±27.17)
(110.83±27.17)
(132.34±34.64)
(111.0±12.61)
(6.8±1.1) (11.5±2.8)
(7.3±0.9) (14.3±3.9)
(6.8±1.2) (11.7±1.4)
(81.8±1.5) (1.55±0.52) (0.47±0.15) (791.96±572.7)
(77.2±1.4) (2.11±0.26) (0.99±0.26) (1401.61±355.17)
(74.2±0.2) (3.09±0.3) (1.11±0.32) (1830.55±634.77)
(6.2±0.7) (16.3±3.6) (32.7±3.1) (74.4±1.1) (1.94±0.85) (0.98±0.29) (1379.0±1103.6)
70 800
90 985 0 0.04 21.30 13.43pm
95 1000 0 0.04 14.54 14.54pm
80 900 0 0.04 15.55 15.55pm
0.04 22.13 11.22am
Table 7. Green house gasses production through burning in Sapric site Combustion stage Flaming Glowing Smoldering Total Flaming Glowing Smoldering Total
CO2 (ppb) 1,153,500 4,290,500 3,943,500 9,387,500 2,042,000 3,072,000 5,774,500 10,888,500
CO (ppb) 151,500 484,500 276,500 912,500 227,500 335,000 230,500 793,000
CH4 (ppb) 15,800 62,500 28,100 106,400 41,350 28,200 14,500 84,050
Table 8. Burnt peat depth and size in sapric site Plot 1. 2. 3. 4.
Depth (Cm.) 18 31.87 15.44 12.72
Burnt Size (m2) 12 7 17 22
Percentage (%) 3 1.75 4.25 5.5
105
N2O (ppb) 438 495 596.5 1,529.5 406 635 845 1,886
Total GHG(ppb) 1,321,238 4,837,995 4,248,696.5 10,407,929.5 2,311,286 3,435,835 6,020,345 11,767,466
RANCANGAN DESAIN SISTEM TATA-AIR PADA PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT PASANG-SURUT 1 BERWAWASAN LINGKUNGAN (The Environmentally Design of Water Management System for Peat Land Development in Indonesia)
Oleh; 1)
Nana M. Arifjaya 2 Dedi Kusnadi Kalsim ABSTRACT The peat land development for agriculture in Indonesia has been started since 1960. However the results of development in term of agriculture production or farmers income are still questionable. By learning the experiences and traditional technologies developed by Banjarnese and Bugisnese, and personal experiences in lowland development in several parts of Indonesia, then the Environmentally Water Management System for Peat land development is proposed in this paper. Basically the land-use planning should be based on the land suitability map for some crops planned to be grown, as commonly used by Agronomist and Soil Scientist. Environmental function of peat land in term of bio-diversity and hydrology are combined together into The Water Management System. Research results of The Research Center for Soil and Agro-climate (Bogor) showed that the oneway flow of surface and ground water in agricultural field has an ability to improve chemical properties of soil by leaching process of toxic substances created by oxidation process in soil profile. The one-way flow system can be created by using separated channels of irrigation and drainage. The difference of water level in those channels should be around 30-50 cm. Traditional technology created by Bugisnese farmers in Pulau Kijang (Riau) are tried to be applied in this proposed design. The main objective of this paper is to design of Water Management System which has an ability to maximize the agricultural potential and developing timbaer estate at peat soil by increasing cropping intensity, control wtaer balance, with minimize the negative impact of environmental by maximize the peat function as water retention and bio-diversity. The applied control water tabel and zoning area bentween two rivers and maintain waterbalance it is the key for development the peatlands area.
I. PENDAHULUAN Hutan rawa gambut Indonesia mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis karena karakteristik gambutnya, kekayaan biodiversitasnya dan fungis dalam ekosistem global maupun regional. Indonesia mempuyai rawa gambut sekitar 20 juta hektar, yang setara dengan setengah dari hutan gambut tropika di dunia. Keberadaa hutan gambut umumnya diapit oleh sungai sehingga dari karakteristik drainasenya dapat dipandang sebagai satu “unit pulau” yang has yang membnetuk ‘dome’. Perbedaan kedalam gambut erat kaitannya dengan karakteristik tanah dan vegetasi yang tumbuh di atasanya.
1)
Makalah disampaikan pada wrokshop on Wise use and sustainable peatlands management practices October 13-14, 2003, Bogor, Indonesia.
2)
Lab Pengaruh Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, email:
[email protected]
3) 1
Laboratorium Teknik Tanah dan Air, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor .E-mail: atau
[email protected]
.
.
Page 1 of 12
Pembukaan lahan gambut pasang-surut atau lahan rendah untuk keperluan pertanian telah lama dilakukan di Indonesia sejak tahun 1960-an, sedangkan keberhasilannya masih perlu dipertanyakan. Dengan mengkaji kembali dari pengalaman tradisional suku Banjar dan Bugis mengelola lahan ini, serta beberapa pengalaman penerapan di areal HTI selama ini, maka suatu usulan Sistem Tata-Air yang berwawasan lingkungan diajukan dalam makalah ini. Pada prinsipnya penataan tata-guna lahan mengacu pada kriteria kesesuaian lahan untuk beberapa komoditi pertanian yang sudah lama digunakan oleh para ahli tanah dan agronomi dalam merekomendasikan pembukaan lahan gambut untuk pertanian. Fungsi ekologis lingkungan dari lahan gambut dalam hal biodiversitas dan sebagai penyangga air digabungkan ke dalam sistem tata-air yang diajukan dalam makalah ini. Hasil penelitian Puslitanak yang merekomendasikan sistem aliran satu arah (one way flow) di tingkat usahatani yang berhasil memperbaiki fungsi pencucian dari zat beracun dengan saluran pemasok (supply) dan drainase terpisah, digabungkan ke dalam sistem tata-air yang diajukan ini. Teknologi tradisional bangunan kontrol di daerah pasang-surut yang sudah dikembangkan oleh suku Bugis di Pulau Kijang (Riau) juga dicoba untuk diterapkan dalam rancangan ini. Tujuan dari makalah ini adalah untuk merancang sistem tata-air yang mampu memaksimumkan potensi pertanian dengan mempertinggi intensitas tanam, produktivitas tanah dan pola tanam dengan memperhatikan aspek lingkungan yang perlu dijaga serta memaksimumkan fungsi lahan gambut sebagai penyangga air.
2. FORMULASI MASALAH Penggunaan lahan yang paling baik adalah memanfaatkan lahan sesuai dengan tingkat kemampuannya. Penggunaan lahan basah dan gambut harus disesuiakan dengan berbagai kriteria dan jenis komoditi yang akan dikembangkan. Penggunaan lahan berdasarkan pada kriteria kesesuaian lahan untuk lahan basah dibedakan atas peruntukan padi sawah; padi gogo, palawija dan sayuran; tanaman perkebunan dan buah-buahan serta hutan termasuk didalamnya hutan tanaman. Berdasarkan parameter ketebalan gambut, kedalaman pirit dan asam organik untuk lahan sesuai dinyatakan seperti pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Kriteria kesesuaian lahan gambut untuk pertanian1) Parameter
Padi sawah
Ketebalan gambut (cm) Kedalaman pirit (cm) Asam organik (mmol) 1)
< 130
Padi gogo, palawija, sayuran < 130
Tanaman perkebunan dan buah-buahan < 300
> 50 < 0.5
> 50 < 0.1
> 150 < 0.1
Hutan >300
Sumber: Tim IPB. AMDAL Regional Pengembangan Lahan Gambut 1 Juta Hektar di Kalteng, 1996.
Pada kenyataanya secara umum elevasi lahan di antara dua sungai. memperlihatkan bahwa semakin jauh dari sungai semakin tebal gambutnya membentuk kubah gambut di bagian tengah dengan elevasi permukaan gambut sekitar 4 - 8 m di atas elevasi lahan di tepi sungai. Berdasarkan tipologi lahan terutama yang masuk katagori hidro-topografi kelas C dan D, maka bentuk tipologi lahan melintang sungai dapat digunakan sebagai pedoman umum dalam rencana tata-guna lahan untuk pertanian konservasi. Sebagai
Page 2 of 12
contoh tipologi lahan berdasarkan penampang melintang antara beberapa sungai di Blok A Proyek Lahan Gambut ({LG) Sejuta Hektar seperti digambarkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Penampang lahan gambut antara S. Kapuas dengan Barito
Page 3 of 12
Manajemen air di petakan sawah pada MT1 dapat dikendalikan dengan mengatur elevasi muka air di saluran (baik supply maupun drainase) sesuai dengan kebutuhan dengan 3 menggunakan tabat . Umumnya dengan dipertahankan elevasi muka air di saluran sekitar 25 - 50 cm di bawah lahan dapat menghasilkan genangan air di petakan sawah sekitar 5-10 cm. Akan tetapi kondisi pada musim kemarau memperlihatkan defisit air sehingga baik tanaman palawija maupun padi pada MT2 memerlukan tambahan air irigasi. Penggunaan pompa air untuk irigasi padi di tanah mineral pada MT2 sekarang ini terbentur pada masalah besarnya angka perkolasi (20-50 mm/hari) , sedangkan di tanah gambut adalah kecilnya kapasitas tanah menahan air (WHC) sehingga aplikasi pompa umumnya tidak berkelanjutan karena tidak ekonomis.
3. USULAN RANCANGAN SISTEM TATA-AIR Dalam pengembangan tata air di kawasan hutan gambut harus dibagai berdasarkan zonasi antar dua sungai, sehingga keberadaan sungai menjadi kunci dalam penentuan jonasi. Daerah pengembangan dibagi menjadi lima zone yakni Zone 1 sebagai sabuk hijau (green belt) dengan lebar masing-masing sekitar 1 km sebelah kiri dan kanan sungai yang lebih ditujukan untuk tujuan konservasi; Zone 2a untuk tanaman pertanian pangan dengan potensial pola tanam padi-padi-palawija/sayuran; Zone 2b untuk tanaman pangan dengan potensial pola tanam padi-palawija/sayuran-palawija/sayuran; Zone 3 untuk tanaman tahunan dan buah-buahan; Zone 4 untuk tanaman hutan. Skhema pembagian zonase ini dapat dilihat pada Gambar 2. Secara rinci karakteristik setiap zone pengembangan dan manajemen airnya dapat dilihat pada deskripsi Tabel 2. Untuk mencegah masuknya asam organik ke zone 3 dan 2, maka perlu dibuat saluran drainase interseptor (interceptor drainage) pada batas antara zone 4 dengan zone 3 (Int1) dan antara batas zone 3 dengan zone 2 (Int-2). Saluran interseptor tersebut dibuat sejajar garis kontour dengan outlet ke sungai berupa saluran interseptor keliling di luar areal pertanian (zone 2a, 2b dan 3) yang dikembangkan. Saluran interseptor ini selain berfungsi untuk mencegat aliran permukaan dan aliran air tanah dari daerah hulu kemudian dibuang terkendali ke luar areal pertanian, juga dapat digunakan sebagai pasok air untuk zone 2a dan 2b apabila diperlukan sewaktu-waktu. Oleh karena itu elevasi muka air (drainage level) di saluran interseptor keliling harus dirancang pada kedalaman sekitar 20-50 cm di bawah lahan. Untuk keperluan tersebut, maka di beberapa lokasi saluran interseptor keliling dilengkapi dengan bangunan terjun dan kontrol berupa stop-log yang dapat mengendalikan elevasi muka air di saluran interseptor keliling. Bangunan kontrol 1 (bk-1) terletak di batas zone 1 dengan 2a, bk-2 pada batas zone 2a dengan 2b, bk-3 pada ruas saluran interseptor antara zone 2b dengan zone 3. Bk-1, bk-2 dan bk-3 berfungsi untuk mempertahankan elevasi muka air di saluran interseptor keliling sekitar 20-50 cm di bawah lahan pada MT1 dan bersama dengan saluran drainase juga berfungsi untuk membuang air di petakan sawah pada waktu pengolahan tanah (awal musim tanam), pengapuran dan pemupukan serta seminggu sebelum panen. Pada MT2 diharapkan air cukup untuk padi sawah di zone 2a dengan memasukan pasok air baik dari saluran supply sekunder/tersier maupun dari saluran interseptor keliling. Apabila tidak memungkinkan secara gravitasi, terpaksa digunakan pompa daya-angkat rendah (low-lift pump). Pompa jenis ini disebut juga pompa aksial dengan karakteristik daya angkat rendah tetapi debit besar. Sedangkan pada MT2 di zone 2b diharapkan air hanya tersedia di saluran untuk tanaman palawija/sayuran 3
Tabat: Bahasa daerah yang berarti bangunan kontrol temporer untuk menaikan elevasi muka air di saluran handil Page 4 of 12
dengan menggunakan pompa irigasi daya angkat rendah. Penggunaan pompa air di zone 2a dan 2b pada MT2 dan MT3, hanya dapat berkelanjutan secara ekonomik apabila telah dilakukan pengkondisian lahan di zone 2a sehingga laju perkolasi dapat ditekan menjadi sekitar 2-4 mm/hari, sedangkan di zone 2b telah dilakukan pencampuran tanah mineral pada tanah gambut sehingga kemampuan tanah menahan air (WHC4) menjadi cukup tinggi sehingga irigasi palawija atau sayuran dapat dilakukan secara ekonomik dengan selang irigasi sekitar 1 atau 2 minggu. Pada prinsipnya pada musim hujan (apabila air dari saluran sekunder/tersier supply cukup menjamin genangan di petakan sawah sekitar 5-10 cm) elevasi muka air di saluran interseptor dikendalikan pada kedalaman sekitar 50 cm di bawah lahan, sedangkan pada musim kemarau dipertahankan setinggi mungkin (sekitar 20 cm di bawah lahan). Di daerah zone 3, semua saluran berfungsi untuk drainase. Oleh karena itu arah saluran drainase searah kemiringan lahan menuju pada saluran interseptor (Int-2). Air yang ditampung di Int-2 kemudian digunakan sesuai dengan keperluan untuk memasok zone 2. Di daerah zone 1dan 2 dibuat saluran Primer/Navigasi yang berfungsi sebagai saluran utama untuk memasukan air pasang, membuang air drainase pada waktu surut dan juga sebagai transportasi air. Setiap jarak 400 m melintang saluran primer dibuat saluran supply sekunder (setingkat handil pada sistem tradisional) yang dilengkapi dengan bangunan kontrol di bagian pangkalnya. Juga setiap jarak 400 m dibuat saluran drainase berselang-seling dengan saluran sekunder yang dilengkapi dengan bangunan kontrol di bagian pangkalnya. Bangunan kontrol di saluran sekunder supply dan saluran drainase dibuat di lokasi pangkal saluran pada batas antara daerah pemukiman dengan lahan 5 usahatani. Tipe konstruksi bagunan kontrol ini berupa gorong-gorong (blombong ), dengan daun pintu ditempatkan di bagian hulu dan hilir tergantung keperluannya. Untuk saluran sekunder supply daun pintu diletakkan di sebelah hulu sehingga berfungsi memasukan air pasang dan menahan air surut sehingga elevasi muka air di saluran tersebut dapat dipertahankan setinggi mungkin. Sedangkan untuk saluran drainase dipasang sebaliknya di bagian hilir yang berfungsi menahan air pasang dan membuang air pada waktu surur sehingga mempertahankan elevasi muka air serendah mungkin. Dengan adanya beda elevasi muka air antara saluran sekunder dengan saluran drainase (sekitar 0,5 m), maka diharapkan terjadi aliran air tanah satu arah (one way flow) sehingga proses pencucian tanah dapat berlangsung dengan baik.
4
WHC: Water Holding Capacity. Kemampuan tanah menahan air pada kapasitas lapang dan titik layu permanen 5 Blombong: bahasa Bugis untuk jenis pintu air tipe gorong-gorong telah biasa berhasil digunakan di Pulau Kijang, Indragiri Hilir, Riau. Pengalaman di Riau membuktikan bahwa tipe gorong-gorong lebih tahan terhadap gerusan tanah lapisan bawah, dan jenis kayu resak akan lebih tahan lama pada kondisi terusmenerus terendam.
Page 5 of 12
Tabel 2. Pembagian zonase tata-guna lahan, sistem tata-air yang diajukan dan operasionalnya
Zone Karakteristik lahan
Kesuaian lahan untuk pertanian Sistem TataAir
Manajemen Air
Zone 1 Sekitar tanggul sungai, tanah mineral, kedalaman pirit <50cm atau > 50 cm Sabuk hijau (green belt), tanaman tahunan buahbuahan, Taman tepi sungai Saluran drainase utama
terbuka pengaruh pasang-surut air sungai
Zone 2a
Zone 2b
Zone 3
Zone 4
Tanah mineral bergambut, pirit >50 cm, perkolasi tinggi
Tanah gambut < 130 cm, pirit >50 cm, perkolasi tinggi, WHC rendah
Tanah gambut 130-300 cm, pirit >150 cm
Tanah gambut > 300 cm
Padi sawah 1 x/tahun, dapat diintensifkan 2 x/tahun dengan pengkondisian lahan (pemadatan sub-soil)
Musim hujan: Padi sawah/padi gogo; musim kemarau: palawija, sayuran
Tanaman tahunan perkebunan, buah-buahan
Hutan alami, penghutanan kembali dengan tanaman pohon asli setempat
saluran drainase dan saluran sekunder/tersier supply , slope minimum, bangunan kontrol (blombong) di pangkal saluran (batas areal pemukiman) . Bk 1 di saluran interseptor keliling untuk mengendalikan elevasi muka air di saluran interseptor pada waktu musim hujan dan musim kering Awal MT1 selama pengolahan tanah, pintu (bk-1) dibuka untuk flushing asam-asam. Selanjutnya pintu ditutup atau dioperasikan untuk mendapatkan elevasi muka air di saluran sekitar 30 cm di bawah lahan. Pintu bk-1 dibuka lagi pada waktu 1-2 minggu menjelang panen MT1. Bangunan kontrol (blombong) di saluran drainase dan saluran supply sekunder berfungsi secara otomatis. Awal MT2 pintu bk-1 dibuka selama pengolahan tanah. Selanjutnya pintu bk-1 ditutup untuk menampung air dari bagian hulunya (Zone 3 dan 4). Kalau perlu pompanisasi untuk tanaman padi MT2 dan palawija MT3. Bangunan kontrol (blombong) berfungsi secara otomatik
saluran drainase dan saluran sekunder/tersier supply, slope minimum, bangunan kontrol (blombong) di pangkal saluran (batas areal pemukiman). Bk-2 dan bk-3 di saluran interseptor keliling untuk mengendalikan elevasi muka air di saluran interseptor pada waktu musim hujan dan musim kering
saluran drainase dengan interseptor di pangkal (Int-2) dan ujung (Int-1) untuk membuang asam organik ke luar areal zone 2.
Saluran interseptor di bagian pangkal (Int-1) untuk membuang asam organik dari aliran air-tanah daerah hutan.
Awal MT1 selama pengolahan tanah, pintu (bk-2 dan bk-3) dibuka untuk flushing asamasam. Selanjutnya pintu bk-2 dan bk-3 ditutup atau dioperasikan untuk mendapatkan elevasi muka air di saluran sekitar 30 cm di bawah lahan. Pintu dibuka lagi pada waktu 1-2 minggu menjelang panen MT1. Bangunan kontrol (blombong) di saluran drainase dan saluran supply sekunder berfungsi secara otomatis. Awal MT2 pintu bk-2 dan bk-3 dioperasikan sesuai dengan kebutuhan, dibuka selama pengolahan tanah, selanjutnya pintu ditutup untuk menampung air dari bagian hulunya (Zone 3 dan 4). Kalu perlu pompanisasi untuk tanaman palawija/sayuran MT2 dan MT3. Bangunan kontrol (blombong) berfungsi secara otomatik
Awal MT1 air dalam saluran interseptor yang mengandung asam organik dibuang ke luar areal zone 2. Pada awal MT 2 elevasi muk a air di saluran interseptor dipertahankan setinggi mungkin untuk memasok kebutuhan air di Zone 2.
Awal MT1 air dalam saluran interseptor yang mengandung asam organik dibuang ke luar areal zone 2. Pada awal MT 2 elevasi muk a air di saluran interseptor dipertahankan setinggi mungkin untuk memasok kebutuhan air di Zone 2.
Page 6 of 12
Gambar 2. Profil Melintang Elevasi Lahan dan Pembagian Zonase Pengembangan Pertanian
Page 7 of 12
4. Mepertahankan Resapan Air dan Pengembangan HTI di lahan gambut Kawasan bergambut yang berfungsi sebagai daerah resapan air bagi daerah di bawahnya adalah daerah pada bagian puncak kubah gambut (peat dome), yang dari segi topografi merupakan daerah atas dan perlu dilindungi supaya fungsi hidrologisnya dapat dipertahankan. Fungsi hidrologisnya adalah menyerap dan menyimpan air pada musim hujan sehingga banjir akibat limpasan permukaan (runoff) di daerah bawahnya dapat dikendalikan, dan melepasnya secara perlahan-lahan dalam bentuk aliran air bawah permukaan pada musim kemarau sehingga kedalaman airtanah dan kebakaran hutan di daerah bawahnya dapat dikendalikan. Secara skhematis penampang kubah gambut di antara dua buah sungai dapat digambarkan seperti pada Gambar 3. Besarnya nilai L dan X1 serta X2 merupakan batas dimana luasan Kawasan Lindung perlu dipertahankan supaya fungsi perlindungannya untuk kawasan budidaya HTI di bawahnya dapat terjamin keberlanjutannya. Besarnya kemampuan menyimpan air di kubah gambut secara volumetrik tergantung pada besarnya porositas tanah gambut dan beda elevasi antara E1 dan E2. Porositas tanah gambut tergantung pada tingkat kematangan tanah gambut. Di daerah kubah gambut umumnya kematangannya rendah (Fibrik) karena lahan sering tergenang dengan proses oksidasi yang terhambat. Sifat fisik tanah gambut pada tingkat kematangan fibrik adalah nilai porositas 80% ~ 90% volume, lengas tanah pada kapasitas lapang sekitar 45% volume, berat jenis 0,2 gr/cm3, permeabilitas sekitar 53 – 69 cm/hari (rata-rata 61 cm/hari). Kapasitas maksimum penyimpanan air dapat dihitung sebagai berikut: Kapasitas menyimpan air = (E1 - E2) x FB x L x n ; dimana FB adalah faktor koreksi bentuk yang besarnya sekitar 0,6 dan n adalah angka total porositas rata-rata (80% ~ 90%); E1: elevasi lahan puncak kubah; E2: elevasi muka air di saluran paling atas. Nilai kapasitas maksimum penyimpanan air tersebut dalam satuan m3 per m panjang. Lengas tanah gambut pada kapasitas lapang pada kondisi vegetasi hutan alami adalah sekitar 45% volume, sehingga dari total volume air yang disimpan pada musim hujan (n) sekitar 50% nya akan dilepas secara gravitasi sebagai aliran air bawah permukaan tanah ke daerah di bawahnya. Jumlah air yang dilepas dari kubah gambut pada musim kemarau harus sama atau melebihi dari jumlah air yang diperlukan untuk memenuhi defisit air pada musim kemarau di bagian bawahnya. Sehingga dengan demikian persamaannya menjadi seperti persamaan /1/. Flux aliran airtanah lewat bawah permukaan dapat dihitung dengan menggunakan rumus Darcy seperti pada persamaan /2/.
( X 1 + X 2 ) × Defisit air
pada MK ≤ (E1 − E 2 ) × FB × L × n × 0,50
Flux Aliran Air bumi = q (m / hari ) =
(E1 − E 2 ) 0,5 × L
Page 8 of 12
× Permeabilitas
/1/
/2/
L
X1
X2
E1
E2 E le v a s i m u k a a ir d i k a na l T a na h G a m b u t
T eba l
T an a h G aGm b buut t am
S ungai
T an a h M in era l
Gambar 3. Skhematisasi profil kubah gambut sebagai daerah resapan air di antara dua buah sungai Keterangan: L : Lebar kubah gambut yang dilindungi; X1 dan X2 : lebar lahan gambut pada kaki kubah gambut yang dibudi-dayakan untuk HTI; E1: Elevasi puncak kubah gambut; E2: Elevasi muka air di kanal tertinggi pada lahan HTI; n: total porositas (%); FB: Faktor Bentuk (0,6).
Penurunan tanah gambut (subsidence) di lokasi HTI diduga dengan persamaan dari Segeberg (1960):
S = k × D × T 0,707 1 k = 0,05 + Ld
/3/ /4/
dimana S : dugaan subsidence (m), k: koefisien, Ld: Volume bahan kering (dalam %), D: elevasi muka air saluran drainase di bawah permukaan tanah (m), T: tebal awal tanah gambut (m).
Dengan menggunakan rumus diatas yang diaplikasikan di areal HTI PT RAPP Riau, di daerah Palalawan dengan menggunakan parameter sebagai berikut: T = 5 m, D = 1 m dan Ld = 10 (untuk kematangan tanah Fibrik-Hemik), maka dugaan S = 0,5 m. Apabila diperhitungkan kemungkinan terjadinya kebakaran, maka total penurunan tanah (subsidence) sekitar 1 meter akan terjadi di areal HTI, atau elevasi lahan menjadi sekitar + 14,0 m. Dengan demikian elevasi muka air di kanal paling ujung adalah sekitar + 13,0 m, sedangkan elevasi lahan gambut di areal HSA dan Zone Penyangga tetap sekitar + 16,0 m (tidak terjadi subsidence). Dengan menggunakan persamaan /1/, maka E1 = 16, E2 = 13, L = 2.500 m, Defisit air pada MK = 188 mm (0,188 m); n = 0,90. Dapat dihitung rasio L : (X1+X2) = 0,188 : 0,81 = 0,232 ; maka besarnya X1+X2 = (1:0,232) x 2.500 m = 10,78 km, sedangkan Lebar lahan HTI yang direncanakan adalah sekitar 21,5 km. Dengan demikian lebar batas zone penyangga dan HSA belum memenuhi syarat sebagai daerah resapan air untuk bagian bawahnya, yakni HTI yang akan dibuka.
Page 9 of 12
Lebar L minimum dapat dihitung sebagai berikut : •
Jumlah lebar kawasan Lindung (L) dengan lebar HTI (X1+X2) adalah 2,5 km + 21,5 km = 24 km • Rasio L : (X1+X2) = 0.232 : 1, maka L = 0,232/1,232 x 24 km = 4,5 km; (X1+X2) = 1/1,232 x 25 km = 19,5 km • Lebar kawasan konservasi L = 4,5 km terdiri dari 1,5 km HAS dan 3,0 km zone penyangga.
Dengan demikian zone penyangga harus dirancang minimum selebar 3,0 km, Pengelolaan air (water management) di lahan gambut merupakan kunci keberhasilan keberlanjutan usaha HTI di lahan gambut. Prinsip utama pengelolaan air di lahan gambut adalah: “elevasi muka air di saluran pembuang harus dipertahankan setinggi mungkin,
tapi masih mampu memberikan kedalaman airtanah optimum untuk pertumbuhan tanaman”. Artinya jika tanaman cukup memerlukan kedalaman air tanah sekitar 30 cm,
maka elevasi muka air di saluran tidak perlu diturunkan sedemikian rupa sehingga kedalaman airtanah di lahan melebihi 30 cm.
Kedalaman airtanah minimum yang masih memungkinkan pertumbuhan tanaman yang baik disebut sebagi kedalaman airtanah optimum. Kedalaman airtanah yang lebih besar dari optimum ini mungkin berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman dan kematangan tanah tetapi sangat berpengaruh negatif terhadap keberlanjutan tanah gambut karena dapat meningkatkan laju penurunan lahan (subsidence) dan rawan terhadap kebakaran pada musim kemarau. Sebagai sarana transportasi dalam kaitannya dengan usaha mempertahankan air di kanal setinggi mungkin, maka di beberapa ruas tertentu dibangun suatu bangunan “ship lock” dan bangunan pelimpah (Foto1 dan 2). Ship lock berfungsi untuk melewatkan kapal/tongkang dan bargas pengangkut kayu dimana pada lokasi tersebut terdapat perbedaan elevasi muka air di kanal sekitar 1 meter. Secara umum kriteria pengelolaan air yang baik pada HTI di lahan gambut dapat digariskan sebagai berikut: 1. Kedalaman air tanah untuk tanaman Accacia dimulai pada waktu tanam pada kedalaman sekitar 20 cm, kemudian setelah berumur 1 tahun diturunkan menjadi 30 cm, untuk selanjutnya diturunkan setiap 10 cm untuk setiap tahun pertambahan umur tanaman. Akhirnya pada umur 6 sampai 8 tahun kedalaman air tanah dipertahankan sekitar 80 cm di bawah permukaan tanah. Dengan kondisi ini diharapkan proses pematangan tanah gambut akan berjalan dengan baik, dan penurunan permukaan tanah (subsidence) akan dapat dikendalikan sekitar 30 cm setelah tanaman berumur 8 tahun (daur pertama). Pada daur kedua kedalaman air tanah dapat dikembalikan lagi pada kondisi awal sekitar 20 cm di bawah permukaan tanah, selanjutnya diperlakukan seperti pada daur pertama. Dengan cara ini penurunan permukaan tanah pada daur ke dua akan berkurang daripada daur ke satu sekitar 15 cm. Dengan demikian penetapan lahan dengan kelompok umur tanaman yang sama (blok kebun) harus sesuai dengan zone pengelolaan air, elevasi lahan dan level drainage (elevasi muka air di kanal) yang dirancang.
Page 10 of 12
2. Untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan maka setiap tahun menjelang musim kemarau pada awal Juni atau akhir Mei, kedalaman air tanah diusahakan setinggi mungkin sekitar 0 - 10 cm di bawah permukaan tanah. Sehingga pada musim kemarau kedalaman air tanah akan turun sekitar 50 cm menjadi sekitar 50 - 60 cm di bawah permukaan tanah, masih cukup mampu menghambat meluasnya kebakaran hutan6. Elevasi muka air tanah di atas daerah perakaran tanaman selama 1 sampai 2 bulan nampaknya tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman Accacia. Kondisi pada musim kemarau panjang seperti pada tahun 1997 (periode ulang 10 tahun), karena jumlah kumulatif defisit air sebesar – 385 mm, maka penurunan airtanah yang terjadi sekitar satu meter. Pada kondisi ini pasok tambahan dari daerah resapan di atasnya menjadi sangat penting 5. Teknologi Pemantauan Tinggi Muka Air yang Efektif Perhitungan neraca air menjadi kunci dalam pengelolaan dan pamanfaatan lahan basah. Untuk monitoring kondisi tata air, maka diperlukan perlatan dan aplikasi teknologi yang mampu memonitor air secara kontinyu. Untuk itu diperlukan peralatan yang canggih yang mampu merekam curah hujan, tinggi muka air dan volume air dalam saluran secara akurat setiap saat. Untuk menjawab tantangan tersebut dewasa ini telah tersedia peralatnyang dibutuhkan untuk kegiatan pemantaun tersebut diantaranya: 1. 2. 3. 4.
Pemantau curah hujan secara loger Pemantau tinggi muka air secara loger Pemantau kecepatan secara kontinyu Pemantauan kualitas air
Untuk menjawab permasalah tersebut dewasa ini telah tersedia paket teknologi dari GLOBAL WATER-USA dan OTT-German dengan peralatan yang mampu merekam semua parameter tersebut dengan murah dan mudah.
Gambar 4. Peralatan yang dapat digunakan untuk monitoring tinggi muka air, curah hujan dan kualitas air dengan sitem loger 6
Kumulatif defisit 188 mm = 0,188 m dibagi dengan 0.4 kapasitas lapang = 0,47 m Page 11 of 12
6.
Kesimpulan dan Saran
6.1
Kesimpulan A). Kawasan bergambut yang berfungsi sebagai daerah resapan air bagi daerah di bawahnya adalah daerah pada bagian puncak kubah gambut (peat dome), yang dari segi topografi merupakan daerah atas dan perlu dilindungi supaya fungsi hidrologisnya dapat dipertahankan. Sehingga pembagian antara kawan lindung dan budidaya harus disesuiakan dengan kondisi tanah gambut, pola drainase dan jenis komoditi yang akan diterapkan B) Pembagianzonasi horizontal antar dua sungai, dengan memperhatikan kedalama gambut, kedalaman muka air tanah dan keaneka ragaman biodiversitas merupakan faktor kunci dalam pegembangan gambut yang berwawasan lingkungan, sehingga panataan kawasan disesuaikan dengan daya dukung lahan dan mampu memelihara kelestarian lingkungan C) Mempertahankan dan mengatur ketinggian air pada berbagai umur tanaman HTI akan mengurangi tingkat penurunan tanah yang drastis, serta tetap menjaga pertumbuhan yang optimum sehingga pengelolaan air di lahan gambut merupakan kunci keberhasilan keberlanjutan usaha HTI di lahan gambut. Prinsip utama pengelolaan air di lahan gambut adalah: “elevasi muka air di saluran
pembuang harus dipertahankan setinggi mungkin, tapi masih mampu memberikan kedalaman airtanah optimum untuk pertumbuhan tanaman”.
D)
Pemantauan tinggi muka air, dan pengaturan pola tanam dan pemantauan neraca air secara kontinyu merupakan salah satu solusi dalam mengelola lahan gambut secara optimal.
6.2 Saran Untuk lebih memberikan hasil yang nyata maka gagasan dan pola pengembangan lahan gambut ini diujicoba di lapangan serta dilakukan pemantauan neraca air secara kontinyu sehingga gagasan ini mampu diaplikasikan dalam rangka pengelolaan lahan gambut di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Heun, J.C., 1993. Water Management in Indoensian Low-lands: Policy Quetions and Technical Issues. International Symposium on Lowland Development, Jakarta September 1993. Dedi Kusnadi Kalsim, 1996. Kearifan Teknologi Tradisional Dalam Manajemen Air di Daerah Rawa Pasang-Surut Pulau Kijang, Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau. Seminar Tahunan Perkembangan Penelitian Teknik Pertanian. Kerjasama JICA-IPB, CREATA-IPB. Bogor, 18 Juni 1996. IPB. AMDAL Regional Pengembangan Lahan Gambut 1 Juta Hektar di Kalteng, Nopember 1996. Soil Research Institute, 1976. Peat and Podzolic Soil and their potential for agriculture in Indonesia. Procceedings ATA 106 Midterm Seminar, Tugu Oktober 13-14, 1976
Page 12 of 12
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Fire Management and Strategies in Peatlands Brett Shields1 and Dicky Simorangkir2 1 Metis Ascociate, Australia 2 Tropen Bos, Kalimantan Timur
Abstract Fire has a significant impact on the long-term conservation and sustainability of peat lands across South East Asia and the globe. Increasingly we are faced with peatland fire circumstances that are large, not well understood and the pressure or solutions presented by external actors are costly, inappropriate for the community, the environment or the government agency responsible for fire. Information and management understanding of peat fire varies between countries and regions. Most often we measure the losses of peatland after the fire has taken it away, we estimate the economic cost resulting from lost assets and the impacts of smoke haze on national productivity and business operations. Recently, we are beginning to appreciate the impact of fire in peatland upon livelihoods, sustainability, health and welfare of communities. However we do not have adequate shared understanding of the management of peatlands to reduce or remove the impact of fire. The tasks for peatland management, working to better manage fire, are diverse and answers cannot be found in technical fire fighting development alone, nor in community based fire management or in the development of a fire management organisation. Peatland fire management requires a balanced effort in all three of these aspects. Peat land fire management will benefit from improved understanding, the preparation and dissemination of assessments that cut across these three aspects of management and replace the often too simplistic view that fire management is suppression. Existing peatland fire management systems and operations across South East Asia are not coping with heightened cyclical fire events propelled by El Nino years and perhaps climate change. At the same time locations where successful peatland fire management may be occurring are not known or adequately documented. The first step to remedy this is to prepare a common methodology for assessing peatland fire management that is not locality specific. Secondly, to evaluate the methodology in multiple locations for validity and usefulness. Thirdly, to fully ‘ground’ and facilitate this work it needs to be participatory at local, provincial, national and regional scales. The methodology proposed is to use best practice analytical methods including a fire event analysis an organisational analysis and community based fire management analysis. The fire event analysis will characterise the fire type and its impacts on the environment, community and economy. The organisational analysis uses the fire cycle to identify organisational management strategies that are balanced between prevention, preparedness, response and recovery. The community based fire management analysis will identify the potential for community participation.
119
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia INTRODUCTION Peatlands are estimated to cover about 3% of the globes terrestrial surface (Parish, et al) and are a store of tropical biodiversity housing many hundreds of plant and animal species, some of which are rare and endangered (Parish 2002, CARE 2003). Peatlands are intimately linked with the global carbon cycle, sequestering up to 500kg C/ha/year (Dietmont et al 1997), which if released through landuse change or fire can contribute enormous emissions of CO2 and haze to the atmosphere (Dietmont et al 1997, Page et al 2002, Parish, 2002). Commercial peatland exploitation is occurring today in Northern Europe to generate electricity. Scottish Highland families traditionally used up to 20 tonnes of peat per year for cooking (Meharg & Killham, 2003) and peatlands have also been exploited for agricultural crops in Germany in the 1700’s to produce Buckwheat (Dietmont et al, 2002). Peatlands occupied by local communities can offer livelihood sustainability, food and clean drinking water (CARE, 2003). The management of peatlands in these locations cannot be separated from the management and sustainability of those communities linked to the peatlands. Significantly, fire is not new to peatlands and is not in all cases an unnatural occurrence. Fire is a natural occurrence in some peatlands and can change the rate of litter mineralisation and add structural diversity and biodiversity to peat (Brown, 1990). Some plant species are adapted and even dependant upon fire for regeneration such as the North American Black Spruce (Picea mariana) and Pond Pine (Pinus serotina) (Kangus, 1990). Haze is also not a new to issue to peatlands or South East Asia. Haze resulted from the buckwheat fire cultivation in Europe and accounts of extensive haze are recorded in Central Kalimantan in 1846 and again in 1902 and 1914 (Dietmont et al, 2002). The cycle of fire and haze has returned to peatlands in the past two decades raising new issues and requiring concerted attention. The most immediate response to peat fire is to fight the fire. This is the first point of engagement, most commonly supported by external actors and subject to external pressure, but strongly limited in effectiveness, is expensive, is difficult to implement and only addresses the symptoms of peatland fire (Tacconi et al, 2003). A focus on suppression efforts is not sustainable. A strengthened focus on peatland fire management at National, Provincial and local scales that accounts for more than just fire suppression needs to be supported by a more comprehensive approach to peatland fire management. FIRE MANAGEMENT AND PEAT – WHAT DO WE KNOW? A rapid review has been conducted to look for available peatland fire information. The rapid appraisal took the form of web searches, contacting fire experts as well as soliciting views from NGO’s, national and international organisations. Regional and National guidance notes Fire Management guidelines have been prepared and disseminated at local, provincial, national and international scales for boreal and temperate forests and tropical forests. The same level of detail and recurrence of management guidelines were not found for peatlands. South East Asian information on peatland fire management has recently been collated and documented in a workshop held in March 2002 on Prevention and Control of Fire in Peatlands (REF?). The reports and conclusions have contributed to the overall understanding of peatland fire management, however a large proportion of the materials are dedicated to fire losses and properties of peatlands and their interaction with climate change, the hydrological and meteorological cycles. While this information and data is useful, it does not go far enough into the management of peatland fires to develop organisational, community or environmental management guidelines for peatland fire. A search of literature in Europe, Canada and Australia found little or no information on the direct management of peatland fire, though considerable detail is available on the commercial properties and uses of peat throughout Europe and Canada where mature industries utilising peat are located. This is not to say that fire management strategies are not documented at localised scales in some parts of these regions but by and large these are not widely disseminated or known. This literature
120
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia search has not been exhaustive. In the search conducted there is little information and no clear guidelines for the management of peatland fire available for the peatland manger to pick up, evaluate for their local application, adapt and apply. Community involvement in Fire Several recent projects and conferences have developed aspects of community based fire management. These include Project Fire Fight South East Asia, based in Indonesia; the Integrated Forest Fire Management Project in Kalimantan Indonesia; the Community Based Fire Workshop held at the Regional Community Forest training Centre, Bangkok, Thailand; Community in Flames, An International Conference on Community involvement in Fire Management held in Kalimantan in Indonesia, 2002. Earlier this year an expert’s workshop was held in Thailand to further define the critical elements and rapid appraisal tools for Community Based Fire Management. The modes of community input to fire management were considered along with a more detailed assessment tool to appraise community involvement in fire management (Ganz et al, 2003). Presently the assessment tools are for rapid appraisal but further development is hoped to evolve into genuine participatory tools involving community participation in the assessment process (Ganz et al, 2003). Community based fire management is relevant and applicable to activities in peatland fire management as many peat resources are surrounded by communities dependant upon the peat for livelihood, food and water. A strong foundation of Community Based Fire Management has been developed in the tropical regions and specifically in South East Asia. Community Based Fire Management is recommended for inclusion to enable community participation in the preparation and development of peatland fire management guidelines. Technical management of peat fire The literature search and expert solicitation revealed that there was not a lot of documented techniques for managing peatland fire. Thailand is reported to have specific suppression techniques that it has trialed successfully, however this was not available in the literature. Malaysia is reported to have developed a ground spike and uses the spike and a pump to push water into the peat bed. Details of this technique were not specifically found. More widely known but not also well documented is the use of digging trenches and canals to pump water into and surround a growing peat fire. The water filled trench acts as a barrier to the movement of the fire outside of this. The creation of trenches as fire breaks in extreme fire weather circumstances can fail when the surface fire continues across the trench and ignites the peat in the other side thereby continuing its advance (CARE, 2003). The catch cry “fire prevention is better than cure” was expressed at the recent peatland fire workshop in Kuala Lumpur in relation to peatland fire management (Parish et al 2002), and is a notion supported by the principles of Community Based Fire Management. The prevention side of fire management is often overlooked by external actors that become involved in fire management when haze reaches transboundary proportions.
121
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Coinciding with this is an inability for governments to adequately follow up and create change in their practices and efforts. External agencies have created over 40 projects and $US 30 million has been spent in Indonesia over the past 20 years, creating a great deal of knowledge and information on tropical fire management (Tacconi et al, 2003), however peatland fires continue to occur. While specific available techniques to directly manage peat fire are lacking in the literature we surveyed can capitalise on existing knowledge through a clear documentation and testing process to develop peatland fire management guidelines and test their application. SUMMARY The literature search, expert contacts and organisational solicitation reveal few sources of peatland fire management information. The information sources found in the searches offered a range of statistics and post fire losses, climate change indications, some prevention activities, few direct suppression options and limited recovery details. It is noted that the tropical region has largely been the region where the thinking on community based fire management has developed recently. Community based Fire Management is likely to offer substantive benefits and management options if appraisal techniques are used in the development of peatland fire management guidelines. As these guidelines develop there is the potential to further develop the appraisal techniques to become substantive participatory methodologies. Preparing peatland fire management guidelines A systematic approach to analysing fire management in peatlands is proposed. If successful the analysis can enable the preparation of a peatland fire management guideline. A flow chart indicates the steps and inclusions that should be considered in the analysis stages and the development of a peatland fire management guideline. Approaches A set of guiding approaches is proposed for preparation to establish strategic directions and stakeholder appreciation of peatland fire management and a common basis for all stakeholders to begin from. Note: guiding approaches are not intended to restrict or channel peatland management options. The development of guiding philosophies can be accommodated in a workshop environment and disseminated to stakeholders and participants for consideration. Problem Analysis The conduct of a problem analysis in fire management is a specific requirement to determine the type of fire events (areas, numbers, recurrence, intensity) as well as the fire impacts (economic, community, environmental). The fire event analysis identifies the appropriate management techniques to deal with each different fire type, i.e. a fire that is occurring on open peatland will offer a different fire type from a fire on peatland in heavy forest. The same methodology is used in temperate forests to determine the appropriate fire management strategies, i.e. a grass fire is managed differently to a shrub or forest fire. The impact analysis will attempt to outline if the fire impacts are positive or negative and how significant these impacts are. The problem analysis is cross cutting through organisational, community and environmental aspects and can reveal previously known information that has not been well considered in management guidelines.
122
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Diagram 1:
Flow chart representing a systematic approach to the preparation and development of peatland Fire Management guidelines
Fire Management Approaches Identify a series of model approaches applicable to organisation and governance, social acceptance and community participation, long term environmental sustainability and international cooperation in peatland fire management. Part of this work has already begun as a result of the outcomes of the “Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, Kuala Lumpur, March 2002”
Fire Problem Analysis
Impact Analysis - Analyse human and other values impacted by fire, including; livelihood sustainability, social, gender, cultural, economic, political and environmental impact
Developing a peatland
fire management guideline
Prevention Preparedness Response Recovery
Community Based Fire Management appraisal tools
Field trail four locations in four countries
Document and Disseminate Document the outcomes, create feedback to improve outcomes and disseminate using known networks and resources
123
Feedback and monitoring
Event Analysis - Fire type and characteristics, fire behaviour, recurrence and history
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Peatland Fire Management Guideline Organisational, community and environmental management problems noted in the problem analysis are accounted for in the preparation stages of the guidelines. The guideline preparation will utilise two analysis techniques that both involve semi-structured interviews to solicit options, solutions and details that can be put toward improved peatland fire management The first analysis technique incorporates the fire cycle (Prevention, Preparedness, Response and Recovery) and has been used successfully in several locations at National and local scales across South East Asia to assist in preparation of management guidelines. The second analysis technique is relatively new and is a Community Based Fire Management appraisal. The rapid appraisal tools shown here are designed to improve our understanding of how to benefit from improved community involvement in fire management and what constitutes community based fire management. A more complete format for the fire cycle analysis is provided in Appendix 1. The analysis tool available for Community Based Fire Management is provided in Appendix 2. Field Trail The analysis methodology should be tested in peatland locations across four countries. The field trails will utilise the techniques offered, along with an evaluation of their appropriateness in improving peatland fire management. A capacity building exercise could be incorporated into this by developing a “professional management” program for peatland or fire managers using the analytical techniques if appropriate and resourced. The professional management program would involve skills and knowledge training in fire behaviour, fire management, community participation, organisational design and planning fire management guidelines. The program could be conducted in four separate countries offering four separate professional development opportunities. Document and Disseminate The outcomes of this effort should be clearly documented and disseminated to all peatland managers and fire managers. Conclusion A rapid appraisal of available literature, expert and organisational solicitations indicates that there is limited information or documentation on peatland fire management. The use of a systematic approach to the appraisal and preparation of peatland management guidelines can assist in improving the management of fire in peatlands. A combination of several of fire management’s best practice techniques are offered as a more complete analytical methodology to prepare peatland fire management guidelines. A field trail is recommended to test and evaluate the results of this proposal followed by the documentation and dissemination of the results. A capacity building program training managers in fire management can be incorporated to the analysis. The outcome of this exercise is intended to be a first draft peatland fire management guideline that is applicable to the region and has been tested and validated in four locations. The guideline can then act as a resource for all peatland managers in the region to act upon and prepare their own comprehensive plans of management.
124
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia References Brown S. 1990. Structural and dynamics of basin forested wetlands in North America. in Dietmont W.H., Hillegers P.J.M., Joosten H., Kramer K., Ritzema H.P., Rieley J. and Wosten H. (2002). Fire and Peat Forests, what are the solutions. Proceedings of Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, Kuala Lumpur, March 2002. Burning Issues Vol. 7 (2003). Burning peatlands equal smoke and haze. Project Firefight South East Asia, www.pffsea.com Dietmont W.H., Hillegers P.J.M., Joosten H., Kramer K., Ritzema H.P., Rieley J. and Wosten H. (2002). Fire and Peat Forests, what are the solutions. Proceedings of Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, Kuala Lumpur, March 2002. Dietmont, W.H., G.J. Nabuurs, J.O. Rieley and H.D. Rijksen (1997). Climate Change and management of tropical peatlands as carbon reservoir. in Tropical Peatlands. J.O. Rieley & S.E. Page (eds.): 363-368. Samara Publ. Lim.Cardigan. Ganz D., Fisher R.J. and Moore P.F. (2003). Further defining Community Based Fire Management: Critical elements and rapid appraisal tools. Proceedings, 3rd International Wildland Fire Conference, Sydney, 2003. Kangus P.C. (1990). Long term development of forested wetlands. In Dietmont W.H., Hillegers P.J.M., Joosten H., Kramer K., Ritzema H.P., Rieley J. and Wosten H. (2002). Fire and Peat Forests, what are the solutions. Proceedings of Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, Kuala Lumpur, March 2002. CARE in Vietnam (2003). Fire Management Strategies for U Minh Thuong National Park, Kien Giang Province, Vietnam. Meharg A.A. and Killham K (2003) A pre-industrial source of dioxins and furans. Nature Vol 421, pp 909-910. Page S.E. Siegert F., Reiley J.O., Boehm H.D. Jaya A. (2002). The amount of Carbon Released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature Vol 420, November 2002, pp 61-65 Parish F., Padmanabhan E., Lee C.L. and Thang H.C. (eds), (2002). Prevention and Control of Fire in Peatlands. Proceedings of Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 19-21 March 2002, Kuala Lumpur. Global Environment Centre & Forestry Department Peninsular Malaysia, Cetaktema, Kuala Lumpur. Parish F (2002). Overview on Peat, Biodiversity, Climate Change and Fire. In Parish F., Padmanabhan E., Lee C.L. and Thang H.C. (eds), (2002). Prevention and Control of Fire in Peatlands. Proceedings of Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 19-21 March 2002, Kuala Lumpur. Global Environment Centre & Forestry Department Peninsular Malaysia, Cetaktema, Kuala Lumpur. Succow, M and H. Joosten (2001) Landschaftokolgischen Moorkunde. 2001. E. Schwezerbert’sche Verlagscbuchhandlung Syuttgart pp662. In Dietmont W.H., Hillegers P.J.M., Joosten H., Kramer K., Ritzema H.P., Rieley J. and Wosten H. (2002). Fire and Peat Forests, what are the solutions. Proceedings of Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, Kuala Lumpur, March 2002. Tacconi L., Moore P.F. and Kaimowitz D. (2003) Fires in Tropical Forests – Throwing Good money After Bad? Proceedings 3rd International Wildland Fire Conference, Sydney, 2003.
125
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Appendix 1. A fire management analytical framework (source Metis Associates) Tool Box
ANALYSIS OF THE FIRE PROBLEM
♦
Maps & Spatial databases (vegetation, topography, tenure, assets, roads, etc)
♦
Fire behaviour & prediction tools
♦
Fire histories (written, oral)
♦
Demographic information
Impact Analysis
♦
Cultural & Social Context of fire
♦
Ecological response to fire (fire histories, fire effects information, fire regimes, conceptual models)
- Analyse human and other values impacted by fire, including; livelihood sustainability, social, cultural, economic, ecological, and environmental impact
Event Analysis Refinement
- Fire type and characteristics, fire behaviour, recurrence and history
PREVENTION ♦
Fire use laws/regulations, enforcement programs
♦
Planning controls
♦
Education programs
Ignition Reduction Strategies - Regulate fire use, educate fire users, technology improvements, development planning controls Impact Mitigation Strategies
Fire behaviour guides, ignition and control resources, planning and reporting tools.
♦
Firebreak construction guides
♦
Building construction codes
-
Fuel reduction (e.g. by burning, grazing & other means)
-
Reduce asset vulnerability (e.g. through building construction standards)
-
Establish/maintain containment features (e.g. roads, firebreaks, fuel breaks )
Improvement
♦
Fire Use Strategies ♦
Ecological fire training
-
Ecosystem maintenance
♦
Fire use education
-
Fire regime restoration
PREPAREDNESS Climate and prediction
♦
Fire Danger Rating
♦
FDR public notification means.
♦
Detection & suppression resource needs assessment
♦
Fire detection, suppression communications resources
♦
weather
monitoring
Fire training systems and tools
&
&
Preparation Strategies -
Early Warning/Predictive systems
-
Community warning mechanisms
-
Detection and response infrastructure
-
Communications systems
-
Mobilisation & co-ordination plans
-
Response triggers and levels
-
Competent fire control staff
126
Monitoring
♦
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
♦
Response mobilisation plans
Fire Fighting
♦
Operational responsibilities and procedures.
-
Detection and Reporting
-
First Response
♦
Strategic information access tools
-
Containment and Control
♦
Decision support tools
-
Mop Up and Patrol
♦
Operational management systems
-
Command and Control
RESTORATION
♦
Damage assessment tools
♦
Recovery assistance infrastructure
♦
Disaster Plans
Recovery strategies plans
and
-
Mobilise community welfare programs
-
Economic loss reduction (e.g. salvage logging, replanting, infrastructure repair)
-
Environmental repair (recovery programs)
127
& Review
RESPONSE
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Appendix 2.
Community Based Fire Management Assessment Tools. Taken from Ganz et al, 2003. Internally initiated with local decision-making
CBFiM
Fire management model Not CBFiM
Externally sponsored system with local decision-making or some degree of local decision making
Externally sponsored system with community involvement but no community decision making (example: labor force)
Collaboration / partnership with local decisionmaking
Collaboration / partnership with serious local input
External system with no attempt at community input
The diagram identifying the modes of community input to fire management. Taken from Ganz et al, 2003.
Table 1: Community-Based Fire Management Analytical Table
Types of Fire Being Assessed within a community perspective Point of Origin
Impact (+/-)
Insider
Inside
Outsider
Ability to Change
Intent to Change
Shared Objectives
Outside
A. Column Definition for using Community-Based Fire Management Analytical Table Point of Origin. the starting point of the fire as perceived by the insider and outsider. Since there may be more than one kind of fire with impact on the community, this column is used to type in information on the kind of fire (wanted/unwanted, agricultural, prescribed, etc.) and the stakeholder that may have caused it (insider/outsider, non-timber forest product collector, hunter, etc.). Since there may be two perspectives on who caused the fire, two sub-columns are used to distinguish between perspectives of the community and the outsiders that are interviewed. If the community has several types of fire, a horizontal dashed line may be used to differentiate the information for each particular kind of fire.
128
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Impact. This column is to identify the positive or negative impact that this fire may have on the community (insider) and the other stakeholder (outsider). Since fires have many types of impacts, there is an additional table (Table 2: Fire Impacts) to guide the researcher to identify appropriate questions to determine the impact of one particular kind of fire. If there is more than one kind of fire being assessed in this table, then the researcher needs to fill in one “Fire Impacts Table” for each kind of fire impacting the community. For simplicity, this impact column can be filled in with an overall positive or negative sign with reference to Table 2. If the Fire Impacts Table is not used by the researcher, then they should provide detail as to what type of fire effect is being evaluated in this column. Ability to Change. This column is the most important column of the table. It is also the hardest to assess. This refers to the community’s capacity to organize itself. In the case of fire, this means the capacity to respond and to manage. However, it may be that the community has capacity but not in terms of fire. In this case it must be inferred through other information (i.e. there can be evidence that the community is organized and acting on other matters and could act on a fire if needed). This is a judgment that the researcher must make based on the interview or alternative methods at deciphering this capacity. This means that the village-based interviews may have few direct questions on fire but include coverage of community organizational development. The researcher will need to adapt to the situation to ask the appropriate questions to decipher this “ability to change”. This column should be filled with information on how the community is organized (forest management committees, villages rules, communication systems, etc.). It may also be used to demonstrate the community’s understanding of fire issues. Since this is perhaps the most critical column in this assessment table, some additional guiding questions are given in Appendix One. Intent to Change. This is the relative need or intent to change based on the information collected in the field. This column can be answered with an indication of the strength of intent since it is inherently linked to the ability to change. Shared Objectives. As communities are heterogeneous, shared objectives are to be formulated through some sort of multi-stakeholder fora for negotiations within the community. Conflict management may be a useful tool to reach consensus on CBFiM objectives. This column is also meant to collect information on insider and outsider perspectives so that shared interests are investigated. This is particularly useful information if this rapid assessment is used to begin a dialogue between stakeholders for collaborative management agreements. Shared objectives should be completely written out in this column. B. Principles/Assumptions used when designing Community-Based Fire Management Analytical Table •
The context for generating this CBFiM Analytical Table (Table 1) is one of collective action and the potential to manage fire at a local level. It should not be used for evaluating management systems at larger scales.
•
Governmental administrative structures (national, provincial, district and local) may not be logically connected to local or community defined geographic areas.
•
Action being community-initiated or initiated externally sponsored is not as important as whether the community is involved in the decision-making process. The Table provides an opportunity to demonstrate when and where communities can act – and can therefore reduce the blame that often surrounds communities and their fire.
•
Communities are balancing ecological impacts with livelihood interests. Positive and negative impacts from the community perspective have ecological considerations inherently embedded within their livelihood interests.
•
Fire management systems can be classified by the locus of decision-making power. The assumption made is that decision-making will likely lead to collective action.
129
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Table 2:
Fire Impacts Table
Fire Type: Impacts
Inside Positive
Outside Negative
Positive
Negative
Ecological Environmental Social Safety Health Economics (subsistence and livelihood) Political Principles/Assumptions used when designing Fire Impacts Table •
Each use of Table 2 is intended to assess the impacts of one particular kind of fire from insider and outsider perspectives.
•
It may be easy to miss appropriate stakeholders from the outset and this appraisal tool is meant to be flexible in structure and add stakeholder groups as they present themselves.
•
This table should not represent only one perspective (not only a rural perspective).
•
Interest groups within Table 1 (Insider and outsider) are implicit to the community scale. Similarly, the definition of community determines impacts “inside” or “outside”.
•
In gathering data for Table 2 some stakeholders will not be affected (in a positive or negative way) by the particular kind of fire and are thus absent in the columns
130
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia GLOBAL WARMING EFFECT OF CONVERTING PEAT SWAMP FOREST TO AGRICULTURAL FIELDS IN KALIMANTAN Abdul Hadi, Kazuyuki Inubushi, Yuichiro Furukawa and Haruo Tsuruta 1)
Faculty of Agriculture, Lambung Mangkurat University, Jl. A. Yani Km 36, Banjarbaru 70714, Indonesia
2) Graduate School of Science and Technology, Chiba University, 648 Matsudo, Chiba 271-8510, Japan 3)
National Institute of Agro-environmental Sciences, Kan-nondai, Tsukuba 305-8604, Japan
Abstract Global warming phenomenon ought to be affected by converting peat swamp forest to agricultural fields since peat contains huge amounts of soil carbon and nitrogen. The emissions of greenhouse gases were examined in forest and agricultural fields of coastal and inland peat of Kalimantan in order to elucidate the global warming effect of converting forest to agricultural fields. Three land-use (i.e., secondary forest, paddy field and mixture-crop field) were selected in each of coastal peat and inland peat, respectively. The emission of carbon dioxide (CO2), methane (CH4) and nitrous oxide (N2O) were measured in monthly basis and calculated for one year period. Climatic and edapict data of the studied area were also collected to understand the mechanism involved in greenhouse gas dynamics in tropical peatlands. Converting forest to agricultural fields affected the CO2, CH4 and N2O emission and soil properties. In inland peat, for example, annual emission of N2O was the highest (nearly 1.4 g N m-2y-1) from forest (site A-1), while there was no significant difference in annual N2O emission from paddy fields (site A-2) and mixture-crop fields (site A-3). Paddy fields (site A-2) emitted annually more CH4 compared to other land-uses. There was no significant different in annual CH4 emission among the two other land-uses. The annual CO2 emission was the highest (about 3.5 kg C m-2y-1) in forest (site A-1), followed by mixture-crop fields (site A-3) (about 2.0 kg C m-2y-1). Paddy fields (A-2) had the lowest CO2 emission (about 1.4 kg C m-2y-1). Number of bacteria and fungi in agricultural fields was comparable to or 10 times lower than that of forest. Similarly, the number of NH4+ oxidizers and denitrifiers in agricultural fields were 10 to 100 times lower than that in forest. However, considering the global warming potential, converting forest to agricultural fields had no effect or some cases even decreased the greenhouse gas emissions from the soil. This probably due to the decrease in number of bacteria and fungi releasing CO2. Climatic factors has also affected the emissions of greenhouse gases, especially methane emissions were positively correlated with precipitation both from coastal and inland peat.
131
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia INTRODUCTION Peat soil contains approximately 15 to 25 % of the terrestrial soil carbon and nitrogen worldwide (Bajtes, 1996). The organic carbon and nitrogen in peat soil undergo natural decomposition, causing the loss of mass (commonly stated as ground subsidence) and release by-product such as nitrous oxide (N2O), methane (CH4) and carbon dioxide (CO2). The carbon and nitrogen losses in the forms of N2O, CH4 and CO2 during the decomposition of peat soil have recently attracted considerable attention because of their contributions to global warming. The losses are also important because soil carbon and nitrogen must be stored for sustainable crop production. Twenty nine million ha of peatlands occur in the tropics, of which about 7 million ha occurred in Kalimantan, Indonesia (Radjagukguk, 1997). Recently, large areas of peatland have been converted into agricultural and aquacultural lands in Kalimanan because of the intensification of agriculture due to growing population in this island (MacKinnon et al., 1996). For example, South Kalimantan has planned to extend 100 000 paddy field in fiscal year 2004, which mostly on peatland (Disperta Kalsel, 2001). Global warming phenomenon ought to be affected by converting peat swamp forest to agricultural fields. There are few studies regarding the effect of converting peat swamp forest to agricultural fields on global warming phenomenon (Hadi et al, 2000; 2001; Inubushi et al., 1998). Moreover, the relations of tropical climate factor and the greenhouse emissions are poorly examined. Therefore, this paper estimates the global warming effects of converting natural peat forest to agricultural fields and elucidates the tropical climatic effects on N2O, CH4 and CO2 emissions in Kalimantan.
MATERIAL AND METHODS Site Description This study was carried out in Amuntai District and Gambut District, representing inland peat and coastal peat, respectively (Map 1). The sampling sites in Amuntai were located around 150 km from the Java sea with elevation about 3 m above MSL. This area has a mean annual rainfall of more than 2,000 mm with highest precipitation during November to January. The peatland reclamations in these sites have been going on since 1992. This land reclamation had changed the area from forest to agricultural field, except a limited area which remains as forest (MacKinnon et al., 1996). Peat soils in this area were derived mostly from a mixture of wood and grass underlined by clay (Sabiham 1988; 1989). The depth of peat ranged from 1 m to more than 2 m. The mineral material underlying the three sites was clayey.
132
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Map 1. Sampling sites, Amuntai: A; Gambut, G.
Sites in Gumbut are located 14 km from the Java Ocean and 17 km from the Barito river. The irrigation water comes from a small river. The peatland in this area is converted to agricultural land except a small area which remained undisturbed. The underlying material is sand and the peat parent material is grass (Sabiham 1988; 1989). Three land-uses (peat swamp forest, A-1; paddy field, A-2 and mixture-crop field, A-3) were chosen for Amuntai. The forest was covered by Macaranga sp. tree at high stand (up to 20 m) and fern Acrostichum aureum (100-230 cm height) on the floor of the forest with Sphagnum. In this area, paddy cultivation started generally in September and ended in February with productivity of 4.0 ton ha-1. After paddy, some fields were cultivated to soybean with productivity of 2.5 ton ha-1. No fertilizer has been applied to these sites. Similarly, three land-uses (peat swamp forest, G-1; abandoned paddy field, G-2 and abandoned mixturecrop field, G-3) were chosen for Gambut. The main vegetations in abandoned fields were Melaleucakajuputi (up to 5 m), Acrostichum aureum (up to 2 m) and Malastoma sp. (up to 2 m). While the forest was mainly dominated by heath forest species. Climatic and Soil Factors Precipitation and air temperature of studied area were obtained from the nearest meteorological stations and expressed as a cumulative per day and average during the day, respectively. Number of total bacteria and total fungi were determined with plate counting methods described by Black et al (1965). Number of ammonium oxidizers and denitrifiers were determined by methods described by Rowe at al (1977). Gas measurements To measure the seasonal emissions of N2O, CH4, and CO2, three chamber were permanently inserted in each sites. The material and dimension of gas chambers were similar to that used by Hadi et al (2000; 2001). Gas samples were collected in monthly basis for one year period. Gas samples were then transferred into a vacuum vial (22 mL) and analyzed for N2O, CH4 and CO2.
133
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia The concentrations of N2O, CH4 and CO2 were quantified with gas chromatographs (Shimadzu, Japan) equipped with electron capture, flame ionization and thermal conductivity detectors for N2O, CH4 and CO2, respectively. The working conditions of gas chromatograph for gas measurement were as described by Linkens and Jackson (1989). The annual gas emissions were calculated by integrating the monthly gas fluxes with the duration of their measurement. To elucidate the global warming effect of converting forest to agricultural fields, the annual N2O, CH4 and CO2 emissions from forest and agricultural fields were expressed as CO2-C equivalent with formulation described by Bouwman (1989). Differences between land-uses were determined by analysis of variance (ANOVA) and least significant differences (LSD) test. Simple linear correlation between measured parameters was also carried out. All statistical considerations were based on P<0.05 significant level.
RESULTS AND DISCUSSION Seasonal Gas Emissions and Their Controlling Factor The emissions of N2O, CH4 and CO2 from the three land-uses in inland peat exhibited seasonal changes (Figure 1). Forest (site A-1) continuously emitted N2O all year long with peaks in February and October. The N2O emissions from paddy field (site A-2) remained low or sometime were negative. The N2O emission from mixture-crop field (site A-3) was the highest October and November. The maximum CH4 emission from mixture-crop field (site A-3) and paddy field (site A-2) occurred in December, while from forest (site A-1) occurred in April. The maximum CO2 emission from forest (site A-1), paddy field (site A-2) and mixture-crop field (site A-3) occurred in February, October and November, respectively.
40
-20 17.11.2000
30.06.2001 sampling month
03.12.2001
1000 1 1 0 5 .7 SE:1 1 4 .9
12
A-1
CO 2 (mgCm -2 h -1 )
336.6 SE: 158.2
100
18
144.4 SE: 39.1
583.8 SE: 10.3
CH4 Flux (mg C m -2 h -1 )
N 2 O Flux (ug Nm -2 h -1 )
160
A-2 A-3 6
0 17.11.2000
30.06.2001 sampling month
03.12.2001
500
0 17.11.2000
30.06.2001
03.12.2001
sampling month
Figure 1. Seasonal variation in N2O, CH4 and CO2 emissions from Amuntai, South Kalimantan
In coastal peat, N2O emissions were negative during February-June and January (Figure 2). The CH4 emission was higher in February-April than the rest of the year. While CO2 was rather high in March-May and December for the three land-uses.
134
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Figure 2. Seasonal variation in N2O, CH4 and CO2 emissions from Gambut, South Kalimantan
According to the correlation between precipitation and gas emission, CH4 emission was positively correlated with precipitation (Figure 3). This indicated that climatic factors has affected the emissions of greenhouse gases, especially methane emissions. Soil moisture is known as one of the most important factors determining biological reaction in soil (Paul and Clark, 1996). Precipitation (mm month -1) 600
y = 24.36 x + 168.38 r = 0.416 n=34
500 400 300 200 100 0 -2
0
2
4
6
8
10
12
CH4 flux (mg CM2h-1)
Figure 3. Correlation between precipitation and CH4 emission from Gambut (Left) and Amuntai (Right), South Kalimantan
GLOBAL WARMING EFFECT Annual emission of N2O was the highest (nearly 1.4 g N m-2y-1) from site (A-1) (secondary forest), while there was no significant difference in annual N2O emission from site (A-2) (paddy field) and site (A-3) (mixture-crop field) (Table 1). Site (A-2) (paddy field) emitted annually more CH4 compared to other land-
135
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia uses. There was no significant different in annual CH4 emission among the two other sites. The annual CO2 emission was the highest (about 3.5 kg C m-2y-1) in site (A-1) (secondary forest), followed by site (A-3) (mixture-crop field) (about 2.0 kg C m-2y-1). Site (A-2) (paddy field) had the lowest CO2 emission (about 1.4 kg C m-2y-1). Table 1. Effect of converting peat swamp forest to agricultural field on global warming phenomenon and annual N2O, CH4 and CO2 emissions from tropical peatlands in Kalimantan Location Amuntai
Gambut
1)
Land use Forest Paddy field Mixture-crop field Forest Abandoned paddy field Abandoned mixture-crop field
Site Code A-1 A-2 A-3 G-1 G-2 G-3
N2O mgNm-2y-1 1.284 0.020 0.144 -0.037 -0.028 -0.110
CH4
CO2
CO2-C equ1)
mgCm-2y-1 4.2 18.0 3.0 1.2 1.9 0.6
3126 1241 1857 1152 1065 1121
3551 1660 1962 1170 1101 1107
: CO2 + CH4*23 + N2O*12/14*298 in mg C m-2 y-1
There was no significant different in annual N2O, CH4 and CO2 emission from peat swamp forest (site G1), abandoned paddy field (site G-2) or abandoned mixture-crop field (site G-3) (Table 1). Expressed in CO2-C equivalent, forest (site A-1) emitted more greenhouse gases than paddy field (site A2) or mixture-crop field (site A-3) in inland peat (Table 1). Similarly in coastal peat, forest (site G-1) tended to emit more greenhouse gases than abandoned paddy field (site G-2) or abandoned mixture-crop field (site G-3). These results suggest that converting forest to agricultural fields had no effect or some cases even decreased the greenhouse gas emissions from soil. Care should be taken in extrapolate this conclusion since it did not consider the CO2 uptake by plant. The low gas emissions from agricultural land were probably due to the low number of bacteria and fungi releasing CO2. Number of bacteria and fungi in agricultural fields was comparable to or 10 times lower than that of forest. Similarly, the number of NH4+ oxidizers and denitrifiers in agricultural fields were 10 to 100 times lower than that in forest (data not shown).
REFERENCE Batjes NH. 1996. Total carbon and nitrogen in the soil of the world. European Journal of Soil Sci. 47: 151163. Black, C.A., D.D. Evans, J.J. White, L.E. Ensminger and F.E. Clerk (Eds.). 1965. Method of Soil analysis, part I. American Society of Agronomy, Inc., Publisher. Madison, Wisconsin, USA, pp.1572. Bouwman, A.F. 1989. Soils and the Greenhouse Effect. John Wiley & Sons, New York, p. 25-35. Disperta Kalsel. 2001. Rencana Strategis. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kalimantan Selatan. Banjarbaru. Hadi A, Haridi M, Inubushi K, Purnomo E, Razie F & Tsuruta H. 2001. Effect of land-use change in tropical peat soil on the microbial population and emission of greenhouse gases. Microbes and Environments 16: 79-86. Hadi A, Inubushi K, Purnomo E, Razie F, Yamakawa K & Tsuruta H. 2000. Effect of land-use changes on nitrous oxide (N2O) emission from tropical peatlands. Chemosphere-Global Change Science 2: 347358. 136
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Inubushi K, Hadi A, Okazaki M & Yonebayashi K. 1998. Effect of converting wetland forest to sago palm plantations on methane flux and carbon dynamics in tropical peat soil. Hydrological Processes 12: 2072-2080. Linkens HF & Jackson JF. 1989. Gases in Plant and Microbial Cells. Pp 275-307.Springer-Verlag. Tokyo. MacKinnon K, Hatta G, Halim H & Mangalik A. 1996. The Ecology of Kalimantan. Periplus Editions (HK) Ltd., Singapore p 802. Paul, E.A. and Clark, F.E. 1996. Soil Microbiology and Biochemistry. Academic Press, Inc. San Diego, pp. 273. Radjagukguk B. 1997. Peat soil of Indonesia: Location, classification and problem for sustainability. In Rieley, JO & Page, SE: Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Samara Publishing Ltd. Cardigan. Pp 45-54. Sabiham, S. 1989. Studies on peat in the coastal plains of Sumatra and Borneo: Part III: Micromorphological study of peat in coastal plains of Jambi, South Kalimantan and Brunei. Southeast Asian Studies, 27, 339-351. Sabiham, S. 1988. Studies on peat in the coastal plains of Sumatra and Borneo: Part I: Physiography and Geomorphology of the coastal plains. Southeast Asian Studies, 26, 308-335.
137
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia KONSEP PEMANFAATAN BEJE DAN PARIT SEBAGAI SEKAT BAKAR PARTISIPATIF DI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT Wahyu Catur Adinugroho CCFPI Consultant – Forest Fires Wetlands International – Indonesia Programme
PENDAHULUAN Persepsi dan pendapat masyarakat yang berkembang tentang kebakaran yang terjadi seluruhnya adalah merupakan kebakaran hutan, meskipun terjadi diluar kawasan hutan. Seharusnya kebakaran hutan dan lahan dipandang sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem pengendalian kebakaran. Kebakaran hutan di Indonesia tidak hanya terjadi di lahan kering tetapi juga di lahan basah, seperti di lahan/hutan gambut, terutama pada musim kemarau yang menyebabkan pengeringan lahan basah tersebut. Pembukaan lahan gambut skala besar dengan membuat saluran telah menambah resiko terjadinya kebakaran pada saat musim kemarau. Pembuatan saluran telah menyebabkan gambut mengalami pengeringan yang berlebihan di musim kemarau, sehingga koloid gambut menjadi rusak dan menimbulkan gejala kering tak balik (irreversible drying), sehingga gambut berubah sifat seperti arang dan tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air. Gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5 minggu pengeringan dan ini mengakibatkan gambut mudah terbakar Kebakaran lahan gambut yang pelan-pelan mengerogoti di bawah tanah, memiliki potensi ancaman amat besar bagi iklim global. Pada tahun 1997/98, kebakaran lahan gambut di Indonesia menjadi berita utama dimana-mana. Warga Malaysia, Indonesia dan Singapura ketakutan dan cemas terhadap dampaknya bagi kesehatan, ketika asap kebakaran lahan gambut menutupi kawasan mereka. Akan tetapi beberapa bulan kemudian, ketika musim penghujan tahun 1998 datang, kebakaran lahan gambut seluruhnya dipadamkan oleh hujan. Penanggulangan kebakaran di lahan/hutan gambut sangat sulit dibanding di daerah lainnya, karena gambut kering yang terbakar merupakan bahan bakar potensial, apabila terbakar dapat diidentikkan seperti api di dalam sekam. Upaya untuk memadamkan kebakaran di lahan/hutan gambut banyak mengalami kendala karena gambut yang terbakar seringkali sulit terlihat (hanya terlihat asapnya) dan dapat menjalar dengan cepat dibawah permukaan tanah (Ground fire).
PENTINGNYA PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT Fungsi dan Potensi Hutan dan Lahan Gambut Ekosistem gambut merupakan ekosistem khas, dimana selalu tergenang air setiap tahunnya. Gambut memiliki keutamaan dibandingkan dengan sumberdaya alam lainnya, karena gambut dapat dimanfaatkan sebagai “lahan” maupun sebagai “bahan” (Setiadi, 1999). Gambut memiliki multifungsi, diantaranya : • • • • • •
sebagai cadangan/penyimpan air (aquifer); sebagai penyangga lingkungan/ekologi; sebagai lahan pertanian; sebagai penghasil berbagai produk kayu; Sebagai pendukung kehidupan berbagai jenis flora (tanaman) dan fauna (ikan, burung dsb); Memiliki kemampuan memendam karbon (sequestering) dalam jumlah yang cukup besar, yang berarti dapat membatasi gas rumah kaca yang diemisikan ke atmosfer.
139
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut Kebakaran hutan/lahan gambut secara nyata berpengaruh terhadap terdegradasinya kondisi lingkungan, kesehatan manusia dan hilangnya kesempatan ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. 1.
Terdegradasinya kondisi lingkungan Dampak kebakaran akan menyebabkan :
2.
•
Penurunan kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia, penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak – kemampuan untuk mengembang dan menyusut);
•
Terganggunya proses dekomposisi tanah gambut karena mikroorganisme yang mati akibat kebakaran;
•
Suksesi atau perkembangan populasi dan komposisi vegetasi hutan juga akan terganggu atau berubah sehingga akan menurunkan keanekaragaman hayati;
•
Rusaknya siklus hidrologi (menurunkan kemampuan intersepsi air hujan ke dalam tanah, mengurangi transpirasi vegetasi, menurunkan kelembaban tanah, meningkatkan serapan air tanah bagian atas dan meningkatkan jumlah air yang mengalir di permukaan (surface run off)) sehingga berdampak pada terjadinya sedimentasi; dan perubahan kualitas air akan menyebabkan turunnya populasi dan keragaman ikan di perairan;
•
Gambut menyimpan cadangan karbon, apabila terjadi kebakaran maka akan terjadi emisi gas karbon-dioksida dalam jumlah besar. Sebagai gas rumah kaca, karbon-dioksida berdampak pada pemanasan global.
Kesehatan manusia Kebakaran hutan dan lahan gambut telah menimbulkan asap yang berakibat terjadinya pencemaran udara sehingga akan menimbulkan penyakit pernapasan, asma, bronchitis, pneumonia, kulit dan iritasi mata.
3.
Hilangnya kesempatan ekonomi bagi masyarakat Dampak langsung kebakaran bagi masyarakat yaitu berupa hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya pada hutan (berladang, beternak, berburu/menangkap ikan)serta terganggunya transportasi.
Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut Kebakaran hutan/lahan gambut tergolong dalam kebakaran bawah (ground fire). Pada tipe ini, api menyebar tidak menentu secara perlahan di bawah permukaan, membakar bahan organik dengan pembakaran yang tidak menyala (smoldering) sehingga hanya asap yang berwarna putih saja yang tampak diatas permukaan. Kebakaran bawah ini tidak terjadi dengan sendirinya, biasanya api berasal dari permukaan, kemudian menjalar ke bawah membakar bahan organik melalui pori-pori gambut, log tertimbun yang terbakar dan melalui akar semak belukar yang bagian atasnya terbakar. Dalam perkembangannya, api menjalar secara vertikal dan horizontal berbetuk seperti kantong asap. Oleh karena itu tanah yang memegang akar pohon akan tercabut dan tumbang dengan sendirinya. Gejala tumbangnya pohon yang tajuknya masih hijau merupakan gejala yang umum pada kebakaran gambut. Mengingat tipe kebakaran yang terjadi di dalam tanah dan hanya asapnya saja yang muncul dipermukaan, maka kegiatan pemadaman mengalami banyak kesulitan.
140
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia KERAWANAN TERJADINYA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT Sejarah kebakaran di Indonesia menunjukkan bahwa bencana kebakaran hutan dan lahan tidak hanya terjadi pada lahan kering tetapi juga lahan basah, terutama pada musim kemarau. Tingkat kerawanan terjadinya kebakaran Hutan dan Lahan Gambut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya : Kondisi Iklim Kondisi iklim, terutama tingkat curah hujan, merupakan salah satu pendorong terjadinya kebakaran. Kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut tertinggi terjadi pada musim kemarau, dimana curah hujan sangat rendah dan intensitas panas matahari tinggi. Kondisi ini terjadi pada bulan Juni hingga Oktober dan kadang pula terjadi pada bulan Mei sampai Nopember. Kerawanan kebakaran semakin tinggi akan terjadi jika ditemukan adanya gejala alam El-Nino. Gejala ini merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya kebakaran hebat di tahun 1997/1998, dimana Australia dan Afrika bagian selatan mengalami kekeringan dan meningkatnya suhu di Asia. El Nino adalah fenomena alam yang dicirikan dengan memanasnya temperatur laut secara tidak wajar di daerah Pasifik katulistiwa. El Nino terjadi per 4 atau 5 tahun sekali. Kerawanan terjadinya kebakaran semakin rendah pada kondisi dimana mulai turun hujan. Pada bulan-bulan tertentu terjadi kondisi dimana meskipun musim hujan tetapi terdapat beberapa hari tidak turun hujan. Pada kondisi ini masih memungkinkan terjadinya pengeringan bahan bakar sehingga kemungkinan terjadinya kebakaran masih dapat terjadi. Kerawanan terjadinya kebakaran akan rendah apabila musim hujan telah stabil, dimana hampir setiap hari turun hujan. Pada kondisi ini hutan dan lahan gambut akan tergenang oleh air sehingga bahan bakar mempunyai kadar air tinggi dan sulit terbakar. Kondisi Fisik Kondisi fisik lahan dan hutan yang telah terdegradasi merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya kebakaran. Terdegradasinya hutan dan lahan gambut disebabkan oleh aktivitas illegal logging, konversi lahan dan hutan gambut untuk pemukiman, persawahan dan perkebunan serta pertambangan, pembuatan kanal untuk pengairan, parit yang dibuat oleh masyarakat untuk mengeluarkan kayu dari hutan. Illegal logging telah menyebabkan hutan terbuka dan terakumulasinya limbah hasil logging yang menjadi sumber bahan bakar. Konversi lahan dan hutan gambut menjadi pemukiman, persawahan dan perkebunan mendorong dilakukannya land clearing menggunakan api (lihat box1). Pembuatan saluran dan parit telah menyebabkan gambut mengalami pengeringan yang berlebihan di musim kemarau, sehingga koloid gambut menjadi rusak. Terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying) dan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air.
Ex-PLG
(box 1)
Kebijakan konversi lahan gambut untuk kegiatan pemukiman dan persawahan skala besar pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui Proyek Lahan Gambut sejuta hektar. Proyek Alue Dohong (CCFPI) ini akhirnya dihentikan dan memberikan dampak kerusakan lingkungan yang sangat besar. Kegiatan land clearing menggunakan api menjadi penyebab utama terjadinya kebakaran 1997 dan polusi asap di Kalimantan Tengah. Rieley, et.al. (2002) menunjukkan bahwa areal gambut yang terbakar tahun 1997 mencapai 0,73 juta ha. dan terkonsentrasi di kawasan eks PLG. Pembuatan kanal-kanal untuk pengairan telah mendorong terjadinya pengeringan gambut yang berlebihan di saat musim kemarau. Gambar diatas menunjukkan salah satu site eks PLG di blok A utara yang terbengkalai dan bekas terbakar serta telah terjadi penurunan muka air tanah.
141
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Kondisi Ekonomi, Sosial dan Budaya Areal berawa gambut-tebal identik dengan tanah miskin hara dan tergenang air setiap tahunnya, sehingga memaksa masyarakat untuk mempertahankan hidupnya hanya dengan berburu/menangkap ikan dan menebang kayu (illegal logging). Untuk kondisi saat ini, aktivitas illegal logging sedikit berkurang yang disebabkan oleh telah habisnya pohon-pohon komersial di sekitar lokasi. Untuk mendapatkan pohon komersial mereka harus masuk sangat jauh kedalam hutan dengan akses yang lebih sulit. Selain itu, berkurangnya kegiatan tersebut juga disebabkan oleh semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan dampak illegal logging, sebagai hasil dari kegiatan penyuluhan dan bimbingan yang telah dilakukan LSM serta dari dampak yang telah mereka rasakan langsung, baik berupa menyusutnya produk hutan maupun bencana alam yang menimpa mereka.
MEMINIMALISASI KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN PEMBUATAN SEKAT BAKAR PARTISIPATIF Batasan Suksesnya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan gambut sangat tergantung kepada keberhasilan membawa serta masyarakat lokal dalam emosi, perasaan dan semangat mempertahankan kelestarian hutan, dan hal tersebut memerlukan pendekatan pengelolaan hutan dan lahan yang manusiawi. Sekat bakar partisipatif merupakan sekat bakar dimana proses pembuatannya dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat berdasarkan kondisi ekonomi, sosial dan budaya setempat. Terdapat kaitan erat antara partisipasi masyarakat dengan insentif. Tanpa adanya suatu kejelasan insentif maka partisipasi tersebut akan berubah maknanya menjadi suatu tindakan paksaan. Dengan kata lain menganjurkan masyarakat lokal untuk berpartisipasi tanpa insentif sama dengan menjadikan masyarakat sebagai tumbal. Partisipasi masyarakat bukan lagi merupakan masalah mau tidaknya mereka berpartisipasi, melainkan lebih pada sejauh mana mereka melalui berpartisipasi tersebut akan memperoleh manfaat bagi kehidupan sosial ekonomi mereka. Sekat bakar partisipatif merupakan sekat bakar permanen yang dibuat dengan memanfaatkan bejebeje dan parit/saluran yang ada. Masyarakat akan memperoleh manfaat dari beje-beje dan parit/kanal yang telah disekat dan dapat difungsikan sebagai beje/kolam biasa, dimana menangkap ikan merupakan salah satu mata pencaharian utama mereka. Sekat Bakar Manajemen kebakaran berbasiskan masyarakat akan lebih baik diarahkan untuk kegiatan pencegahan daripada usaha pemadaman kebakaran. Pencegahan meliputi pekerjaan yang bertujuan agar api liar tidak terjadi. Proses pembakaran terjadi karena adanya sumber panas (api) sebagai penyulut bahan bakar yang tersedia dan adanya oksigen seperti terlihat pada bagan segitiga api berikut :
BAHAN
SUMBER
OKSIGEN Gambar 1. Segitiga Api
142
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Sebuah konsep sederhana untuk mencegah terjadinya proses pembakaran adalah menghilangkan salah satu dari komponen segitiga api. Hal yang dapat dilakukan adalah menghilangkan atau mengurangi sumber panas (api) dan menghilangkan atau mengurangi akumulasi bahan bakar. Upaya memanipulasi bahan bakar dapat dilakukan dengan melakukan pengelolaan bahan bakar, salah satunya yaitu dengan memotong atau memblokir bahan bakar. Kegiatan ini bertujuan untuk membagi hamparan bahan bakar yang luas menjadi beberapa bagian dengan menggunakan sekat bakar, sehingga bila terjadi kebakaran, api tidak melanda seluruh hamparan bahan bakar atau tanaman. Sekat bakar didefinisikan sebagai keadaan alami, seperti jurang, sungai, tanah kosong dan sebagainya atau dibuat oleh manusia seperti jalan, waduk dan lain-lain, yang berguna untuk memisahkan bahan bakar dan mengendalikan penyebaran api. Ada beberapa tipe sekat bakar, yaitu sekat bakar alami (jurang, sungai, tanah kosong), sekat bakar buatan (waduk, jalan), sekat bakar vegetasi (vegetasi hidup tahan api). Potensi Yang Dapat Dikembangkan Jadi Sekat Bakar Kondisi khas yang membedakan daerah hutan rawa gambut dengan daerah kering adalah terdapatnya pemanfaatan lahan untuk beje dan parit-parit. Beje
Beje di Sungai Puning
Alue Dohong (CCFPI)
Beje merupakan sebuah kolam yang dibuat oleh masyarakat (umumnya oleh suku Dayak) di pedalaman hutan Kalimantan Tengah yang digunakan untuk menangkap (memerangkap) ikan (lihat box 2). Pada saat musim kemarau, penduduk membuat kolam-kolam di dalam hutan dengan ukuran lebar 2 m., kedalaman 1,5 m. dan panjang bervariasi hingga mencapai ratusan meter jika dilakukan secara bersama-sama (tidak milik perorangan). Pada saat musim hujan akan terjadi banjir dan bejebeje tersebut akan tergenang oleh air luapan dari sungai di sekitarnya serta terisi oleh ikan-ikan alam. Sementara pada saat musim kemarau air akan surut tetapi beje masih tergenang oleh air dan berisi ikan. Pada saat musim kemarau tersebut masyarakat mulai memanen dan membersihkan kembali beje-bejenya dari lumpur ataupun membuat kembali beje-beje baru yang lain.
(box 2)
Gambar disamping merupakan contoh kolam beje yang banyak dijumpai di wilayah Sungai Puning, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Beje-beje tersebut terletak di hutan dengan jarak ± 500 m. dari pemukiman. Ukuran beje bervariasi, lebar 1,5-2 m., dalam 1-1,5 m., panjang 10-20 m. Beje merupakan sumber persediaan ikan alam disaat musim kemarau. Jenis-jenis ikan yang terperangkap di dalam beje saat musim hujan, ketika air sungai di sekitarnya meluap, diantaranya adalah Gabus (Chana sp.), Lele (Clarias sp.), Betok (Anabas testudineus), Sepat (Trichogaster sp.), dan Tambakan (Helostoma sp.). Kondisi beje ini masih tergenang di musim kemarau dan tetap dilakukan perawatan oleh pemiliknya.
143
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Parit Parit dibuat oleh masyarakat untuk menghubungkan Parit dibuat oleh masyarakat untuk menghubungkan hutan dengan sungai dengan hutan guna mengeluarkan kayu hasil sungai terdekat. tebangan (illegal logging) di saat musim hujan, dimana Kegiatan kegiatan penebangan dilakukan pada saat musim kemarau. Parit dibuat dengan cara menggali tanah pembuatan parit membentuk saluran dengan menggunakan alat yang ini marak sederhana. Panjang parit-parit tersebut berkisar antara 3 dilakukan disaat sampai 5 km., lebar antara 60 cm. sampai 200 cm., dan aktivitas illegal Alue Dohong (CCFPI) kedalaman antara 35 sampai 95 cm. Gambar disamping logging masih adalah salah satu parit milik masyarakat di dusun Muara tinggi, dimana Puning, Barito Selatan, Kalimantan Tengah. hutan masih mempunyai Sebagian besar kondisi parit sekarang Tabel 1. Parit dan Sungai potensi kayu tidak digunakan karena semakin berkurangnya Ds. Batilap kegiatan penebangan yang salah satu komersial yang penyebabnya adalah karena telah habisnya tinggi. Parit di Nama Sungai Jml Parit pohon komersial. Disaat musim kemarau, parit lahan gambut Kelamper 1 ini hanya terisi sedikit air atau bahkan kering pada umumnya Tana 1 dan kondisi lahan gambut di sekitar parit adalah bermuara pada Damar Puti 1 lahan bekas terbakar. Kebakaran yang terjadi sebuah atau Pamantungan 1 diindikasikan sebagai akibat dari illegal logging Maruyan 1 beberapa sungai. dan pengeringan gambut yang berlebihan Bateken 7 Hal ini disaat musim kemarau, akibat dibuatnya parit dimaksudkan (terjadi aliran ke sungai sehingga muka air tanah gambut turun). Keberadaan parit selalu bermuara ke sungai, jumlah parit agar produkyang bermuara ke sungai di Desa Batilap dapat dilihat pada Tabel 1. produk hasil kegiatan dari dalam hutan/ lahan selanjutnya dapat diangkut melalui sungai menuju desa-desa terdekat (lihat box 3 & 4). Selain parit yang dibangun oleh masyarakat juga terdapat kanal yang dibuat secara resmi oleh pemerintah sebagai saluran irigasi (kawasan eks-PLG) (lihat box 5), Parit Masyarakat di Muara Puning
(box 3)
Pembangunan parit ini ternyata Parit di S. Merang (box 4) memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, disaat pembangunan Pembuatan parit secara illegal juga dilakukan oleh masyarakat terdapat material galian yang disengaja Sungai Merang – Kepahiyang, Sumatera Selatan dengan atau tidak disengaja larut ke sungai. Hal tujuan untuk mengeluarkan kayu hasil tebangan disaat musim ini menyebabkan berubahnya morfologi hujan. Sebanyak 113 parit telah dibangun dan 83 diantaranya terdapat didaerah gambut. Parit dibuat dengan menggunakan dan kualitas air sungai. Kondisi pasca chainsaw, berukuran lebar 1,7 m., kedalaman 1,5 m. dan pembuatan parit telah menyebabkan panjang 1,5 - 5 km. Kondisi parit saat ini sudah tidak terganggunya sistem hidrologi kawasan digunakan lagi dan diindikasikan telah menyebabkan hutan dan lahan gambut, karena paritterjadinya erosi dan pengeringan yang berlebihan disaat parit yang dibangun menyebabkan air musim kemarau. Bahkan di Sungai Bakung pernah terjadi yang ada di lahan gambut secara cepat kebakaran yang diindikasikan sebagai dampak pembuatan keluar dan daya tampung air tanah parit. menjadi kecil dan muka air di lahan gambut mengalami penurunan yang sangat drastis. Kondisi ini menyebabkan hutan dan lahan gambut pada musim kemarau menjadi kering dan sangat rentan terhadap bahaya kebakaran.
144
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia MODEL SEKAT BAKAR PARTISIPATIF DI LAHAN/HUTAN GAMBUT Ide dasar pemanfaatan beje dan parit sebagai sekat bakar adalah keberadaan beje dan parit didalam lahan/hutan gambut. Gambar disamping meruDengan kondisi fisiknya yang berupa kolam pakan kanal saluran pridan selalu tergenang disaat musim mer di kawasan eks-PLG, kemarau, beje dapat menjadi pemisah panjangnya puluhan km., bahan bakar (gambut, serasah) dan lebar ± 20 m. Di kawasan menghambat penyebaran api. Khusus untuk ini terdapat puluhan salurparit yang telah diindikasikan menyebabkan an yang berukuran besar. Kondisi sekarang sudah terjadinya penurunan muka air tanah, perlu tidak digunakan lagi (terdilakukan perubahan fungsi parit, dimana bengkalai). Jika kanal ini yang dulunya berfungsi sebagai saluran dilakukan penyekatan, dayang mengalir ke sungai, kemudian pat dibayangkan berapa difungsikan sebagai kolam/beje dengan banyak beje/kolam serta melakukan penyekatan (lihat box 6). sekat bakar yang dihasilYus Rusila Noor (CCFPI) Kegiatan ini ditujukan juga untuk kan ? memperbaiki kondisi gambut, dengan melakukan penyekatan maka diharapkan tidak ada aliran ke sungai sehingga dapat menaikkan muka air tanah kembali terutama disaat musim kemarau, tanah gambut tetap lembab, mempercepat proses suksesi alami dan mendukung kegiatan rehabilitasi, sehingga kondisi rawan kebakaranpun akan menurun. Kanal eks-PLG
Kondisi beje yang tergenang air disaat musim kemarau ini dapat difungsikan sebagai sekat bakar permanen di lahan gambut dan sebagai tandon/stok air untuk pelaksanaan pemadaman jika kebakaran terjadi. Sekat bakar ini berfungsi untuk memisahkan, menghentikan dan mengendalikan penyebaran api. Selain beje, parit-parit yang telah disekat dapat juga difungsikan sebagai sekat bakar permanen di lahan gambut, yaitu dengan melakukan penyekatan sehingga disaat musim kemarau parit tetap tergenang oleh air. Parit yang telah disekat juga dapat berfungsi sebagai beje atau kolam biasa (budidaya). Kegiatan ini merupakan salah satu upaya mengikutsertakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan berdasarkan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Dengan sistem ini masyarakat memperoleh manfaat dari beje/parit yang mereka sekat dan tingkat kerawanan kebakaran dapat diminimalkan.
(box 5)
Penyekatan Parit di Sungai Puning
(box 6)
Gambar disamping merupakan penyekatan salah satu parit di Sungai Puning, Kalimantan Tengah yang tidak dimanfaatkan dan dibiarkan terbengkalai. Pada saat musim kemarau, parit tersebut hanya sedikit tergenang air bahkan kering sama sekali. Penyekatan dilakukan dengan menggunakan material yang mudah diperoleh di sekitar parit (log kayu, papan dan gambut yang telah dipadatkan sebagai pengisi). Penyekatan dilakukan di beberapa titik disesuaikan dengan topografi lahan. Bertujuan untuk menaikkan muka air tanah, sehingga tanah gambut Alue Dohong (CCFPI) tetap lembab disaat musim Kemarau, untuk mendukung suksesi dan rehabilitasi di sekitar parit yang sebagian besar berupa lahan bekas terbakar.
Beberapa pertimbangan praktis dalam memanfaatkan beje dan parit yang telah disekat sebagai sekat bakar adalah sebagai berikut : 1.
Beje yang telah ada diperbaiki kondisinya, yaitu dengan membuang lumpur di dalamnya sehingga volume air di dalam beje atau parit yang disekat dapat dipertahankan dan kondisi beje/parit sebagai habitat ikan dapat dipertahankan;
2.
Memotong akar yang menembus beje dan membersihkan areal disekitar beje (± 50 cm.) dari vegetasi;
145
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia 3.
Kondisi parit harus diperbaiki, yaitu dengan membersihkan parit dari limbah kayu dan sampah organik lainnya, jika telah dangkal perlu dilakukan penggalian kembali;
4.
Penempatan sekat bakar mengelilingi lahan, sehingga memungkinkan pembuatan beje-beje baru dan agar sekat bakar dapat berfungsi optimal. Ukuran beje, lebar 2m., dalam maksimum 2m., panjang 10 - 20 m. atau lebih. Ukuran beje ini dapat disesuaikan dengan kondisi lapangan;
5.
Jika kondisi lahan berupa lahan terdegradasi dengan penutupan vegetasi rendah bahkan terbuka maka perlu dilakukan percepatan suksesi dengan melakukan rehabilitasi di sekitar lokasi beje;
6.
Dalam pengelolaan beje dan parit yang disekat sebagai sekat bakar dapat dibentuk kelompok pemilik beje. Kelompok ini dapat berfungsi sebagai fire brigade di tingkat masyarakat. Anggota kelompok bertangung jawab melakukan patroli dan pengawasan di areal sekitar beje mereka, termasuk hutan yang berbatasan. Temuan adanya sumber api atau pihak yang tidak bertangung jawab yang mengancam terjadinya kebakaran segera dilaporkan oleh ketua kelompok kepada POSKO pengendalian kebakaran
Gambar 2. Sketsa pemanfaatan beje dan parit yang telah disekat sebagai sekat bakar
KESIMPULAN 1.
Hutan dan Lahan Gambut merupakan ekosistem yang rawan terjadinya kebakaran terutama di musim kemarau;
2.
Kebakaran di hutan dan lahan gambut dipengaruhi oleh kondisi fisik gambut yang terdegradasi akibat pembuatan parit/saluran, kondisi iklim dan penyulut api yang dipengaruhi oleh keadaan ekonomi dan sosial budaya masyarakat di daerah penyangga;
3.
Peningkatan muka air tanah dapat dilakukan dengan melakukan penyekatan pada parit. Parit yang disekat ini juga dapat difungsikan sebagai beje atau kolam biasa;
4.
Beje dan parit yang telah disekat dapat difungsikan sebagai sekat bakar di hutan dan lahan gambut yang dapat menurunkan kerawanan kebakaran disaat musim kemarau serta masyarakat dapat memperoleh manfaat melalui pemanfaatan parit yang telah disekat sebagai beje ataupun kolam biasa.
146
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia DAFTAR PUSTAKA Barber,C.V., J. Schweithelm.2000.Trial By Fire : Forest Fires and Forestry Policy in Indonesia’s Era of Crisis and Reform. World Resources Institute. Washington,D.C. USA Clar, C.R.,L.R. Chatten. 1954. Principles of Forest Fire Management. Sacramento, California Direktorat Perlindungan Hutan. 1999. Upaya Pencegahan dan Perlindungan Kebakaran Lahan, Semak belukar dan Hutan dalam Rangka Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Pelestarian Alam. Departemen Kehutanan R.I. Jakarta. Setiadi, B. 1999. Prospek Gambut dan Permasalahannya. Jakarta Tacconi, L., 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. CIFOR, vi + 28.
147
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PANDUAN SILVIKULTUR UNTUK REHABILITASI LAHAN GAMBUT BEKAS KEBAKARAN DAN TERLANTAR (Silviculture Manual for Rehabilitation Ex-burnt and Abandoned Peatlands)
Iwan Tri Cahyo Wibisono CCFPI Consultant Wetlands International –Indonesia Programme
Abstract In 1997, the worst forest fire was occurred and burnt Indonesia’s land and forest, particularly in Sumatra and Kalimantan. Mostly, after degraded by fire, peatlands were abandoned. However, abandoned peatlands not only caused by fire, but it could also be caused by the other reasons, such as ex-timber company (HPH), ex-timber estate HTI), land cleared area, etc. Degraded peatlands have specific characteristics, such as low acidity, flooding and low accessibility. These are the main constraints which will be faced in the term of rehabilitation (restoration) efforts. Only certain and limited species inhabit peatlands and available to be planted. Some research and planting trial were carried out in order to determine rehabilitation techniques, but so far, the result is still not promising. Ex-burnt and degraded peatlands require different treatment and silviculture techniques for rehabilitation purposes. These are depend on the degradation level and specific condition in the fields, such as vegetation type, succession level, flooding characteristic, etc. Meanwhile, community is the important and potential stake holder to be involved in rehabilitation activities. Unfortunately, people surrounding degraded area have not much experience in planting trees. Almost all of them are farmer, fisherman, trader, and logger. This condition identified as social and technical constraints. One of the alternative to solve this problem is by providing a manual on silviculture techniques, which will guide them on the step by step rehabilitation activitie, including general rehabilitation techniques, detail techniques in seedling production, land preparation, planting, and tending. This manual is designed to be very simple, so that the readers can easily use it to guide them on rehabilitation activities.
149
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PENDAHULUAN Kerusakan lahan gambut di Indonesia selalu meningkat dari tahun ketahun. Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab utama kerusakan tersebut selain penyebab lainnya, seperti penebangan kayu (illegal logging, over logging), perambahan hutan, dan konversi lahan. Dampak akibat kebakaran, dalam bentuk asap, juga dirasakan oleh beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Brunai, dan Singapura. Selain kerusakan lahan akibat kebakaran, dijumpai juga lahan/hutan gambut yang terbengkalai, tidak terurus, dan dalam kondisi yang memprihatinkan. Biasanya, kondisi tersebut dialami oleh kawasan eks-HPH atau Eks-HTI yang telah ditinggalkan oleh pemegang hak karena berbagai alasan. Sejak era reformasi, tingkat tekanan pada areal ini semakin berat, baik tekanan secara fisik dalam bentuk perusakan (misalnya penebangan liar) maupun tekanan sosial, dalam bentuk penguasaan lahan secara sepihak. Lahan gambut bekas terbakar dan yang terbengkalai merupakan suatu permasalahan bersama dan perlu mendapatkan perhatian. Bentuk utama dari perhatian tersebut bisa direalisasikan dalam berbagai aktifitas yang mengacu pada suatu perbaikan (recovery) lahan, misalnya penananam rehabilitasi (reforestation atau replanting) dan penanaman pengayaan (enrichment planting). Penanaman pengayaan dilakukan pada hutan dengan tingkat kerusakan ringan dan sedang, yaitu areal yang masih berhutan tetapi telah terjadi penurunan kualitas berupa hilangnya jenis-jenis asli/penting. Sementara itu, penanaman rehabilitasi (replanting atau reforestation) dilakukan pada tempat yang tidak mampu beregenerasi secara alami, yaitu di areal yang terdegredasi berat, dimana telah kehilangan sebagian atau bahkan seluruh vegetasi.
ARTI PENTING PANDUAN SILVIKULTUR Masyarakat di sekitar hutan adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang potensial dalam rangka rehabilitasi hutan bekas terbakar dan terbengkalai. Sementara itu, kemampuan masyarakat dalam membudidayakan jenis-jenis tanaman hutan dan tanaman berkayu lainnya dirasakan masih sangat rendah. Panduan silvikultur ini diharapkan merupakan suatu jawaban dan alternatif dalam merespon permasalahan diatas. Dengan manual ini, maka masyarakat akan mampu mengenal dan mengetahui arti penting pohon-pohon di hutan rawa gambut. Lebih dari itu, masyarakat juga diharapkan mampu mengenal sifat dan ciri pohon, teknik pembibitan, penananam, hingga kegiatan pemeliharaan. Dengan demikian, masyarakat akan mampu melaksanakan fungsi rehabilitasi tersebut.
ISI PANDUAN SILVIKULTUR Panduan silvikultur ini berisi dua hal pokok, yaitu : 1.
Deskripsi Umum dan Prosedur Dasar Kegiatan Rehabilitasi
2.
Teknik silvikultur tiap jenis secara spesifik • • • • • • • •
Ramin (Gonystylus bancanus) Meranti (Shorea spp.) Jelutung (Dyera spp.) Pulai (Alstonia spp.) Rengas (Mellanorhoea walichii) Belangeran (Shorea belangeran) Durian hutan (Durio carinatus) Rotan (Calamus spp.)
150
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia • • • • •
Sagu (Metroxylon spp.) Sungkai (Peronema canescens) Kemiri (Aleurites meluccana) Karet (Havea brasiliensis) Pinang (Areca catechu).
Jenis-jenis diatas ini diklasifikasikan menjadi 4 kategori, yaitu (1) Jenis setempat – produk bukan kayu (indegenous - non timber product), (2) Jenis setempat – produk kayu (indigenous -, timber product), (3) Jenis eksotik gambut – produk bukan kayu (exotic peat - non timber product), dan (4) Jenis eksotik gambut – produk kayu (exotic peat - non timber product). Deskripsi Umum dan Prosedur Dasar Kegiatan Rehabilitasi Penyemaian Penyemaian adalah penanaman biji/benih kedalam bedeng kecambahan (bedeng tabur) atau langsung dalam polybag dengan tujuan mendapatkan kecambah. Cara penyemaian berbeda-beda sesuai dengan beberapa karakteristik benih sebagai berikut : a. b. c. d.
Jenis Tanaman; Ukuran Benih (besar, sedang, kecil, halus); Daya viabilitas (Ortodhox, Recalcitrant); Sifat kulit biji (kulit keras, tebal, tipis).
Secara garis besar, urutan prosedur penyemaian adalah sebagai berikut : a. b.
Pembuatan lubang tanah dan jalur semai; Penyemaian.
Penyapihan Penyapihan adalah kegiatan pemindahan kecambah (dari bedeng tabur) kedalam media pertumbuhan di dalam kantung plastik (polybag). Secara garis besar, urutan prosedur penyapihan adalah sebagai berikut : a. b. c. d.
Penyiraman bedeng tabur hingga jenuh; Pencabutan kecambah secara hati-hati; Pemindahan kecambah kedalam Polybag; Penyiraman kembali sapihan secukupnya.
Pemeliharaan Bibit Sapihan Kegiatan dalam pemeliharaan, pada dasarnya adalah pemberian beberapa perlakuan yang dibutuhkan oleh bibit hingga bibit tersebut siap tanam di lapangan. Secara garis besar, pemeliharaan ini meliputi kegiatan penyiraman dan pemberian naungan. Pada akhir pemeliharaan (sebelum ditanam di lokasi penanaman), sebaiknya dilakukan proses pengerasan dengan cara pengurangan intensitas penyiraman dan naungan secara perlahan-lahan (gradual). Pengerasan ini dimaksudkan agar bibit siap untuk menghadapi kondisi lapangan, dimana kondisi relatif terbuka (intensitas cahaya tinggi), dan tidak ada penyiraman intensif kecuali oleh air hujan. Berikut ini adalah kegiatan-kegiatan dalam pemeliharaan bibit sapihan: a. b. c.
Penyiraman; Pemberian naungan; Pengerasan.
Persiapan Lokasi Penanaman Persiapan lokasi penanaman disesuaikan dengan jenis tanaman. Jenis toleran dan semi-toleran membutuhkan naungan, sehingga pemilihan lokasi sebaiknya mengacu pada areal berhutan atau
151
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia areal lain yang bervegetasi. Untuk keperluan penanaman pengayaan (enrichment planting) ini, sebaiknya diterapkan sistem jalur. Sebaliknya, kegiatan rehabilitasi yang menggunakan jenis tanaman intoleran (tidak tahan naungan) dapat dipilih lokasi yang relatif terbuka dengan jarak tanam yang agak rapat.. Secara umum, kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. b. c.
Pembuatan jalur tanam; Penentuan titik tanam; Pembersihan piringan.
Bila lokasi berpotensi tergenang berat, maka perlu dibuat gundukan buatan (artificial mound system) dengan diameter 1-2 meter, sesuai dengan tinggi gundukan. Tinggi gundukan tersebut sangat tergantung pada kisaran muka air genangan. Pembuatan Lubang Tanam Pembuatan lubang tanam dilakukan pada titik yang telah ditentukan(ditandai oleh ajir). Secara garis besar, urutan prosedur pembuatan lubang tanam adalah sebagai berikut : a. b. c.
Pembersihan sekitar titik tanam; Pembuatan lubang tanam; Pemasangan ajir di tengah-tengah lubang tanam.
Pengangkutan Bibit Pengangkutan adalah pemindahan bibit dari persemaian ke lokasi penanaman. Alat transportasi yang digunakan dapat berupa mobil bak, truk, lori, atau perahu. Secara garis besar, urutan prosedur pengangkutan bibit adalah sebagai berikut : a. b. c. d.
Penyiraman bibit; Pemuatan bibit; Perjalanan; Pembongkaran bibit.
Penanaman Penanaman adalah kegiatan pemindahan bibit dari suasana terkontrol (persemaian) ke lubang tanam pada lokas penanaman (suasana tidak terkontrol), sesuai dengan prosedur yang ada. Secara garis besar, urutan kegiatan penanaman adalah sebagai berikut : a. b. c. d. e. f.
Penyiraman bibit yang akan ditanam; Pembuangan polybag; Penempatan bibit kedalam lubang tanam; Penutupan lubang; Pemasangan tanda ajir; Penyiraman.
Pemeliharaan Pemeliharaan dimaksudkan untuk memberikan ruang dan lingkungan yang memadai untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan bibit. Salah satu prinsip pemeliharaan ini adalah menghilangkan kompetisi yang berlebihan dengan vegetasi lain (gulma) dan menghilangkan material lain yang tidak diperlukan. Secara garis besar, kegiatan pemeliharaan terdiri dari beberapa kegiatan di bawah ini : a. b. c.
Pembuatan lubang tanah dan jalur semai; Penyulaman; Pembersihan piringan;
152
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia d. e. f. g. h.
Pendangiran; Penyiangan jalur tanam; Pemupukan; Pemangkasan cabang; Penjarangan.
Teknik Silvikultur Jenis Keberhasilan rehabilitasi dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk pemilihan jenis (tanaman) yang tepat. Setiap jenis memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga memerlukan perlakuan yang berbeda-beda pula, baik dalam pembuatan bibit maupun kegiatan lainnya. Karenanya, teknik silvikultur setiap jenis harus diketahui. Dengan adanya teknik silvikultur setiap jenis tersebut, diharapkan setiap jenis mendapatkan perlakuan yang tepat. Secara umum, teknik silvikultur setiap jenis dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini. Tabel 1. Teknik silvikultur setiap jenis Species
Pembibitan
Ketahanan thd Mound Genangan
Sistem Tnm (Jrk Tanam)
Sistem
Lokasi
Ramin
Biji/CA
Tidak tahan
Ya
Jalur (5 m x 10 m)
Enrichment Planting
Naungan sedang-berat
Meranti
Biji/CA
Tidak Tahan
Ya
Jalur (5 m x 10 m)
Enrichment Planting
Naungan sedang
Jelutung
Biji
Tahan
Tidak
Penanaman intensif (5 m x 5 m)
Intensive Replanting
Open area
Pulai
Biji
Tahan
Tidak
Penanaman intensif (5 m x 5 m)
Intensive Replanting
Open area
Rengas
Biji/CA
Tidak tahan
Ya
Jalur (5 m x 10 m)
Enrichment Planting
Naungan sedang
Belangeran
CA
Tahan
Tidak
Jalur (5 m x 10 m)
Intensive Replanting
Open area
Durian Hutan Biji/CA
Tidak Tahan
Ya
Jalur (5 m x 10 m)
Enrichment Planting
Open area
Rotan
Biji/CA
Tahan
Ya
Disesuaikan dengan kondisi vegetasi
Enrichment Planting
Naungan ringan
Sagu
CA
Tahan
Tidak
Penanaman kaki Sungai Intensif Replanting
Open area
Sungkai
Stek
Tidak Tahan
Ya
Penanaman intensif (5 m x 5 m)
Intensive Replanting
Open area
Kemiri
Biji
Tidak Tahan
Ya
Penananaman intenbsif 5 m x 10 m
Intensive Replanting
Open area
Karet
Biji/CA/Klon
Tidak Tahan
Ya
Penanaman intensif (5 m x 5 m)
Intensive Replanting
Open area
Pinang
Biji
Tidak Tahan
Ya
Penanaman intensif & tnm pagar (1 m x 2 m, 3 m x 3 m)
Intensive Replanting
Open area
153
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia REKOMENDASI 1. Manual silvikultur sebaiknya dilanjutkan dengan beberapa jenis penting lainnya; 2. Penanaman kembali (Replanting) merupakan alternatif yang tepat dalam rangka memperbaiki (merehabilitasi) hutan gambut yang terdegradasi; 3. Pemilihan jenis tanaman merupakan aspek yang penting dalam rangka mencapai keberhasilan rehabilitasi. Pemilihan jenis ini sebaiknya memprioritaskan jenis lokal atau asli setempat (indegenous species). Introduksi tanaman asing (eksotik) sedapat mungkin dihindari; 4. Modifikasi lahan yang tidak ramah lingkungan, seperti pembuatan parit atau kanal dalam kegiatan penanaman harus juga dihindari. Hal ini akan menyebabkan terkurasnya kandungan air pada lahan gambut, sehingga saat musim kemarau akan kering dan sangat rawan (susceptible) terhadap api. Karena hal itulah, maka tanaman karet tidak direkomendasikan ditanam di lahan gambut. Sebagaimana diketahui bahwa jenis ini tidak dapat tumbuh dengan baik pada lahan yang basah atau tergenang; 5. Berdasarkan beberapa aspek dan pertimbangan yang ada, maka jenis Jelutung dan Pulai direkomendasikan untuk kegiatan rehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi dengan kondisi lahan yang relatif terbuka. Sedangkan jenis Meranti, Ramin, Durian, Rotan, Belangeran, dan Rengas tepat sekali digunakan untuk tujuan pengayaan, dengan kondisi lahan yang bervegetasi (memiliki naungan); 6. Sementara itu, untuk jenis Pinang dan Sagu sangat tepat ditanam di sekitar masyarakat sebagai tanaman kehidupan.
154
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia EVALUASI SUMBERDAYA LAHAN UNTUK KELAYAKAN PERTANIAN PADA LOKASI PROYEK PERCONTOHAN CCFPI DI SUMATERA DAN KALIMANTAN Lili Muslihat CCFPI Consultant Wetlands International – Indonesia Programme E-mail:
[email protected]
Abstrak Wetlands International – Indonesia Programme berkerja sama dengan Wildlife Habitat Canada menyelenggarakan suatu program bernama Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia (CCFPI). Program ini berkaitan erat dengan isu perubahan iklim, serta peran penting hutan (terutama hutan rawa gambut) sebagai penyerap karbon (carbon sequester). Kegiatan-kegiatan dalam program ini melibatkan partisipasi masyarakat, LSM, maupun pemerintah dalam rangka pelestarian serta rehabilitasi lahan dan hutan gambut di Kalimantan dan Sumatera. Dalam rangka mendukung penyelenggaraan program diatas, maka salah satu komponen kegiatan yang penting adalah mengidentifikasi cara-cara pengelolaan lahan gambut yang terbaik (Best Management Practices on Peatlands). Untuk itu CCFPI telah melibatkan suatu Tim Penasehat Teknis – TPT (Technical Advisory) yang terdiri dari Ahli Tanah, Ahli Hidrologi dan Ahli Silvikultur guna memberikan masukan teknis bagi pelaksanaan program. Tugas Ahli Tanah adalah memberikan arahan terhadap program yang sesuai, dikaitkan dengan kesesuaian lahan serta memberikan pertimbangan atau rekomendasi dalam pengelolaan lahan. Ahli Hidrologi bertugas mempelajari karakteristik kondisi sumberdaya air dan memberikan arahan pengelolaan air (water management). Ahli Silvikultur bertugas melakukan kajian-kajian terhadap jenis vegetasi, tingkat kerusakan yang pada akhirnya akan memberikan rekomendasi jenis-jenis tanaman beserta teknik silvikultur yang sesuai, serta memberikan arahan tehnik budidaya tanaman pada lahan gambut. Untuk itu, telah dilakukan kegiatan evaluasi sumberdaya lahan di beberapa lokasi percontohan proyek CCFPI di Sumatera dan Kalimantan dengan tujuan untuk memberikan arahan pengelolaan berdasarkan kesesuaian lahan secara biofisik dengan mempertimbangkan potensi lahan dan faktor lingkungan. Hasil evaluasi lahan menunjukkan bahwa beberapa lokasi lahan gambut tidak layak untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian dan perkebunan walaupun dengan tingkat masukan tinggi (high improvenment). Lahan ini sebaiknya direhabilitasi dengan tanaman kehutanan yang asli setempat (pionir) dan daya tumbuh secara cepat (suksesi). Perbaikan lahan yang harus dilakukan adalah pembuatan pintu-pintu air (bendungan) untuk menghindari laju aliran dan permukaan air di lahan dapat dipertahankan.
155
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PENDAHULUAN Dewasa ini lahan gambut di Indonesia sudah banyak mengalami pengurangan, baik luas penyebaranya maupun kualitasnya. Pengurangan tersebut disebabkan oleh konversi penggunaan lahan, penebangan kayu (deforestasi) dan kebakaran hutan. (Mulyanto, 2002). Selanjutnya Subagjo et. al. (2002) menganalisa, luas lahan gambut di Indonesia pada awal sebelum reklamasi tahun 1970an adalah sekitar 16 -18 juta ha., namun kemudian dengan reklamasi pada lahan pasang surut selama Pelita I - III (1969-1984) yang diikuti pembukaan oleh masyarakat/pemukiman spontan pada tahun sesudahnya, luas lahan gambut telah menyusut sekitar 13 - 14 juta ha. Dewasa ini cukup banyak wilayah kubah gambut yang telah lenyap, dan berganti menjadi lahan persawahan dan lahan kering, serta sebagian lagi kembali menjadi semak belukar atau bahkan menjadi bongkor. Pembukaan lahan rawa gambut untuk pengembangan pertanian (terutama untuk tanaman pangan dan perkebunan) semakin intensif. Kondisi ini menyebabkan menyusutnya ketebalan gambut secara drastis. Pada wilayah-wilayah lahan gambut yang diusahakan untuk pertanian tanaman pangan terutama yang disawahkan bahkan lapisan gambutnya telah habis (Wahyonto et al, 2003). Pembukaan lahan rawa gambut tersebut selalu diikuti dengan rusaknya sistem hidrologi dan menimbulkan permasalahan yang berhubungan dengan sifat fisik, kimia dan biologi tanahnya (Notohadiprawiro, 1997). Kerusakan lahan gambut juga disebabkan oleh adanya penebangan kayu secara besar-besaran oleh perusahan kayu, baik yang legal maupun ilegal. Untuk mengeluarkan hasil ektraksi kayu, pada umumnya penebang membuat parit-parit sebagai akses yang paling mudah dan murah. Akan tetapi, pembuatan parit-parit tersebut berdampak terhadap penurunan permukaan tanah gambut (subsidence) dan menyebabkan tanah gambut menjadi kering tak balik (irrivisible), sehingga lahan gambut menjadi mudah terbakar. Oleh karena itu, Rasionalisasi pemanfaatan lahan gambut untuk berbagai kepentingan haruslah memperhatikan prinsip-prinsip konservasi secara menyeluruh untuk menjaga kelestariannya sebagai lahan basah alami yang unik yang berkenaan dengan keanekaragaman hayati, plasma nutfah, ekosistem langka dan sebagai pengendali emisi CO2 yang berpengaruh terhadap pemanasan global dunia. Berkaitan dengan masalah-masalah di atas, maka untuk mengetahui aspek-aspek yang berhubungan dengan pengelolaan lahan gambut, telah dilakukan studi evaluasi lahan melalui identifikasi dan karakterisasi lahan. Hasil dari studi evaluasi lahan memberikan informasi sumberdaya lahan/tanah, terutama sifat fisik - kimia yang berkaitan dengan masalah kesuburan tanah. Makalah ini menjelaskan mengenai potensi dan kendala sumberdaya gambut di lokasi proyek percontohan CCFPI. Dengan mengetahui potensi dan kendalan sumberdaya lahan tersebut, maka dapat digunakan sebagai dasar untuk memberikan rekomendasi terhadap pengelolaan lahan terbaik dalam bentuk Best Management Practices pada setiap lokasi proyek yang dikunjungi. Bentuk rekomendasi tersebut bisa berupa kegiatan budidaya pertanian, perkebunan, rehabilitasi, maupun kegiatan lainnya. BAHAN DAN METODE Idetifikasi dan invetarisasi lahan gambut telah dilakukan dengan mengamati tanah dan keadaan lingkungan yang menghasilkan data dan informasi karakteristik pada setiap lokasi percontohan. Data dan informasi lainnya seperti peta geologi, data iklim dan hasil-hasil penelitian sebelumnya dijadikan sebagai acuan dalam kegiatan ini. Pengamatan tanah dan keadaan lingkungan dilakukan dengan cara pengeboran tanah dengan memperhatikan penyebaran penggunaan lahan, pada setiap lokasi pengeboran diambil contoh tanah untuk dianalisa di laboratorium untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah dan klasifikasinya. Metode yang digukana adalah tersaji dalam Guideline for Soil Description (FAO, 1983) dan Pedoman Pengamatan Tanah di Lapang (LPT, 1969). Klasifikasi tanah dilakukan berdasarkan Key to Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1998).
156
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Metode penilaian kesesuaian lahan mengikuti Atlas Format Procedure (CSR/FAO, 1983) dan Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian dan Kehutanan (Laporan Teknis No.7 LREP Project II, 1994) dengan tujuan penelitian, yaitu untuk memberi arahan penggunaan lahan pada lahan gambut dan sekitar hutan rawa gambut dengan cara yang lebih bijaksana dan ramah lingkungan. Sistem penilaian bersifat kualitatif tanpa menghitung nilai ekonomi pada tingkat managemen sedang. Penilaian kesesuaian lahan ini dilakukan pada wilayah yang memungkinkan untuk tanaman pangan, perkebunan, holtikultur, indusrti dan tanaman kehutanan. KEADAAN DAERAH Lokasi Penelitian Lokasi proyek percontohan CCFPI terletak di tiga propinsi, yaitu di Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Di Jambi meliputi areal Sungai Aur, Sungai Rambut dan Sungai Mendahara; di Sumatera Selatan terdapat di sekitar Sungai Merang; dan Kalimantan Tengah di Sungai Puning. Tabel 1. Lokasi Percontohan Rehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Propinsi
Kabupaten
Batang Hari
Kecamatan
Kumpeh
Nipah Panjang
Jambi
Desa
2. Sungai Rambut
Sumatera Selatan
Musi Banyuasin
Bayunglincir
3. Mendahara
Posisi
1. Parit Mail
1o 18’ 50.6” LS; 104o03’52.4” BT
2. PT DHL
1o 18’ 46.1” LS; 104o03’13.6” BT
3. P. Sako
o 1 13’ 33.2” LS; 104o10’50.5” BT
4. S. Serdang
o 1 13’ 32.2” LS; 104o09’49.3” BT
5. S. Rambut
1o 14’ 24.8” LS; 104o09’45.7” BT
6. Parit 10
o 1 13’ 57.5” LS; o 103 32’53.0” BT
7. Parit 6
o 1 12’ 33.8” LS; o 103 32’43.9” BT
8. Parit Famili
1o 09’02.6” LS; o 103 31’10.8” BT
9. S. Kepayang
o 2 08’53.3” LS; o 104 12’41.8” BT
1. Sungai Aur
Tanjung Jabung Timur Muara Sabak
Lokasi
10 Bakung
o 2 09’ 56.6” LS; o 104 08’45.0” BT
11. S. Merang
o 1 57’ 59.0” LS; o 104 00’06.7” BT
12. Galam
2 04’ 22.6” LS; o 104 03’14.7” BT
1. Muara Puning
1.Sakalampangan
o 2 05’10.4” LS; o 114 50’24.1” BT
2. Batilap
2. Pamantugan
o 2 01’ 44.0” LS; o 114 48’06.8” BT
3. Simpang Telo
3. Sungai Telo
o 1 57’ 22.4” LS; o 114 48’37.9” BT
4. Sungai Merang
o
Kalimantan Buntok Tengah
Sungai Puning
157
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia HASIL DAN PEMBAHASAN Iklim Iklim sebagai salah satu faktor lingkungan fisik yang sangat penting dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Beberapa unsur iklim yang penting adalah curah hujan, suhu, dan kelembaban. Di daerah tropika umumnya radiasi tinggi pada musim kemarau dan rendah pada musim penghujan. Namun demikian mengingat sifat saling berkaitan antara unsur iklim satu dengan yang lainnya, maka dalam uraian iklim ini akan diuraikan unsur-unsur iklim yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman. Pada lokasi penelitian di sekitar Sungai Aur, Sungai Rambut dan Mendahara Hulu, Jambi, curah hujan rata-rata tahunan adalah sebesar 2.104 mm, dengan zone agroklimat C1 (Oldeman,1975), Bulan kering terjadi selama < 2 bulan. Temperatur udara rata-rata sebesar 26,5 0C. Untuk lokasi di sekitar Sungai Merang, Sumatera Selatan, curah hujan rata-rata tahunan adalah sebesar 2.454 mm, dengan zone agroklimat C1 (Oldeman, 1975), Bulan kering terjadi selama 1 bulan. Temperatur udara rata-rata sebesar 26,8 0C. Sementara itu, pada lokasi di sekitar Sungai Puning, Kalimantan Tengah, curah hujan rata-rata tahunan adalah sebesar 2.638 mm, dengan zone agroklimat C1 (Oldeman,1975). Bulan kering terjadi selama 1 bulan. Temperatur udara rata-rata sebesar 27,1 0C. Pola iklim tersebut di atas sangat berpengaruh terhadap kegiatan pertanian, terutama pada waktu musim hujan. Karena lokasi-lokasi penelitian merupakan dataran dengan sungai-sungai besar yang selalu mengalami banjir pada waktu musim hujan, maka areal lahannya selalu tergenang selama 4 – 6 bulan dengan ketinggian air 1 – 2 meter. Tabel 2. Rata-rata Curah Hujan Tahunan di Lokasi Penelitian Curah Hujan rata-rata bulanan (mm)
Stasiun Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Juni
Juli
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Rata-rata tahunan
1. Sultan Thaha, Jambi (1990-2000) Curah 194,8 178,7 260,8 219,7 157,4 114,5 111,8 89,5 112,0 201,0 244,4 219,1 hujan Suhu 26,2
26,4
26,1
26,9
27,2
27,1
2. Sungai Lalan, Sumatera Selatan (1978-1988) Curah 210 229 309 265 225 110 hujan Suhu 26,2
26,6
26,7
27,2
27,1
27,3
2,104
26,7
26,8
26,7
26,5
26,5
26,5
26,5
107
85
167
209
292
256
2,454
26,8
27,2
26,8
27,2
26,8
26,5
26,8
3. Cilik Riwut, Kalimantan Tengah (1996-2000). Curah 333 hujan
133
309
276
215
187
91
114
133
219
360
268
2,638
Suhu 26,8
26,9
27,5
27,5
27,7
27,1
26,7
26,7
26,9
27,2
27,2
26,9
27,1
Sumber: 1. BMG Prop. Jambi 2. Dinas Pertanian Sum-Sel 3. BMG Prop. Kal-Teng,
Geologi dan Fisiografi Secara umum keadaan geologi di lokasi penelitian (Tabel 3) termasuk kedalam formasi Alluvium (Qa) berumur kuarter yang terdiri dari endapan liat, pasir, lumpur dan bahan organik. Bahan yang membentuk tanah di daerah penelitian adalah endapan liat dan lumpur serta bahan organik. Penyebaran formasi Qa hampir di seluruh areal pada jalur aliran Sungai Batang Hari di Jambi maupun
158
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Sungai Lalan di Sumatera Selatan. Karena adanya proses geomorfologi dan dilanjutkan dengan hidrologi seperti banjir yang mengakibatkan erosi, sedimentasi, dsb, .maka pada sepanjang aliran sungai terbentuk tanggul sungai (levee) dan rawa belakang (Backswamp) serta kubah gambut (peatdome) di pedalaman. Pada daerah yang terpengaruh pasang surut secara langsung, terbentuk dataran estuarin (estuarine flats along river). Daerah ini merupakan hasil endapan lumpur pasang dan banjir di sepanjang jalur sungai, seperti yang terdapat di kawasan Sungai Merang dan Mendahara Hulu. Sementara itu, daerah penelitian di Kawasan Sungai Puning, juga termasuk kedalam formasi Alluvium (Qa) berumur kuarter. Akan tetapi kawasan ini letaknya jauh dari pantai, sehingga tidak terpengaruh oleh pasang surut. Bahan yang membentuk tanah adalah endapan liat dan lumpur serta bahan organik. Pada bagian tanggul sungai (Levee) umumnya agak tinggi sehingga tanahnya agak kering, sedangkan di belakang tanggul sungai (Backswamp) sedikit agak rendah dan selalu tergenang air dan berawa, kadang-kadang membentuk kubah gambut (peat dome). Di beberapa tempat dijumpai juga danau-danau kecil atau beje di di belakang pemukiman yang dimanfaatkan sebagai tempat mengambil ikan. Tabel 3. Klasifikasi Tanah, Fisiografi , Geologi dan Penggunaan Lahan di Lokasi Penelitian Lokasi 1. Sungai Aur
2. Sungai Rambut
Site
5. S. Puning
Fisiografi
Geologi dan Bahan induk
Penggunaan Lahan
1. Parit mail
Aeric/Typic Endoaquepts
Tanggul sungai
Aluvium (Liat, debu Kebun campuran dan pasir)
2. PT DHL
Typic Haplohemists
Kubah gambut
Bahan Organik
3. P. Sako
Typic Endoaquepts Pulau
Aluvium (Liat, debu Semak Belukar dan pasir)
4. S. Serdang
Thapto-Histic Hydraquents
Aluvium (Liat, debu Kebun campuran dan bahan organik)
5. S. Rambut
Typic Endoaquepts Rawa belakang
Aluvium (Liat, debu Hutan Belukar dan pasir)
Typic (sulfic) Endoaquets
Dataran Estuarin
Aluvium (Liat, debu Semak dan bahan organik)
7. Parit
Typic (sulfic) Endoaquets
Dataran Estuarin
Aluvium (Liat, debu Semak dan bahan organik)
8. Parit Famili
Typic Sulpaquents
Dataran Estuarin
Aluvium marin (Liat Kebun campuran dan bahan organik)
9. Kepahyang
Typic Haplohemists
Kubah gambut
Aluvium marin (Liat Belukar dan bahan organik)
10. Bakung
Typic Dystrudepts Tanggul sungai
Aluvium (Liat, debu Kebun campuran dan bahan organik
11. S. Merang
Typic Haplohemists
Kubah gambut
Aluvium marin (Liat Hutan belukar dan bahan organik)
12. Ht Galam
Typic Haplohemists
Kubah gambut
Aluvium marin (Liat Belukar gelam dan bahan organik)
13. Muara Puning
Typic Haplohemists
Kubah gambut Bahan organik
14. Batilap
Typic Haplohemists
Kubah gambut Bahan organik
15. Simpang Telo
Typic Haplohemists
Kubah gambut Bahan organik
3. Mendahara 6. Parit 10 Hulu
4. Muara merang
Klasifikasi Tanah
Tanggul sungai
159
Belukar rawa
Hutan bekas terbakar
Rawa dan kebun rotan
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Penggunaan Lahan/Vegetasi Berdasarkan pengamatan di lapangan, pengggunaan lahan di lokasi penelitian umumnya berupa hutan belukar rawa atau areal bekas tebangan yang telah ditinggalkan oleh perusahaan kayu tapi masih dimanfaatkan oleh masyarakat. Jenis kayu yang ada seperti Blangiran, Nyatoh, Gelam, Pulai, Durian hutan, dll.; umunya berdiameter < 50 cm. Hutan sekunder dengan vegetasi rapat sudah berkurang, sesetempat dijumpai bekas areal lahan gambut yang terbakar. Penggunaan lahan untuk pertanian umumnya terdapat di sekitar pemukiman sepanjang tepian sungai, berupa kebun campuran. Jenis tanaman yang ada, seperti Kelapa, Mangga, Durian, Jeruk, Pisang, Kemiri, dll. Di beberapa tempat dijumpai sawah dan beje yang letaknya di belakang sungai. Keadaan Tanah Tanah di daerah penelitian berkembang dari bahan endapan sungai dan endapan marin, dengan atau tanpa endapan organik di atasnya. Proses pembentukannya selain ditentukan oleh komponen bahan induk juga oleh keadaan vegetasi dan letak tempat yang dipengaruhi oleh air. Tanah di daerah penelitian berkembang dari bahan induk endapan sungai berupa campuran liat, debu dan bahan organik. Endapan sungai umumnya terdapat di bagian tanggul sungai (levee) yang topografinya agak tinggi sehingga tanahnya agak kering, sedangkan dibelakang tanggul sungai (backswamp) sedikit agak rendah, selalu tergenang air dan berawa. Endapan organik yang menutupi endapan sungai biasanya terdapat di daerah kubah gambut. Menurut “Key to Soil Taxonomy”, (Soil Survey Staff, 1998) dengan nama padanan dari Puslittan (1983), tanah ini diklasifikasikan ke dalam Typic Endoaquepts (Gleiso Distrik) untuk tanah yang mempunyai rejim kelembaban akuik dan telah mengalami perkembangan profil. Tanah yang mempunyai kandungan bahan organik tinggi (Corganik) 12-18 persen dengan ketebalan > 40 cm diklasifikasikan kedalam Haplohemists (Organosol Hemik). Tanah-tanah di daerah yang berkembang dari campuran endapan sungai dan endapan marin, umumnya tanah belum berkembang dan agak melumpur, mengandung bahan sulfidik pada kedalaman <50 cm. diatas permukaan tanah. Menurut “Key to Soil Taxonomy”, (Soil Survey Staff, 1998) dengan padanan dari Puslittan (1983), tanah ini diklasifikasikan kedalam Typic (Sulfic) Endoaquepts (Gleisol Tionik) untuk tanah-tanah yang bahan sufidik 50 – 75 cm. di bawah permukaan tanah, sedangkan tanah-tanah yang mengandung bahan sulfidik <50 cm di golongkan kedalam Typic Sulfaquents (GleisolTionik). Berdasarkan pengamatan sifat-sifat morfologi tanah di lapangan dan sifat-sifat kimia hasil analisa tanah di laboratorium, maka kualitas/karateristik tanah di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. dengan uraiannya sebagai berikut: Lokasi Sungai Aur Asosiasi Aeric Endoaquepts (Gleisol aerik) dan Typic Endoaquepts (Gleisol Distrik), terbentuk dari hasil proses aktivitas sungai dengan bahan induk campuran liat dan debu. Aeric Endoaquepts terdapat pada bagian tanggul sungai yang agak kering, sedangkan Typic Endoaquepts terdapat pada bagian rawa belakang (backswamp), bentuk wilayah datar (lereng <2%). Penyebaran tanah-tanah ini di sepanjang jalur aliran Sungai Batang Hari. Karakteristik. Tekstur berlempung halus, dalam, struktur remah dan konsistensi gembur (lembab) dan agak keras (basah). Reaksi tanah masam (pH 4,4 – 4,8), C-organik dan Nitrogen rendah di lapisan atas dan sangat rendah di lapisan bawah, P205 rendah dan K20 tinggi, susunan kation Mg sedang, Ca, Na dan K rendah dengan Kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) rendah, drainase terhambat.
160
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Tabel 4. Kualitas/Karakteristik Lahan di lokasi Penelitian
Data Pengamatan Tanah dan Hasil Analisa Laboratorium Kualiatas Lahan/ Karakteritik
S. Aur
S. Rambut
S. Mendahara Hulu
Tpyc Tpyc Histic Sulfic Typic Endoaquepts Endoaquepts Hydraquents Endoaquepts Sulfaquents
S. Merang
S. Puning
Typic Haplohemist
Typic Haplohemists
1. Sifat Fisik Drainase tanah
Ag. terhambat Ag. terhambat S. terhambat
S. terhambat S. terhambat terhambat
Tekstur tanah
berlempung
Kedalaman efektif > 120 cm
terhambat
Berlempung
Berdebu halus
berdebut
Berdebu halus
-
-
> 120 cm
> 120 cm
> 50 cm
> 30 cm
-
-
-
-
Gambut (g)
-
-
-
-
-
Kematangan
-
-
-
-
-
Hemik
Hemik
Ketebalan (cm)
-
-
-
-
-
450 cm
500-600 cm
KTK tanah (f)
Rendah
Rendah
S. tinggi
Sedang
Tinggi
Sedang
Tinggi
pH tanah (f)
Masam
S. masam
S. masam
S. masam
S. masam
S. masam
S. masam
Total N (n)
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
P2O5
(n)
Rendah
S. rendah
Sedang
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
K2O
(n)
Sedang
S. rendah
sedang
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
50 – 75 cm
30 – 50 cm
-
-
-
-
2. Sifat Kimia
Keracunan (x) Kedalaman sulfidik
-
-
-
Kejenuhan Al
-
-
-
-
-
3. Faktor lainnya Bahaya banjir (b)
3 – 4 bulan
4 – 5 bulan
4 – 5 bulan
5 – 6 bulan
161
5 – 6 bulan 5 – 6 bulan
5 – 6 bulan
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Lokasi P. Sako Pulau Sako merupakan lahan yang terbentuk oleh aktivitas sungai berupa sedimentasi secara kontinyu sehingga membentuk pulau. Tanah yang terbetuk adalah Typic Endoaquepts (Gleisol Distrik) dari bahan induk campuran liat dan debu. Karakteristik. Tekstur berlempung halus di lapisan atas dan berlempung kasar di lapisan bawah, dalam, struktur gumpal, remah. Reaksi tanah sangat masam sampai masam (pH 3,8 – 4,5), C-organik dan Nitrogen rendah, P205 dan K20 sangat rendah, susunan kation Mg dan Ca sedang, K dan Na rendah. KTK dan KB rendah. Drainase terhambat dan permeabilitas lambat. Lokasi Sungai Serdang Tahan di Sungai Serdang diklasifikasikan sebagai Thapto-Histic Hydraquents (Gleisol Humik ). Tanah ini merupakan peralihan antara tanah dari endapan sungai dengan rawa gambut. Karakteristik. Tekstur berdebu halus di lapisan atas dengan ketebalan bahan organik 10 – 20 cm, dan berlempung halus di lapisan 20 – 50 cm, sedangkan di lapisan >50 cm. tanah bercampur dengan bahan organik, tanpa struktur, lepas dan melumpur. Reaksi tanah sangat masam (pH 3,8 - 3,9) Corganik sangat tinggi, kandungan nitrogen total rendah, P205 dan K20 sedang, susunan kation Ca, Mg, K dan Na sedang, KTK sangat tinggi dan KB sangat rendah. Drainase sangat terhambat. Lokasi Parit 10 Lahan di Parit diklasifikasikan sebagai Typic (Sulfic) Endoaquepts (Gleisol Tionik), dengan kedalaman bahan sulfidik > 50 – 75 cm di bawah permukaan tanah. Karakteristik. Tekstur berliat, struktur gumpal agak bersudut, gembur. Reaksi tanah masam di lapisan atas dan sangat masam sekali di lapisan bawah (pH 3,4 – 4,2), C-organik tinggi, kandungan nitrogen total rendah, P205 dan K20 rendah. Susunan kation Ca dan Mg rendah, K dan Na sedang. KTK sedang dan KB sangat rendah.Drainase sangat terhambat. Lokasi Parit Famili Lahan di Parit Famili diklasifikasikan sebagai Typic Sulfiaquents, dengan kedalaman bahan sulfidik 30- 50 cm di bawah permukaan tanah. Karakteristik. : Tekstur berliat halus di lapisan atas dan bergambut di lapisan bawah, tidak berstruktur dan melumpur di lapisan bawah. Reaksi tanah sangat masam (pH 3,3 - 3,5), C-organik tinggi, kandungan nitrogen total rendah P205 dan K20 rendah. Susunan kation Ca dan Mg rendah, K dan Na sedang. KTK tinggi dan KB sangat rendah. Lokasi Sungai Merang Typic Haplohemists (Organosol Hemik) terbentuk dari hasil proses dekomposisi bahan organik dengan tingkat perkembangan hemik. Typic Haplohemik terdapat pada bagian pinggiran kubah gambut sebelah utara Sungai Lalan. Karakteristik : Tekstur hemik, ketebalan gambut 450 cm, tidak berstruktur (lepas) dan setengah matang. Reaksi tanah sangat masam sekali (pH 3,4 – 3,7), C-organik sangat tinggi, kandungan nitrogen total rendah, P205 dan K20 rendah. Susunan kation Ca dan Mg sangat rendah, K dan Na rendah. KTK tinggi dan KB sangat rendah, drainase sangat terhambat.
162
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Lokasi Sungai Puning Typic Haplohemists (Organosol hemik). Tanah ini dijumpai di belakan jalur aliran sepanjang Sungai Puning beberapa ratus meter (1.000 – 1.500 m.) ke arah pedalaman. Karakteristik. Tekstur saprik di lapisan atas dan hemik di lapisan bawah, kedalaman gambut 500-600 cm., tanpa struktur, tingkat dekomposisi bahan organik agak matang. Reaksi tanah sangat masam (pH 3,5 –3,7), C-organik sangat tinggi, kandungan Nitrogen sangat tinggi, P205 dan K20 tinggi sampai sangat tinggi. Susunan kation Ca sangat rendah, Mg sedang, K dan Na sedang sampai tinggi. KTK sangat tinggi dan KB sangat rendah. Drainase sangat termabat Kesesuaian Lahan Penilaian kesesuaian lahan bertujuan untuk menduga tingkat kesesuaian suatu lahan untuk berbagai kemungkinan penggunaan lahan. Penilaian ini didasarkan kepada beberapa sifat lahan (land characteristic) yang dihubungkan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang akan dikembangkan. Evaluasi lahan ini dilakukan sedetil mungkin, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi untuk mendukung perencanaan “desain” pengelolaan lahan gambut yang terbaik (Best Management Practices on Peatlands). Penilaian kesesuaian lahan dilakukan pada kondisi aktual (current suitability) dan kondisi potensial (potential suitability). Kondisi aktual berdasarkan penilaian parameter pada saat survey dilakukan, sedangkan kondisi potensial berdasarkan perkiraan kondisi lahan setelah adanya usaha perbaikan (land improvement) dilakukan. Usaha perbaikan dapat dilakukan oleh petani, misalnya pemupukan dan pengapuran ringan, pembuatan saluran drainase atau irigasi. Hasil penilaian kesesuaian di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5 untuk berbagai jenis tanaman antara lain : • • • • • •
Tanaman Pangan : padi, padi ladang, jagung, kedele, kacang tanah, ubi kayu Tanaman Perkebunan : Kelapa, kelapa sawit, kopi, coklat, karet, Buah-buahan : jeruk, mangga, durian, nenas, pepaya, pisang, semangka Sayu-sayuran : tomat, cabe, mentimun, petsai, kubis, kacang panjang Tanaman industri : kemiri, pinang, kapuk randu, nipah Tanaman kehutanan : gelam, meranti, pulai, ramin, jelutung
Penilaiannya dapat digolongkan kedalam dua kelas, yaitu kelas sesuai maginal (S3) dan tidak sesuai (N), dengan beberapa faktor pembatas, antara lain drainase (d), kematangan dan kedalaman gambut (g), ketersediaan hara (n), retensi hara (f), kedalaman bahan sulfidik (x) dan banjir/genangan musiman (b)
163
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Tabel 5. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Berbagai Komoditas di Lokasi Penelitian
Kesesuaian Lahan Lokasi/ Klasifikasi
Tanaman Pangan
Padi sawah P
A
I
Tanaman Perkebunan P
A
I
P
Tanaman Kehutanan
A
I
A
I
P
S3dfn
Mi/j,li
S3 S3dfb Mi/j,li S2 S3dfb Mi/j,li S3 S3nfb Mi/j,li S3
Typic Endoaquepts
Nfnb
Mi/j,li
S3
-
N
S3bfn Mi/j, li S3 S3bnf Mi/j,li S3
Histic Hydraquents
Nfnb
Mi/j,li
S3 Nbfn -
N
S3fnb Mi/j,li S3 S3dfn Mi/j,li S3
Sungai Aur Typic Endoaquepts Sungai Rambut Nbnf
Sungai Mendahara Hulu Sulfic Endoaquepts
Nxfb
Hi/j, li S3 Nxfb Hi/j li S3 Nxfb
Typic Sulfaquepts
Nxfb
-
N Nxfb
Tpypic Haplohemists Nbgx
-
N Nbgx
-
N Nbg
-
Hi/j li S3 S3bfn Mi/j li S3
N
Nxfb
-
N Nbrx
-
N
-
N
Nbgx
-
N Nbgx
-
N
-
N
Nbg
-
N Nbg
-
N
Sungai Merang
Sungai Puning Tpypic Haplohemists Nbg Tabel 5 (Lanjutan) Kesesuaian Lahan Lokasi
Buah-buahan A
I
P
Sayur-sayuran A
I
P
Tan. Industri A
I
P
Sungai Aur Typic Endoaquepts
S3fnb Mi/j, li S3 S3dfb Mi/j,li S3 S3dfb Mi/j,li S3
Sungai Rambut Typic Endoaquepts
S3fnb Mi/J
S3 S3fnb Mi/J
S3 S3bfn Mi/j, li S3
Histic Hydraquents
Nbg
N Nbg
N Nbg
-
-
-
N
Sungai Mendahara Sulfic Endoaquepts
S3fnb Hi/J,li S3 S3fnb Hi/j li S3 S3fnb Hi/j li S3
Typic Sulfaquepts
Nbx
-
N Nbx
-
N Nbx
-
N
Nbgx
-
N Nbgx
-
N Nbgx
-
N
Nbg
-
N Nbg
-
N Nbg
-
N
Sungai Merang Tpypic Haplohemists Sungai Puning Tpypic Haplohemists
164
Sumber : LERP II, Laporan Teknis Ver.No.1, 1994 Keterangan : A : aktual, I : improvement (masukan), P : potensial, N : not suitable, S3 : sesuai marginal, S2 : agak sesuai, d : drainase, b : banjir, f : ketersedian hara, n : retensi hara, g : ketebalan/ kematangan gambut, x : keracunan bahan sufidik, Mi/J : masukan sedang/ saluran irigasi, li : pemupukan/pengapuran, Hi : masukan tinggi
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Arahan Pengunaan Lahan Arahan penggunaan lahan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek karekteristik lahan dan lingkungan yang mempengaruhinya serta aspek teknis lainnya, seperti prospek komoditi dan kemudahan budidaya. Untuk lebih jelasnya rekomendasi akan diuraikan di bawah ini (Tabel 6), juga disajikan ikhtisar arahan penggunaan lahan (Gambar 1) untuk bentang alam di wilayah Sungai Aur, Sungai Rambut dan Mendahara Hulu. Tabel 6. Potensi Lahan, Faktor Pembatas, Faktor Lain dan Kelayakan Arahan Pengembangan Lokasi
Potensi Lahan
Faktor Pembatas
Faktor Lain
Kelayakan Arahan Pengembangan
1. Lokasi Sungai Aur Sesuai untuk padi Typic sawah danTan. Endoaqueptsl Pangan dan Sayuran
Banjir musiman/ genangan Sarana produksi & kesuburan tanah rendah
Pemanfaatan terbatas dengan pengkayaan tanaman buah-buahan dan industri (kebun campuran) dan persawahan
2. Lokasi Sungai Rambut Typic Endaquepts
Sesuai Marginal untuk padi ladang, Banjir musiman/ genangan buah-buahan, & kesuburan tanah rendah sayuran, tan. industri
Histic Hydraquents
Rentan kebakanan, Tidak sesuai untuk Banjir musiman/ genangan, berbatasan TN pertanian dan kesuburan tanah rendah Berbak, sarana perkebunan dan potensi pirit produksi dan tranportasi
Sarana Produksi & Pengkayaan tanaman tranportasi serta buah-buahan dan industri terjadinya perubahan (kebun campuran) ekosistem Rehabilitasi dan Konservasi lahan gambut serta kekayaan keanekaragaman hayati
3. Lokasi Sungai Mendahara Hulu Sulfic Endoaquents
Sesuai marginal Banjir musiman/ genangan untuk padi sawah & kesuburan tanah rendah, pasang surut dan kandungan bahan sulfidik sayuran
Sarana Produksi dan Rehabilitasi dengan tranportasi serta pengkayaan tanaman terjadinya perubahan kehutanan ekosistem
Typic Sulfaquents
Sarana Produksi dan Tidak sesuai untuk Banjir musiman/ genangan Rehabilitasi dengan tranportasi serta pertanian dan & kesuburan tanah rendah, pengkayaan tanaman terjadinya perubahan perkebnan kandungan bahan sulfidik kehutanan ekosistem
4. Lokasi Sungai Merang Typic Haplohemists
Tidak sesuai untuk Sifat fisik dan kimia Tanah Rentan Kebakaran pertanian dan gambut serta ketebalan dan perubahan perkebunan gambut ekosistem
Rehabilitasi dan Konservasi lahan gambut serta kekayaan keanekaragaman hayati
5. Lokasi Sungai Puning Typic Haplohemists
Tidak sesuai untuk Sifat fisik dan kimia Tanah Rentan Kebakaran pertanian dan gambut serta ketebalan dan perubahan perkebnan gambut ekosistem
Rehabilitasi dan Konservasi lahan gambut serta kekayaan keanekaragaman hayati
Pertimbangan lain yang akan berpengaruh terhadap pengelolaan adalah sulitnya mendapatkan sarana produksi, seperti pupuk, kapur dll.; kebiasaan membakar dalam membuka lahan sehingga rentan terhadap kebakaran hutan, sarana transportasi yang masih kurang, serta akibat pembukaan lahan gambut umumnya akan merubah sistem ekositem/ekologi. Maka untuk pengembangan
165
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia pertanian dan perkebuanan disarankan untuk tidak lagi membuka lahan, baik pada lahan gambut maupun pada lahan basah lainnya. Gambar 1. Ikhtisar Arah Pengggunaan Lahan untuk Bentang Alam di Wilayah Sungai Aur
Kubah gambut Jenis tanah Landuse
Haplosaprists/hemists Areal HTI – PT. DHL
Vegetasi
Jelutung tapi tidak terpelihara, sebagian belukar
Peternakan
Ikan
Masalah
Tanah masam, mudah terbakar. Kanal menyebabkan subsiden Rekomendasi Rehabilitasi Fungsi/ Manfaat
Sungai
Menjaga proses dan sistem penyerapan karbon, habitat satwa/hewan liar dan bank gen
Tanggul sungai Dystrudepts Kebun campuran Kelapa, nangka, karet, jeruk, mangga, pisang Ayam, sapi Erosi dan sedimentasi
Rawa belakang Endoaquepts Persawahan
Haplosaprists/hemists Hutan rawa gambut (TNB) Padi, jagung, kacang, Ramin, gembor, ubi, kedelai jelutung, rawa
Bebek, kerbau, ikan Banjir
Tanaman Sawah/tanaman tahunan pangan Kebutuhan pangan dan papan
166
Kubah gambut
Habitat hewan/satwa liar Tanah masam, mudah terbakar Konservasi Bank gen, menjaga proses dan sistem ekologis, penyerapan karbon, penelitian dan pendidikan
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Gambar 3. Ikhtisar Arah Pengggunaan Lahan untuk Bentang Alam di Wilayah P. Sako
Fisiografi Sungai Jenis tanah Landuse Vegetasi Peternakan Ikan Masalah Rekomendasi Fungsi/ Manfaat
Pulau Oxbow lake sedimen dari Sungai Batanghari Asosiasi Dystrudepts dan Endoaquepts Kebun campuran dan belukar Kelapa, Mangga, Pinang, Jelutung, Pulai Kambing, Kerbau, Ayam dan Itik Banjir dan sedimentasi Agrowisata Rekreasi, penelitian dan pendidikan
Sungai
Ikan
Gambar 4. Ikhtisar Arah Pengggunaan Lahan untuk Bentang Alam di Wilayah Sungai Rambut
S. Batanghari
Fisiografi Jenis tanah Landuse Vegetasi Peternakan Masalah Rekomendasi Fungsi/ Manfaat
Sungai
Ikan
Tanggul sungai Rawa belakang Dystrudepts Endoquepts Kebun campuran Persawahan Kelapa, Mangga, Padi, Jagung, Kacang, Durian, Jeruk, Pisang Ubi, Kedelai Kambng, Ayam, Sapi Bebek, Kerbau Erosi, banjir, Banjir, residu pestisida sedimentasi Tanaman tahunan Sawah/tanaman pangan Kebutuhan pangan dan papan
167
Kubah gambut Haplosaprists/hemists Hutan rawa gambut Ramin, Gembor, Jelutung rawa, Rotan, Terentang, Meranti rawa Habitat hewan/satwa liar Tanah masam, subsidence dan mudah terbakar Konservasi Bank gen, menjaga proses dan sistem ekologis, penyerapan karbon, penelitian/pendidikan
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia 1.
Lahan untuk pengembangan pertanian dan kehutanan. Pada Lahan-lahan yang saat ini dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, seperti sawah dan kebun campuran, sebaiknya untuk meningkatkan pengelolaannya dengan usaha perbaikan lahan misalnya dengan pembuatan saluran drainase atau tabukan dan guludan (sistem surjan) serta dengan memperhatikan pola tanam serta pemupukan dan pengapuran. Tanaman pangan yang dapat diusahakan, antara lain Padi, Jagung, Kacang panjang dan Ubi kayu. Tanaman hortikultura, antara lain Semangka, Pisang, Pepaya dan Jeruk. Tanaman tahunan, antara lain Kelapa, Kemiri, dan Mangga. Lahan masyarakat yang telah ditanami tanaman keras dan tanaman kehidupan terlihat kurang maksimal pemanfaatannya. Hal ini dapat diatasi dengan menambah jumlah dan diversifikasi jenis tanaman. Beberapa tanaman keras yang dinilai cocok di lokasi ini seperti Kemiri (Aleurites moluccana), Sungkai (Pheronema canescens), dan Jati Putih (Gmelina arborea). Lebih dalam lagi, pengaturan lay out tanaman juga harus terencana dan tepat sesuai dengan sifat tanaman. Salah satu contoh adalah tanaman pinang dapat ditanam pada jarak yang rapat, bakan bisa dipakai sebagai alternatif tanaman pagar. Sementara tanaman berkayu butuh ruang yang lebih antara tanaman satu dengan yang lainnya.
2.
Lahan untuk Rehabilitasi dan Konservasi. Pada lahan yang mempunyai jenis tanah gambut, baik yang dangkal maupun yang dalam, lahannya sangat sulit untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian walaupun dengan tingkat masukan tinggi. Kendala utama pada lahan gambut adalah kodisi tanah yang sangat masam sekali, apabila didrainase tanah akan lebih cepat menurun (subsidence) dan cepat mengering (overdrain). Kondisi demikian memudahkan lahan cepat terbakar, yang akhirnya dari bekas lokasi terbakar ini akan terbentuk rawa-rawa (kubangan) yang luas menyerupai danau dengan kualitas keanekaragaman hayati yang sangat miskin sekali. Lahan ini sebaiknya direhabilitasi dengan tanaman kehutanan yang asli setempat (pionir) dan daya tumbuh secara cepat. Tanaman yang sesuai untuk dikembangkan adalah Jelutung rawa (Dyera loowi) dan Pulai (Alstonia scholaris), Meranti, Nipah dan Ramin. Perbaikan lahan yang harus dilakukan adalah pembuatan pintu-pintu air (bendungan) untuk menghindari laju aliran dan permukaan air di lahan dapat dipertahankan. Hal ini berfungsi untuk mencegah kelembaban sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik dan lahan tidak mudah terbakar.
Kebijakan Pengelolaan Lahan gambut Beberapa kebijakan nasional atau peraturan pemerintah yang relevan dengan pengelolaan lingkungan dan ekosistem rawa gambut, seperti Kepres No.32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, menyebutkan bahwa lahan rawa gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter harus dilindungi. Kebijakan ini seolah-olah mengisyaraktan bahwa lahan gambut dengan kedalaman kurang dari 3 meter dapat dimanfaatkan secara sesuka hati tanpa mempertimbangkan faktor lainnya. Padahal hutan dan lahan rawa gambut merupakan satu kesatuan yang utuh, dimana kerusakan akan menyebabkan permasalahan lingkungan dan sosial ekonomi, seperti terancam punahnya beberapa spesies, baik flora mapun fauna, kebakaran hutan dan tergangunya ekosistem hidrologi. Kebijakan ini harus dikaji ulang untuk melidungi hutan dan rawa gambut.
168
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Sebagian besar lokasi kegiatan Proyek CCFPI di Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimatan Tengah merupakan lahan yang tidak sesuai untuk pengembangan pertanian, baik tanaman pangan maupun perkebunan. Lahan-lahan tersebut mempunyai kendala yang cukup serius, diantaranya tingkat kemasaman tanah yang ekstrim (pH tanah <4), mempunyai potensi tanah sulfat masam (racun, akibat adanya oksidasi pyrite), dan rentan terhadap kebakaran. Sebaiknya lahan tersebut direhabilitasi atau dikonservasi untuk mencegah bertambah luasnya degradasi lahan dan hutan gambut. Disamping itu juga terdapat lahan-lahan yang berbatasan dengan Hutan Suaka Alam (HSA) dan Taman Nasional (TN) Berbak dan TN. Sembilang, dimana lahan tersebut merupakan lokasi perlindungan Hutan Rawa Gambut. 2. Untuk pengembangan pertanian umumnya terdapat di daerah tepian sungai sejauh antara 500 – 1.500 meter dari pinggir sungai. Pada bagian atas yang cembung (levee) dapat ditanami secara tumpang sari antara tanaman pangan dengan tanaman perkebunan atau kehutanan (kebun campuran). Sementara itu, bagian bawah yang cekung dapat ditanami dengan tanaman pangan. Namun demikian, pengelolaan air (water management) harus menjadi perhatian utama (pola tanam). 3. Tanaman pangan yang dapat dikembangkan adalah adalah Padi, Jagung, Ubi kayu, Kedele, Kacang tanah, dan Kacang panjang. Untuk tanaman perkebunan adalah Kelapa, Coklat dan Kopi. Untuk tanaman buah-buahan adalah Mangga, Jeruk, Nangka, Pisang, Semangka, Pepaya dan Sirsak. Untuk tanaman kehutanan dan berkayu adalah Kemiri, Jelutung, Pinang, dll. 4. Pada lokasi-lokasi ini dapat diberikan pengertian akan pentingnya peranan hutan gambut dan penyuluhan untuk memberikan kesadaran pada masyarakat agar tidak merambah lahan dan hutan gambut. Salah satu cara untuk mengantisipasinya maka perlu diberikan bantuan modal usaha tani. 5. Lahan dan hutan gambut berfungsi sebagai pengikat unsur karbon, penyerap dan penyimpan air serta tempat hidup keanekaragaman hayati. Untuk itu perlu diperhatikan secara khusus dengan melidungi, mejaga dan merehabilitasi lahan dan hutan gambut. 6. Sehubungan dengan besarnya kebutuhan kapur dan pupuk untuk kegiatan pertanian serta ketersediaannya yang sulit didapat, maka salah satu peluang penggantinya adalah dengan bahan amelioran yang banyak tersedia di sekitar lahan, seperti abu bekas kebakaran hutan, abu gergajian, lumpur sungai atau sisa-sisa limbah pertanian.
PUSTAKA Centre For Soil and Agroclimate Research 1994. Klasifikasi Landform. Second Land Resources Evaluation and Planning Project (LREPP II part C) Centre For Soil and Agroclimate Research 1994. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian dan Kehutanan. Second Land Resources Evaluation and Planning Project (LREPP II part C). CSR/FAO Staff, 1983. Reconnaissance Land Resources Surveys 1:250.000 scale. Atlas Format Procedures. AGOF/INS/78/006. Manual 4 Version 1, CSR Bogor. Ministery of Agriculture. Driesssen, P.M. and M. Sudjadi, 1984. Soil and Specific Soil Problems of tidal swamp. Workshop on Research Priority in Tidal swamp Rice. FAO, 1983. Guideline for Soil Description.
169
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Gafoer, S. G, Burhan dan J. Purnomo, 1986. Peta Geologi lembar Jambi dan Palembang Sumatera Selatan. Skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung. Institut Pertanian Bogor, 1976. Laporan Survey dan Pemetaan Tanah Daerah Pasang Surut Tanjung. Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S). Direktorat Jenderal Pengairan. Dep. Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Lembaga Penelitian Tanah Bogor, 1969. Pedoman Pengamatan Tanah di lapang. Oldeman, L.R., Irsal Las, and Muladi. 1979. An Agroclimate Map of Sumatera scale 1:2.500.000. Contributions from Central Research Institute for Agriculture. CRIA Bogor. Pusat Penelitian Tanah. 1983. Term of Reference Survei Kapabilitas Tanah. Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi (P3MT). Bogor. Pusat Penelitian Tanah. 1989. Survei dan Pemetaan Tanah Detail Daerah Pasang Surut Karang Agung Tengah. Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa – SWAPMS II. Soil Survey Staff, 1998. Key to Soil Taxonomy. United States Departement of Agriculture (USDA). National Resources Conservation Servisces. Widjaja-Adhi, IPG., 1989. Lahan Rawa Pasang Surut dan Pengelolaannya. Suatu Pengkajian Proyek SWAMPS I di Karang Agung Ulu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
170
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia KONSEP PENUTUPAN PARIT DI SUNGAI PUNING DAN EX. PLG, KALIMANATAN TENGAH
Dr.Ir. Roh Santoso B.W., M.T. CCFPI Consultant Wetlands International – Indonesia Programme
Abstract Indonesia has approximately 27 million hectars of peatland, primarily distributed in Sumatra, Kalimantan, Sulawesi and Papua. This is the world’s largest tropical peatland area and currently facing serious threats due to inappropriate management. Peatland’s ability to store water up to 90% of its volume has an important bearing of the hydrology of related watersheds. Land use changes and human activities, such as illegal logging and forest fires, cause various hydrological and water management problems, including flooding, erosion and sedimentation, a fall in the ground water table and leaching. In order to solve the hydrological problems in peatland areas caused by canals or ditches construction in the past, it is necessary to manage the hydrology through the blocking of these canals or ditches. This blocking can be made by construction of dams, bunds, weir and controlled blocking From the case study carried out at the black water ecosystem in the Puning River, Central Kalimantan, Indonesia, many water problems have been identified. Such problems, including the construction of ditches (small canals) to transport illegal logs, which drained lots of water out from the peatland area; forest and peatland fires, and erosion and sedimentation, which reduced peatland and rivers’ water holding capacity/retention. Ground water table in the Puning area fluctuates and has a maximum water table of +3m. and a minimum water table of –3m. The discharge of Puning River is 97 m3/sec. and this goes into the Barito river. The maximum monthly average rainfall in this area is 360 mm. in November, and the minimum monthly average rainfall is 92 mm. is July. In order to solve the hydrological problems in the Puning area which are caused by the existing ditches/small canals, it is necessary to choose methods and techniques which are appropriate for the area, such as controlled/closing of the canals/ditches using local materials, including wood planks and clay.
171
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PENDAHULUAN Indonesia memiliki sekitar 27 juta ha luas lahan gambut, terutama tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Sebagai sumberdaya alam, gambut dapat dimanfaatkan sebagai bahan ekstraktif dan sumberdaya terbarukan. Sebagai sumberdaya terbarukan gambut dimanfaatkan sebagai lahan kehutanan, perkebunan, dan pertanian, sedangkan sebagai bahan ekstraktif gambut dapat dimanfaatkan sebagai bahan energi, diambil asam humatnya, media semai, dan media untuk reklamasi lahan kering. Selain itu karena kemampuannya menyimpan air yang sangat besar (90% volume) maka lahan gambut dapat diharapkan sebagai penyangga hidrologi bagi kawasan sekitarnya. Meskipun secara kualitas, air pada lahan kurang bagus seperti kemasaman yang tinggi, kekeruhan, dan sedikitnya kandungan mineral. Ekosistem air hitam yang terdapat di Sungai Puning, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah merupakan salah satu contoh hutan lahan gambut yang telah mengalami degradasi sumber daya alam (keanekaragaman hayati dan hidrologi) sebagai akibat aktivitas manusia (perambahan hutan, pembuatan parit untuk jalannya kayu). Hal ini disebabkan oleh adanya alih/pergeseran pekerjaan dari jumlah masyarakat penebang hutan sebanyak 10% tahun 1960 menjadi 70% mulai sejak tahun 1970. Dalam aktivitas perambahan hutan, masyarakat memanfaatkan parit (kanal), baik yang alami maupun buatan, sebagai jalan masuk dan keluarnya kayu. Keberadaan parit buatan ini secara hidrologi menjadi sistem drainase buatan, sehingga air tanah yang ada pada lahan gambut tersebut secara cepat keluar, daya tampung air tanahnya menjadi kecil dan penurunan drastis terhadap tinggi muka air tanah. Keadaan tersebut di atas pada musim kemarau akan menimbulkan dampak negatif berupa kebakaran hutan dan penurunan lahan gambut yang tak balik (land subsidence). Untuk mengatasi kerusakan hidrologi (tata air) pada lahan gambut tersebut, maka perlu dilakukan penyekatan parit agar dapat meminimumkan limpasan air permukaan, sehingga dapat menaikkan daya simpan air tanah dan tinggi muka air tanah. Kerusakan hidrologi (tata air) pada lahan gambut akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan terhadap ekosistem air hitam di Daerah Aliran Sungai Puning, yaitu terjadinya kebakaran pada musim kemarau seperti yang terjadi pada tahun 1997 dan 2000. Untuk menghindari dampak-dampak yang sangat merugikan yang terjadi di ekosistem air hitam Sungai Puning, Kabupaten Barito Selatan tersebut, maka perlu adanya pengelolaan air pada lahan gambut di Indonesia yang mempunyai arti penting di tingkat global.
DASAR TEORI Siklus Hidrologi Siklus hidrologi merupakan konsep dasar tentang keseimbangan air secara global dan juga menunjukkan semua hal yang berhubungan dengan air. Siklus hidrologi tidak akan dapat berlangsung jika atmosfer tidak mempunyai kemampuan dalam menampung dan mengangkut uap air, karena itu keberadaan atmosfer sangat penting dalam proses distribusi air ke seluruh permukaan bumi. Siklus hidrologi meliputi beberapa tahap utama, yaitu : 1.
Penguapan air dari permukaan bumi baik yang berasal dari permukaan air, tanah, atau dari jaringan tumbuhan;
2.
Kondensasi uap air pada lapisan troposfer, sehingga terbentuk awan;
3.
Perpindahan awan mengikuti arah angin;
172
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia 4.
Presipitasi dalam bentuk cair (hujan) atau padat (salju dan kristal es) yang mengembalikan air dari atmosfer ke permukaan bumi;
5.
Mengalirnya air mengikuti gaya gravitasi (dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah) baik dalam bentuk aliran permukaan maupun aliran bawah/tanah.
Selama berlangsungnya tahap-tahap utama dalam siklus hidrologi tersebut, proses penguapan dapat berlangsung terus. Selama air mengalir pada permukaan bumi, sebagian air menguap ke atmosfer sebelum sampai ke lautan. Sebagian air asal presipitasi merembes ke dalam tanah akan diserap tumbuhan kemudian diuapkan ke atmosfer melalui proses transpirasi [penguapan air oleh tanaman melalui celah mulut daun (stomata)]. Dalam perjalanan air menuju ke laut, tidak semua butiran air yang mengalir akan tiba di laut. Sebagian air hujan yang tiba ke permukaan tanah akah masuk ke dalam tanah sebagai infiltrasi dan kembali segera ke sungai-sungai. Meskipun demikian, sebagian besar akan tersimpan sebagai air tanah (groundwater) yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama ke permukaan tanah di daerah yang lebih rendah. Dengan demikian, sungai akan mengumpulkan 3 jenis limpasan, yakni limpasan permukaan (surface runoff), aliran intra (interflow) dan limpasan air tanah (groundwater runoff). Air presipitasi (hujan ) yang jatuh ke daratan yang tidak diuapkan kembali ke atmosfer, akan mengalir ke lautan, baik melalui aliran permukaan (sungai) maupun melalui aliran air di bawah permukaan (air tanah). Evaporasi merupakan proses penguapan air yang berasal dari permukaan air atau tanah yang mengandung air. Sumber energi utama untuk eveporasi adalah radiasi matahari. Oleh sebab itu laju evaporasi tertinggi tercapai pada waktu tengah hari (solar moon). Uap air yang dihasilkan melalui proses evapotranspirasi dari berbagai sumber di permukaan bumi akan bergerak ke lapisan atas troposfer menjadi awan. Awan yang terbentuk sebagai hasil dari kondensasi uap air akan terbawa oleh angin sehingga tersebar ke permukaan bumi. Jika butiran air atau kristal es tersebut mencapai ukuran besar, maka butiran air atau kristal es tersebut akan jatuh ke permukaan bumi. Proses jatuhnya butiran air atau kristal es ini disebut presipitasi. Kondisi hidrologi suatu daerah ditentukan oleh faktor cuaca dan fisik, yang meliputi topografi, geologi dan tanaman. Disamping itu, aktivitas manusia akan mempengaruhi lingkungan alaminya, bahkan dapat merubah kesatimbangan dari siklus hidrologi, sebagai contoh penebangan hutan yang dapat menimbulkan banjir pada musim hujan dan kebakaran hutan pada musim kemarau, jumlah CO2 (karbon dioksida) di atmosfer menjadi naik.
Gambar 1. Siklus hidrologi Sumber: Max Planck Institut For Meteorology (1999)
173
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Karakteristik hidrotopografi lahan gambut sangat unik dan berkaitan erat dengan pengembangan lahan. Hal ini dipengaruhi adanya tanggul sungai dan terjadinya deposisi yang berangsur-angsur dan tidak seragam akibat luapan banjir di sekitar sungai serta pembentukan formasi tanah organik yang berasal dari sisa-sisa tanaman yang sulit melapuk. Adanya deposisi, sedimentasi dan pembentukan serta pelapukan tanah organik yang berangsur dan tidak seragam ini menyebabkan terjadinya keadaan topografi berupa cekungan (depresi) dan gundukan (leeve) di sekitar sungai. Karakteristik hidrotopografi secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 satuan landform besar, yaitu: 1. Topografi wilayah tanggul sungai; 2. Dataran lahan setelah topografi tanggul sungai ke arah hulu; 3. Dataran gambut yang berawa yang mempunyai ketebalan bervariasi, dari gambut tipis, sedang maupun dalam. Keberhasilan pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian akan sangat ditentukan oleh keadaan hidrotopografi tersebut diatas. Salah satu data yang menggambarkan keadaan hidrotopografi adalah informasi mengenai tipe luapan yang terjadi di permukaan tanah tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya korelasi antar tipe luapan dan ketebalan gambut. Pada tipe luapan yang sesuai untuk pertanian biasanya mempunyai ketebalan gambut yang juga sesuai untuk keperluan pertanian. Walaupun tidak semua lahan gambut di daerah studi dipengaruhi keadaan pasang surut, namun berdasarkan kenyataan korelasi tersebut, keadaan tipe luapan sebaiknya menjadi pertimbangan utama dalam perencanaan infrastruktur pertanian. Pengelolaan air di lahan gambut mempunyai tujuan untuk menurunkan kadar air, meningkatkan daya guna gambut, memperbaiki kualitas air dan meningkatkan daya dukung beban gambut. Pengaturan air di lahan gambut dilakukan dengan membuat jaringan tata air (drainase). Tujuan utama membuat drainase adalah menurunkan kadar air secara terkendali sehingga pemanfaatan gambut bisa optimum dan biaya bisa serendah mungkin. Makin rapat jaringan drainase yang harus dibuat maka makin besar pula biaya yang harus dikeluarkan. Dengan mengetahui permeabilitas gambut setempat dan besarnya kandungan air yang diinginkan maka akan dapat ditentukan dimensi dan kerapatan jaringan drainase yang harus dibuat. Seperti disebutkan diatas, pengelolaan air di lahan gambut dalam rangka pemanfaatan gambut itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua tahap, yaitu pengelolaan air kawasan dan pengelolaan air di lahan gambut. Pengelolaan kawasan dimaksud adalah untuk mengatur neraca air dan tinggi muka air kawasan. Ini dilakukan dengan membuat zonasi daerah yang dapat dibudidayakan dan penentuan daerah penyangga. Termasuk dalam pengelolaan air kawasan adalah penentuan dimensi saluran primer dan sekunder. Selain itu, yang juga perlu diperhatikan adalah tanah alas yang berupa pirit atau pasir kuarsa. Gambut pantai pada umumnya mempunyai tanah alas berupa lapisan liat marin berwama abu-abu sampai abu-abu kehijauan. Lapisan liat ini biasanya mengandung pirit. Dalam lingkungan anaerobik, seperti berada di bawah lapisan gambut yang basah, pirit bersifat stabil. Namun jika terdapat suplai oksigen yang cukup, seperti dengan adanya saluran drainase, pirit ini bisa tersingkap sehingga menjadi tidak stabil dan berubah menjadi ferrosulfat, ferrihidroksida dan asam sulfat. Sementara itu, untuk gambut yang mempunyai lapisan bawah berupa pasir kuarsa akan terjadi defisit kandungan mineral yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Kesetimbangan Air dan Penyekatan Saluran Secara hidrologi, untuk mengendalikan dan mencegah terjadinya dampak negatif sebagai akibat aktivitas manusia dapat dilakukan dengan melalui perbaikan terhadap sistem tata air. Berdasarkan persamaan kesetimbangan air (water balance) dapat dituliskan sebagai berikut: P = ET + RO + I + ∆S
174
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia dimana, P E
= Curah hujan (mm./hari) = Evapotranspirasi (mm./hari)
RO = Limpasanpermukaan (mm./hari) I
= Infiltrasi (mm./hari)
∆S = Perubahan daya tampung air tanah (mm./hari) maka untuk mencegah penurunan muka air (yang berarti mengecilnya nilai ∆S) akibat adanya perambahan hutan (membesarnya nilai ET) dan limpasan kanal buatan (membesarnya nilai RO), dimana nilai curah hujan (P) dan infiltrasinya (I) konstan perlu dilakukan perbaikan terhadap nilai RO yang besar. Salah satu cara untuk memperbaiki nilai limpasan agar mengecil adalah melalui penyekatan saluran dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan setempat dan ramah lingkungan. Diagram alir penyekatan saluran dapat dilihat pada Gambar 2.
DESAIN DAN KONSTRUKSI PENYEKATAN SALURAN Air sangat vital pada beberapa daerah lahan gambut. Banyak aktivitas yang secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak sistem tata air (hidrologi). Dinamika dari system ini dicerminkan pada naik-turunnya muka air. Pemilihan metode-metode dan teknik-teknik ditentukan oleh karakteristik dari lahan gambut, seperti topografi, muka air, ketebalan gambut dan debit. Metode-metode untuk mengendalikan muka air dan erosi yang paling baik pada pengendalian limpasan adalah melalui sekat-sekat dan penyekatan saluran. Beberapa teknik untuk mengelola, menaikkan, menurunkan dan menstabilkan muka air adalah melalui instalasi-instalasi yang terdiri dari sekat, irisan dan bendungan, pembatas dan pemompaan. SEKAT
Muka air setelah disekat
Permukaan lahan gambut
Muka air sebelum disekat
Muka air setelah disekat
Aliran air
Gambut
Gambar 2. Prinsip utama dalam konstruksi sekat
Prinsip utama dalam pemasangan sekat adalah menahan laju/aliran air sehingga muka air bagian atas dari sekat mengalami kenaikan dan bagian bawah mengalami penurunan.
175
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia HASIL DAN PEMBAHASAN Sungai Puning merupakan sungai yang bermuara di Sungai Barito bagian tengah, kedalaman maksimum di muara Sungai Puning mencapai 12 m. dengan lebar 115 m. dan dengan debit sebesar 96 m3/dt. Sungai Puning mempunyai anak-anak sungai, antara lain Sungai Sakahampalan, Sungai Pamantungan, Sungai Pemantang Intan, Sungai Simpang Telo dan lain-lainnya. Fluktuasi muka air tanah di daerah Sungai Puning berkisar antara –3 m. sampai dengan 3 m. dari permukaan tanah setempat. Tabel 1. Karakteristik Sungai dan Saluran di Daerah Aliran Sungai Puning
No
Penampang Sungai (m)
Nama Sungai
110
Kedalaman maksimum 11,60
2
Lebar 1. Sungai Puning
Luas Penampang (m2)
Kecepatan Aliran (m/dt)
604,20
0,16
0,95
1,90
0,25
1,8
0,70
1,26
0,14
1,15
0,35
0,40
0,25
5. Sungai Pematang Intan
21
4,50
67
0,20
6. Sungai Simpang Telo
23
8,10
145,20
0,31
2. Kanal Sakahampalan (Muara Puning) 3. Kanal Pamantungan (Desa Batilap) 4. Kanal Harusan
Tabel 2. Data Debit dan Fluktuasi Muka Air Tanah
No
Debit dpts TMA (m3/det) (m)
Nama Sungai
Fluktuasi m.a.t (m) Tertinggi
Terendah
1
Sungai Puning
96,67
1,50
3
3
2
Kanal Sakahampalan (Muara Puning)
0,475
-0,2
2,1
-0,95
3
Kanal Pamantungan (Desa Batilap)
0,18
0,3
2
3
4
Kanal Harusan
0,10
0,15
1,6
-0,22
5
Sungai Pematang Intan
13,4
-0,2
1
2
6
Sungai Simpang Telo
45,01
1,90
1,9
2
Sungai Puning (Muara Puning dan Batilap) Hasil pengukuran elevasi/ketinggian tanah di parit Ramunia berkisar antara 9,03 m. sampai dengan 9,88 m. dari permukaan laut, elevasi tanah di Parit Balunuk berkisar antara 8,90 m. sampai dengan 10,30 m. dari permukaan laut. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. No Tanggal
Elevasi Tanah di Parit Ramunia dan Balunuk, Muara Puning Nama Parit
Elevasi Tanah (m dpl) 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1.
9-Sep Ramunia
9,03 9,29 9,50
9,84 9,88
9,38
9,20 9,09 9,30 9,50
9,76
9,99
9,64
9,30
2.
9-Sep Balunuk Bawah 8,90 9,28 9,50
9,67 10,02
9,54
9,54 8,95 9,30 9,59
9,79
9,97
9,49
9,32
3.
9-Sep Balunuk Atas
10,10 10,15 10,30 10,08 10,12
176
10 10,19 10,25 10,05 10,13
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Hasil pengukuran tinggi muka air tanah di parit Ramunia berkisar antara 1,78 m. sampai dengan 0,61 m. dari permukaan laut, tinggi muka air tanah di Parit Balunuk berkisar antara 1,11 m. sampai dengan 0,13 m. dari permukaan laut. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Tinggi muka air tanah di Parit Ramunia dan Balunuk, Muara Puning No Tanggal
Nama Parit
Tinggi Muka Air Tanah 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1.
9-Sep Ramunia
0,61 1,16 0,65 1,78 0,97 0,72 0,93 0,72 0,91 0,68 1,17 0,92 1,32 1,78
2,
9-Sep Balunuk Bawah
0,27 1,11 0,84 0,27 0,81 1,09
3.
9-Sep Balunuk Atas
0,38 0,13 0,28 0,42 0,62 0,27 0,42 0,39 0,48 0,74
0,8 0,32 0,37 1,11 0,52 0,38 0,21 0,73
Pengaruh penutupan parit terhadap tinggi muka air sungai di muara Puning dan Batilap dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil penutupan parit di daerah tersebut memberikan perbedaan tinggi muka air pada parit (di dalam dan di luar parit) antara 6 sampai 12 cm. Tabel 5. Pengaruh Penutupan Parit terhadap tinggi muka air tanah di Muara Puning dan Batilap No
Nama Parit
Ukuran (m)
Dalam Parit Dalam (m)
Lebar (m)
Luar Parit
Luas Kec. Debit Dalam Lebar Luas Kec. Debit (m2) (m/dt) (m3/dt) (m) (m) (m2) (m/dt) (m3/dt)
1
Ramunia
0,50 x 1,20
0,21
1,20
0,252
0
0
0,15
1,20
0,18
0
0
2
Balunuk Bawah 1,30 x 0,50
0,23
1,30
0,299
0
0
0,16
1,30
0,208
0
0
3
Balunuk Atas
1,20 x 0,42
0,16
1,20
0,192
0
0
0,4
1,20
0,048
0
0
4
Batilap
1,20 x 0,40
0,17
1,20
0,204
0
0
0,8
1,20
0,096
0
0
KESIMPULAN 1.
Parit (kanal) pada lahan gambut mempunyai fungsi sebagai drainase yang sangat cepat, sehingga dapat menurunkan tinggi muka air tanah.
2.
Secara hidrologis penutupan parit dapat memperkecil limpasan permukaan (run off), sehingga air akan mengisi pori tanah dan meningkatkan tinggi muka air tanah (groundwater level) serta dapat meningkatkan daya tampung air tanah.
3.
Kenaikan tinggi muka air tanah hasil dari penutupan kanal akan memperkecil resiko kebakaran pada lahan gambut dan memudahkan pertumbuhan tanaman kehutanan, sehingga besarnya nilai evepotranspirasi dapat ditekan.
4.
Parit yang dibuat masyarakat pada umumnya mempunyai ukuran 50 cm x 120 cm.
5.
Penutupan parit dapat menaikkan tinggi muka air tanah 6 sampai 12 cm. pada parit yang tergenang air dengan kecepatan 0.
6.
Hasil penutupan parit dapat menghasilkan model/batas penggenangan air di suatu lokasi yang dapat menjadi masukan dalam aktivitas silvikultur.
177
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia DAFTAR PUSTAKA Asdak C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press, Yogyakarta, I.7 - I.25. Brooks, S. and R. Stoneman. 1997. Conservating Bogs, The Management Handbook. Stationary Office Limited., Edinburgh, 16 - 17, 35 - 37.
The
Chow, V.T., Maidment, D.R. and L.W. Mays.1988. Applied Hyddrology. Mc Graw-Hill, New York, 175 – 198. Grigg, N.S., 1996. Water Resources Management. Mc Graw-Hill, New York,
29 – 59.
Hobbs, N.B., 1986. Nature Morphology and the Properties and Behaviour of Some British and Foreign Peats, Quaterly Journal of Engineering Geology, London, Vol. 19, pp7-80. Schwab, L.O., Fangmeier, D.D. and W.J. Elliot. 1996. Soil and Water Management Systems. John Wiley & Sons,Inc., Ohio. 88 – 105. Setiawan, B.I., Setyanto, K.S. dan R.S.B. Waspodo. 2001. Pengembangan Sistem Tata Air Terkendali Untuk Pertanian Lahan Gambut. Laporan RUT VII.3, Bogor Setiawan, B.I., Setyanto, K.S. dan R.S.B. Waspodo. 2001. Model Sistem Kendali Pengairan Untuk Budidaya Tanaman Basah. Seminar dan Kongres Perteta 2001, Jakarta Setiawan, B.I., Setyanto, K.S. dan R.S.B. Waspodo. 2001. A Model for Controlling Groundwater in Tidal wetland Agricultures. The 2nd IFAC – CIGR workshop on Itelligent Control for Forestry Applications, Bali. Sosrodarsono, S., 1993. Hidrologi Untuk Pengairan. Pradnya Paramita, Jakarta,
1-5
Sumawijaya, N. 1996. Aspek Hidrologi Pada Pemanfaatan Lahan Gambut di Indonesia. Pertemuan Ilmiah Tahunan XXV IAGI, Bandung, 107 –119 Supardi, A.D. Subektv, dan S.G. Neuviel, 1993, General geology and peat resources of the Siak Kanan and Bengkalis Island peat deposits, Sumatera, Indonesia, Geological Society of America, Special Paper 286, pp 45 -6 1.
178
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia LAMPIRAN Balok penguat (tegak) Jalan air (spillway)
Lembar plastik
Balok penguat (melintang)
TAMPAK DEPAN
Lembar plastik
Tinggi muka air di bagian hulu/atas sekat
Arah aliran air
Tinggi muka air permulaan sebelum adanya sekat Tinggi muka air di bagian bawah sekat
Balok penguat (tegak)
Balok penguat (melintang)
TAMPAK SAMPING
Gambar 1. Gambar Sekat Plastik dengan proyeksi depan dan samping
179
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Tali Kerekan Kerekan
Plat besi / papan
Balok
TAMPAK SAMPING
Kerekan Pipa PVC Aliran limpasan Muka air di bagian hulu/atas sekat
Muka air di bagian bawah sekat
Plat besi/papan
Balok
TAMPAK DEPAN
Gambar 2. Sekat Geser dengan proyeksi depan dan samping
180
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Lampiran 3. Kontur Lahan Gambut dan Muka Airtanah di Parit Ramunia, Muara Puning
Kontur Lahan Gambut di Parit Ramunia, Muara Puning
Muka Airtanah di Parit Ramunia, Muara Puning
181
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Lampiran 4. Kontur Lahan Gambut dan Muka Airtanah di Parit Balunuk, Muara Puning
Kontur Lahan Gambut di Parit Balunuk, Muara Puning
Kontur Muka Airtanah di Parit Balunuk, Muara Puning
182
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia STRATEGI PEMANFAATAN HUTAN GAMBUT YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN Dedik Budianta Staf Jurusan Tanah dan Pasca Sarjana Bidang Kajian Utama Pengelolaan lahan Universitas Sriwijaya (
[email protected])
Abstrak Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi gambut nomor 4 terbesar di dunia setelah Rusia, Kanada dan Amerika Serikat dengan luasan sekitar 26 juta hektar. Penyebaran terluasnya terdapat di Pulau Sumatra (yaitu Sumatra Bagian Timur). Dari seluruh potensi tersebut, gambut yang mempunyai ketebalan kurang dari 1 meter seluas 16 juta hektar, dan yang mempunyai ketebalan 2 meter atau lebih seluas 8,8 juta hektar. Dalam membuka hutan gambut harus hati-hati karena sifat hutan gambut yang sangat fragil (rapuh) dimana sekali dibuka akan merubah ekosistem dan untuk mengembalikan ke ekosistem semula memakan waktu yang sangat lama, karena ekosistem hutan gambut merupakan ekosistem yang telah stabil sebagai hasil dari interaksi ribuan tahun antara komponen biotik dan lingkungannya. Kestabilan ini menghasilkan tata air yang seimbang dan mempertahankan keberadaan flora dan faunanya. Dengan demikian pembukaan hutan gambut tidak boleh sewenang-wenang. Pembukaan vegetasi penutup lahan gambut akan mengakibatkan dipercepatnya proses dekomposisi, terjadinya subsidensi (amblesan) dan akan mengubah ciri dari ekosistem hutan gambut. Ketidakmampuan lahan gambut yang telah berubah untuk menyerap air, akan mengakibatkan banjir, oksidasi berlebihan akan merubah unsur sulfur menjadi sulfat dan sulfit yang merupakan racun tanaman, sehingga lahan gambut menjadi masam dan tidak subur. Dengan demikian, hutan gambut yang telah dibuka dan langsung dimanfaatkan untuk budidaya tanaman akan memberikan hasil yang rendah, sehingga umumnya sering dijumpai lahan tidur yang disebabkan oleh keadaan teknologi, sumberdaya manusia, maupun sosial ekonomi yang rendah. Untuk itu, agar lahan gambut dapat dimanfaatkan secara lestari dan berwawasan lingkungan maka perlu dilakukan strategi dalam pengelolaan gambut yaitu dengan melalui beberapa model pendekatan dan konsep, antara lain pendekaan konservasi, kawasan non-budidaya, pendekatan tampung hujan, pendekatan agromanajemen terpadu dan pendekatan teknik budidaya.
183
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PENDAHULUAN Indonesia mempunyai penyebaran gambut yang luas dan diperkirakan meliputi areal seluas 26 juta hektar (ada yang mengatakan 27 juta ha), dan kurang lebih 16 juta hektar diantaranya merupakan gambut dataran rendah (lowland) yang tersebar di Pulau Sumatra Bagian Timur seluas kurang lebih 9,7 juta ha. (Riau, Jambi dan Sumatera Selatan), Kalimantan seluas kurang lebih 6,3 juta ha (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan) dan sisanya tersebar di Pulau Jawa. Mengenai luasan gambut di Indonesia perlu dilakukan inventarisasi kembali untuk mengetahui jumlah yang sebenarnya dan untuk menyusun strategi pengelolaan, karena pada tahun 1997 terjadi kebakaraan hutan besar-besaran, sehingga dimungkinkan luas gambut di Indonesia juga semakin berkurang. Di daerah tropis gambut dapat terbentuk di dataran tinggi karena perombakan bahan organik terhambat oleh suhu yang rendah (misalnya di daerah pegunungan di atas 2000 meter di atas permukaan air laut), sedangkan di daerah rawa-rawa dataran rendah gambut terbentuk karena perombakan bahan organik terhambat oleh lengas (moisture) yang berlebihan. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa gambut di Indonesia sebagian besar merupakan gambut rawa lebat. Baru sedikit yang dimanfaatkan untuk lahan pertanian bagi para transmigran, yaitu gambut tipis yang tersebar di daerah yang terletak di tepi sungai besar. Jenis flora dan fauna di hutan gambut relatif terbatas, sedangkan tanahnya mengandung lebih dari 65% bahan organik. Di Kalimantan vegetasi khas dari hutan gambut terdiri dari assosiasi kayu Ramin (Gonystylus spp). Di dalam assosiasi ini terdapat tiga lapisan tajuk. Tajuk atas terdiri dari kayu Ramin (Gonystylus spp), Shorea albida, Shorea uliginosa, Tetramerista gabra, Durio sp., Ctelophon sp, Dyera sp, Palaquium sp, Koompasia malacensisi, Tajuk tengah terdiri dari pepohonan yang termasuk familia Lauraceae seperti: Alseodaphae sp, Endriandra rubescens, Litsea sp, Myristica inner, Horsfeldia sp, Garcinia sp, dan juga anggota dari familia Euphorbiaceae, Myristicaceae dan Ibenaceae. Penutup tanah (tajuk yang paling bawah) terdiri dari familia Annonaceae, anakan-anakan dari pepohonan dan semak dari jenis Crinus sp. Adapun fauna yang terdapat di hutan gambut yang mempunyai relung di pepohonan (arboreal) diantaranya adalah Lutung, Siamang, Monyet ekor panjang, Orang Utan, Bekantan, dsb, Jenis-jenis fauna yang berelung di daratan (terestrial) ialah Rusa, Harimau, Kancil, dll, Sementara itu, yang berelung di air ialah Kura-kura/Labi-labi, Buaya, Ikan Arwana, Ikan Tawes dll, Berbagai jenis burung migran dan jenis setempat juga dijumpai di pepohonan untuk mencari makan dan bersarang (Atmawidjaja, 1988). Karena gambut terbentuk dari bahan asal yang terdiri atas sisa tanaman yang telah mati dan dilingkupi oleh keadaan lingkungan yang selalu terendam air, maka proses pelapukan tidak berlangsung normal dan sempurna. Dengan demikian akan membentuk profil yang seluruhnya tersusun atas timbunan bahan organik dengan jeluk (depth) bervariasi, mulai dari ketebalan 50 cm. sampai dengan 20 meter dengan di dasari oleh tanah mineral. Dengan demikian, sifat gambut lebih ditentukan oleh sifat kimia yang berasal dari penyusun bahan organiknya daripada sifat bahan mineralnya. Tiap tahapan perombakan bahan organik senantiasa akan menghasilkan unsur hara bagi tanaman, senyawa organik yang lebih sederhana, sisa senyawa organik yang sukar terurai dan senyawa penyusun humus. Penyebaran gambut dengan ketebalan lebih dari 2 meter dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Penyebaran gambut dalam (lebih dari 2 meter) di Indonesia (Satari, 1988)
No
Daera
Luas (ha)
1
Sumatera
4.800.000
2
Kalimantan
3.200.000
3
Irian Jaya
800.000
184
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Keluarnya asam-asam organik selama proses dekomposisi dan tingginya kandungan bahan organik yang menyusun gambut menyebabkan pH gambut menjadi rendah (< 4.0), kandungan P, K serta alkali tanah lainnya juga rendah, sehingga merupakan kendala kesuburan kimia gambut untuk difungsikan sebagai lahan pertanian maupun perkebunan. Dengan demikian bila tidak diusahakan perbaikan kesuburan kimia gambut berarti menyia-nyiakan potensi gambut yang mempunyai arti penting untuk kesejahteraan manusia dan keseimbangan lingkungan. PENGERTIAN GAMBUT Semula para pakar tanah dari Eropa berpendapat bahwa gambut tidak akan ditemukan di daerah tropika (seperti Indonesia) yang mempunyai temperatur tinggi, dengan alasan bahan organik dari tetumbuhan akan cepat terdekomposisi oleh jasad renik dan tidak terlonggok di daerah beriklim panas. Akan tetapi dugaan tersebut ternyata tidak benar, karena Bernelot Moens dan Van Vlaardingen pada tahun 1865 menemukan gambut di Karesidenan Besuki dan Rembang. Hasil ekspedisi Yzerman di Sumatra tahun 1895 juga melaporkan adanya gambut di daerah Siak, bahkan pada tahun 1794 John Andersen telah menyebutkan bahwa di Riau terdapat gambut (Soepraptohardjo dan Driessen, 1976). Kemudian baru pada tahun 1909 Potonie dan Kooders mengumumkan bahwa di Indonesia telah diketemukan gambut pada berbagai tempat (Wirjodihardjo dan Kong, 1950). Para pakar dan peneliti tanah dari beberapa negara banyak menggunakan istilah gambut yang berbeda-beda seperti Moorpeat (Australia), organic soil (Kanada), Soil hydromorphes organiques (Perancis), Moorboden (Jerman), Histosol (USA), Bog Soil (USSR), tanah gelam (Malaysia), Veen atau Venuge Grond (Belanda), Peat atau peaty soils (Inggris), tanah organik, tanah rawang, tanah daun, tanah gambut (Indonesia) (Budianta, 1988). Dengan demikian, gambut terdiri dari tumpukan bahan organik yang belum terdekomposisi (tidak terdekomposisi dengan baik), yang memerangkap dan menyerap karbon di dalamnya dan membentuk lahan dengan profil yang disusun oleh bahan organik dengan ketebalan mencapai lebih dari 20 meter. Tanaman-tanaman yang tumbuh di atas gambut membentuk ekosistem hutan rawa gambut yang mampu menyerap karbondioksida dari atmosfer untuk berfotosintesis dan menambah simpanan karbon dalam ekosistem tersebut. PROSES PEMBENTUKAN GAMBUT Gambut terbentuk karena pengaruh iklim terutama curah hujan yang merata sepanjang tahun dan topografi yang tidak merata sehingga terbentuk daerah-daerah cekungan. Menurut Köppen, gambut banyak terdapat di daerah dengan tipe iklim Af dan Cf dengan curah hujan lebih dari 2500 mm/tahun tanpa ada bulan kering. Dengan demikian vegetasi hutan berdaun lebar dapat tumbuh dengan baik, sehingga menghalangi masuknya sinar matahari yang akhirnya menyebabkan kelembaban tanah sangat tinggi. Ketinggian daerah tersebut biasanya kurang dari 50 meter di atas permukaan air laut (berupa dataran rendah), tetapi dapat juga terdapat di dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 2000 meter di atas permukaan air laut dengan bentuk wilayah datar sampai bergelombang dengan suhu rendah. Pada daerah cekungan dengan genangan air terdapat longgokan bahan organik. Hal ini disebabkan suasana yang langka oksigen menghambat oksidasi bahan organik oleh jasad renik, sehingga proses hancurnya jaringan tanaman berlangsung lebih lambat daripada proses tertimbunnya. Dengan demikian terbentuklah gambut. Karena adanya kelebihan lengas atau penggenangan air di daerah cekungan dengan pengatusan buruk maka bahan organik yang terlonggok akan lambat terurai, sehingga terbentuklah gambut tebal. Pelapukan yang berlangsung sebagian besar dilaksanakan oleh agensia anaerob, ganggang dan jasad renik lainnya. Tentang pembentukan gambut di Indonesia, pada zaman pleistosen permukaan laut turun kurang lebih 60 meter di bawah permukaan air laut sekarang. Pada waktu itu bagian timur Sumatra, Malaysia, bagian barat dan selatan Kalimantan di hubungkan oleh Selat Sunda, sedangkan bagian selatan Irian Jaya menempati sebagian dari Selat Sahul. Kemudian selama zaman holosin daerah-daerah ini secara berangsur-angsur digenangi air laut. Naiknya permukaan air laut menyebabkan naik pula permukaan air tanah di daerah pedalaman, maka lokasi dimana air laut tidak dapat lagi ke daratan
185
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia akan terbentuk rawa. Pada cekungan-cekungan terjadi proses longgokan bahan organik yang berasal dari vegetasi rawa, sehingga terbentuklah gambut. Pada cekungan yang dalam secara berangsur-angsur terjadi penimbunan bahan organik sehingga akan terbentuk gambut tebal. Longgokan bahan organik tersebut tidak homogin melainkan berlapis-lapis. Watak gambut tergantung kepada macam vegetasi, iklim dan keadaan lingkungan yang mendukungnya. Setiap generasi tumbuhan yang tumbuh menyusul tumbuhan sebelumnya akan meninggalkan lapisan demi lapisan sisa bahan organik yang diendapkan dalam paya dan rawa. Susunan urutan lapisan itu berubah jika ada tumbuhan air disusul buluh dan rumput tertentu kemudian semak-semak rawa dan akhirnya pepohonan hutan dengan tumbuhan alasnya yang menempati bagian di atas lapisan gambut. Berdasarkan masyarakat tumbuhnya, gambut dibedakan kedalam tiga jenis, yaitu gambut paya, gambut rawa dan gambut bog, sedangkan berdasarkan tingkat dekomposisinya, gambut dibedakan menjadi 4 yaitu gambut seratan (gambut mentah yang paling sedikit terombak atau fibrik), gambut lembaran (folik) yang terdiri atas dedaunan dan ranting-ranting yang terombak sebagian (merupakan busukan atau seresah), gambut hemik (terombak sedang), dan gambut saprik (terombak paling matang). FAO-UNESCO (1974), memilahkan gambut menjadi tiga bagian yaitu gambut subur, gambut tidak subur dan gambut permafrost dan berdasarkan faktor pembentuknya, gambut dipilahkan menjadi gambut ombrogen, gambut topogen dan gambut pegunungan (Darmawijaya, 1980). KARAKTERISTIK GAMBUT Gambut mempunyai karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh jenis tanah yang lain. Sifat fisik yang dimiliki adalah mampu menyerap air yang sangat tinggi. Sebaliknya apabila dalam kondisi yang kering (kering berkelanjutan), gambut sangat ringan dengan berat volume yang sangat rendah (0,10,2 g/cm3) dan mempunyai sifat hidrofobik (sulit) menyerap air dan akan mengambang apabila terkena air. Pada kondisi demikian gambut dapat mengalami amblesan (subsidensi) dan mudah terbakar. Sedangkan sifat kimianya, gambut sangat tergantung pada jenis tumbuhan yang membentuk gambut, keadaan tanah dasarnya, pengaruh luar (seperti endapan sungai/banjir, endapan vulkanis) dan sebagainya. Ada dua kriteria utama yang mempengaruhi sifat kimia gambut yaitu (1) sifat dan asal tanaman yang terombak dan (2) tingkat dekomposisi. Secara umum gambut beraksi masam. Hal ini disebabkan oleh keluarnya asam-asam organik (humat dan fulvat). Hasil penelitian Suhardjo dan Adhi (1976), Pangudiatno (1974) gambut Riau mempunyai pH berkisar antara 3,5-4,7 dan Kalimantan mempunyai pH 3,3. Sedangkan kandungan N, C-total masing-masing berkisar antara 1,13-1,98% dan 49,8-54,11% (Riau), 1,44-1,80% dan 74,83-83,84% (Kalimantan). Selanjutnya kandungan P, K, Ca dan Mg sangat rendah. Untuk melihat karakteristikk gambut dibandingan dengan tanah mineral rawa dapat dibaca pada Tabel 2. PEMANFAATAN GAMBUT Akhir-akhir ini daerah gambut mendapat perhatian yang cukup besar, baik dari segi luasan lahan yang dapat digunakan untuk lahan pertanian, pemukiman, perkembangan kehutanan dan pemanfaatan untuk sumberdaya energi maupun dari segi fungsi lingkungan hidup sebagai penyangga kehidupan yang beraneka ragam dan menjaga perubahan iklim global. Untuk mengembangkan pertanian diperlukan banyak lahan yang harus dibuka dan diubah menjadi lahan pertanian, karena air merupakan faktor terpenting untuk perkembangan pertanian, maka perhatian terhadap lahan dataran rendah yang mengandung air, seperti lahan pasang surut, rawa dan gambut mendapat perhatian yang besar. Melihat keadaan lingkungan di masa depan yang amat terbatas kemampunanya untuk menghasilkan berbagai barang dan jasa, maka plasma nutfah yang tahan dengan berbagai lingkungan yang kurang menguntungkan di daerah gambut merupakan aset nasional yang penting bagi pembangunan masa depan.
186
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Tabel 2. Karakteristik lahan pasang surut (Budianta, 2003)
-
Karakteristik Distribusi partikel tanah: Pasir (%) Debu (%) Liat (%) pH (H2O) (KCl) C-Organik (%) N-Total (%) C/N P2O5 (mg/100g) K2O(mg/100g) P2O5 (ppm) Ca (me/100g) Mg (me/100g) K (me/100g) Na (me/100g) Fe (me/100g) Al (me/100g) Kej. Al (%) Kej. Basa (%) KTK (me/100g) DHL (mmhos)
Potensial1
Sulfat Masam2
Gambut3 Dangkal
Salin4
32,0 29,33 38,67 4,20 3,53 2,91 0,23 12,0 11,20 3,58 0,42 0,46 0,77 5,68 45,88 26,72 19,57 -
6,1 61,8 32,0 4,0 3,28 0,45 0,11 4,09 1,50 30,76 1,95 0,17 92,30 2,12 -
4,1 36,32 1,28 32 48 75 3,9 2,8 0,7 0,7 4,52 38,8 67,0 0,58
8 44 48 6,22 5,5 1,65 0,18 22,85 0,56 0,32 1,68 3,05
1
Anwar et al (1990)
2
Suwalan et al (1990)
3
Widjaja-Adhi et al (1990)
4
Subiksa et al (1990)
Pada waktu ini daerah gambut telah memberi manfaat yang besar bagi masyarakat lokal (indigenous people) untuk berbagai keperluan. Daerah rawa gambut telah lama menjadi daerah perburuan ikan dan berbagai margasatwa yang memberikan sumber makanan dan sumber kehidupan yang penting bagi masyarakat. Beberapa daerah gambut telah dilestarikan sebagai tempat perlindungan plasma nutfah dalam bentuk suaka alam dan suaka mergasatwa. Berbagai masyarakat asli/tradisional hidup dan menyatu dengan ekosistem gambut. Lahan gambut yang lapisan gambutnya kurang dari 130 cm ketebalannya, telah banyak digunakan untuk keperluan pertanian pangan dan perkebunan. Karena pH dan kandungan hara yang rendah biasanya dalam usaha pertanian perlu ditambahkan secara intensif penggunaan pupuk yang mengandung unsur K, Ca, Mg, P dan N, unsur Ca dan Na untuk menaikan pH. Pada umumnya hanya lahan dasarnya (mineral) yang digunakan untuk pertanian, sedang lapisan gambutnya secara berangsur-angsur dihilangkan dengan berbagai cara, misalnya dibakar atau diaduk dengan tanah pada waktu dibajak. Upaya pengembangan gambut sebagai lahan pertanian diperlukan beberapa upaya untuk: 1. Mempercepat kematangan. 2. Meningkatkan kejenuhan basa, antara lain dengan memberikan dolomit, tanah mineral dan pasir atau kombinasi. 3. Mencari jenis dan varietas tanaman serta pola tanamnya yang cocok. Beberapa tanaman pangan menunjukkan hasil yang kurang baik di daerah gambut, klorosis pada tanaman kelapa sawit, kopi dan coklat adalah gejala kekurangan unsur mikro Cu atau Zn.
187
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Dampak Pembukaan Gambut Konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian pada dasarnya merupakan konversi total, mulai dari pergantian jenis kehidupan menjadi ekosistem lain yang tidak lagi memiliki sifat-sifat gambut yang asli (indigen). Perubahan sifat ekologi yang paling tampak adalah perubahan pH, kadar garam dan penguraian bahan organik yang cenderung meningkat. Di lapangan memperlihatkan bahwa pembukaan hutan gambut yang paling menonjol adalah bukannya dilakukan untuk membuat lahan pertanian tetapi dilakukan untuk mengambil kayunya saja tanpa memperdulikan keberadaan dan ketebalan gambut apalagi manfaat gambut. Untuk itu kegiatan yang demikian harus dikendalikan dan diberhentikan melalui peraturan-peraturan daerah dan pemberian sanksi. Sedangkan di daerah dimana gambut dibakar untuk dijadikan lahan pertanian sering menimbulkan danau-danau kecil yang kemudian tumbuh rumput-rumputan dan gulma, sedangkan daerah yang kering yang ditinggalkan petani menjadi lahan tidur yang ditumbuhi oleh jenis Melaleuca atau Macaranga. Daerah gambut bekas pakai, dapat menjadi lebih tandus lagi dan hanya dapat ditumbuhi belukar yang banyak ditumbuhi oleh tumbuhan kantong semar (Nepenthes). Pemakaian lahan gambut untuk pembangunan pemukiman, sarana dan prasarana, penambangan minyak, penempatan bangunan industri dan sebagainya, meningkatkan resiko kebakaran. Di Delta Upang dan Musi Banyuasin, pengurangan jumlah pohon dan menurunnya lapisan gambut menyebabkan permukaan air naik, sehingga drainase menjadi buruk. Di daerah Upang penurunan gambut tebal mencapai 3,5 cm/tahun. Di samping itu suhu rata-rata meningkat sebesar 1oC, kelembaban nisbi menurun menjadi 80%, kecepatan angin meningkat 8-12 km/jam. Di daerah dimana dilakukan tebang habis pada hutan gambut, suhu rata-rata naik 4oC, air tanah naik lebih tinggi lagi dan kelembaban nisbi turun menjadi 70%, pH meningkat menjadi 4,5-5,5. Kehilangan plasma nutfah adalah yang paling besar yang disebabkan oleh hancurnya siklus ekologi seperti siklus materi dan energi, siklus hara, siklus udara dan siklus hidrologis. Pengaruh langsung terhadap penurunan jenis kehidupan di daerah gambut adalah biosida yang digunakan dalam pertanian dan industri perkayuan. Biosida tersebut menyebar luas dalam lahan gambut yang mengandung banyak air dan masuk ke dalam rantai makanan dengan cepat sehingga berakibat fatal terhadap keberadaan jasad hidup. STRATEGI PEMANFAATAN HUTAN GAMBUT Telah diketahui bahwa ekosistem hutan gambut merupakan ekosistem yang telah stabil sebagai hasil dari interaksi ribuan tahun antara komponen biotik dan lingkungannya. Kestabilan ini menghasilkan tata air yang seimbang dan mempertahankan keberadaan flora dan faunanya. Selain itu, hutan gambut mempunyai sifat fisik dapat menyerap air yang berlipat ganda (fungsi alami dari bahan organik), dengan hilangnya hutan gambut akan menghilangkan fungsi penyerapan air ini. Sehingga pada waktu musim hujan karena hilangnya hutan gambut dalam jumlah besar (yang dapat berfungsi sebagai konservasi air) akan mengakibatkan banjir. Jadi, dalam suatu DAS yang memiliki areal hutan gambut yang sangat luas, harus berhati-hati dalam mentransformasi hutan gambut dalam bentuk lainnya dan diperlukan peraturan yang menetapkan boleh tidaknya hutan gambur dibuka dan harus transparan. Dengan demikian tidak seluruh hutan gambut boleh diubah fungsinya, melainkan harus ada strategi dalam pemanfaatan hutan gambut. Untuk itu diperlukan beberapa strategi dalam pemanfaatan lahan gambut agar tidak merubah lingkungan secara drastis, karena dampak negatif yang ditimbulkan dengan pembukaan hutan rawa yaitu (a) hilangnya berbagai jenis flora dan fauna spesifik gambut, (b), rusaknya habitat dan tempat mencari makan beberapa jenis fauna, (c) kemungkinan timbulnya intrusi air asin dari laut lewat saluran-saluran yang dibangun, (d) kenaikan keasaman tanah secara mencolok sebagai akibat teroksidasinya pirit, (e) timbulnya banjir di daerah hilir, (f) keterbatasan sumber air bersih khususnya untuk kebutuhan air minum, (g) secara global, berkurangnya kandungan oksigen di udara sebagai akibat semakin berkurangnya areal hutan dan (h) terjadinya penurunan muka tanah sebagai akibat proses dekomposisi dan pemanfaatan tanah (Budianta, 2003). Oleh karena hutan gambut merupakan ekosistem yang fragil maka setiap pengembangan dan pemanfaatan memerlukan perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang tepat. Untuk itu strategi yang dapat diusulkan adalah pendekatan
188
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia konservasi, kawasan non budidaya, pendekatan tampung hujan, pendekatan agro-manajemen terpadu dan pendekatan teknik budadiya. Pendekatan Konservasi Mengingat hutan gambut termasuk ekosistem yang fragil, maka pembukaan hutan gambut jangan dilakukan secara besar-besaran dan harus dilakukan skala prioritas. Gambut tebal tidak direkomendasikan untuk dibuka sebagai lahan budidaya tetapi sebagai gambut konservasi untuk air dan flora, fauna serta menyimpan cadangan karbon. Gambut konservasi dipertahankan sebagai wilayah cadangan dan dipertahankan untuk mengantisipasi perubahan iklim dunia dan mempertahankan plasma nutfah rawa, untuk mengawetkan fauna dan flora serta memberikan yang cukup luas untuk pemanfaatan dan penelitian di masa mendatang. Gambut konservasi, oleh karena itu, didiamkan dalam bentuk hutan. Konservasi dalam hal ini diartikan sebagai pengelolaan penggunaan biosfer oleh manusia, sedemikian sehingga memberikan manfaat lestari tertinggi bagi generasi sekarang sementara mempertahankan potensinya untuk memenuhi keutuhan dan aspirasi generasi mendatang (Hanson dan Manuel, 1987). Kawasan Non-Budidaya Kawasan pewakil untuk tujuan preservasi alam perlu ditentukan sebelum membuka hutan gambut. Distribusi, jumlah dan luasan kawasan pewakil perlu ditentukan alokasinya secara seimbang sehingga tujuan preservasi alam tercapai. Daerah yang dicadangkan untuk tujuan preservasi dijadikan kawasan non-budidaya (buffer zone). Kawasan non-budidaya terdiri atas jalur hijau sepanjang pantai dan sungai, dan kawasan non-budidaya luasnya kira-kira sepertiga dari wilayah yang dibuka, walaupun gambut tersebut boleh dibuka karena ketebalannya memungkinkan sebagai lahan budidaya. Kawasan non-budidaya juga bermanfaat untuk melindungi kerusakan lahan terhadap erosi maupun abrasi oleh air sungai/pasang. Kosep Tampung Hujan Sistem saluran yang sekarang digunakan di daerah gambut dapat dikatakan sudah efektif sebagai saluran draniase. Hanya di beberapa tempat agak kurang lancar karena adanya pendangkalan. Misalnya banyak lahan gambut yang telah dibuka menjadi sawah kering, tidak ada genangan air, walau musim hujan (contoh di Air Sugihan). Keefektifan saluran irigasi tergantung pada pori lapisan bawah, ketersediaan air, serta spesifikasi dan jarak saluran. Biasanya jarak antara dua saluran adalah 60 meter. Keefektifan irigasi juga tergantung pada adanya sumber air untuk irigasi. Untuk itu perlu dialokasikan areal yang fungsinya sebagai kawasan tampung hujan, yang diletakkan di bagian hulu sungai. Bagian ini biasanya merupakan lahan gambut dangkal dari fisiografi yang asosiasi tanahnya berupa tanah mineral dan gambut dangkal. Air bersih sulit ditemukan di daerah gambut (karena hampir semua airnya berwarna coklat kehitaman seperti air teh), sehingga kawasan tampung hujan sangat diperlukan untuk sumber air bersih untuk manusia, ternak bahkan untuk tanaman pada saat musim kemarau. Pendekatan Agro-Manajemen Terpadu Lahan gambut selain mempunyai kesuburan yang sangat rendah untuk budidaya tanaman, juga wilayah untuk mencapai lahan gambut mempunyai akses ekonomi yang sangat jelek juga. Untuk mensukseskan kegiatan agribisnis di lahan gambut, maka harus seimbang antara kegiatan on farm dan off farm dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Kegiatan on farm telah dilakukan semenjak membuka gambut tetapi sampai sekarang belum menampakan keberhasilan yang menonjol karena budidaya di lahan gambut memerlukan modal yang sangat tinggi untuk mengoptimalisasikan lahan. Sementara itu, kegiatan off farm (pasca budidaya) belum memberikan harapan yang cerah untuk membantu petani di lahan gambut. Kegiatan pasca budidaya ini dipengaruhi oleh faktor pemasaran (jaringan pasar), teknologi pasca panen, agroindustri, modal, infrastruktur dll. Jadi petani di lahan gambut sampai sekarang umumnya masih sangat tradisional dengan teknologi dan kualitas SDM yang seadanya.
189
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Pendekatan Teknis Budidaya Teknik budidaya ini dapat dilakukan untuk meningkatkan kondisi lahan marjinal menjadi lahan subur. Akan tetapi dalam prakteknya harus dipilih teknologi yang tepat. Tindakan untuk memperbaiki tubuh tanah diharapkan mengarah kepada perbaikan sifat-sifat tanah, baik sifat fisik, kimia maupun biologi yang disebut ameliorasi. Ameliorasi ini dapat dilakukan dengan berbagai teknik, antara lain teknik hidrologi, teknik kimiawi, dan bioteknologi. Dalam prakteknya ketiga teknik tersebut harus berjalan bersama-sama. a. Teknik Hidrologi Lahan gambut di lahan rawa selalu tergenang air. Agar lahan tersebut dapat digunakan untuk budidaya tanaman maka perlu dilakukan perbaikan hidrologi. Untuk meningkatkan pH serta menghilangkan unsur-unsur beracun dapat dilakukan dengan mengatur tata air sedemikian rupa sehingga terjadi pergantian air dengan air segar dan melalui proses yang kontinyu akan terjadi peningkatan pH. Demikian juga halnya pada daerah-daerah yang mengandung pirit, maka dengan mengatur permukaan air tanah sedemikian rupa (di atas lapisan pirit) akan mencegah terjadinya oksidasi pirit dan akhirnya dapat mencegah penurunan pH secara drastis. b. Teknik kimiawi Tindakan yang dapat dilakukan pada perbaikan kimiawi adalah dengan pemberian bahan-bahan amelioran yang dimaksudkan untuk meningkatkan daya dukung lahan agar sesuai sebagai medium tanaman. Bahan-bahan amelioran yang dapat ditambahkan yaitu kapur pertanian (dolomit), pupuk N,P,K dan pupuk mikro Cu dan Zn. c.
Bioteknologi Lahan gambut telah dijelaskan dimuka, merupakan lahan marjinal yang mempunyai kesuburan sangat rendah. Dengan perbaikan yang telah dilakukan saja terkadang tanaman belum mampu tumbuh dengan baik, karena sistem tanah sebagai medium tanaman belum berjalan secara baik. Untuk itu, langkah awal yang paling baik adalah menanam tanaman yang toleran pada lahan gambut atau mencari varietas-varietas tanaman yang toleran melalui teknik pemuliaan tanaman.
PENUTUP Indonesia mempunyai potensi gambut yang sangat besar (26 juta ha), tetapi luasan gambut di Indonesia ini perlu dilakukan inventarisasi ulang untuk mengetahui luas yang sebenarnya dan untuk menyusun strategi pengelolaan, karena pada tahun 1997 terjadi kebakaran hutan secara besarbesaran, sehingga diduga luasan gambut akan menurun. Kenyataan di lapangan daerah gambut mempunyai aksesibilitas yang sangat rendah, karena gambut di Indonesia umumnya dijumpai di daerah rawa-rawa yang bersifat marjinal dan sulit dijangkau. Namun demikian gambut dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia yaitu sebagai lahan pertanian, perkebunan dan sumber energi. Selain itu, gambut juga mempunyai fungsi ekologis dalam menjaga perubahan iklim dunia dan menjaga fungsi hidrologi. Dilain pihak gambut mempunyai sifat yang unik yaitu bersifat fragil dengan kesuburan yang sangat jelek, sehingga sekali dibuka akan merubah ekosistem gambut dan untuk memulihkan ke ekosistem semula memerlukan waktu yang sangat lama. Untuk itu, dalam pemanfaatan gambut agar lestari dan berkelanjutan serta meminimalkan risiko kegagalan harus menerapkan beberapa strategi, yaitu dengan melalui beberapa model pendekatan dan konsep antara lain pendekaan konservasi, kawasan non-budidaya, pendekatan tampung hujan, pendekatan agro-manajemen terpadu dan pendekatan teknik budidaya.
190
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia DAFTAR PUSTAKA Atmawigjaja, R. 1988. Pengelolaan lahan gambut di Indonesia dari gatra konservasi dan lingkungan. Kongres gambut I. Himpunan Gambut Indonesia, 9-10 September 1988 di Yogyakarta. 11 p. Budianta, D. 1988. Pengaruh pemberian bahan tanah vertisol terhadap beberapa sifat kimia gambut. Fakultas Pertanian. UGM, Yogyakarta. Budianta, D. 2003. Strategi pengelolaan lahan rawa pasang surut untuk mendukung otonomi daerah di Sumatera Selatan. Makalah disampaikan pada seminar Lokakarya Nasional Ketahanan Pangan Dalam Era Otonomi Daerah. Palembang, 2-4 Maret 2003. Darmawidjaja, M.I. 1980. Klasifikasi tanah. BPTK Gambung, Bandung. P. 182-188. FAO-UNESCO. 1974. Soil map of the world. Vol 1. Legend. Unesco, Paris. P. 14-43. Hanson, A.J., and P.M. Manuel. 1987. A conservation approach to peatland development in Indonesia. Paper for presentation at Symposium for tropical peat and peatlands for development. IPS. Feb. 9-14, 1977. Yogyakarta. Pangudijatno, G. 1984. Potensi 52(4a):113-118.
tanah gambut bagi tanaman perkebunan. Menara Perkebunan
Satari, A.M. 1988. Pemanfaatan gambut dan limbah tanaman untuk industri media buatan. Makalah pada seminar budidaya dan bisnis bunga. Jakarat 6-7 Juni 1988. Yayasan Bunga Nusantara, Jakarta. Soepratohardjo, M. and P.M. Driessen. 1976. The lowland peats of Indonesia a challenge for future. In Soil Research Institute. 1976. Peat aand Podzolic Soil and Their Potential for Agriculture in Indonesia. p. 11-19. Suhardjo, H. dan Adhi, W. IPG. 1976. Chemical characteristics of upper 30 cm of peat soils from Riau. In Soil Research Institute. 1976. Peat and Podzolic Soil land, Their Potential for Agriculture in Indonesia. p. 74-92. Wirjodiharjo, M.W. and T. K. Hong. 1950. Ilmu Tanah III. Tanah, Pembentukannya, Susunannya dan Pembagiannya. FP. IPB. Bogor. P. 457-479.
191
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia UJI COBA REHABILITASI HUTAN RAWA GAMBUT BEKAS KEBAKARAN DI LOKASI TAMAN NASIONAL BERBAK BERSAMA KELOMPOK MASYARAKAT DESA PEMATANG RAMAN, JAMBI Hari Subagyo Manager Bina Hutan dan Lingkungan PT Putraduta Indah Wood – Jambi Indra Arinal Sumatera Site Coordinator – CCFPI Wetlands International – Indonesia Programme
PENDAHULUAN Latar Belakang 1.
Dampak Kebakaran Pada Hutan Rawa Gambut Hutan rawa gambut, sebagaimana sumber daya hutan lainnya mempunyai 2 fungsi utama, yaitu a) Fungsi ekologis, sebagai tempat perlindungan flora fauna, konservasi tanah, tata-air, kestabilan iklim, dan keanekaragaman hayati; dan b) Fungsi ekonomis, sebagai sumber-sumber produk kehutanan kayu maupun non kayu. Fungsi-fungsi tersebut dapat menurun atau bahkan hilang akibat eksploitasi hutan, alih fungsi lahan, dan bencana kebakaran. Perubahan fungsi ekologi hutan rawa gambut, sangat terkait dengan dampak yang terjadi pada komponen tanahnya (tanah gambut). Sebagai komponen dari ekosistem hutan rawa gambut, terjadinya perubahan pada tanah gambut yang menimbulkan dampak negatif, merupakan ancaman terhadap stabilitas ekosistem hutan rawa gambut. Kerusakan yang disebabkan oleh kebakaran hutan berlangsung relatif cepat dengan dampak negatif yang serius. Tegakan hutan pada umumnya mengalami kematian (musnah), serta hilangnya lapisan gambut pada areal yang bergambut dangkal dan penurunan tebal gambut pada areal yang bergambut dalam. Kerugian terbesar akibat kebakaran hutan rawa gambut ini adalah hilangnya sumberdaya genetik (plasma nutfah) yang merupakan kekayaan terbesar pada hutanhutan tropika. Dampak kebakaran hutan rawa gambut mengakibatkan kerusakan yang lebih berat dibandingkan dengan dampak eksploitasi karena kerusakan yang terjadi tidak saja terjadi pada tegakaan hutan tetapi juga pada tanah gambutnya. Kerusakan pada kedua sistem tersebut akan turut menurunkan produktivitas lahan serta menurunkan daya dukung lahan dalam menopang pertumbuhan vegetasi di atasnya. Secara umum, lebih dari 90 % terjadinya kebakaran hutan di hutan rawa gambut disebabkan oleh faktor manusia, baik disengaja maupun tidak ada kesengajaan. Kebakaran hutan rawa gambut dapat terjadi secara periodik terutama pada musim kemarau panjang. Sumber api sebagian besar berasal dari aktivitas manusia pada hutan tersebut, yakni dapat berupa penyiapan lahan untuk berladang dengan sistem tebas, tebang, dan bakar; serta pembuatan api untuk memasak dan pembuangan puntung rokok pecari ikan, penyadap getah jelutung, atau para pekerja areal pembalakan (illegal logging).
2. Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Upaya pemulihan hutan rawa gambut yang terbakar hebat dan disertai musnahnya tegakaan hutan, hanya menurut terjadinya suksesi alami agaknya sulit tercapai klimaks, bahkan mungkin terjadi disklimaks. Sesuai dengan karekteristiknya, hutan rawa gambut memang rawan kebakaran dan kebakaran itupun dapat berlangsung secara periodik, sesuai datangnya musim
193
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia kemarau/kering. Intervensi manusia berupa kegiatan rehabilitasi sangat diperlukan untuk mempercepat susksesi alam tersebut. Apabila dibandingkan dengan kegiatan rehabilitasi pada tanah mineral biasa, maka kegiatan reahabilitasi di areal tanah gambut relatif lebih sulit. Tingkat kesulitan ini disebabkan karektristik dari lahan hutan rawa gambut itu sendiri. Umumnya lingkungan tanah gambut mengalami fluktuasi genangan air/banjir, yang biasa disebabkan oleh pengaruh pasang surut air laut pada tanah gambut dekat pantai, maupun oleh pengaruh musim, seperti adanya curah hujan yang tinggi. Faktor pembatas pertumbuhan tanaman dari hutan rawa gambut adalah habitatnya yang terdiridari gambut dengan tingkat pelapukan (dekomposisi) tidak sempurna. Tanah gambut mempunyai tingkat kesuburan yang rendah, karena suplai hara hanya terbatas pada sisa-sisa tanaman dan air hujan, reaksi tanah yang masam (pH < 4), serta potensi kandungan phyrit yang bersifat racun bagi pertumbuhan tanaman (Abdullah, 1977). Hutan rawa gambut yang telah terlanjur rusak, akibat kebakaran lapisan gambutnya akan mengalami penurunan permukaan yang dikenal dengan proses subsidence, sebagai akibat dari suplai bahan organik penyusun gambut berhenti karena musnahnya pohon-pohon diatasnya, dan hal ini akan terjadi genangan menyerupai danau pada musim hujan. Sifat lain dari tanah gambut yang perlu mendapat perhatian adalah adanya efek irriverisible drying atau sifat tidak dapat balik dari gambut. Sifat ini menyebabkan gambut dalam keadaan kering akan sulit kembali menyatu (bercerai berai) walau tanah gambut tersebut dibasahi kembali, sehingga gambut pada umumnya rawan kebakaran pada musim kemarau. Dilain pihak, pada musim penghujan gambut yang terdispersi tersebut akan hanyut dibawah aliran permukaan. Sifat fisik tanah gambut lain yang perlu mendapat perhatian adalah kerapatan lindak (bulk density) tanah gambut yang rendah, sehingga kekuatan menahan beban fisik di atasnya sangat rendah. Fenomena ini menyebabkan hutan rawa gambut mengalami kerusakan akibat eksploitasi yang berat, tegakan tunggal mudah roboh dan tumbuh mudah miring bila ada gangguan angin. Apibila tanah gambut dapat dipertahankan pada kondisi yang lembab, tanah gambut dapat berfungsi sebagai penyimpan air yang sangat efektif karena memiliki kemampuan menahan air yang tinggi. Dalam keadaan jenuh, kadar air tanah gambut dapat mencapai 450 3.000 % dari bobot keringnya, karena air yang dikonsumsi untuk tumbuhan tersedia sepanjang tahun dan terdapat dalam jumlah yang berlebih. Fenomena ini salah satunya yang menyebabkan vegetasi pada hutan rawa gambut selalu nampak menghijau (Ismunadji dan Supardi, 1984). Uji coba maupun penelitian penerapan silvikultur untuk kegiatan rehabilitasi di areal rawa gambut tanpa atau sedikit merubah ekosistemnya relatif belum banyak dilakukan. Hal ini antara lain disebabkan aksesibilitas yang sulit, dan juga berkaitan dengan karekteristik dari gambut itu sendiri, serta nilai komersial (ekonomi) tegakaan hutan rawa gambut relatif lebih rendah. Hal tersebut sangat berbeda bila dibandingkan dengan rehabilitasi pada tipe hutan lainnya yang berada pada tanah mineral daratan. Kegiatan uji coba dan penerapan teknik silvikultur untuk rehabilitasi hutan rawa gambut yang telah dilakukan diantaranya adalah oleh Balai Teknologi Reboisasi (BTR) Palembang dari Tahun 1995 sampai Tahun 2000, dengan sifat rehabilitasinya mengarah pada kegiatan pengayaan (Enrichment Planting) pada areal bekas tebangan HPH (logged over area). Metoda yang digunakan adalah dengan sistem penanaman jalur (line planting) dan dikombinasikan dengan pemeliharaan berupa pembebasan tumbuhan dengan interval setiap 3 bulan pada tahun pertama, serta 6 bulan pada tahun kedua dan ketiga setelah tanam. Jenis pohon yang ditanam adalah jenis unggulan setempat/lokal (in situ), dengan maksud menyesuaiakan dengan sifat aslinya (Bastoni, 2000). Hal yang sama juga dilakukan pada BTR Banjarbaru dengan lokasi penelitian dan uji cobanya di Kalimantan Tengah antara tahun 1998 – 2000 (Rahmanadi, et al, 200). Hasil kedua uji coba tersebut menunjukan bahwa tingkat pertumbuhan tanaman relatif cukup baik dengan prosentase hidup tanaman lebih dari 60 %. Kegiatan uji coba rehabilitasi hutan rawa gambut bekas kebakaran pada areal terbuka telah dilakukan oleh HPH Pt. Putra Duta Indah Wood dengan bantuan asistensi dari BTR Palembang.
194
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Metode yang digunakan adalah penyiapan lahan dengan menggunakan pola gundukan. Pembuatan gundukan tanah gambut tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk menghindari genangan dan perbaikan drainasenya, sehingga merupakan modifikasi sistem parit/kanal yang biasa diterapkan pada HTI dan perkebunan di tanah gambut. Selain hal tersebut, dengan menggunakan pola gundukan ini, diharapkan stabilitas ekosistem yang ada dapat dipertahankan. Jenis pohon yang ditanam adalah jenis lokal, unggulan setempat, hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan habitat aslinya (sebelum terjadi kebakaran). Sistem pemeliharaan yang digunakan adalah dengan pembebasan vegetasi bawah (semak) sekitar gundukan tanaman, dengan interval setiap 3 bulan sekali pada tahun I, dan 4 bulan sekali pada tahun kedua. Persentase hidup tanaman pola rehabilitasi seperti tersebut relatif cukup baik pada tahun I , yakni rata-rata lebih dari 70 %. (Subagyo, 2002). 3.
Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Sisi lain dari keberhasilan pelestarian maupun kegiatan rehabilitasi sangat erat kaitannya dengan keberadaan dan aktivitas masyarakat di sekitarnya, seperti perambahan hutan, perburuan liar, dan kebakaran hutan. Oleh karenanya, partisipasi masyarakat sangat penting dalam upaya pelaksanaan rehabilitasi maupun pelestarian hutan. Rasa ikut memiliki dan bertanggung jawab untuk melindungi sumber daya hutan dari berbagai gangguan perlu diupayakan terus menerus, sehingga pada akhirnya manfaat langsung maupun tidak langsung dari program pelestarian hutan dapat mereka rasakan (Manan, S. 1997).
Maksud, Tujuan dan Sasaran Suksesi hutan menuju klimaks dapat bergerak maju (progresif) atau mundur (retrogresif). Akan tetapi bila terjadi gangguan seperti kebakaran berulang-ulang maka yang akan terjadi adalah disklimaks. Atas dasar hal tersebut, maka uji coba rehabilitasi hutan rawa gambut bekas kebakaran di TN. Berbak bersama kelompok masyarakat Desa Pematang Raman ini adalah bentuk intervensi manusia dalam upaya mempercepat terjadinya proses suksesi alam. Terkandung pada maksud tersebut ada beberapa tujuan kegiatan ini: 1.
Model kerja sama antara HPH dan Taman Nasional;
2.
Meningkatkan hubungan kerjasama pengelola Taman Nasional dengan HPH;
3.
Meningkatkan pengertian masyarakat lokal sehubungan dengan kegiatan dan dampak kegiatannya terhadap sumberdaya alam dan stok karbon;
4.
Merehabilitasi areal hutan rawa gambut di daerah penyangga dan di Taman Nasional.
Sasaran yang hendak dicapai pada kegiatan ini adalah diperolehnya informasi mengenai berbagai hal yang meliputi teknis rehabilitasi hutan rawa gambut bekas terbakar, yang kelak dapat digunakan sebagai acuan kegiatan sejenis pada skala kegiatan yang lebih luas. Sasaran lainya, adalah mengupayakan terciptanya partisipasi dari berbagai pihak terutama kelompok masyarakat rehabilitasi, badan dan lembaga lainnya. Berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan rehabilitasi ini diharapkan adanya sesuatu yang dapat dipelajari, seperti: 1.
Teknik rehabilitasi yang paling sesuai dengan sedikit atau tanpa mengubah ekosistem yang ada pada areal hutan rawa gambut bekas kebakaran yang telah memusnahkan tegakan pohon yang ada;
2.
Upaya menumbuhkembangkan partisipasi kelompok masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan reahabilitasi dan pelestarian hutan serta upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan.
195
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Pada akhir kegiatan, meskipun luasan kegiatan ini relatif tidak luas, (sebanyak 20.000 bibit yang ditanam), namun demikian, keberhasilan nantinya diharapkan dapat mempercepat proses suksesi. Bagi Taman Nasional Berbak, informasi teknis rehabilitasi hutan rawa gambut bekas kebakaran, yang sistematis dan terukur, dapat dipakai sebagai acuan dalam penyusunan rencana umum pengelolaan areal bekas kebakaran, dengan memanfaatkan kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai aktivitas mencari nafkah sehari-harinya di dalam kawasan Taman Nasional. Pembinaan dan pengendalikan terhadap mereka memang diperlukan, sehingga tekanan terhadap sumberdaya hutan dapat diminimalkan dan upaya pelestariannya dapat dimaksimalkan.
GAMBARAN UMUM LOKASI KEGIATAN Lokasi dan Aksesibilitas Uji coba rehabilitasi bersama kelompok masyarakat Desa Pematang Raman, dilaksanakan pada areal Taman Nasional (TN) Berbak yang telah mengalami kebakaran hebat pada Tahun 1997 (dampak el nino), dan disusul kebakaran-kebakaran lainnya pada tahun-tahun berikutnya. Luas total areal hutan rawa gambut yang terbakar pada TN. Berbak adalah seluas kurang lebih 25.000 ha. (perhitungan planimetris). Lokasi kegiatan adalah sekitar kiri-kanan sepanjang aliran S. Air Hitam Laut, tepatnya terletak disekitar simpang T dari S. Air Hitam Laut, dengan posisi geografis adalah 01° 23, Lintang selatan, dan 104° 13’ Bujur Timur. Aksesibilitas untuk mencapai lokasi uji coba ini relatif cukup sulit. Kesulitannya terletak pada sarana transportasi. Jarak lokasi kegiatan apabila dihitung dari Desa Pematang Raman - Areal HPH Putraduta Indah Wood - S. Air Hitam Laut dan terakhir lokasi kegiatan adalah sekitar 25 km. Sarana transportasi menuju lokasi pada areal HPH. PT Putraduta Indah Wood, menggunakan jalan rel sepanjang 14 km, dilanjutkan melewati Sungai Air Hitam Laut menuju lokasi sejauh kurang lebih 10 Km. Aksesibilitas yang sulit terletak pada alur sungai Air Hitam Laut yang kondisi sungainya banyak ditumbuhi vegetasi air, seperti pandan, dll. disamping itu juga sisa-sisa kayu yang melintang dari kegiatan illegal loging. Karakteristik Lahan 1.
Fluktuasi Genangan Informasi fluktuasi genangan air pada lokasi kegiatan diperoleh dari kelompok masyarakat yang beraktivitas disekitar lokasi, dan berdasarkan pengamatan langsung. Pada puncak musim hujan, yakni antara Desember – Januari sebagian besar areal uji coba tergenang air, dengan ketinggian genangan sekitar 50 cm. Pola genangannya adalah semakin jauh jaraknya dari S. Air Hitam Laut, tinggi genangan semakin menurun. Pada musim-musim kering (kemarau) pada areal kegiatan tidak lagi tergenang. Hal tersebut menunjukan bahwa tinggi genangan air mengalami fluktusai musiman. Pada musim hujan genangan tinggi dibandingkan musim kemarau akibat suplai air yang lebih tinggi. Sedangkan tinggi genangan yang semakin menurun dengan bertambahnya jarak dari sungai terutama disebabkan peningkatan lapisan gambut yang semakin tebal.
2. Jenis Tanah Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada lokasi uji coba rehabilitasi, jenis tanah yang teramati adalah sebagian kecil dari jenis tanah mineral dan sebagian besar adalah tanah organik. Tanah mineral umumnya terdapat pada pinggir sungai, dan tanggul sungai (levee). Berdasarkan klasifikasi tanah sampai tingkat great group menurut sistem Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1990), jenis tanahnya adalah sebagai berikut :
196
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
3.
-
Fluvaquent : tanah alluvial yang ditemukan disekitar tanggul sungai dengan bahan induk berasal dari sedimen yang terbawa arus sungai dan diendapkan pada tanggul sungai.
-
Hydraquent : tanah glei yang selalu jenuh air, dengan bahan induk berasal dari campuran sedimen sungai (alluvial sediment) dan sedimen laut (marine sediment).
-
Tropohemist : tanah gambut sedang (100 - 200 cm.) tingkat kematangan bahan organik hemik.
-
Tropofibrist : tanah gambut dalam – sangat dalam (lebih dari 300 cm.), tingkat kematangan bahan organik fibrik (<1/3 bagian berupa serat kasar).
Lapisan Gambut Tipe gambut pada lokasi kegiatan dan sekitarnya adalah Gambut Obrogen. Secara umum gambut ini adalah miskin unsur hara. Tumbuhan yang tumbuh menggunakan zat hara dari tumbuhan itu sendiri, dari gambut dan dari air hujan. Relatif tidak ada zat hara yang berasal dari sumber lainnya. Gambut semacam ini dijumpai di dekat pantai, dan kedalamannya bisa mencapai 20 meter, air drainasenya sangat masam dan miskin zat hara (oligotropik) terutama calsium (Anwar J, et al, 1984). Pada lokasi kegiatan uji coba rehabilitasi, lapisan gambutnya realtif tipis terutama pada lokasi mendekati sungai Air Hitam Laut. Hal tersebut akibat terjadinya penurunan (subsidence), tanah gambut akibat kebakaran hutan. Sebagian lagi gambutnya hanyut (efek ireverisible drying) oleh arus air pada saat genangan air tinggi. Semakin menjauh dari pinggir sungai tebal lapisan gambut semakin meningkat, hal tersebut karena bentuk lapisan tanah mineral yang mencekung pada bagian tengah (bentuk seperti pinggan).
4.
Vegetasi Pada areal yang mengalami kebakaran berat pada tahun 1977, dan disusul dengan kebakaran pada tahun tahun selanjutnya, belum terdapat suksesi vegetasi alami baik jenis tumbuhan bawah, maupun maupun jenis pohon-pohonan. Pada areal ini, seluruh pohon penyusun tegakaan hutan mengalami kematian total, yang disebabkan masa tanah gambut sebagai tempat berjangkarnya perakaran pohon turut terbakar. Pada lokasi yang hanya terbakar sekali pada tahun 1977, telah terjadi suksesi vegetasi alami, namun terbatas pada tumbuhan bawah seperti paku tanah (Nephrolepsis uluginosa), paku tanah merambat (Senochaena paluris, Bedd), Rumput kumpai (Leersia hexandra Swartz), Melatoma, dll Sedangkan pada lokasi yang mengalami subsidence cukup besar sebagian arealnya tergenang, vegetasi yang sudah mulai tumbuh adalah jenis pandan duri (pandanus sp). Tumbuhan jenis pohon-pohonan, yang nampak mulai ada adalah jenis Tanah-Tanah /Temasam (Trisyaniopsis sp), yang merupkan tumbuhan pioneer dan hidup dipinggir sungai, serta merupakan tumbuhan herba.
5.
Kelompok Masyarakat Di dalam Taman Nasional Berbak, terdapat banyak kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai aktivitas sehari-harinya sebagai pengumpul hasil hutan. Umumnya mereka keluar masuk lokasi dengan periodesasi setiap bulan sekali, dengan memanfaatkan akses perusahaan PT Putraduta Indah Wood. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut umumnya berasal dari desa-desa sekitar Taman Nasional dan menggantungkan nafkahnya dari pengumpulan hasil hutan. Ada tiga kelompok masyarakat yang ada di Taman Nasional Berbak ini, yakni Kelompok Penebang Kayu (illegal loging), Kelompok Pengumpul Getah Jelutung (Dyera sp) dan Kelompok Pencari Ikan (Nelayan Sungai) di Sungai Air Hitam Laut, dan anak-anak sungainya. Berdasarkan hasil penelitian Minat dan Pendapat yang dilakukan oleh Laboratorium Sosiologi Pedesaan, 197
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Fakultas Pertanian Universitas Negeri Jambi, hanya kelompok Pencari Ikan (Nelayan Sungai) yang berminat melakukan kegiatan rehabilitasi pada areal hutan rawa gambut bekas kebakaran di Taman Nasional Berbak. Sedangkan kelompok lainnya tidak bersedia, kalaupun bersedia mereka meminta kompensasi yang tinggi sekali, disesuaikan dengan pendapatan yang mereka peroleh dari berkayu atau pengumpul getah jelutung. Selanjutnya terhadap kelompok masayarakat Pencari Ikan (Nelayan Sungai) ini, akan dibina sebagai peserta rehabilitasi. Mereka ini, seluruhnya berasal dari desa Pematang Raman, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muarojambi, Propinsi Jambi. Terhadap kelompok ini akan ditumbuh kembangkan partisipasinya dalam pelestaian hutan, yakni selain sebagai tenaga pelaksana rehabilitasi, mereka juga difasilitasi sebagai tenaga pencegahan dan pemadaman kebakaran kebakaran hutan. Selain itu juga pelatihan-pelatihan yang memberikan wawasan terhadap mereka pentingnya arti pelestarian hutan, manfaatnya bagi mereka dan manfaat lainnya yang lebih luas.
PELAKSANAAN KEGIATAN. Pra-Kegiatan Sebelum kegiatan rehabilitasi dimulai, ada beberapa kegiatan persiapan yang mendahuluinya. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah: 1.
Menjalin kerja sama tiga belah pihak antara Taman Nasional Berbak, Putraduta Indah Wood dan CCFPI (WI-IP), kerjasama ini diwujudkan dalam bentuk MoU yang ditanda tangani pada tanggal 28 Januari 2003.
2.
Penelitian minat dan pendapat masyarakat terhadap program rehabilitasi ini. Penelitian ini perlu dilakukan karena tanpa adanya dukungan dari masyarakat yang ada di lokasi rehabilitasi maka program rehabilitasi tidak akan berjalan dengan baik.
3.
Survei lokasi rehabilitasi. Dalam survei tersebut yang dipelajari atau fa ktor-faktor yang menjadi pertimbangan pemilihan lokasi antara lain: lokasi areal bekas terbakar yang paling mudah dijangkau, ketersediaan tenaga kerja nantinya, jenis-jenis tegakan yang pernah ada di lokasi tersebut, perkiraan dan fluktuasi genangan banjir dan lain-lainnya.
Selanjutnya pekerjaan pelaksanaan dilakukan dalam 3 tahap, yakni Tahap I Penyiapan Kelompok Masyarakat peserta program rehabilitasi, tahap II Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi itu sendiri di lapangan dan tahap III pemeliharaan. Tahap I telah dilaksanakan, sedangkan pada Tahap II sedang berjalan di lapangan. Penyiapan Kelompok Masyarakat Rehabilitasi Disadari bahwa keberhasilan kegiatan ini erat kaitannya dengan keberadaan kelompok masyarakat yang ada disekitarnya. Upaya menumbuh kembangkan kesadaran dan menggerakan partisipasi mereka adalah bagian yang penting dalam pelaksanaan kegiatan ini, dengan memberikan kesadaran dan pengertian tentang manfaat langsung yang mereka terima maupun tidak langsung bagi kehidupan global yang lebih luas. Adapun tahapan dari penyipan kelompok masyarakat peserta rehabilitasi adalah sebagai berikut : 1.
Identifikasi Kelompok yang Bersedia Identifikasi ini dilakukan dengan penelitian sendiri, identifikasi tidak hanya mengenali kelompok yang bersedia tetapi juga mengenali seluruh kelompok masyarakat yang ada di dalam hutan beserta segala aspeknya baik yang mendukung program rehabilitasi maupun yang menghambat. Juga dipelajari kompensasi-kompensasi apa yang akan diterima oleh nasyarakat itu pada saat dan setelah program rehabilitasi dilakukan serta. 198
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
2.
Rekrutmen Peserta Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diketahui di sekitar lokasi kegiatan terdapat banyak kelompok masyarakat yang mempunyai aktivitas sehari-harinya sebagai pengumpul hasil hutan kayu dan non kayu. Umumnya mereka bermukim sementara di sana dan setelah meperoleh hasil yang dirasakan cukup, mereka keluar lokasi menuju desanya untuk melakukan transaksi, selanjutnya setelah 1-2 minggu berada di perkampungan (desa), mereka kembali masuk hutan. Aktivitas seperti ini mereka lakukan terus secara berulang sampai mereka tidak kuat lagi masuk hutan, atau secara ekonomis hasil yang mereka dapatkan tidak layak lagi. Secara garis besar, kelompok-kelompok tersebut adalah: Kelompok Penebang Kayu (illegal loging), Kelompok Pengumpul Getah Jelutung (Dyera sp) dan Kelompok Pencari Ikan (Nelayan Sungai) di Sungai Air Hitam Laut, dan anak-anak sungainya. Berdasarkan hasil penelitian Minat dan Pendapat yang dilakukan oleh Laboratorium Sosiologi Pedesaan, Fakultas Pertanian Universitas Negeri Jambi, hanya kelompok Pencari Ikan (Nelayan Sungai) yang berminat melakukan kegiatan rehabilitasi pada areal hutan rawa gambut bekas kebakaran di Taman Nasional Berbak. Sedangkan kelompok lainnya tidak bersedia, kalaupun bersedia mereka meminta kompensasi yang tinggi sekali, disesuaikan dengan pendapatan yang mereka peroleh dari berkayu atau pengumpul getah jelutung. Selanjutnya terhadap kelompok masayarakat Pencari Ikan (Nelayan Sungai) ini diberikan kesempatan secara pro aktif untuk ikut atau tidak. Artinya, orang-orang yang bersedia didaftar dan mereka dibebaskan membuat kelompok-kelompok kerja kecil yang terdiri dari enam orang. Pendaftaran dan pengelompokan dilakukan oleh kalangan mereka sendiri dan mendapat persetujuan dari pemerintah desa setempat. Setelah kelompok-kelompok terbentuk diadakan sosialisasi kegiatan. Kegiatan sosialisai ini dilakukan berulang kali oleh CCFPI, Taman Nasional Berbak dan PT Putraduta Indah Wood. Setelah sosialisasi terdapat anggota yang mundur dan ada pula anggota baru yang masuk. Akhirnya terbentuklah 5 kelompok kerja yang masing-masing anggotanya 6 orang. Mereka tersebut seluruhnya berasal dari desa Pematang Raman, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muarojambi, Propinsi Jambi. Recruitmen ini dilaksanakan pada Bulan Mei – Juni Tahun 2003. Usia peserta antara 20 – 50 tahun. Kegiatan selanjutnya adalah penguatan kelompok. Masing-masing kelompok memilih ketuanya yang memiliki motivasi sangat tinggi pada kegiatan ini. Pada tahapan ini masing-masing anggota kelompok peserta program rehabilitasi diberikan bekal wawasan lebih lanjut tentang program yang akan dilaksanakan, penambahan wawasan tentang keberadaan Taman Nasional Berbak, dll.
3.
Pelatihan Kelompok Masyarakat Peserta Rehabilitasi. Terhadap kelompok peserta rehabilitasi, yakni sebanyak 30 orang dari kelompok masyarakat Desa Pematang Raman pencarai ikan (nelayan sungai) di dalam Taman Nasional Berbak, diberikan pelatihan rehabilitasi yang difasilitasi oleh HPH PT Putraduta Indah Wood. Pelaksanaan kegiatan pelatihan ini merupakan suatu keharusan. Hal tersebut dikarenakan latar belakang peserta program rehabilitasi, yakni nelayan sungai dirasakan kurang mengenal dengan aspek budidaya tanaman. Sasaran utama dari pelatihan ini adalah pembekalan ketrampilan, tentang teknis pembuatan tanaman dan mempratekannya di lokasi kegiatan uji coba rehabilitasi di dalam TN. Berbak Pelaksanaan kegiatan pelatihan telah dilaksnakan pada Bulan Agustus 2003, bertempat di Base Camp, dan Nursery PT Putraduta Indah Wood. Jenis pelatihan lainnya yang telah diberikan kepada kelompok peserta rehabilitasi diantaranya pelatihan yang berkaitan dengan penambahan wawasan pelestarian hutan. Setelah pelatihan di areal PT Putraduta Indah Wood, masingmasing ketua kelompok kerja dibawa ke calon lokasi yang akan direhabilitasi. Di sana kepada
199
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia mereka diulangi kembali cara-cara membuat gundukan dan penanaman bibit sesuai dengan kondisi sebenarnya. Diharapkan masing-masing ketua kelompok tersebut dapat memberikan petunjuk kepada anggotanya. Pembuatan Tanaman Hal yang paling penting dalan kegiatan uji coba rehabilitasi hutan rawa gambut bekas kebakaran bersama kelomopok masyarakat adalah persiapan bibit tanaman dan persiapan lahan dilapangan. Hal ini tersebut dikarenakan habitat dan lahan rawa gambut memiliki karekteristik yang khas yang membedakan dengan tipe lahan lain dari jenis tanah mineral. Kekhususan ini berpengaruh terhadap jenis dan karekteristik vegetasi yang tumbuh pada lahan tersebut. Adapun rangkaian dari pembuatan tanaman pada pelaksanaan kegiatan ini adalah sebagai berikut : 1.
Jenis Pohon Tanaman Jenis bibit yang akan ditanam pada kegiatan ini adalah jenis lokal (in situ). Pengadaan bibit dengan jenis-jenis local setempat tersebut, dimaksudkan sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan habitat aslinya sebelum lokasinya terbakar. Hal ini didasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh PT Putraduta Indah Wood, bahwa penanaman dengan jenis yang menyesuaikan habitat aslinya menunjukan pertumbuhan yang cukup baik. Jenis bibit yang direncanakan untuk ditanam adalah Meranti Rawa (Shorea Sp), Jelutung Rawa (Dyera sp), Ramin (Gonystylus sp), Renghas rawa (Gluta renghas ), Punak (Tetramerista sp), Balam (Palaqium sp), dan Tanah-Tanah / Temasam (Trisyaniopsis sp). Jumlah bibit yang akan ditanam pada lokasi berjumlah sebanyak 20.000 batang, ditambah cadangan secukupnya untuk kematian pada angkutan bibit, distribusi bibit dilapangan, dll Kegiatan pembuatan bibit sepenuhnya dilakukan oleh PT Putraduta Indah Wood. Hal ini dengan pertimbangan waktu pembuatan bibit yang relatif lama, teknis pembuatan bibit untuk jenis pohon tanaman hutan rawa relatif lebih rumit bila dibandingkan untuk tanaman hutan daratan tanah mineral. Pembuatan bibit juga disesuaikan dengan kondisi karekteristik lahan areal uji coba rehabilitasi nantinya. Pada Tanah alluvial dan dengan lapisan gambut tipis akan ditanam jenisjenis Punak, Balam, dan Jelutung. Untuk lokasi lebih rendah, dekat aliran sungai dan fluktuasi genangan air agak lama dipersipkan jenis Tanah-Tanah/Temasam, tumbuhan merupakan pioneer terutama pada gambut yang mengalami penurunan akibat kebakaran. Pada tanah dengan lapisan gambut tebal dipersiapkan jenis Renghas dan Ramin dan Meranti.
2.
Persipan lahan Persiapan lahan yang dilakukan adalah untuk pembuatan tanaman tanpa mengubah ekosistem yang ada. Berdasarkan hal ini maka pemilihan system gundukan menjadi pertimbangan tersendiri. Sistem gundukan ini pada dasarnya telah diuji-cobakan pada penananaman areal PT Putraduta Indah wood bekas kebakaran dengan hasil yang baik. Pembuatan gundukan tanah dibuat berbentuk piringan, dengan diameter dasar 100 CM. Penyiapan lahan dengan pola gundukan ini akan dibuat dibuat 2 model yakni : -
Penyiapan lahan dengan gundukan 100 % tinggi genangan musim hujan, hal tersebut akan dilakukan pada lokasi yang mempunyai lapisan gambut yang tebal.
-
Penyiapan lahan dengan gundukan lebih dari 100 % tinggi genangan musim hujan, dan akan dilakukan pada lokasi lebih rendah dan fluktuasi genangan airnya relatif agak lama.
200
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Adapun pertimbangan pada pemillihan metode penyiapan lahan dengan pola gundukan diantaranya adalah :
3.
-
Sebagai upaya, agar bibit yang baru ditanam terhindar dari fluktuasi genangan air.
-
Perbaikan drainase dari sekitar tanaman. Karena ada beberapa jenis pohon hutan rawa gambut membutuhkan kondisi aerobik pada periode pertumbuhannya.
-
Merupakan modifikasi system parit/kanal yang biasa diterapkan pada HTI dan Perkebunan di tanah gambut. Dengan demikian menggunakan pola gundukan, ini diharapkan stabilitas ekosistem yang ada dapat dipertahankan
Penanaman dan Pemeliharaan Kegiatan penanaman akan dilakukan setelah selesai kegiatan penyiapan lahan dengan pola gundukan. Pada pelaksanaan kegiatan ini jarak tanam tidak menjadi pertimbangan utama, namun dibatasi minimal 3 meter atau lebih. Hal ini dikarenakan, nantinya pohon yang hidup akan menyerupai kondisi hutan aslinya sebelum kebakaran. Kegiatan penanaman akan dilakukan pada waktu hujan telah turun secara rutin, agar tanaman dapat langsung hidup tidak mengalami fase stress. Ada beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian dari kegiatan penanaman ini adalah : -
Pemilihan jenis yang disesuaikan dengan karekteristik lahannya.
-
Pemilihan Bibit dalam hal ini adalah tinggi bibit yang akan ditanaman disesusuaiakan dengan kondisi fluktuasi genangan.
-
Penanaman tidak berdasarkan garis lurus, tetapi ditanam secara acak seperti alami, hal ini dilakukan mengingat lokasi yang akan direhabilitasi adalah taman nasional yang harus menghindari sedapat mungkin kesan-kesan artifisial.
Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan maksud untuk membebaskan tanaman dari semak/gulma atau tanaman penyaing . Sistem pemeliharaan adalah berupa pembebasan semak/tumbuhan bawah disekitar piringan gundukan. Interval pembebasan adalah dilakukan setiap 4 bulan (3 kali) pada tahun pertama, dan 6 bulan sekali (2 kali) pada tahun kedua. Adapun pertimbangan dari pemilihan system pemeliharaan ini adalah efisiensi, sekaligus agar vegetasi penutup tanah sebagai penahan aliran permukan tetap dipertahankan. 4.
Pengamatan Uji Coba Parameter yang akan diamati pada kegiatan uji coba rehabilitasi ini diantaranya adalah : -
Pertumbuhan jenis tanaman pohon hutan pada berbagai karakteristik lahan hutan rawa gambut bekas terbakar.
-
Pertumbuhan berbagai jenis tanaman pada model penyiapan lahan gambut system gundukan 100 % dan lebih dari 100 % tinggi genangan air musim hujan.
-
Pertumbuhan jenis jenis tanaman rehabilitasi yang meliputi persen hidup, tinggi tanaman, dan diameter.
-
Tingkat partisipasi Kelompok Masyarakat Rehabilitasi dari Desa Pematang Raman, prestasi kerja dan persepsinya pada kegiatan ini.
201
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Itulah beberapa hal yang dilakukan sehubungan dengan uji coba rehabilitasi hutan rawa gambut areal bekas kebakaran di Taman Nasional Berbak. Semoga uji coba tersebut dan juga tulisan ini dapat memberikan sumbangan kepada upaya-upaya rehabilitasi Taman Nasional Berbak khususnya dan areal-areal hutan rawa gambut yang lain pada umumnya. Dan, berhubung pekerjaan ini masih dalam taraf pelaksaan, rasanya belum terlambat kalau ada sumbang-saran baik berupa pengalaman maupun berupa pemikiran untuk kesempurnaan rehabilitasi Taman Nasional Berbak.
202
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia DAFTAR PUSTAKA Abdullah, T.S. 1977. Tanah Gambut : Genesis, Klasifikasi, Karekteristik, Penggunaan, Kendala dan Penyebaran. Jurusan Tanah, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bastoni. 1999. Uji Coba Penananaman dan Pemeliharan Tanaman Pengayaan (Enrichment planting) pada areal bekas tebangan hutan rawa gambut di Sumatra Selatan. Dalam Prosiding Ekspose. Hasil-hasil Penelitian Balai Teknologi Reboisasi Palembang, Palembang. Rachmandi, D, Daryono. H, Yafis Ham. M, dan Rusmana. 2001. Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut : Uji Coba Penanaman Pada Areal Hutan Rawa Gambut Bekas Tebangan. Dalam Prosiding Ekspose. Hasil-hasil Penelitian Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Banjarbaru. Anwar, J. Damanik J.S, Hisyam, N. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatra. Gajah Mada University Press. Jogjakarta. Subagyo, H. 2002. Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut bekas Terbakar di areal HPH PT Putra Duta Indah Wood. Tidak dipublikasikan, Jambi. Ismunadji, M dan G. Supardi. 1984. Peat Soil Problem and Crop Production. in Organic Matter and Rice. Pp: 489-502. IRRI. Los Banos-Philiipines. Manan. S. 1997. Hutan Rimbawan dan Masyarakat. IPB PRESS. Bogor.
203
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Lampiran 1. Gambar pola penyiapan lahan dengan sistem gundukan
Genangan Air Pada Puncak Musim Hujan
>100 % 100 % 50 % 0% 100 Cm.
100 CM
Pola penyiapan lahan dengan gundukan 100% tinggi genangan air musim hujan
Pola penyiapan lahan dengan gundukan lebih dari 100% tinggi genangan air musim hujan
204
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Lampiran 2. Gambar-gambar seputar uji coba rehabilitasi hutan rawa gambut bekas kebakaran di lokasi Taman Nasional Berbak bersama kelompok masyarakat Desa Pematang Raman, Jambi
Peta Taman Nasional Berbak
205
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
1
Lokasi Rehabilitasi Gambar 1: Sebelah kiri hutan yang tidak terbakar sedangkan sebelah kanan hutan bekas terbakar. Gambar 2 dan 3: Puing-puing hutan dimana rehabilitasi akan dilaksanakan. Saat banjir datang batang-batang kayu ini akan hanyut dan menghantam apa yang dilewatinya. Ini adalah suatu tantangan dan hambatan tersendiri pada rehabilitasi hutan rawa gambut bekas terbakar.
2
3
206
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
4
Transportasi Gambar 4: Orang harus turun dan menarik getek memanjat pohon yang tumbang. Gambar 5: Seseorang harus jadi pemandu mencari alur sungai yang tidak ada pohinnya. Gambar 6: Tidak ada jalan lain: turun, berenang, pikul dan gergaji.
5
6
207
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Proses Rekrutmen Sosialisasi, negosiasi yang alot dan akhirnya diperoleh kesepakatan. Itulah tahapan recruitment tenaga pelaksana rehabilitasi di Simpang T, Taman Nasional Berbak.
208
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Pelatihan Pelaksanaan pelatihan teknik pembuatan persemaian, pembuatan gundukan dan penanaman serta wawasan konservasi sumberdaya alam
209
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi
210
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia AGRICULTURAL PRACTICES ON PEATLANDS OF SOUTH KALIMANTAN: THE FARMERS’ KNOWLEDGE
Muhrizal Sarwani Research Institute for Swampland Agriculture Jalan Kebun Karet, Lok Tabat, Banjarbaru 70712 www.balittra.net email:
[email protected]
Abstract Million of hectares of peat/swampland in Indonesia have been opened-up traditionally by two ethnic population groups, Banjarese and Buginese. They are very skillful at reclaiming peat/swampland for the cultivation of rice as well as other crops, such as horticultural crops, Coconut, Citrus and Rambutan. Farmer’s knowledge in utilizing peat/swampland is greatly influenced by micro-ecological and socio-economic condition. This traditional approach incorporates the interaction of crop, varieties, soil and water management, and socio-economic factors. This paper examines the indigenous knowledge of banjarese farmers in utilizing swampland soils. The Banjarese farmers apply escape mechanism in their cropping systems, starting from their water management system, the land preparation and subsequent transplantation sequence as well as in the choice crops or varieties grown and, eventually the switch to crops other than rice. Their practices are micro-topographically oriented by adjusting to the hydrological and soil conditions. This indigenous knowledge is very valuable for, and applicable in land evaluation studies, in land use planning and in land development project.
211
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia INTRODUCTION Swamplands are among the major natural resources of Indonesia. These vast lands occur mostly along the coasts of Sumatra, Kalimantan and Irian Jaya. They are, in their natural state, not only very rich in plant and animal life, but also offer tremendous potential for food production as well as space for the rapidly expanding population of Indonesia. Prospects for bountiful swampland development are enormous indeed but so are the problems. Soil constraints are so dominant in these areas that they severely limit agricultural development. Soils in the swamps are mainly mineral alluvial soils of marine/estuarine origin and peat (Driessen and Sudjadi, 1984). The alluvial soils include both actual and potential acid sulphate soils while most of the peat in Indonesia is underlain by pyritic sediments. These (potentially) acid conditions severely restrict agricultural productivity and development options. There are some 18,480 million ha. of peatlands in Indonesia (Soekardi and Hidayat, 1988). Reclamation and exploitation of swampland in Southern Kalimantan has been carried out over some hundred years already, by the local, Banjarese population who live mainly along the coast and further inland, on the river floodplains of the area. Only in the 1920’s large-scale reclamation started especially near Banjarmasin. Some 40 years later, by 1965, almost 65,000 ha. of tidal swampland had been reclaimed by the Banjarese in South Kalimantan, mainly along the banks of the Barito river (Schophuys, 1969; Idak, 1982). It is estimated the Banjarese have opened-up approximately 1 million ha of swampland in Kalimantan. Almost 2.6 million ha. of swampland has been open-up by the spontaneous migrant (Buginese and Banjarese). In comparison, lands reclaimed in the framework of the Indonesian government’s transmigration projects covered in total approximately 33,000 ha. in the period 1969 to 1974; 242,000 ha. between 1974 to1979 and 396.000 ha. between 1979 to 1984. Out of the latter total, some 96,500 ha. are in South and Central Kalimantan provinces. These lands are earmarked for transmigrants from overpopulated islands of Java and Bali. Farmer’s technique of, and approaches to, local and traditional cultivation are usually microtopographically oriented (Watson and Willis, 1985); crop management is carried out in an ecological context. This traditional approach incorporates the interaction of crop varieties, soil and water management, and socio-economic factors. There are many examples of successful management of swampland in general, and of peatlands in particular, using local and traditional techniques. The art of swampland cultivation by the Banjarese in Southern Kalimantan has proven to be sustainable and stable management for long periods of time (KEPAS, 1985). The following discussion puts into perspective the strategies and practices of Banjarese farmers in utilizing swamplands for crop cultivation and in coping with the specific soil constraints: peat (organics), acidity and related toxicities.
SWAMPLAND IN SOUTHERN KALIMANTAN Climate Southern Kalimantan has a humid tropical climate with annual rainfall between 1900 and 3200 mm. and seven to nine wet months (rainfall > 100 mm.). During the wet season (October/November through May/June), monthly rainfall averages 250 mm., while from July through September it is about 100 mm./month. Daily temperature range between 25 and 35° C with slight seasonal variation, and relative humidity varies between 75 and 90%. Variability between years of precipitation ranges from 13-28% (average 22%), with very dry years (precipitation <1900 mm.) and very wet years (precipitation > 3000 mm.) occurring once every 10 years. With very dry years (precipitation < 1900 mm.) and very wet years (rainfall tropics, where values are generally below 10 % (Morales, 1977). The variability is important in the interpretation of the average climatic data: for an average year there are only three consecutive dry months, but this
212
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia period is often longer. Although years without any dry season occur, the most common dry period is four months, and dry periods of up to seven months occur. Hydrology The hydrology of the area is influenced by the interaction of a number of factors, which are common to the three major rivers of Kalimantan (the Mahakam in East Kalimantan, the Kapuas in West Kalimantan and the Barito in South Kalimantan). In all three systems there is a mountainous hinterland with a large and seasonal discharge. When this discharge reaches the coastal plain it causes large (10-15 m.) seasonal fluctuations in water level, inundating thousands of square kilometres. In the seasonal inundation we can distinguish four zones. In the zone where the rivers first enter the plain there is a relatively sedimentation and only occasional inundation. Out site this zone the recent alluvial sediments are virtually absent: sedimentation rates are low and river levees are broad and flat. Behind the levees the coastal plain is generally inundated, with the exception of occasional droughts: this is the lakes area. In South Kalimantan we find these lakes around the cities of Alabio and Negara. Farther down stream, inundation occurs only in the wet season and there are no permanent lakes. There is a gradual transition from this river-fed swamp to areas which are predominantly rain-fed; this zone is known as the monotonous swamp area (Noorsyamsi and Hidayat, 1974). In this zone the conditions for peat formation are favourable (Andriesse, 1974), which farther raises the soil surface above the rivers’ influence. Finally, near the coast there is a zone with tidal inundation discussed below. There are only short periods with water level recordings, and virtually no discharge measurements in the swamps. For these reasons, Klepper (1992) used a model to combine long-term climatic data with these short records in order to assess the hydrological role of the monotonous swamp areas in relation to flooding risk. It was shown that the lakes and river-fed swamps play an important role in regulating water levels and flows. In the dry season, 46% of the flow out of the Negara wetland into the Barito rivers consists of outflow from the lakes and swamps; in the wet season the reverse occurs and 40% of the river flow from the uplands is stored. The variability in both inundation and rainfall poses a considerable risk to the farmer. Fortunately, this is generally not a safety risk: in the flat terrain, flood waters take days to weeks to rise, and houses are either built on stilts or actually floating. In addition, because water is the dominant transport medium, there are abundant boats for an occasional evacuation. Nevertheless, flooding does pose a threat to agriculture and thus to food security. As their name indicates, tidal land is characterized mainly by the influence of the tides. Kselik (1990) has subdivided area into four tidal land classes. This classification is based on the (tidal) flooding regime of the land as well as on the drainage characteristics. Type A comprises the areas between mean low tide and mean neap tide, which are under the influence of daily flooding and drainage. Type B covers the areas between mean neap tide and mean spring tide. These areas are flooded during spring tide only but they are subjected to daily drainage. Type C is land above spring tide, but still under the influence of the tide. There is no tidal flooding in these areas but they are permanently drained. Type D land is beyond the influence of the tide; there is no tidal flooding and limited drainage. The water table in this areas drops only during the dry season. Physiography and topography Swampland comprises five major physiographic units: alluvio-marine plains, river levees, coastal ridges, old riverbeds and peat domes (Prasetyo, et al., 1990). The river levees are found along the rivers and along the old riverbeds which occur scattered over the area. They stand out, topographically as well as because of their land use, from the flat alluvio-marine plains which occupy the larger part of coastal plains. The peat also found in the lakes and river-fed swamp area. Most of the peat is topogenic, i.e. under occasional influence of river- or groundwater, and mesotrophic(i.e., with moderate levels of nutrients) in nature (Van Wijk, 1951; Driessen, 1978). Only the peat area in the north-western part of the Negara-Barito basin is sufficiently deep (or rather, high) to be completely out of the river’s influences and depends on rainwater only (ombrogenous peat). The peat domes, which at one time covered large areas in Pulau Petak of South Kalimantan, are hardly found in the area nowadays. Reportedly they were between 2 and 3 m thick (Van Wijk, 1951).
213
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Topographically, the swampland of southern Kalimantan is flat: slopes are generally less than 1% but river levees and coastal ridges both, belonging to active systems as well as from former rivers or coastlines, form subdued local relief with height differences of up to 1 m. Soils There are two major soil types in the area (Prasetyo et al., 1990): •
The soils of the relatively low-lying, waterlogged interior, i.e. the alluvio-marine plains and old riverbeds, and;
•
The soils of the higher parts of the landscapes, i.e. the river levees and coastal ridges.
The soils of the alluvio-marine plains and the old riverbeds are characterized by a brown layer (20-60 cm), overlying a gray layer which is generally pyritic. Pyrite contents may be up to 8% FeS2. These soils have (silty) clayey texture, they are rich in organic matter (5-14%), poorly drained, half to nearly ripe and most of them are mottled. The pH is between 3 and 4. A thin peat layer (10-20 cm) overlies most of these soils. In terms of Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1987), they are classified as Sulfaquents (the potential acid sulphate soils) and Sulfaquepts (the actual acid sulphate soils; Sutrisno et al., 1990). The soils of the levees and coastal ridges have similar texture but they are nearly ripe to ripe. Their organic matter content is between 4 and 6.5% and pyrite content is low (FeS2 < 1.5%). Soil reaction is slightly acid to neutral (pH 5-6). These soils overlay a gray pyritic subsoil at greater depth (>125 cm). In Soil Taxonomy, these soils are classified as Tropaquepts mainly. Scattered over the island and in the remainder of peat domes, peat soils occur
PEAT/SWAMPLAND CULTIVATION BY BANJARESE FARMERS With abundant water available, especially during the wet season, and with their favourable hydrological and topographical setting, swampland seems an ideal setting for wetland rice cultivation. These specific characteristics have been recognized by local farmers i.e. the Banjarese in Kalimantan and the Buginese in Sumatra. For centuries the Banjarese have been opening-up and cultivating tidal swamplands all over Kalimantan. It is believed that the Buginese, who in fact originate from Sulawesi, have learned from the Banjarese during their contacts in South and East Kalimantan. Both the Banjarese and the Buginese are very skilful at reclaiming the swamp lands for the production of rice as well as other crops such as coconut, orange, rambutan, mango and clove. (Schophuys, 1969; Noorsyamsi and Hidayat, 1974). Choosing the land The traditional system of opening new land generally starts with scrutinizing the vegetation on the banks of rivers and creeks. Reportedly, heavy foliage is taken by the farmers as an indicator of generally favourable soil conditions. Obviously the slightly higher-lying, better drained, non-potentially acid soils of the river levees and coastal ridges are preferred. Not only are the physical conditions better for settlement and for (rice) cultivation, also the adjacent natural water courses provide easy access and outlet. For the latter reason of course, much spontaneous settlement and cultivation has taken place along the main canals cutting through Pulau Petak (i.e. the Tamban, Serapat and Talaran canals), that were constructed since 1920’s Nipa palm (Nipa fruticans) is used as an indicator of brackish or saline water where as sago palm (Metroxylon spp.) indicates fresh water conditions. The Banjarese avoid peat of more than 1 m, but they do like to reclaim the land surrounding such peat domes as the good-quality water flowing from these domes is preferred for irrigation.
214
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Land reclamation and rice cultivation in tidal lands After clearing the selected site from trees and shrubs by slashing and burning, so-called handils are dug. These are small drainage ditches of some 0,5-1 m. depth and 2-3 m. wide. Their actual size depends on the magnitude of the tidal movement: close to the sea the handils are smaller than more inland. Usually, the handils are built perpendicular to the river or canal. The Banjarese work in groups of seven to ten people to dig the handils. The name handil” originates from the dutch word aandeel, meaning of a share or part of the work (Idak, 1982). The person chosen as the group leader (kepala handil) has the right to the handil. Usually too, his name is used for that of the handil. Per family, a plot of 15 x 30 depa (1 depa = 1.7 m.) is marked out (Idak, 1982). In larger areas the parcels could be up to 30 x 30 depa (Collier et.al., 1984). The user rights of the selected sites are awarded by the village head (kepala kampung). A family that would like to have access to more land is allowed to extend the handil further inland. People settling down later may do the same (handils thus may extend up to 2-3 km. inland) or they compensate those who opened-up the land (ganti rugi). Secondary drainage ditches are built perpendicular to the handils. Near the sea, in tidal land class A, intervals between these ditches are generally 10 depa. Their depth is approximately 0.5 m. and their width 0.3 m (semata sundak). In contrast, secondary ditches are not made in areas belonging to land class C. Instead, tabat (small weirs made of dirt or ironwood) are built here, at the head of the handil to conserve water during the cultivation cycle. The tabats are usually constructed in February when rainfall begins to decrease. Land preparation for rice cultivation is very simple. It consists of slashing and cutting the weeds or peeling the land with a tajak, a scythe-like tool with a short handle. The cut vegetation is left in the field for 10-15 days and is then gathered in little heaps or puntalans which are periodically turned over (7 days) to speed-up decomposition. Upon complete decomposition this organic mass is spread over the land as afreen manure prior to planting (menghambur puntalan: spreading the heaps). The land is neither plowed nor harrowed (Noorsyamsi and Hidayat, 1974). The decomposing manure not only serves as a source of nutrients to the crop, it also helps to keep the underlying soil and, if present, sulphur in a relatively reduced state. (Arifin, 1989). Tidal rice is usually sown in October or November at the beginning of the wet season on rather dry seedbeds (teradakan) and the seeds are covered by ash. The seeding rate is approximately 5 kg. seed for a 150 m2 seedbed that, after two transplanting will cover 1 ha. After 30-40 days, the seedlings are transplanted to the lowest parts of the rice fields. This first transplanting (ampakan) is repeated after 40 days (lacakan or second transplanting) to larger areas which still cover only about one-third of the total are to be planted. Final transplanting depends on the water level in the main field. On type A land, the planting should be ready bay February, where as type B or C lands are planted from March through April. Traditional varieties are used that take some 9 to 10 months till maturity. They are tall and photoperiod-sensitive. The yields range widely: from 1 to 4 tons/ha. The higher yields are being obtained on non-acidified soils (Muhrizal Sarwani, unpublished farmers’ interview data). Rats are a main pest adversely affecting rice yields. The Banjarese gradually switch to cultivating other crops when the rice yield start to decrease due to a number of factors, including acidification as the land is being drained and aerated by means of the handils and secondary ditches. This acidification is being further promoted by the gradual disappearance of the peat layer. In general, the conversion from Rice-based cropping systems into Coconut-based cropping system is gradual and starts with the arrangement, in rows, of individual heaps of dug-out soil material called tembokan. The size of this tembokan is 75 x 75 x 75 cm. On top a small heap of topsoil material is placed (tukungan 30 x 30 x30 cm.) in which Coconut or other seedlings are planted. Each year new top soil is added to the tembokan which eventually forms a long raised bed or surjan which is locally called baluran (Arifin, 1989). Acid form in the surjan is either flushed away by (tidal) floods or it is washed out with the rainwater percolating through them. Throughout the years of building the surjan, rice is being cultivated in the basins in between. Eventually, if this basins become to narrow for cultivation, they may be used for fish. However, not all rice land is being converted, especially if subsidence and stagnant water play a role in yield decrease. On the other hand, farmers are keenly aware of the higher economic returns of Coconut or Orange growing as compared to Rice cultivation (KEPAS, 1985). Earning extra income is very important with
215
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia respect to a possible pilgrimage to Mecca which, within the Banjarese society is well-established aspiration. Therefore, it is not surprising that, especially on the type A lands having strong tidal influence, even if the rice yields are not decreasing, the farmers initiate raised mounds (tukungan) across their paddy fields in order grow Coconut, Orange or other tree crops. The same holds true for the higher lying areas (type B lands). Acidified areas beyond the influence of the tides (land type C) are used for the cultivation of such loving plants as Pineapple, Rambutan and Kecapi. These tree crops are grown on raised bed. Observation in acidified areas of swamp land reclaimed areas in South Kalimantan showed that these crops perform very well even at pH-soil between 3-4. Very often the pH of the water standing on these soils was as low as 2.5. Land reclamation and cultivation of crops in swampy lands Farmers open the lands depending on the crops chosen. Crop selection is based on the microtopography or the soils, economic reason and social factors. Therefore in the swampy land of the Negara river basin, there are zonation of land for each crop. We can find the fish area, Watermelon area, Beans area, Corn area, etc. If they are growing Rice or Corn, Sweet potato, the land preparation is by tajak and followed by slash and burn. If they choose Watermelon and other horticultural crops, minimum land preparation was done. Burning was prevented. They used weeds as a mulch. Then a hole was made by the farmers to grow such crops. No fertilizer was applied since the peat layer can supplied enough nutrients for the crops. The yield reported as 2-3 t/ha for rice.
NOTES ON THE INDIGENOUS KNOWLEDGE OF BANJARESE FARMERS Behind the relative success of the traditional cultivation methods described above is the fact that Banjarese farmers have long recognized that water management together with the use of acid or salt tolerant crops or crop varieties, is the key to good management of tidal swampland. The handil drainage system in fact allows for limited oxidation of pyrite while toxic elements produced can be leached using the tides or rainwater. The size of the handils is adapted to either the occurrence of pyrite shallow depths (i.e. the handils are shallow but wide) or to the amplitude of the tidal fluctuation (the handils are narrow and deep). Also, the drainage intensity is adapted to the physical conditions. In the lower-lying areas with daily tidal flooding (type A lands) where pyrite generally occurs within 50 cm. from the surface, drainage ditches are approximately 10 depa apart (17 m). Here flushing of acids formed in the topsoil during the dry season is enhanced by the use of brackish tidal water. Brackish water is generally more effective in leaching than fresh water (van Mensvoort et al., 1991). On type C lands which, usually contain both potential and actual acid sulphate soils, the farmers use rainwater to leach acids toxic elements. In practice, this is done by opening the tabats two months prior to transplanting. If rainfall is insufficient, it is supplemented with the water from the remaining peat domes which is of good quality (Klepper et al., 1990). Konsten et al. (1990) have shown that during the wet season, the pH of the surface water in type C lands increased gradually while water quality became better (decreasing EC). A particular farmer practice is the application of raw salt to the rice fields at the beginning of rainy season. Such applications, in the amount of 100-200 kg., are given when farmers feel that rice yields start going down. The practice is then repeated every 2 to 3 years. Raw salt (NaCl) seems to be effective as KCl in replacing Al from the adsorption complex and it also alleviates iron toxicity problems (Muhrizal, unpublish data). This might be explained by similar mechanism as those that act in leaching with brackish water. Another noteworthy traditional technique is the method of land preparation. By applying the tajak only, the farmers in fact practice minimum tillage. Neither plowing nor harrowing is done. In other words,
216
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia pyrite is not disturbed and peat, if present, is kept as such. At the same time, green manuring is being practiced as the composed organic matter eventually is spread over the fields (menghambur puntalan). Prade et al. (1988) have pointed at the additional beneficial effect of organic matter in alleviating iron toxicity problems. The system of triple transplanting seems a typical local adaptation to water in the field , acid sulphate conditions and related toxicities (Noorsjamsi and Hidayat, 1974). The use of old seedling rice plants to alleviate primary iron toxicity has been recommended in a number of studies (Noorsyamsi and Hidayat, 1974; van Breemen and Moorman, 1978., Prade et al., 1988). According to our observations, superficial peat layers play a key role in the cultivation of the (acid sulphate) soils in southern Kalimantan. Not only do they form a source of nutrients, but also they regulate water loss due to the evapotranspiration in the dry season. At the same time they help keeping reduced conditions in the soil underneath, preventing the oxidation of pyrite. The above discussion lead us to conclude that the Banjarese farmers apply escape mechanism in their cropping systems, starting from their water management system, the land preparation and subsequent transplantation sequence as well as in the choice crops or varieties grown and, eventually the switch to crops other than rice. Their practices are micro-topographically oriented by adjusting to the hydrological and soil conditions. Local custom calls for participation in reclamation works (the group approach to digging handils) while economic and changing ecologic conditions co-determine the decision of individual farmers to change to other crops than rice. Swamp land cultivation by the Banjarese has proven to be a sustainable and equitable system (KEPAS, 1985) though at low level of productivity. Research as well as development projects on swampland soils in general can benefit from the knowledge and experience of local farmers by its integration in their design (Watson and Willis, 1985). This interaction could help to ensure acceptance of new technology by the local farmers.
REFERENCES Arifin. 1989. Land use and land evaluation in Pulau Petak, In: Genesis, classification, land evaluation and use of acid sulphate soils; Report of a general consultancy mission. Survey component. Mission Report 18. Research programme on acid sulphate soils in the humid tropics. LAWOO/AARD, Wageningen, The Netherlands. p. 23-28. Collier, W., B. Rachman, Supardi, B. Ali, Rahmadi, and A. M. Jurindar. 1984. Cropping system and marginal land development in the coastal wetlands of Indonesia. In: IRRI. 1984. Workshop on research priorities in tidal swamp rice. IRRI, Los Banos, The Philippines. p. 183-196. Dreissen, P. M. and . Soepraptohardjo. Research Institute. Bogor.
1974. Soils for Agricultural expansion in Indonesia.
Soil
Driessen , P.M. and Sudjadi.1984. Soils and specific soil problems of tidal swamps. In: IRRI. 1984. Workshop on research priorities in tidal swamp rice. Banjarmasin, june 1981. IRRI, Los Banos, The Philippines, p 143-160. Idak, Haji. 1982. Perkembangan dan sejarah persawahan di Kalimantan Selatan. Mimeographi, Pemda Kalimantan Selatan, Banjarmasin. Jansen, D. 1973. Tropical agroecosystem. Science 182:1212-1219. KEPAS. 1985. Tidal swamp agro-ecosystem of Southern Kalimantan. Workshop report on the sustainable intensification of tidal swamplands in Indonesia, held at Banjarmasin, South Kalimantan, July 18-24, 1983. Kelompok Penelitian Agro-ekosistem, Badan LitBang Pertanian. Jakarta. Klepper, O, Gt. M. Hatta, Sunardi and H. D. Rijksen. 1990. Organic matter input and decomposition before and after development of acid sulphate conditions on Pulau Petak, Kalimantan. In: Papers workshop on acid sulphate soils in the humid tropics. Bogor, November 1990. AARD & LAWOO, Bogor, Indonesia. p. 347-373
217
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Konsten, C. J. M., Supardi Suping, I. B. Aribawa, and I. P. G. Widjaja-Adhi. 1990. Chemical processes in acid sulphate soils in Pulau Petak, South and Central Kalimantan. In Papers workshop on acid sulphate soils in the humid tropics. Bogor, November 1990. AARD & LAWOO, Bogor, Indonesia. p. 109-135. Noorsyamsi, H. and O. O. Hidayat. 1974. The tidal swamp rice culture in South Kalimantan. Contrib. Cent. Res. Inst. Agric. 10: 1-8. Prade, K., J. C. G. Ottow, and V. Jacq. 1988. Excessive iron uptake (iron toxicity) by wetland rice (Oryza sativa L.) on an acid sulphate soils in Casamance/Senegal. In Dost, H. 1988. Selected paper of the Dakar symposium on acid sulphate soils. ILRI publ. No. 44, Wageningen, The Netherlands. Prasetyo, H., J.A.M. Janssen and Alkasuma. 1990. Landscape and soil genesis in Pulau Petak, Kalimantan. Papers workshop on acid sulphate soils in the humid tropics. Bogor 20-22 Novemver 1990. AARD-LAWOO, Bogor, Indonesia. p. 18-29. Sutrisno, J.A.M. Janssen and Alkasuma. 1990. Classification of acid sulfate soils: a proposal for improvement of the soil taxonomy system. Papers workshop on acid sulphate soils in the humid tropics. Bogor 20-22 Novemver 1990. AARD-LAWOO, Bogor, Indonesia. p. 71-80. Schophuys, H. J. 1969. Perspectives of lifting water for irrigation and drainage in Indonesia in general , in Sumatra and Kalimantan in particular (Mimeographed), Bogor, Indonesia. van Bremen, N. and F. R. Moorman. 1978. Iron toxic soils. In IRRI. 1978. Soils and rice. Int. Rice Res. Inst., Los Banos, The Philippines. Van Mensvoort, M.E.F., D.V. Ni, and J. van der Schans. 1991. Improvement of acid sulphate soils by leaching with salt and brackish water. In P. Deturck and F.N. Ponnamperuma. 1991. Rice production on acid soils of the tropics. Institute of Fundamentals Studies, Kandy, Srilanka. van Wijk, C. L. 1951. Soil survey of tidal swamps of South Borneo in connection with the agricultural possibilities. Contr. Gen. Res. Sta. No. 123. Watson, G. A. and M. Willis. 1985. Farmers' local and traditional rice crop protection techniques: some examples from coastal swamplands, Kalimantan, Indonesia. IARD Journal 7 (1 & 2): 2530.
218
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia STUDI PEMANFAATAN GAMBUT ASAL SUMATERA: TINJAUAN FUNGSI GAMBUT SEBAGAI BAHAN EKSTRAKTIF, MEDIA BUDIDAYA DAN PERANANNYA DALAM RETENSI CARBON Iin P. Handayani Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, Sumatera E-mail :
[email protected] Abstrak Pemanfaatan lahan gambut di Indonesia telah banyak dilakukan oleh masyarakat baik secara in-situ (untuk budidaya pertanian dalam kondisi tergenang atau terdrainase) dan eks-situ (sebagai bahan ekstraktif). Serangkaian riset telah dilaksanakan di Sumatra dengan menggunakan gambut yang berasal dari wilayah Bengkulu, Jambi, Riau, Sumatra Selatan dan Lampung guna mengkaji aspek pemanfaatan gambut untuk budidaya tanaman melalui berbagai aktivitas, seperti drainase dan pemupukan serta kajian potensi gambut sebagai bahan amelioran dan asam humat untuk penstimulan proses agradasi lahan kering marginal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan drainase pada tanah gambut dapat meningkatkan emisi gas karbondioksida hingga 15-20% dibandingkan apabila tidak didrainase. Pemanfaatan air gambut asal Lampung Utara sebagai bahan humat yang dikombinasikan dengan tambahan kapur terbukti berpengaruh nyata terhadap sifat-sifat tanah Latosol. Pencampuran lumpur dengan gambut secara nyata telah meningkatkan kandungan kation-kation (Ca,Mg, K dan Na) dapat ditukar, kejenuhan basa dan pH tetapi menurunkan KTK dan P-tersedia. Pemberian pupuk Cu dosis 10 kg ha -1 CuSO4 telah menunjukkan perbaikan pertumbuhan dan keragaan tanaman padi. Pemupukan dengan TSP dengan dosis 45-90 kg P2O5/ha telah memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan, hasil padi dan serapan N,P, K, sedangkan pupuk BFA dosis 135 kg P2O5/ha tidak berpengaruh nyata. Tetapi kedua pupuk P tersebut secara nyata telah meningkatkan kadar N total, dan P tersedia tetapi tidak berpengaruh pada pH dan kadar K tersedia. Varietas-varietas padi lokal yang mampu beradaptasi dengan potensi hasil tinggi pada lahan gambut di Bengkulu adalah padi Batik, Jambi Alus, Bugis dan Duku. Sedangkan varietas padi yang adaptif dan berumur genjah adalah padi Siam dan Gembira Kuning. Penggunaan gambut asal Bengkulu sebagai bahan amelioran untuk perbaikan kesuburan tanah marginal Ultisol menunjukkan gambaran hasil terbaik setelah 30-40 hari aplikasi dengan pemberian aktivator asal ruminansia dan batuan fosfat dosis 10%. Perbaikan kesuburan tanah nampak terjadi pada kemasaman tanah, kandungan bahan organik, fosfor, sulfur dan kalium. Asam humat yang diekstraksi dari air gambut asal wilayah Lampung memberikan pengaruh yang bervariasi pada tanaman, tetapi secara umum berpotensi sebagai zat pengatur tumbuh alami. Pola perubahan lahan gambut mempengaruhi potensi mineralisasi N dan C, dengan indikasi tertinggi pada kondisi aerob suhu 30oC. Aplikasi bahan ameliorasi berbasis kation Fe 3+ dapat dijadikan salah satu alternatif untuk menekan kehilangan C dari gambut dalam bentuk CO2 dan CH4 hingga 27%. Namun demikian kajian yang lebih komprehensifmultidisiplin masih diperlukan. Hasil-hasil penelitian juga menggambarkan bahwa pendayagunaan gambut asal Sumatra telah meluas sehingga dampaknya terhadap lingkungan secara global perlu ditinjau kembali. Pembenahan di dalam program pengelolaan gambut harus bertumpu pada penyelarasan antara faktor produktivitas tanaman dan faktor keamanan ekologis, sehingga lahanlahan gambut dapat dijadikan sebagai wilayah pendukung stabilitas lingkungan global, khususnya melalui stimulasi proses C-sequestration pada aspek aboveground biomass dan belowground. Selanjutnya, upaya-upaya pengelolaan gambut secara terpadu diharapkan dapat menekan resiko pencemaran lingkungan, dalam kaitannya dengan penurunan dampak gas rumah kaca, sekaligus tetap dapat mempertahankan fungsi sumber daya gambut sebagai aset alam untuk budidaya. Kata-kata kunci : CuSO4, Gambut, Karbondioksida, Metan, Nitrogen, Fosfat, Padi, Sumatra, Ultisol
219
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PENDAHULUAN Luasan lahan gambut di dunia adalah sekitar 424 juta ha (Kalmari, 1982) dan sekitar 38 juta ha terdapat di wilayah tropis (Friends of the Earth, 1983). Sebagian besar lahan gambut di wilayah tropis terdapat di Indonesia yaitu seluas 20,10 juta ha dan di Malaysia dengan luasan sekitar 2,7 juta ha (Vijarnsorn,1996). Di Indonesia, mayoritas lahan gambut ditemukan di luar P. Jawa dengan luasan sekitar 6,45% dari luas lahan gambut di dunia (Neue et al., 1997). Ditinjau dari potensi pemanfaatan gambut yang beragam maka lahan gambut merupakan sumberdaya penting yang harus dilestarikan fungsinya, walaupun pada awal dekade 1970-an, lahan gambut yang merupakan bagian dari lahan-lahan basah atau rawa dianggap sebagai Awastelands@. Saat ini lahan gambut telah menjadi pusat perhatian dunia karena fungsi dan peranannya dalam perbaikan atau penurunan kualitas lingkungan global tergantung pada pola pengelolaan gambut, terutama di wilayah tropis. Tanah gambut Indonesia mempunyai pH berkisar antara 2,8 – 4,5 dan kemasaman potensial mencapai >50 cmol kg-1. Ketersediaan unsur-unsur makro, N,P, dan K serta sejumlah unsur mikro pada umumnya juga rendah. Kapasitas tukar kation (KTK) tanah gambut cukup tinggi apabila dihitung berdasarkan berat bahan kering mutlak (115-270 cmol kg-1), tetapi relatif lebih rendah bila dihitung berdasarkan berat volume tanah di lapangan. Kejebuhan basa (KB) tanah gambut biasanya rendah pada kisaran 5,4 - 13% dengan rasio C/N tinggi yaitu 24-33.4 (Suhardjo & Widjaya-Adhi, 1976). Gambut Indonesia memiliki karbohidrat yang sangat rendah, dan sifatnya berbeda dengan gambut yang berada di daerah subtropis.
220
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Lahan gambut di Indonesia pada umumnya telah diusahakan sebagai lahan pertanian oleh penduduk lokal, bahkan akhir-akhir ini pembukaan lahan gambut meningkat akibat kebutuhan untuk ekstensifikasi usaha pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Selain itu, pemanfaatan gambut sebagai bahan amelioran juga banyak dilakukan, khususnya untuk perbaikan teknologi budidaya pada tanah-tanah mineral. Namun demikian, keberhasilan pemanfaatan gambut baik untuk usaha budidaya maupun sebagai bahan ekstraksi masih jauh dari yang diharapkan, karena ada kendala yang berasal dari sifat-sifat gambut bawaan (inherent properties) serta paket teknologi reklamasi yang diterapkan belum memadai. Penerapan paket teknologi untuk reklamasi gambut biasanya menyebabkan dekomposisi lanjutan berlangsung lambat, baik secara fisik maupun biokimia, karena bahan dasar gambut didominasi oleh lignin dengan konsentrasi sekitar 64 - 74% (Driessen & Suhardjo, 1976). Keragaman pemanfaatan gambut baik secara eks situ maupun in situ telah berdampak pada lingkungan dan sekaligus turut merubah sifat-sifat gambut. Oleh karena itu, kuantifikasi dampak pemanfaatan gambut perlu diungkap agar dalam perencanaan pengelolaan lahan gambut di masa mendatang dapat lebih menyelaraskan antara kepentingan berbasis nilai manfaat ekonomis dengan nilai fungsi ekologis gambut sebagai suatu aset budidaya. Tulisan ini bertujuan untuk mengulas berbagai studi yang telah dilaksanakan, baik dari aspek manfaat gambut sebagai bahan ekstraksi dan media tempat tumbuh tanaman serta peranannya dalam melepaskan dan menyimpan C dalam kaitannya dengan aktivitas reklamasi. Dalam hal ini rangkaian studi yang diketengahkan akan difokuskan pada tanah-tanah gambut kawasan tropis, khususnya gambut asal Sumatera (Bengkulu, Lampung, Riau, Sumatera Selatan dan Jambi).
PROSES PEMBENTUKAN TANAH GAMBUT Gambut terbentuk akibat proses dekomposisi bahan-bahan organik tumbuhan yang terjadi secara anaerob dengan laju akumulasi bahan organik lebih tinggi dibandingkan laju dekomposisinya. Akumulasi gambut umumnya akan membentuk lahan gambut pada lingkungan jenuh atau tergenang air, atau pada kondisi yang menyebabkan aktivitas mikroorganisme terhambat. Vegetasi pembentuk gambut umumnya sangat adaptif pada lingkungan anaerob atau tergenang, seperti bakau (mangrove), rumput-rumput rawa dan hutan air tawar. Di daerah pantai dan dataran rendah, akumulasi bahan organik akan membentuk gambut ombrogen di atas gambut topogen dengan hamparan yang berbentuk kubah (dome). Gambut ombrogen terbentuk dari vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun dengan ketebalan hingga puluhan meter. Gambut tersebut terbentuk dari vegetasi rawa yang sepenuhnya tergantung pada input unsur hara dari air hujan dan bukan dari tanah mineral di bawah atau dari rembesan air tanah, sehingga tanahnya menjadi miskin hara dan bersifat masam.
221
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Gambut ombrogen umumnya terbentuk dari akumulasi bahan-bahan berkayu selama kurang lebih 4000 -5000 tahun yang lalu (Anderson, 1983). Menurut klasifikasi FAO - UNESCO, tanah gambut termasuk ordo Histosol dengan kandungan bahan organik >30% dalam lapisan setebal 40 cm dari bagian 80 cm. teratas profil tanah. Berdasarkan tingkat dekomposisinya histosol dibagi menjadi 3 subordo, yaitu fibrik < hemik < saprik. Tanah-tanah gambut di Sumatra termasuk subordo Terric Tropohemist, Terric Sulfihemist, Typic Tropohemist, Terric Troposaprist dan Typic Tropofibrist (Hardjowigeno, 1989). Secara umum, tingkat dekomposisi menentukan sifat-sifat fisik, biologi dan kimia gambut.
PEMANFAATAN GAMBUT SEBAGAI BAHAN EKSTRAKTIF Pemanfaatan gambut asal Sumatra sebagai bahan ekstraktif pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman budidaya melalui perbaikan pada sifat-sifat tanah mineral asal lahan kering marginal. Pemanfaatan air gambut asal Lampung Utara sebagai bahan humat yang dikombinasikan dengan tambahan kapur terbukti berpengaruh nyata terhadap sifat-sifat tanah Latosol (Oxic Dystropepts) (Herudjito, 1999). Pemberian bahan humat dosis 1% dapat meningkatkan pori tersedia sebesar 36% dari 6,07 menjadi 8,24% volume, menurunkan Al-P sebesar 2% dari 29,0 menjadi 27 ppm dan Fe-P sebesar 20% dari 0,20 menjadi 0,16 me/100g. Aplikasi kapur 0,5 Al-dd dapat memperbaiki sifat-sifat kimia dan fisik tanah latosol. Kemasaman tanah menurun 2% dari 5,0 menjadi 5,1, Al-dd menurun 30% dari 0,20 menjadi 0,14 me/100g, P-tersedia naik 5% dari 19,73 menjadi 20,70 ppm, Fe-P turun 16% dari 298,1 menjadi 346,9 ppm.
222
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Pendayagunaan gambut asal Bengkulu sebagai bahan amelioran (kompos) telah dilakukan dengan memanfaatkan tiga jenis aktivator yaitu manure ayam, manure ruminansia dan batuan fosfat (Hendarto, 1996; Iswariyanto, 1996; Widiono, 1996). Pemberian bahan aktivator manure ayam dosis 10% pada gambut saprik telah menghasilkan kompos dengan pH 5,0; KTK 104 me/100g dan rasio C/N 17 setelah inkubasi 9 minggu. Aplikasi aktivator manure ruminansia dosis 10% pada gambut saprik telah menghasilkan kompos dengan pH 4,8; KTK 100,63 me/100g dan rasio C/N 18,57 setelah inkubasi 9 minggu. Selanjutnya, gambut yang diberi batuan fosfat dosis 10% selama 9 minggu dapat menghasilkan kualitas kompos dengan nilai pH 5,3; KTK 98,40 me/100 g dan rasio C/N 17,58. Hasil percobaan tersebut memberikan implikasi bahwa penggunaan aktivator manure ayam, ruminansia dan batuan fosfat memiliki pengaruh yang relatif sama terhadap komposisi nutrisi dan kualitas kompos yang dihasilkan dari gambut saprik untuk masa inkubasi selama tiga bulan. Studi penggunaan gambut sebagai bahan campuran pada media semai untuk tanaman kehutanan telah dilakukan pada gambut asal Sumatera Selatan dari kedalaman 0 - 40 cm. (Bastoni, 1999). Gambut tersebut selanjutnya dicampur lumpur dengan rasio 1:5 hingga 1:2 (lumpur:gambut). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pencampuran lumpur dengan gambut secara nyata telah meningkatkan kandungan kation-kation (Ca,Mg, K dan Na) dapat ditukar, kejenuhan basa dan pH tetapi menurunkan KTK dan P-tersedia. Perpanjangan periode masa inkubasi dari 2 hingga 8 minggu dapat meningkatkan kadar P-tersedia dan KTK secara nyata, tetapi menurunkan pH, kejenuhan basa dan kation-kation tertukar terutama Ca dan Mg. Kandungan unsur hara tanah (terutama unsur-unsur basa) dari campuran gambut + lumpur lebih tinggi dibandingkan gambut tanpa lumpur. Dalam hal ini penambahan lumpur disarankan untuk tidak melebihi dari 30% karena lumpur tersebut umumnya mengandung pirit tinggi. Penambahan lumpur> 30% juga akan mengakibatkan pH tanah menurun dengan drastis akibat oksidasi pirit, yang selanjutnya akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan bibit yang akan ditanam. Pengembangan zat pengatur tumbuh alami juga telah dilakukan dengan memanfaatkan ekstrak- air gambut saprik asal Lampung (Yusnaini & Sutopo, 1994). Hasil percobaan menunjukkan bahwa campuran ekstrak-air gambut dan larutan hara hidroponik rasio 1:4 telah meracuni perkecambahan benih dan pertumbuhan awal tanaman jagung, padi ladang, kedelai dan kacang tanah. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa konsentrasi bahan tersebut terlalu pekat. Gejala keracunan yang ditunjukkan adalah rusaknya akar, nekrosis pada ujung akar, rusaknya sel-sel epidermis dan akhirnya ujung akar mati. Tetapi, kenampakan visual menggambarkan bahwa tanaman jagung relatif lebih tahan terhadap efek racun dari ekstrak-air gambut saprik dibandingkan tanaman padi, kedelai dan kacang tanah.
STUDI GAMBUT SEBAGAI MEDIA BUDIDAYA Tanah gambut sebagai media tumbuh tanaman memerlukan berbagai input untuk menciptakan kondisi optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dibudidayakan. Variasi input yang pernah dilakukan adalah pemberian pupuk P, Cu, pengapuran, pemberian abu, aplikasi manure, pemberian tanah mineral, pengolahan tanah serta melakukan seleksi pada tanaman budidaya yang mampu beradaptasi pada lingkungan tanah gambut. Rendahnya tingkat kesuburan gambut, terutama unsur P merupakan faktor pembatas pada proses budidaya, khususnya tanaman pangan. Astiana & Rochim (1979) melaporkan bahwa pemupukan P pada tanah gambut Delta Upang Sumatera Selatan dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi varietas Pelita. Sarno (1996) mencoba menggunakan dua sumber P, yaitu batuan fosfat alam (BFA) dan TSP untuk meningkatkan produksi padi tahun pertama yang di tanam di lahan gambut asal rawa Jitu Lampung Utara. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa pemupukan dengan TSP dengan dosis 45-90 kg P2O5/ha telah memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan, hasil padi dan serapan N,P, K, sedangkan pupuk BFA dosis 135 kg P2O5/ha tidak berpengaruh nyata. Tetapi kedua pupuk P tersebut secara nyata telah meningkatkan kadar N-total, dan P tersedia tetapi tidak berpengaruh pada pH dan kadar K-tersedia. Gambaran data tentang pengaruh pemberian BFA dan TSP pada tanah gambut tergenang dapat dilihat pada Tabel 1.
223
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Tabel 1. Kadar N total, P dan K tersedia serta pH setelah percobaan pemupukan BFA dan TSP terhadap padi pada tanah gambut dalam keadaan tergenang.
Pupuk (kg P2O5/ha) Tanpa P BFA TSP
45 90 135 45 90 135
pH
N (%)
P (ppm)
3.94 3.98 3.88 3.97 3.94 3.94 4.02
2.12 2.03 2.08 2.22 2.22 2.36 2.43
44.67 38.31 58.29 78.51 41.31 59.17 95.78
K (me/100g) 0.18 0.19 0.18 0.20 0.19 0.18 0.18
(Sumber: Sarno, 1996)
Data pada Tabel 1. menunjukkan bahwa pemberian BFA relatif kurang memberikan pengaruh terhadap sifat-sifat kesuburan tanah gambut, sedangkan aplikasi TSP dosis 135 kg. P2O5/ha secara tegas menampakan pengaruhnya terhadap kesuburan tanah. Hasibuan (1999) selanjutnya melaporkan bahwa pemberian BFA dapat meningkatkan pH Histosol dari pH 3,18 menjadi 3,32. BFA dosis 600 ppm P2O5 juga lebih meningkatkan konsentrasi P-tersedia pada Histosol (204,5 ppm) dibandingkan apabila diaplikasikan pada tanah Inceptisol (33,50 ppm) dan tanah Oxisol (65,5 ppm). Walaupun konsentrasi P-tersedia pada Histosol lebih tinggi dibandingkan kedua jenis tanah lainnya, namun serapan P oleh tanaman jagung pada Histosol tergolong rendah (46,00mg/pot), sementara pada oxisol adalah 168,39 mg/pot dan Inceptisol sebesar 110,29 mg/pot. Fenomena tersebut terjadi karena tanah Histosol tidak memberikan lingkungan tumbuh optimal bagi tanaman jagung, yang ditandai dengan rendahnya berat kering tanaman, akibat pH yang rendah (3,18). Biasanya tanaman jagung akan tumbuh dengan baik apabila pH tanah berkisar antara 5,5 – 7,0. Fakta lain juga menunjukkan bahwa pemberian NPK + unsur mikro tidak memperbaiki pertumbuhan dan hasil jagung pada tanah gambut apabila tidak dikombinasikan dengan pemberian kapur untuk meningkatkan pH. Pengujian efektivitas berbagai sumber bahan ameliorasi tanah gambut juga telah dilakukan oleh Hartatik & Nugroho (2001) dengan menggunakan gambut dari Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan. Hasil percobaan lapang selama periode Oktober 1999 hingga Januari 2000 menunjukkan bahwa aplikasi dolomite, abu kayu, manure dan tanah mineral pada dosis 0,5 dan 1,5 ton/ha tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil jagung. Tetapi pemberian bahan ameliorasi abu kayu pada dosis 5 dan 10 ton/ha secara nyata meningkatkan berat biji kering jagung, masing-masing sebesar 3,9 dan 4,5 ton/ha. Tanpa aplikasi abu produksi biji kering jagung hanya mencapai 2,5 ton/ha. Pemberian bahan ameliorasi dolomite, manure dan tanah mineral pada dosis 5,10 dan 15 ton/ha tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi dan berat biomasa tanaman jagung. Hasil penelitian ini juga memberikan indikasi bahwa efektivitas sumber-sumber bahan ameliorasi untuk lahan gambut bervariasi tergantung jenis tanaman yang dibudidayakan serta kandungan nutrisi yang dimiliki oleh bahan-bahan tersebut (Tabel 2.). Abu kayu lebih banyak mengandung N-total, P2O5, K,Ca dan Mg dan unsur hara mikro, Fe,Mn,Cu dan Zn dibandingkan manure. Tanah mineral mengandung Fe, Mn,Cu dan Zn lebih tinggi dibandingkan bahan ameliorasi yang lainnya. Tingginya konsentrasi Fe pada tanah mineral dapat menurunkan aktivitas asam fenol. Kandungan Ca dan Mg yang tinggi pada dolomite diharapkan dapat meningkatkan pH tanah dan menyediakan Ca lebih banyak untuk tanaman. Tabel 2. Komposisi unsur-unsur hara pada dolomite, abu kayu, manure dan tanah mineral. Jenis Bahan Ameliorasi Dolomite Abu Manure Tanah Mineral
N-total (%)
P2O5 (%)
K (%)
Ca (%)
Mg (%)
Fe (ppm)
Mn (ppm)
Cu (ppm)
Zn (ppm)
0,78 0,65 0,16
0,96 0,25 0,11
0,24 0,39 0,09
19,29 0,83 0,29 0,02
11,07 0,44 0,24 0,10
645 815 305 1164
42 420 60 850
3 18 5 114
33 86 60 302
Sumber : Hartatik & Nugroho (2001)
224
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Sistem tanpa olah tanah yang diterapkan untuk budidaya padi pada lahan gambut di Bengkulu terbukti dapat menekan pertumbuhan gulma secara nyata apabila herbisida gliposat dan paraquat digunakan, tetapi pengaruhnya tidak nyata terhadap hasil gabah kering (Simarmata, 1997). Pengendalian gulma dengan penyiangan 2x secara manual maupun dengan herbisida 2,4 D mampu menekan pertumbuhan gulma lebih dari 80%. Jika pengendalian guma tidak dilakukan maka dapat menyebabkan penurunan jumlah anakan, jumlah malai dan hasil masing-masing 18,28, dan 32%, sedangkan gabah hampa meningkat 28% dibandingkan dengan penyiangan 2x. Penggunaan herbisida 2,4 D tidak menunjukkan perbedaan nyata pada hasil gabah dibandingkan dengan penyiangan 2x. Perubahan pola penggunaan lahan gambut di Bengkulu dari lahan hutan ke non-hutan telah mempengaruhi siklus hara nitrogen, terutama transformasi internal N; laju mineralisasi. Kandungan N total pada tanah-tanah gambut umumnya tinggi tetapi bukan berarti ketersediaan N tinggi (Tiem & Lim, 1992). Penelitian Suhardi (2000) di Bengkulu menunjukkan bahwa terjadi penurunan potensi mineralisasi N akibat peralihan lahan gambut menjadi lahan pertanian. Potensi mineralisasi N tertinggi terjadi pada lahan hutan, yaitu 44.094 me NO3/100g dan terendah pada lahan kelapa sawit (8.967 me NO3/100g) dan pertanian tanaman semusim (sayur-mayur) (8.394 me NO3/100g). Data juga menggambarkan bahwa proses drainase dan pengolahan lahan gambut telah menurunkan jumlah N-labil hingga 19-60% apabila lahan terkonversi menjadi kebun kelapa sawit dan sebesar 2143% apabila lahan diusahan sebagai kebun sayur-mayur. Sementara itu, adanya proses pengeringan-pembasahan secara berulang-ulang sepanjang 10 tahun telah menurunkan potensi mineralisasi N sebesar 28-67% bila lahan dijadikan sawah. Hasil penelitian ini menyiratkan fakta adanya penurunan cadangan N yang dapat termineralisasi akibat proses aerobiosis yang senantiasa terjadi pada saat lahan diolah atau terkonversi. Percobaan di laboratorium juga membuktikan bahwa peralihan fungsi lahan gambut dari lahan hutan ke bentuk lahan pertanian menurunkan waktu penyediaan N serta memacu aktivitas mineralisasi N. Peningkatan aktivitas mineralisasi N berkaitan erat dengan proses drainase (konsentrasi oksigen), perbaikan ketersediaan hara melalui pemupukan serta perbaikan kemasaman tanah karena pengapuran. Ketersediaan kebanyakan hara dalam tanah gambut, terutama N,P,K, Ca dan Cu rendah (Yonebashi et al., 1997). Tanah-tanah gambut tropika pada umumnya mempunyai kapasitas menyemat Cu yang tinggi karena sifat ikatannya yang kuat dengan bahan organik. Bertham (1996) melaporkan bahwa pemberian pupuk CuSO4 dosis 10 kg./ha. pada lahan gambut Air Hitam Bengkulu dapat memperbaiki keragaan dan pertumbuhan tanaman padi sawah. Kenampakan yang nyata terjadi pada peningkatan jumlah anakan setelah 30 HST dan tinggi tanaman pada 60 HST. Hasil percobaan ini juga menunjukkan bahwa penambahan pupuk Cu telah mengurangi jumlah gabah hampa. Hal ini memberikan indikasi bahwa peningkatan produksi padi sawah di lahan gambut memerlukan input unsur mikro, khususnya Cu. Hasil percobaan di rumah kaca dengan menggunakan tanah Gambut asal Riau menunjukkan bahwa tanaman padi respon terhadap pemupukan NPKS, pengapuran dan pemupukan Cu (Riwandi, 2002, komunikasi pribadi). Pemupukan Cu juga meningkatkan ketahanan tanaman padi terhadap serangan hama dan penyakit akibat adanya peningkatan lignin pada dinding sel tanaman (Bertham, 1996). Secara umum mayoritas penggunaan lahan gambut adalah untuk budidaya padi sawah. Sebagai contoh, propinsi Bengkulu memiliki 163.370 ha. lahan gambut dan 80.307 ha. diantaranya sudah diusahan untuk pertanian dan sekitar 75% digunakan untuk budidaya padi sawah yang dikelola secara tradisional (Busri et al., 1999). Dalam pengembangannya, kendala utama yang muncul adalah rendahnya mutu benih dan produktivitas padi yang ditanam di lahan gambut. Lahan gambut dengan segala keterbatasannya memerlukan benih yang memiliki kemampuan untuk mengatasi keterbatasan tersebut sehingga padi masih dapat berproduksi dengan baik. Untuk itu diperlukan seleksi tanamantanaman padi yang dapat beradaptasi dengan baik di lahan gambut, terutama melalui seleksi benih unggul lokal. Hal ini penting, karena keragaman padi lokal, terutama yang beredar di Bengkulu belum terungkap secara ilmiah potensi produksinya. Menurut Effendi et al.(1996), Bengkulu memiliki 20 galur/varietas padi, antara lain Cina Lamo, Dangko, Cina Abang, Madu/Lebah, Tambuku, Kemang, Bengkulu, Semail, Siam, Kuning Pandak, Gembira Putiak, Rimbo, pandak Kelabu, Batik, Galinggung, Jambi Alus, Duku, Bugis, Patik dan Gembira Kuning yang berasal dari daerah Bengkulu Selatan (12 varietas) dan Bengkulu Utara (8 varietas). Terdapat 19 varietas padi yang mempunyai tinggi tanaman 111,9 (padi Gembira Kuning) hingga 174,4 (padi Cina Lamo) dan hanya 1 varietas yang memiliki tinggi dibawah rata-rata yaitu 85 cm. Pada pengelolaan lahan gambut, masalah tata air merupakan
225
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia masalah yang serius dan seringkali ketinggian air berubah secara mendadak. Sehubungan dengan hal tersebut maka varietas padi dengan tinggi diatas 150 cm. memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan di lahan gambut. Tetapi, tanaman padi yang tinggi sering menimbulkan masalah lain yaitu mudah rebah. Data menunjukkan bahwa 2 varietas padi, yaitu padi Siam dan Gembira Kuning berumur genjah, sementara varietas yang lain berumur sangat dalam dengan saat mulai berbunga antara 83-125,3 HST. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya varietas-varietas yang memiliki potensi hasil sangat tinggi, antara lain padi Batik, padi Jambi Alus, padi Bugis dan padi Duku dengan jumlah anakan produktif berkisar antara 34 sampai 40 malai per rumpun. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan varietas unggul nasional seperti IR64/36 yang mampu membentuk anakan produktif pada tanah di P. Jawa antara 15-21 anakan per rumpun (Anwari, 1993). Hasil percobaan ini juga memberikan gambaran bahwa jumlah anakan produktif berkorelasi positif dengan potensi hasil padi. Daya adaptasi dan potensi hasil yang baik pada beberapa varietas padi lokal tersebut, selanjutnya merupakan sumber plasma nutfah penting untuk bahan tetua bagi persilangan dalam upaya pengembangan varietas-varietas padi unggul lahan gambut. REKLAMASI GAMBUT DAN KAITANNYA DENGAN DINAMIKA CARBON Reklamasi lahan gambut untuk budidaya pertanian dan perkebunan biasanya diawali dengan proses drainase, pembukaan lahan (land clearing) dan persiapan lahan untuk komoditas tanaman tertentu. Khusus untuk budidaya tanaman keras, seperti kelapa sawit, pemadatan harus dilakukan pada jalur pertanaman sebelum penanaman bibit (Vijarnsorn, 1996). Drainase yang dilakukan harus memenuhi dua syarat, yaitu (1) membuang kelebihan air dari hujan secara tepat waktu dan efisien serta (2) mengendalikan muka air tanah agar dapat mencapai kondisi optimum bagi pertumbuhan tanaman (Tie & Lim, 1992). Adanya proses usikan selama aktivitas reklamasi lahan gambut, yang meliputi pengatusan, pengeringan, pembersihan, penggenangan dan pengolahan lahan gambut, selanjutnya akan berdampak pada proses biologi tanah, terutama dalam kaitannya dengan aktivitas oksidasireduksi bahan organik dari gambut. Salah satu masalah penting yang telah menjadi perhatian secara global adalah terjadinya emisi CO2 dan CH4 sebagai produk dari proses oksidasi-reduksi. Sebagai contoh, lahan gambut di Eropa Utara telah menyumbangkan sekitar 30% emisi CH4 dari total yang dihasilkan lahan gambut dunia. Di daerah tropis, tanah gambut hutan dapat melepaskan sekitar 26,9 juta ton CH4 dan tanah gambut budidaya sebesar 30,9 juta ton CH4, sementara pada tanah alluvial hanya sebesar 5,0 juta ton CH4 (Barlett & Harris,1993). Selanjutnya , kuantitas C yang hilang dari lahan-lahan gambut di dunia akibat proses konversi lahan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Estimasi kehilangan C akibat konversi lahan gambut.
Pertanian/Kehutanan Subtropis Tropis Bahan bakar Hortikultura Total
Luas lahan sebelumnya (juta ha)
Luas lahan yang hilang (juta ha)
Akumulasi C yang hilang akibat emisi (juta ton C)
C hilang /tahun (juta ton C)
399
20
4140-5600
63-85
44
1,76-3,8 5 5
746 590 -780 > 100 5476-7126
53-114 32-39 33 181-271
Sumber : Maltby & Immirzi (1993)
Data pada Tabel 3. memberikan gambaran bahwa proses kehilangan C menjadi sangat penting pada saat lahan gambut mengalami perubahan dalam pola penggunaannya. Secara global, konversi lahan menyebabkan laju emisi C lebih tinggi dibandingkan C-sequestration. Oleh karena itu perubahan tata guna lahan berpotensi untuk menciptakan sumber C tetapi juga sebagai penyebab kehilangan sumber C. Semakin produktif suatu lahan gambut (dalam kaitannya dengan pertumbuhan tanaman) maka kian tinggi laju emisi CH4. Tanaman juga dapat berperan dalam melepaskan CH4 melalui akar dan batangnya (Adger & Brown, 1995). Laju produksi CH4 juga meningkat seiring dengan bertambahnya akumulasi serasah dan bahan organik dibawah zona anaerobik. Menurut Maltby & Immirzi (1993) luas lahan gambut selalu berkurang akibat adanya ekstensifikasi pertanian, perkebunan dan kehutanan. Secara global kerusakan yang terjadi telah mencapai sekitar 25 juta ha. hingga tahun 1980. Luasan lahan gambut yang kini tertinggal, baik di daerah sedang maupun tropis hanya dapat melakukan Csequestration sekitar 125 juta ton C per tahunnya. 226
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Secara umum emisi gas CO2 dan CH4 sangat dipengaruhi faktor lingkungan, terutama suhu dan curah hujan, dan lahan gambut sensitif terhadap keduanya (Adger & Brown, 1995). Di Indonesia penelitian-penelitian yang mengkaji tentang masalah emisi CO2 dan CH4 dari lahan gambut masih terbatas dan relatif belum bersifat komprehensif-terpadu-multidisipliner. Namun demikian, dalam tulisan ini akan diketengahkan fenomena reklamasi tanah gambut asal Jambi dalam hubungannya dengan emisi CO2 dan CH4 dalam eksperimen terkontrol. Dalam penelitiannya Sabiham et.al. (2000) mengkaji dampak proses oksidasi-reduksi pada suhu terkontrol (20oC dan 30oC) serta pemberian kation Fe 3+ terhadap emisi gas CO2 dan CH4. Estimasi laju pelepasan CO2 dan CH4 dari tanah gambut untuk setiap kondisi lingkungan dapat dilihat pada Tabel 3. Secara umum, data menggambarkan bahwa kehilangan C tertinggi dalam bentuk CO2 terjadi pada proses oksidasi suhu 30oC, sementara pola pelepasan CH4 cenderung tidak berpola. Estimasi total pelepasan gas dalam bentuk CO2 dan CH4 terjadi pada kondisi oksidasi ditemukan pada perlakuan oksidasi suhu 30oC dengan nilai tertinggi 3,62 kg C/ton C dan terendah pada kondisi reduksi suhu 20oC dengan nilai 2.47 kgC/ton C. Secara teoritik hal ini dapat dimengerti karena pada kondisi lingkungan tersebut mikroorganisme aerob terpacu untuk melakukan mineralisasi karena suhu optimum bagi aktivitas mikrobia aerob tersebut adalah berkisar 30-35oC (Handayani, 1991; 1996; Handayani et al., 2001). Kehilangan C tertinggi terjadi pada gambut fibrik dengan nilai 3,13 kg C/ton C, yang berasal dari gas CO2 (1.446 ton/ha./hari) dan CH4 (0.524 ton/ha./hari) (Tabel 4). Menurut Sabiham (1997) tingginya pelepasan gas CO2 dan CH4 dari gambut fibrik disebabkan karena fibrik memiliki kandungan serat, Corganik dan rasio C/N yang lebih tinggi dibandingkan gambut hemik dan saprik. Flaig et al. (1977) menyatakan bahwa fibrik adalah bahan organik yang masih sedikit mengalami dekomposisi, mengandung serat lebih dari 2/3 volume. Saprik adalah bahan organik yang telah terdekomposisi lanjut dengan kandungan serat kurang dari 1/3 volume. Hal ini menyebabkan mikrobia yang berada pada gambut saprik dapat memperoleh substrat yang lebih banyak, sehingga dekomposisi bahan organik menjadi lebih cepat (Sabiham, 1997). Tabel 3. Dinamika pelepasan C dari gambut asal Jambi dalam bentuk gas CO2 dan CH4. Proses Lokasi I Oksidasi Oksidasi Reduksi Lokasi II Oksidasi Oksidasi Reduksi Lokasi III Oksidasi Oksidasi Reduksi
Suhu o ( C)
CO2 (ton/ha/hari)
Kehilangan C* (kg/ton)
CH4 (ton/ha/hari)
Kehilangan C** (kg/ton)
Total Kehilangan C *** (kg/ton)
20 30 20
1,527 1,825 1,248
2,4 2,9 2,0
0,298 0,344 0,295
0,47 0,54 0,47
2,87 3,44 2,47
20 30 20
1,524 1,906 1,242
2,4 3,0 2,0
0,343 0,391 0,459
0,54 0,62 0,73
2,94 3,62 2,73
20 30 20
1,527 1,849 1,217
2,4 2,9 2,0
0,456 0,325 0,345
0,73 0,52 0,56
3,13 3,42 2,76
* Pelepasan C dalam bentuk CO2, ** Pelepasan C dalam bentuk CH4, *** Pelepasan C dalam bentuk gas CO2 dan CH4.*,**,*** per hari. Satuan ha menggunakan asumsi lapisan profil 0-40 cm dengan berat volume 0.28. Sumber data : Modifikasi dari Sabiham & Sulistyono (2000)
Pelepasan CO2 tertinggi terjadi pada inkubasi aerob suhu 30oC. Hal ini disebabkan karena pada kondisi aerob, mikroorganisme pelaku mineralisasi lebih aktif dibandingkan suasana anaerob. Dengan demikian hasil mineralisasi yaitu CO2 jadi lebih tinggi (Magnuson, 1993). Sebaliknya tingginya CO2 pada kondisi anaerob disebabkan tidak tersedianya oksigen dalam lingkungan tersebut sehingga hanya golongan bakteri anaerob yang aktif, seperti bakteri penghasil methane/methanogen. Bakteri tersebut dapat bekerja secara aktif pada kondisi anaerob dengan redoks potensial - 200 mV. (Tsutsuki & Ponnamperuma, 1987).
227
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Menurut Tan (1993) dan Stevenson (1994), gambut banyak mengandung senyawa organik yang mampu membentuk senyawa kompleks dengan kation-kation logam. Gugus fungsi yang mengandung oksigen seperti C=O, -OH, serta -COOH merupakan tapak reaktif dalam pengikatan ion. Tabel 4. Dinamika pelepasan C dari gambut asal Jambi dalam bentuk gas CO2 dan CH4 pada berbagai tingkat dekomposisi gambut dan kondisi inkubasi. Perlakuan
Suhu (oC)
Tingkat Dekomposisi Fibrik Hemik Saprik Jenis inkubasi Aerob 20 Aerob 30 Anaerob 20
Total Kehilangan C** Kehilangan C kg/ton *** kg/ton
CO2 (ton/ha/hari)
Kehilangan C * (kg/ton)
CH4 (ton/ha/hari)
1,446 1,328 1,210
2,3 2,1 1,96
0,524 0,401 0,316
0,83 0,63 0,51
3,13 2,73 2,47
1,553 1,860 1,235
-
0,312 0,353 0,420
-
-
Sumber data : Modifikasi dari Sabiham & Sulistyono (2000)
Sabiham & Sulistyono (2000) berpendapat bahwa kation Fe 3+ mempunyai urutan kekuatan ikatan kation dan kestabilan kompleks logam-organik yang paling tinggi daripada kation logam lainnya. Pemberian Fe 3+ pada gambut saprik asal Jambi sebanyak 2,5% dan 5% dari erapan maksimum, terbukti mampu mengatasi masalah toksisitas asam fenolat pada gambut dengan membentuk senyawa kompleks. Selanjutnya, pemberian kation tersebut dianggap paling efektif untuk reklamasi gambut khususnya dalam rangka mengupayakan stabilisasi gambut melalui decomposition prevention, sehingga pelepasan gas CO2 dan CH4 dapat ditekan (Sabiham, 1997). Data pada Tabel 5. menggambarkan pengaruh kation Fe 3+ terhadap penurunan emisi gas CO2 dan CH4. Pemberian kation Fe 3+ dalam bentuk senyawa FeCl3.6H2O dengan dosis 25 sampai 75 g./kg. telah menurunkan pelepasan C sebesar 10-27%. Menurut Sabiham & Sulistyono (2000) penurunan ini diduga karena telah terjadi ikatan kompleks yang stabil antara kation Fe 3+ dengan ligan-ligan organik pada tanah gambut. Stevenson (1994) mengungkapkan bahwa kompleks yang terbentuk ini merupakan ikatan kovalen yang lebih kuat dan cenderung stabil, sehingga lebih sulit untuk diputuskan atau dipertukarkan. Adanya pembentukan kompleks tersebut dapat menyebakan gambut lebih tahan terhadap proses dekomposisi, yang akhirnya dapat turut menekan pelepasan gas CO2 dan CH4 ke atmosfir. Oleh karena itu, dari segi manfaat praktis bahan-bahan ameliorasi berbasis kation Fe 3+ dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi produksi gas CO2 dan CH4, dengan dosis anjuran sekitar 50 g./kg. Tabel 5. Pengaruh pemberian kation Fe Jambi
Dosis Fe 3+ Tanpa 25 g./kg. 50 g./kg. 75 g./kg.
CO2 (ton/ha/hari) 1,076 0,973 0,829 0,767
3+
terhadap laju pelepasan gas CO2 dan CH4 pada tanah gambut asal
CH4 (ton/ha/hari) 0,530 0,479 0,408 0,397
Total Emisi (ton/ha/hari) 1,607 1,453 1,238 1,165
Sumber data: Modifikasi dari Sabiham & Sulistyono (2000)
Hasil penelitian ini menawarkan suatu permasalahan lingkungan yang cukup mendasar sebagai akibat aktivitas penanganan lahan gambut, terutama dalam kaitannya dengan peningkatan emisi gas rumah kaca. Fakta-fakta yang digulirkan juga menunjukkan bahwa lahan gambut dapat bersifat sebagai C-source dan C-sink, dimana antar keduanya melibatkan berbagai input yang diberikan pada gambut. Berpangkal dari dilema tersebut maka upaya pembenahan di dalam program pengelolaan gambut harus bertumpu pada penyelarasan antara faktor produktivitas tanaman dan faktor keamanan ekologis, sehingga lahan-lahan gambut dapat dijadikan sebagai wilayah pendukung stabilitas
228
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia lingkungan global, khususnya melalui stimulasi proses C-sequestration pada aspek aboveground biomass dan belowground. KESIMPULAN Lahan gambut di Indonesia, khususnya di Sumatra merupakan sumberdaya alam tropika yang semakin penting untuk perluasan budidaya baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan maupun kehutanan, karena ketersediaan lahan kering subur kian menurun dari tahun ke tahun. Tetapi, tumpuan harapan terhadap potensi lahan gambut sebagai media budidaya telah menyebabkan berbagai permasalahan baik dari segi produktivitas tanaman maupun kualitas lingkungan global. Reklamasi lahan gambut serta pemanfataannya sebagai bahan ameliorasi telah berdampak pada keberlanjutan fungsi gambut, yang akhirnya membuat posisi lahan gambut semakin rapuh. Untuk itu, diperlukan strategi pengelolaan yang dapat menjamin keselarasan antara fungsi gambut sebagai media budidaya untuk menghasilkan produktivitas tanaman secara berkelanjutan sekaligus sebagai agensia penyelamat iklim global, khususnya dalam rangka mitigasi gas rumah CO2 dan CH4. Penyusunan agenda pengelolaan lahan gambut selanjutnya harus bertumpu pada aspek kesesuaian komoditas tanaman, konservasi gambut, pencegahan terjadinya penurunan pada sifat-sifat tanah gambut akibat reklamasi dan praktek budidaya serta akselerasi C-sequestration melalui pemberdayaan model revegetasi yang adaptif. Selanjutnya, teknologi-teknologi berbasis multidisciplinary strategies diharapkan dapat membantu mendukung tujuan pengelolaan gambut secara berkelanjutan, khususnya dalam upaya pencarian tanaman-tanaman toleran gambut, pengaturan dan pengendalian tata air yang optimal agar oksidasi tidak terjadi secara berkepanjangan, serta pendayagunaan bahan ameliorasi yang efektif dan efisien berbasis sumberdaya alam lokal.
229
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PUSTAKA ACUAN Adger, N.E., & K.Brown. 1995. Land use and the causes of global warming. John Wiley and Sons, New York. h. 96-111. Anderson, J.A.R. 1983. The tropical peat swamps of Western Malesia. Dalam: Gore, A.J.P. (Ed.), Mires:Swamp, Bog, Fen and Moor. Regional Studies. Vol. 4B. Elsevier Scientific Publ. Co., Amsterdam, h. 181-199. Anwari, M. 1993. Evaluasi daya hasil lanjutan galur-galur padi. Risalah Seminar:KOmponen teknologi budidaya tanaman pangan di Propinsi bali. Balai Penelitian tanaman pangan Malang. h. 173-177. Astiana & A.Rochim. 1979. Pengaruh pemupukan fosfor pada tanah gambut terhadap padi varietas Pelita I-1. Makalah Jur.Ilmu Tanah, IPB. Bogor. 17 hal. Bartlett, K.B., & R.C. Harris. 1993. Review and assessment of methane emissions from wetlands. Chemosphere 26:261-320. Bastoni. 1999. Studi aspek kimia dan kesuburan campuran tanah organik (gambut) dan mineral (lumpur) yang digunakan untuk media tumbuh. Bulletin Reboisasi 7:21-33. Bertham, Y.H. 1996. Manfaat unsur tembaga (Cu) dalam meningkatkan hasil padi sawah di lahan gambut Air Hitam Bengkulu. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian UNIB. Driessen, P.M., & H.Suhardjo. 1976. On the defective grain formation of sawah rice on peat. Bulletin 3. Soil Research Institute. Bogor. h. 20-44. Flaig, W., B.Nagar, H.Sochtig & C.Tientjen. 1977. Organic materials and soil productivity. D.O.A. Soil Bull. 35:1-63. Friends of the Earth. 1992. The global status of peatlands and their role in carbon cycling. A report prepared by The Wetland Ecosystems Research Group. Department of Geography, University of Exeter. h. 145. Effendi, F., H.Wicaksono, D.Suryati, F.Barchia & Fahrurrozi. 1996. Penampilan beberapa varietas padi lokal Bengkulu pada lahan gambut. Laporan Penelitian Lembaga Penelitian UNIB. Handayani, I.P. 1991. Temporal variability of soil properties as affected by cropping. Master Thesis. University of Arkansas, Fayetteville, USA. Handayani, I.P. 1996. Carbon and N pools and Transformation after 23 years of no-till and conventional tillage. Dissertation. University of Kentucky, Lexington, USA. Handayani, I.P., P. Prawito, P. Lestari. 2001. Daya suplai nitrogen dan fraksionasi pool C-N labil pada lahan kritis. Laporan akhir Riset Unggulan Terpadu (RUT VII). Kementrian Riset dan Teknologi-LIPILembaga Penelitian Universitas Bengkulu.
230
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Hardjowigeno, S. 1989. Sifat-sifat tanah dan potensi tanah gambut Sumatra untuk pengembangan pertanian. Prosiding Seminar Tanah Gambut untuk Perluasan Pertanian. Fakultas Pertanian UISU, Medan. h. 14-42. Hartatik, W., & K.Nugroho. 2001. Effect of different ameliorant sources to maize growth in peat soil from Air Sugihan kiri, South Sumatra. Dalam: Proceeding of the International Symposium on Tropical Peatlands. J.O. Rieley & S.E.Page (Eds.). Jakarta. August 22-23. Hasibuan, B.E. 1999. Tanggap histosol, Oksisol dan inceptisol terhadap fosfat alam dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman jagung. Prosiding Kongres Nasional VII HITI. Buku II. hal. 831-843. Hendarto, K. 1996. Pengaruh manure ayam terhadap laju dekomposisi dan kualitas dari bahan gambut. Laporan penelitian. Lembaga Penelitian UNIB. Herudjito, D. 1999. Pengaruh bahan humat dari air gambut dan kapur terhadap sifat-sifat tanah latosol (Oxic Dystropept). Prosiding Kongres Nasional VII HITI. Buku II. hal. 547-561. Iswahriyanto, A. 1996. Pengaruh aktivator ruminansia terhadap laju dekomposisi dan kualitas dari bahan gambut. Laporan penelitian. Lembaga Penelitian UNIB Kalmari, A. 1982. Energy use of peat in the world and possibility in the developing countries. Seminar on Peat for Energy Use. Bandung, June 29-30. Magnuson, T. 1993. Carbon dioxide and methane formation in forest mineral and peat soils during aerobic and anaerobic incubations. Soil Biol. Biochem. 25(7):877-883. Maltby, E., & C.P.Immirzi. 1993. Carbon dynamics in peatlands and other wetland soils:regional and global perspectives. Chemosphere 27:999-1023. Neue, H.U., Z.P.wang, P.Becker-Heidmann, & C. Quijano. Geoderma 79:163-185.
1997.
Carbon in tropical wetlands.
Sabiham, S. 1997. Penggunaan kation terpilih untuk menurunkan asam-asam fenolat toksik dalam tanah gambut dari Jambi. J.Il. Indon. 7(1): 19-27. Sabiham & Sulistyiono. 2000. Kajian beberapa sifat inheren dan perilaku gambut: Kehilangan karbondioksida dan Metana melalui proses reduksi-oksidasi. J.Tanah Tropika 5(10)127-136. Sarno. 1996. Pemupukan batuan fosfat alam (BFA) pada tanaman padi di tanah gambut dalam keadaan tergenang. Jurnal Tanah Tropika 2(2):19-25. Simarmata, M. 1997. Budidaya tanpa olah tanah (TOT) dan cara pengendalian gulma pada tanaman padi di lahan rawa Bengkulu. Jurnal Penelitian UNIB 9:23-29. Stevenson, F.J. 1994. Humus chemistry. Genesis, composition, reaction. A Wiley-Interscience Publ. John Wiley & Sons. 2nd ed. New York. hal 496.
231
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Suhardi. 2000. Pola perubahan laju mineralisasi nitrogen pada peralihan fungsi lahan gambut menjadi lahan pertanian. Kumpulan artikel penelitian berbagai bidang ilmu (BBI). Lembaga Penelitian UNIB. Suhardjo, H., & I.P.G. Widjaja-Adhi. 1976. Chemical characteristics of the upper 30 cms of peat soils from Riau. Dalam: Peat and Podzolic Soils and Their Potential for Agriculture in Indonesia. Proceedings ATA 106 Midterm Seminar, Soil Research Institute, Bogor. h. 74-92. Tan, K.H. 1993. Principles of soil chemistry. Marcell Dekker, Inc. New York. hal 362. Tie, Y.L., & J.S. Lim. 1992. Characteristics and clasification of organic soils in Malaysia. Dalam:Tropical Peat, Proceedings of the International Symposium on Tropical Peatland, Kuching. Malaysia. h. 107-113. Tsutsuki & F.N. Ponnamperuma. 1987. Behavior of anaerobic decomposition products in submerged soils. Soil Sci. Plant. Nutr. 33(1):13-33. Vijarnsorn, P. 1996. Peatlands in Southeast Asia : a regional perspective. Dalam: Tropical Lowland Peatlands of Southeast Asia (E.Maltby et al., Eds), IUCN. Gland Switzerland. h. 75-92. Widiono, H. 1996. Pengaruh fosfat alam terhadap laju dekomposisi dan kualitas dari bahan gambut. Laporan penelitian. Lembaga Penelitian UNIB. Yonebayashi, K., M.Okazaki, N.Kaneko & S.Funakawa. 1997. Tropical peatland soil ecosystems in Southeast Asia: Their characterization and sustainable utilization. Dalam: Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. J.O riely & S.E.Page (Eds.). Samara Publ. Ltd. Cardigan. h. 103111. Yusnaini, S., & G,N.Sutopo. 1993. Pengembangan zat pengatur tumbuh alami asal humus dan mikroorganisme: pengaruh ekstrak air gambut saprik, kompos sampah kota, pupuk kandang, kotoran cacing tanah terhadap kecambah bebijian dan pepolongan. Ringkasan hasil penelitian 1992-1993. Buku II. DP4M-DIKTI. hal. 160-162.
232
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PEMBENTUKAN DAN PENGEMBANGAN KELOMPOK BRIGADE KEBAKARAN HUTAN DI DESA SUNGAI RAMBUT, KECAMATAN RANTAU RASAU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR, JAMBI Hairul Yayasan Pinang Sebatang (PINSE) Pendamping Lapangan CCFPI Jambi
Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan saat ini dipandang telah menjadi salah satu bentuk gangguan terhadap pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Kebakaran hutan dan lahan umunya terjadi karena aktifitas manusia. Taman Nasional Berbak sebagai salah satu kawasan konservasi lahan basah terbesar di Asia Tenggara, juga tidak luput dari masalah kebakaran. Kerusakan akibat kebakaran hutan dikawasan TN. Berbak mencapai 27.062 ha. Musibah kebakaran di kawasan TNB tidak terlepas dari aktifitas manusia. Maraknya kegiatan illegal logging di dalam kawasan sangat berpengaruh pada kekeringan gambut, diperparah lagi dengan pembuatan parit oleh penebang liar untuk mempermudah mengeluarkan kayu dari kawasan sepanjang ± 3 km, tentu sangat berpengaruh terhadap ketinggian air, yang kemudian menyebabkan kekeringan. Desa Sungai Rambut merupakan salah satu dari 26 desa penyangga di kawasan Taman Nasional Berbak yang sangat strategis. Desa ini terdiri dari 2 dusun dan 12 RT, terletak di Kecamatan Rantau Rasau, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Pada umumnya penduduk Desa Sungai Rambut adalah Suku Melayu 80%, selebihnya terdiri dari Suku Jawa, Bugis, Banjar, Batak, dan lain-lain. Pada umumnya mata pencaharian mereka adalah sebagai petani sawah tadah hujan yang dilakukan 1 (satu) kali setahun, nelayan ikan sungai, serta mengambil hasil hutan. Luas Desa Sungai Rambut adalah 3.600 hektar, dengan batas wilayah sebagai berikut : • Sebelah timur berbatasan dengan Taman Nasional Berbak, • Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Simpang, • Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Rantau Makmur, • Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Rantau Rasau. Jumlah penduduk Desa Sungai Rambut adalah 1.394 jiwa atau sebanyak 380 kepala keluarga, terdiri dari 662 jiwa laki-laki dan 732 jiwa adalah perempuan. Pendidikan masyarakat umumnya sangat rendah. Dari data yang didapat di lapangan, tingkat pendidikan tertinggi adalah SMA atau sederajat hanya ada 5 orang, SLTP atau sederajat 17 orang, selebihnya berpendidikan dasar dan tidak tamat SD. Topografi lahan umumnya datar dan berupa daerah pasang surut, sistem pertanian yang dikembangkan hanya 1 (satu) kali setahun. Sistem pengairan hanya mengandalkan hujan dan sangat tradisional. Benih padi yang dikembangkan masih varietas lokal dengan umur padi sekitar 6 bulan, juga tanpa olah tanah. Struktur tanah merupakan tanah endapan. Lahan gambut hanya terdapat di belakang desa (berbatasan dengan Desa Rantau Rasau dan TN. Berbak) dengan jumlah yang makin terbatas. Kondisi lahan tergenang selama 6 bulan dan kering selama 6 bulan. Dengan karakter lahan seperti tersebut diatas, irigasi teknis sulit dikembangkan. Pintu air yang terdapat di saluran primer tidak begitu bermanfaat bagi masyarakat, bahkan menimbulkan bencana
233
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia karena pirit yang seharusnya tersimpan aman dibawah permukaan air tanah, malah teroksidasi dan menjadi racun bagi tanaman dan lahan basah yang sudah dikodratkan memang harus basah tetapi kemudian menjadi kekeringan. Saluran primer yang dikerjakan oleh PU juga menjadi salah satu pemicu kebakaran lahan. Beberapa lokasi kebakaran lahan di Sungai Rambut dan Desa Rantau Rasau yang terjadi beberapa bulan yang lalu, sebagian besar terjadi di sepanjang saluran primer yang dibuat tanpa memikirkan dampak terhadap lahan itu sendiri. Perkebunan tidak begitu berkembang, karena karakter budaya sangat dominan mempengaruhi pola hidup masyarakat. Sejak masuknya program Inpres Desa Tertinggal (IDT) tahun 1984, masyarakat dikenalkan dengan pola pengendalian gulma dengan zat kimia dengan nama produk Parakol. Dengan dikenalkannya racun rumput kepada masyarakat, muncullah kebiasaan baru dalam mengolah lahan dengan cara menyemprot rumput dengan bahan kimia, dan dibiarkan beberapa hari sampai rumput mati dan kering. Jika kondisinya sudah merata mereka lalu membakar lahan mereka, dan untuk beberapa minggu siap untuk ditanami benih padi yang sudah disiapkan, tanpa olah tanah. Sebelum dikenalnya racun rumput, masyarakat desa mengolah lahan dengan cara menebas, dan rumput dibiarkan busuk kemudian diratakan, lalu ditanami dengan benih yang sudah disiapkan. Penyiapan lahan memakan waktu sekitar 2 (dua) bulan dan membutuhkan tenaga serta biaya yang cukup besar. Meskipun demikian, dengan cara tersebut lahan tidak akan rusak dan tetap subur, dibandingkan dengan menggunakan racun rumput dan dibakar, yang walaupun biayanya sangat murah tetapi menyebabkan kerusakan. Dampak kerusakan tersebut sudah dirasakan oleh masyarakat desa. Racun rumput juga menjadi pemicu kebakaran lahan khususnya pada saat musim tanam, disamping karena gundulnya hutan lahan basah yang selalu menyimpan air pada musim kemarau. Pengelolaan lahan dengan cara membakar juga diterapkan oleh perusahaan perkebunan besar, karena cara tersebut dianggap merupakan cara paling murah dibanding dengan cara lain. Kebiasaan masyarakat membakar sampah di pekarangan rumah juga ikut menyumbang karbon ke angkasa walaupun kuantitasnya lebih kecil. Kebakaran hutan dan membuka lahan biasanya terjadi pada bulan Mei sampai Oktober, sedangkan membakar lahan pertanian dilakukan masyarakat pada bulan Oktober sampai bulan Desember. Memasuki bulan Januari air pasang sudah meninggi dan menggenangi lahan pertanian, sehingga rumput akan selalu basah. Fenomena kebakaran lahan dan hutan bagi masyarakat desa merupakan hal yang biasa. Mereka beranggapan kebakaran tidak berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari karena dampak kebakaran hutan dan lahan serta asap yang dihirup terhadap kesehatan tidak akan langsung terasa, tetapi akan timbul beberapa tahun kemudian. Penyadaran kepada masyarakat terhadap bahaya kebakaran memang harus selalu dilakukan. Posisi Desa Sungai Rambut sangat strategis sebagai pintu gerbang ke kawasan TN. Berbak melalui Sungai Air hitam Dalam, sehingga Desa ini penting untuk diperhatikan. Gundulnya hutan akibat penjarahan sehingga air tidak bertahan lagi menjadi sangat rawan terhadap kebakaran. Dasar inilah yang mendorong penulis untuk mendorong pembentukan brigade kabakaran hutan dan lahan Desa Sungai Rambut sebagai garda utama pengendalian kebakaran hutan dan lahan di tingkat desa.
TERBENTUKNYA BRIGADE PEMADAM KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN “BRIGADE TELUK HARIMAU” DI DESA SUNGAI RAMBUT. Tahap Sosialisasi Tidak mudah untuk meyakinkan masyarakat bahwa pembentukan tim brigade kebakaran tingkat desa adalah penting. Wacana ini sudah dilemparkan kepada tokoh-tokoh masyarakat mulai bulan Januari dan Febuari 2003. Berbagai tanggapan dari para pemangku kepentingan muncul. Ada yang
234
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia menanggapi sinis tetapi adapula yang mendukung. Beberapa hal yang dijelaskan kepada masyarakat pada saat sosialisasi agar mereka yakin bahwa tim brigade harus dibentuk, yaitu : 1. Kebakaran hutan dan lahan sampai saat ini terus berlangsung dan berulang-ulang setiap tahunnya, terutama di setiap musim kemarau. Dampak dari bencana ini telah memusnahkan ribuan hektar dan kerusakan ekosistem hutan dan berpengaruh pada kesehatan manusia, 2. Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh instansi terkait melalui peningkatan kemampuan untuk pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran dengan melibatkan berbagai pihak belum memadai dan dan belum ditangani secara baik, dan tuntas.sehingga ada kelemahan dalam kegiatan penanggulangan kebakaran, 3. Kebakaran hutan dan lahan menjadi sumber polemik yang berkepanjangan tanpa memberikan solusi yang konkrit, baik di dalam maupun di luar negeri, meskipun selalu terjadi setiap tahun, 4. Kerugian yang ditimbulkan cukup besar, tidak saja terhadap lingkungan hidup namun sudah menjangkau aspek sosial, bahkan asap yang ditimbulkan mengarah dan mengganggu terhadap hubungan antar negara, 5. Akibat dari kebakaran hutan semakin banyak karbon yang lepas ke udara, sehingga terjadi peningkatan suhu bumi, yang berakibat terhadap peningkatan permukaan air laut, sehingga kemudian akan menenggelamkan pulau-pulau kecil dan daerah pesisir. Wacana ini terus disampaikan kepada masyarakat sampai bulan Maret pada saat dilakukan pelatihan alih keterampilan untuk kelompok. Pelatihan ini diantaranya ditujukan sebagai penyegaran untuk kader konservasi alam yang telah diberikan oleh pihak TN. Berbak, serta memperkuat wacana yang telah dibangun.
Pembentukan Kelompok Pembentukan Brigade Kebakaran hutan dan lahan tingkat desa untuk Desa Sungai Rambut dibentuk pada bulan april 2003 dengan nama “BRIGADE TELUK HARIMAU”. Sebagai tahap awal yang terpilih sebagai pengurus adalah : 1. Ketua
:
Wahidin
2. Wakil Ketua :
Muhammadia
3. Sekretaris
:
Ahmad Sayuti
4. Bendahara
:
Bujang
Anggota
:
24 orang
Kelompok brigade yang terbentuk anggotanya berasal dari Dusun I dan Dusun II. Dusun II merupakan pintu gerbang ke kawasan TN. Berbak melalui Air Hitam Dalam. Untuk saat itu tidak dibentuk regu, karena akan dilakukan penyegaran dan pembentukan struktur yang baku oleh TN. Berbak yang merupakan bagian dari penguatan organisasi, dan dilakukan pada bulan Mei 2003. Pada tahap ini, struktur yang dibentuk hanya pengurus inti saja.
Pembinaan dan Pelatihan Kelompok Brigade Kebakaran Penyegaran kelompok Brigade Teluk Harimau dilakukan pada bulan Juni 2003. Untuk tahap awal dilakukan penyegaran tentang visi dan misi organisasi brigade kebakaran hutan dan lahan oleh pihak
235
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Balai TN Berbak. Visi yang ingin dicaapai adalah “ mengendalikan kebakaran hutan dan lahan agar kelestarian lingkungan tetap terjaga untuk masa depan”. Sementara itu, misi Brigade Kebakaran adalah : 1. Melakukan operasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di wilayah masing-masing, 2. Melakukan pencegahan dan pemantauan, penanggulangan dan penanganan pasca kebakaran hutan diwilayah masing-masing, 3. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk kelancaran operasional pencegahan, pengendalian, dan penanganan pasca kebakaran. Sesuai dengan jadwal penyegaran tim brigade kebakaran “BRIGADE TELUK HARIMAU”, materi pertama adalah evaluasi struktur organisasi brigade kabakaran hutan dan lahan Desa Sungai Rambut. Setelah dilakukan evaluasi ternyata struktur yang ada terlalu sederhana, sedangkan dalam kegiatan organisasi membutuhkan koordinasi dan job description yang jelas, termasuk pembagian tugas. Setelah melalui diskusi dan penjelasan dari instruktur maka disepakati untuk melengkapi struktur organisasi menjadi seperti yang tertulis dibawah ini :
STRUKTUR ORGANISASI Pemadam Kebakaran Hutan Dan Lahan “BRIGADE TELUK HARIMAU” Desa Sungai Rambut, Kecamatan Rantau Rasau KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR, JAMBI
PEMBINA Kepala Desa KOORDINATOR W ah i d i n
Sekretaris Ahmad Sayuti
Seksi Logistik Ramli
Seksi Kepala Pemadaman Hasim
Seksi Keuangan Bujang A.
Ketua Regu I Suwandi
Ketua Regu II Musa
Ketua Regu III Muhamadia
Anggota
Anggota
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Bustami Saleh Sukri S. Hermansyah Budi Mahfuk Zunaidi Sapriadi Arifin A.
M. Saman Sabli A. Kojek Arifin T. Hatta Sani Tolib Kana Maslim 236
Anggota 1. Komar 2. Sukri 3. Marjuki 4. Iwan 5. Dafid 6. Afrizal 7. M. Yani 8. Masri 9. Umar Nur 10.Aidi andra
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Uraian Tugas dan Tanggung Jawab Organisasi Tim Pemadam Kebakaran Hutan dan Lahan “BRIGADE TELUK HARIMAU” Desa Sungai Rambut, Kecamatan Rantau Rasau, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi.
Pembina 1. Memberikan bimbingan dalam mengembangkan organisasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan, 2. Memberikan arahan dalam kerja sama dengan pihak lain yang berhubungan dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, 3. Memberikan arahan dalam pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Koordinator 1. Memimpin organisasi dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya, 2. Melakukan koordinasi dalam organisasi dan bekerjasama dengan pihak lain yang berkaitan dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, 3. Menyusun rencana kerja tahunan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan, 4. Bertanggung jawab terhadap semua kegiatan organisasi, 5. Memberikan laporan kegiatan secara berkala kepada Pembina, baik tertulis maupun lisan.
Sekretaris 1. Mewakili Koordinator, jika berhalangan, 2. Menyelenggarakan kegiatan administrasi, 3. Membuat dokumentasi dan mengarsipkannya, 4. Melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh Koordinator baik tertulis maupun lisan.
Seksi Logistik 1. Mengkoordinir penyiapan konsumsi dan akomodasi pada setiap kegiatan, 2. Bertanggung jawab terhadap semua peralatan yang ada dalam organisasi, 3. Menyiapkan P3K dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, 4. Melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh Koordinator baik tertulis maupun lisan, 5. Dalam melaksanakan tugas, memberikan laporan dan bertanggung jawab kepada Koordinator.
237
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Seksi Keuangan 1. Bersama Koordinator mencari sumber dana diluar organisasi dengan cara bekerjasama dengan pihak lain, 2. Mengelola dan mengatur keuangan organisasi, 3. Bertanggung jawab terhadap pembukuan keuangan organisasi, 4. Melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh Koordinator baik secara lisan maupun tertulis, 5. Dalam melaksanakan tugas, memberikan laporan dan bertanggung jawab kepada Koordinator.
Seksi Kepala Pemadaman 1. Mengkoordinir kegiatan yang berhubungan dengan pencegahan kebakaran hutan dan lahan, 2. Bertindak sebagai komandan dalam pemadaman kebakaran hutan dan lahan, 3. Mengatur persiapan dan strategi dalam operasi pemadaman kebakaran hutan dan lahan, 4. Menyusun rencana kebutuhan personil lapangan untuk operasi pemadaman, peralatan, dan perlengkapan lain, 5. Melatih regu pemadaman secara berkala (penyegaran), 6. Melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh Koordinator baik tertulis maupun lisan, 7. Dalam melaksanakan tugas memberikan laporan dan bertanggung jawab kepada Koordinator.
Ketua Regu 1. Bertanggung jawab terhadap peralatan dan perlengkapan yang diserahkan kepada regunya, 2. Mengatur tugas anggota regu dan peralatan yang digunakan, 3. Bersama Komandan, memimpin kegiatan pencegahan atau pemadaman kebakaran hutan dan lahan, 4. Melaksanakan tugas lain yang diperintakan oeh Koordinator, baik tertulis maupun secara lisan, 5. Dalam melaksnakan tugas, memberikan laporan dan bertanggung jawab kepada Komandan.
Anggota Regu 1. Mempersiapkan dan merawat peralatan serta perlengkapan yang dibebankan kepada regunya, 2. Melaksanakan kegiatan pencegahan atau operasi pemadaman kebakaran hutan dan lahan sesuai arahan Ketua Regu, 3. Melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh Ketua Regu, baik tertulis maupun lisan,
238
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia 4. Dalam melaksanakan tugas, memberikan laporan dan bertanggung jawab kepada Ketua Regu.
PENGEMBANGAN ORGANISASI PENGELOLAAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN TINGKAT DESA Agar regu pemadaman kebakaran ini bisa berjalan dengan baik, maka tertib organisasi perlu ditegakkan. Oleh karenanya kegiatan semacam pembagian kerja, pertemuan rutin, penyelenggaraan administrasi, pembuatan program kerja perlu diatur dengan baik. Termasuk aturan organisasi yang mengikat para anggota brigade perlu dibuat sebagai suatu kesepakatan dan harus ditegakkan. Dengan demikian kelompok ini aktif sepanjang waktu, dan bukan suatu kegiatan yang insidentil, sewaktu terjadinya kebakaran hutan dan lahan saja. Regu pemadam kebakaran tersebut juga bisa dijadikan wadah untuk aktivitas lain seperti aktivitas peningkatan kapasitas anggotanya. Dalam hal ini regu bisa saja mengadakan kegiatan gotong royong yang berorientasi produktif, seperti melakukan pengembangan tanaman sekat hijau yang mempunyai nilai ekonomis, menjual keterampilan dibidang pemadaman kebakaran kepada HPH dan perusahaan perkebunan besar, simpan pinjam diantara kelompok, arisan, bahkan pengembangan budidaya pertanian, yang mengarah ke sistem pertanian parmanen, peternakan, perikanan, dan usaha lain. Pada intinya organisasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan tingkat desa bersifat terbuka bagi siapa saja yang mau bergabung. Namun agar organisasi nantinya mampu menjalankan aktivitasnya dengan baik maka penerapan kriteria calon anggota harus diterapkan sebagai alat seleksi, apalagi untuk pengembangan organisasi ke depan. Persyaratan untuk menjadi anggota diantaranya seperti : 1. Semua warga desa, 2. Sehat jasmani dan rohani, 3. Memiliki motivasi tinggi untuk terlibat dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, 4. Bersedia mentaati aturan organisasi. Agar organisasi pemadam kebakaran yang dibentuk efektif, perlu memperhatian beberapa kriteria yang perlu diperhatikan bagi desa atau pihak yang akan membentuk tim brigade kebakaran tingkat desa, seperti : 1. Desa tersebut berada di areal rawan kebakaran, 2. Desa tersebut terletak di sekitara hutan, 3. Masyarakat desa tersebut sering menggunakan tehnik pembersihan lahan dengan membakar, terutama dalam menyiapkan lahan untuk kegiatan pertanian mereka, 4. Di lingkungan desa tersebut belum ada organisasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan, sehingga masyarakat merasa membutuhkan keberadaan organisasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Dengan memperhatikan kriteria tersebut, sehingga pembentukan organisasi bisa bermanfaat bagi masyarakat desa juga harus bisa berfungsi dengan baik nantinya. Maka harus menerapkan beberapa prinsip yang tidak bisa dipisahkan dengan kriteria diatas. Yaitu antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Integratif, Birokrasi sederhana, Fleksibel, Struktur dan lingkup pekerjaan yang jelas, Aktif dan reaktif, Efisien.
239
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia RUANG LINGKUP KEGIATAN BRIGADE PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN Ruang lingkup kegiatan bagi organisasi brigade kebakaran hutan dan lahan tingkat desa ada tiga tahap, yaitu berupa : 1. Pencegahan Kebakaran (sebelum terjadi Kebakaran) a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m.
Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), Penyuluhan/kampanye pencegahan kebakaran hutan dan lahan, Sekat bakar, Pengawasan/patroli di daerah rawan kebakaran, Pengaturan penyiapan lahan, Pemasangan rambu-rambu, Pengembangan kerja sama dengan lembaga lain, Penyebaran informasi, Identifikasi daerah rawan kebakaran, Pengembangan aturan lokal masyarakat, Menanam sekat bakar hijau, Simulasi penanggulangan kebakaran, Persiapan peralatan pemadaman (kondisi alat, termasuk alat manual),
2. Pemadaman kebakaran Adapun langkah-langkah operasi pemadaman jika terjadi kebakaran hutan atau lahan antara lain : a. b. c. d. e. f. g.
Melakukan koordinasi internal tim, Persiapan personil, Persiapan peralatan (baik mesin maupun alat manual), Persiapan dana operasional lapangan, Persiapan mobilitas tim lapangan, Melaksanakan pemadaman, Koordinasi dengan pihak terkait.
3. Penanganan setelah kebakaran Setelah melakukan operasi pemadaman, dan api dapat dikendalikan, segala aktifitas yang dilakukan mulai dari tahap teridentifikasinya titik api, persiapan sampai pada operasi pemadaman harus dilaporkan secara lisan atau tertulis kepada Koordinator bersama-sama dengan Komandan Pemadaman. Koordinator sebaiknya membuat laporan secara tertulis kepada Pembina organisasi, dan dibuat pertinggal sebagai arsip. Salah satu tujuan dari brigade kebakaran hutan dan lahan adalah menyelamatkan lingkungan dari kebakaran. Jika telah terjadi kebakaran lahan, terutama hutan, tentu semua tanaman yang ada di hutan tersebut mati, dan menjadi tandus. Untuk pulih seperti keadaan semua tanpa campur tangan manusia akan membutuhkan waktu ± 250 tahun. Untuk mempercepat proses pemulihan, kegiatan konservasi adalah pilihan yang tidak bisa ditawar. Untuk pemulihan ini tim brigade harus terlibat untuk melakukan rehabilitasi di lahan bekas terbakar, sebagai bentuk kongkrit kegiatan peduli terhadap lingkungan hidup Sesuai dengan kesepakatan, untuk mengaktifkan anggota maka perlu dibuat aturan yang bisa mengikat semua anggota. Untuk membahas ini disepakati dilakukan pembahasan mengenai aturan organisasi mengenai hak dan kewajiban anggota. Setelah dilakukan musyawarah disepakati aturan organisasi tim pemadam kebakaran Brigade Teluk Harimau sebagai berikut :
240
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Hak anggota 1. Berhak mengikuti kegiatan yang diadakan dalam kegiatan organisasi, 2. Menggunakan fasilitas yang ada, 3. Mengajukan saran dan pendapat dalam setiap pertemuan yang diadakan, 4. Berhak mengkritik pengurus jika melakukan kekeliruan.
Kewajiban anggota 1. Mentaati jadwal pertemuan rutin yang telah disepakati, 2. Mengikuti latihan rutin yang telah ditetapkan, 3. Membayar iuran rutin setiap bulan sebesar Rp.1000,4. Menjalankan tugas yang telah dibebankan kepada setiap anggota, 5. Menjaga dan merawat fasilitas yang ada.
Sanksi-sanksi 1. Jika tidak mengikuti pertemuan rutin dan latihan rutin berturut-turut dua kali, tanpa alasan yang jelas, secara otomatis keluar dari keanggotaan brigade. 2. Jika tidak membayar iuran rutin sampai 3 bulan, akan dikenakan denda menjadi dua kali lipat dari iuran yang telah disepakati 3. Jika membangkang intruksi Komandan, maka Komandan berhak memberikan sanksi, 4. Jika tidak hadir dalam pertemuan atau latihan rutin, harus melapor kepada Ketua Regu masingmasing. Jika tidak melapor dianggap alpa. 5. Anggota yang keluar dari keanggotaan brigade, atribut tim (baju, dan perlengkapan lain) harus dikembalikan kepada organisasi.
BRIGADE PEMADAMAN KEBAKARAN TINGKAT DESA YANG IDEAL Pembinaan dan Latihan rutin Anggota Brigade Pengendalian kebakaran hutan dan lahan dititikberatkan pada peningkatan kesadaran semua pihak akan bahaya kebakaran hutan dan lahan, baik terhadap sumber daya alam maupun terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, prioritas utama diletakkan pada pengembangan sumberdaya manusia yang mempunyai pola pikir dan perilaku yang peduli terhadap kebakaran hutan dan lahan. Sementara itu, dalam skala Brigade ditekankan pada pendayagunaan sumberdaya manusia (anggota) untuk dapat melakukan penanggulangan kebakaran (Pencegahan, penanggulangan, dan penanganan pasca kebakaran) secara dini untuk menghindari kerugian yang lebih besar akibat kebakaran tersebut. Agar sumber daya anggota brigade dapat berkembang, perlu terus diupayakan peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui pembinaan dan latihan rutin secara terus menerus. Frekuensi latihan rutin bisa ditentukan sesuai dengan kondisi musim. Jika musim kemarau intensitas latihan
241
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia akan lebih banyak, karena pada saat kemarau sangat rawan sekali terjadi kebakaran hutan dan lahan, sedangkan jika musim hujan intensitas latihan dapat dikurangi.
Pengadaan perlengkapan dan perangkat pendukung Sebagai pendukung kegiatan operasional lapangan, peralatan dan perlengkapan harus selalu siap di desa, termasuk juga perangkat pendukung alat komunikasi. Jika perlengkapan ini tidak tersedia di lokasi, tentu akan memperlambat proses penanggulangan, karena dalam hitungan jam saja luas lahan yang akan terbakar semakin banyak, sementara api semakin sulit dikendalikan. Apalagi jika kondisi lahan yang terbakar merupakan areal bergambut, ditambah akses untuk meminjam peralatan memakan waktu berhari-hari, jelas tidak efektif. Dengan pertimbangan kondisi tersebut, maka pengadaan peralatan dan perangkat pendukung lainnya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dengan kejadian-kejadian yang lalu kita bisa belajar untuk lebih cepat menangani bencara kebakaran. Perlengkapan yang ada harus disimpan di sebuah gudang dan menjadi aset desa yang diurus oleh anggota brigade. Gudang tersebut juga dapat dijadikan sebagai pos siaga api yang dilengkapi dengan sarana komunikasi.
Peningkatan kesejahteraan anggota Kelompok brigade kebakaran tingkat desa merupakan organisasi sosial dan tidak mengharapkan keuntungan. Sebagai sebuah organisasi tentu butuh dana operasional untuk menjalankan program ornanisasi. Banyak hal yang bisa dilakukan dalam rangka penggalangan dana seperti yang disebutkan diatas selama tidak mengikat dan halal. Jika tim brigade sudah punya usaha ekonomi, tentu bisa mengisi kas sebagai dana siaga untuk kegiatan operasional yang tidak terduga. Untuk anggota perorangan bisa melakukan pengembangan usaha ekonomi, yang diajukan ke donatur, dengan kewajiban menanam pohon tanaman keras sesuai dengan jumlah pinjaman. Disamping itu mereka juga berkewajiban aktif dalam organisasi terutama jika terjadi operasi pemadaman kebakaran. Semua aktifitas ekonomi sebaiknya dilakukan dalam koridor kelompok brigade, sehingga kekompakan anggota lebih mantap, dan koordinasi antar anggota bisa dilakukan efektif.
Mekanisme dan hubungan kerja dengan instansi penanggulangan kebakaran. Selama ini, jika terjadi kebakaran hutan biasanya penanganannya sangat lambat. Jalur birokrasi yang seharusnya mempermudah malah mempersulit, sehingga untuk memulai pemadaman akan memakan waktu 1 (satu) minggu lebih. Lokasi kebakaranpun menjadi perdebatan antar instansi dan berdalih diluar wilayah kerja mereka. Sangat wajar jika kebakaran yang terjadi tidak bisa ditanggulangi dengan cepat jika ego sektoral masih dominan di tingkat birokrasi. Disamping itu pembentukan tim pusat pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang dibentuk oleh pemerintah tidak menyentuh ke akar permasalahan, dan terkesan hanya formalitas belaka. Hal ini terbukti ketika kebakaran yang terjadi di areal HTI beberapa bulan yang lalu tidak ada action kongkrit dari tim ini. Dengan kondisi demikian sudah saatnya kita memberi kepercayaan penuh kepada masyarakat desa untuk terlibat secara penuh dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Mereka lebih menguasai medan dan tidak segan masuk ke lokasi, dan diharapkan lebih punya tanggungjawah karena areal yang dipadamkan adalah wilayah mereka.
242
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Jadi dalam konteks brigade tingkat desa harus ada koordinasi internal organisasi dan koordinasi eksternal yang dilakukan oleh Koordinator. Mekanisme koordinasi internal organisasi harus dijalankan antar pengurus inti, sampai ketingkat regu, sehingga penanganan bisa dilakukan dengan cepat. Adapun koordinasi keluar tetap harus dilakukan agar instansi terkait cepat melakukan tindakantindakan kongkrit dalam operasi pemadaman, sehingga penanggulangan kebakaran dapat dilakukan dengan sinergis dan melibatkan semua unsur.
243
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PENGALAMAN PT. DYERA HUTAN LESTARI (DHL) DALAM PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI AREAL LAHAN GAMBUT Hamri Rosera Direktur Produksi PT. Dyera Hutan Lestari Jambi
Abstrak Tulisan tentang Penanaman kayu Jelutung (Dyera lowwi) pada Lahan Gambut di Propinsi Jambi ini merupakan perbaikan dari penulisan tahun 1997, yaitu sebagai Makalah Penunjang dalam rangka Diskusi Nasional Pengelolaan Hutan Rawa di Medan. Banyak terjadi perubahan pelaksanaan penanaman Jelutung, disebakan karena terjadinya kebakaran hutan dan lahan pada Bencana Nasional Kemarau Tahun 1997. Sampai sedemikian jauh, masih banyak masalah yang harus diamati terus untuk penyempurnaan dalam menyusun Pedoman Teknis Pembuatan Tanaman Jelutung. Apalagi pada tahun 2003 areal PT Dyera Hutan Lestari terbakar untuk kedua kalinya. Oleh karena itu diharapkan pihak-pihak yang pernah melakukan penelitian di areal PT. DHL agar melakukan penelitian lanjutan. Begitu pula kepada pihak lain yang berminat diharapkan partisipasinya untuk kesempurnaan budidaya kayu Jelutung di lahan gambut. Semoga tulisan ini bermanfaat adanya.
245
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
PENDAHULUAN Sebagaimana dimaksudkan sejak awal pencanangan, Hutan Tanaman Industri pada dasarnya bertujuan untuk : 1. Menunjang pertumbuhan industri perkayuan dengan penyediaan bahan baku yang diperlukan secara mantap dan berkesinambungan. 2. Menunjang ekspor kayu olahan disamping kebutuhan dalam negeri. 3. Meningkatkan potensi kayu pada kawasan hutan produksi. 4. Memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. PT Xylo Indah Pratama (XIP) memulai membangun HTI di Propinsi Jambi pada tahun 1989 dengan tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pabrik pencil slat yang telah berdiri sebelumnya. Dalam perjalanannya kemudian berpatungan dengan PT Inhutani V dengan nama PT Dyera Hutan Lestari. Pada awalnya, industri PT XIP mendapat bahan baku kayu Jelutung dari pembelian bebas yang berasal dari Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Dikarenakan ada kecenderungan semakin sulit memperoleh bahan baku kayu dan untuk mendapatkan pasokan bahan baku kayu yang lebih pasti dan berkesinambungan, maka diputuskan untuk membangun hutan tanaman industri. Atas dasar pertimbangan teknis dan ekonomis, jenis yang dipilih untuk ditanam adalah Jelutung (Dyera lowii) disesuaikan dengan kebutuhan bahan baku pabrik pencil slat, meskipun tidak tertutup kemungkinan menanam jenis lain sesuai dengan perkembangan kebutuhan pabrik. Jenis Jelutung selain kayunya sangat cocok sebagai bahan baku pensil, juga menghasilkan getah yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Karena itu Jelutung termasuk MPTS (Multi Purpose Trees Species). Jelutung juga nerupakan jenis endemik yang tumbuh dengan baik di sekitar areal konsesi dan telah menjadi unggulan setempat. Secara umum, di daerah Jambi dan Sumatera Selatan, Dyera lowii lebih banyak diketemukan dari pada Dyera costulata. D. lowii banyak tumbuh di areal rawa-rawa sedangkan D. costulata banyak dijumpai di daerah daratan. Meskipun budidaya Jelutung rawa relatif sulit, jenis ini tetap dipilih untuk ditanam dengan keyakinan akan dapat tumbuh baik di habitatnya, yaitu rawa-rawa yang masih sangat luas tersedia di Propinsi Jambi. Disamping pertimbangan tersebut, kayu Jelutung rawa juga sangat cocok dan lebih baik untuk digunakan sebagai bahan baku pencil slat dibandingkan kayu Jelutung darat. Status Areal Hutan Tanaman Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts-II/1997 tanggal 13 Januari 1997 menetapkan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada PT. Dyera Hutan Lestari yang sebelumnya berupa ijin sementara. Kegiatan penanaman di lapangan telah dimulai sejak 1989 yaitu atas dasar Ijin Percobaan Penanaman (IPP) dari Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Nomor 244/DJRRL-IV/1989 tanggal 11 April 1989. Letak dan Luas Sesuai Keputusan Menteri Kehutanan di atas, total areal HTI PT DHL adalah 8.000 ha. yang terletak di kawasan Hutan Produksi, Kelompok Hutan Sungai Batanghari, dengan areal efektif yang bisa ditanam seluas 7.200 ha.
246
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Menurut pembagian wilayah administrasi pemerintahan, areal kerja PT. DHL berada di Propinsi Jambi, Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kecamatan Rantau Rasau dan Kumpeh Ilir, Desa Sungai Aur dan Simpang Lama. Sedangkan menurut pembagian wilayah administrasi Kehutanan berada di Dinas Kehutanan Propinsi Jambi, Dinas Kehutanan Kabupaten Muaro Jambi dan Dinas Kehutanan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, BKPH Kumpeh/RPH Tanjung dan BKPH Muaro Sabak/RPH Dendang. Letak areal konsesi membentang dari 103º 50’sampai dengan 104º 10’ Bujur Timur dan 1º 14‘ – 10 20‘ Lintang Selatan. Topografi dan Geologi Hampir seluruh areal HTI bertopografi datar (0-8%) dengan ketinggian tempat rata-rata 10 m dari permukaan laut. Seluruh arael merupakan lahan rawa gambut dengan kedalaman 1 sampai 3 meter dan semakin dangkal ke arah Sungai Batanghari. Semakin dalam gambut mencerminkan semakin rendah kandungan mineral. Tanah lapisan atas mengandung serat hasil dekomposisi dengan kematangan gambut hemik sampai saprik. Seluruh areal terdiri dari atau termasuk aluvium dan gambut. Batuan formasi terdiri dari bahan puf masam dan batu liat. Endapan aluvium berupa pasir, debu, liat dan gambut terdapat disepanjang aliran Sungai Batanghari dan cabang-cabangnya. Pada waktu yang lalu lokasi hanya dapat dicapai melalui sungai dengan waktu tempuh sekitar 2 jam menggunakan speed boat 40 PK dari Kota Jambi. Sejak tahun 2001, areal sudah dapat dicapai dengan kendaraan roda empat dengan jarak 97 km dari Kota Jambi. Iklim Areal HTI termasuk dalam iklim hutan hujan tropis dengan suhu rata-rata bulan terdingin 18 C dan curah hujan tahunan 2.269 mm. Jumlah hari hujan bulanan berkisar 8-21 hari dengan rata-rata 15 hari per bulan dengan curah hujan rata-rata per bulan 189 mm. Menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk tipe iklim A dengan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni sampai Juli dan tertinggi pada bulan September sampai Mei. Penyinaran matahari rata-rata berkisar antara 42,6% sampai 63,6% dengan penyinaran terendah terjadi pada bulan Nopember dan tertinggi pada bulan Agustus. Rata-rata suhu udara bulanan 27,2 C dengan suhu maksimum terjadi pada bulan Mei dan suhu udara minimum pada bulan Januari. Kelembaban rata-rata bulanan berkisar antara 80% - 90%. Data di atas merupakan keadaan sebelum kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 dan 2003. Pasca kebakaran belum dilakukan lagi pengukurannya. Vegetasi Areal HTI merupakan hutan sekunder yaitu bekas tebangan Hak Pengusahaan Hutan PT. Betara Agung Timber dengan perkiraan potensi rata-rata 20,71 m3/ha untuk semua jenis. Jenis komersial yang ditemui adalah Meranti, Mersawa, Balam, Kempas, Ramin, Punak, Rengas dan Jelutung. Ditemuinya jenis Jelutung dalam jumlah yang cukup banyak, merupakan indikasi yang baik dan menjadi pertimbangan dalam penetapan lokasi dan pemilihan jenis tanaman pokok.
247
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
PEMBUATAN TANAMAN Perencanaan Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa usaha hutan tanaman ini diprakarsai oleh PT Xylo Indah Pratama yaitu dengan membangun persemaian pada tahun 1990 seluas 0,5 ha yang berlokasi di pinggir Sungai Batanghari di Desa Sungai Aur. Pada tahap permulaan membuat 100.000 batang bibit Jelutung yang berasal dari pengumpulan biji di sekitar areal. Dari upaya awal ini telah dapat dibuat tanaman seluas 60 ha pada tahun 1991/1992. Teknik budidaya dan penanaman Jelutung ini terus disempurnakan dan dilakukan penelitian untuk menemukan cara penanaman terbaik. Sampai terbentuknya perusahaan patungan antara PT Xylo Indah Pratama dengan PT Inhutani V, telah dapat dilakukan penanaman seluas 913 ha. dalam waktu 3 tahun, dengan rincian sebagai berikut : o
Tahun 1991/1992
: 60 ha.
o
Tahun 1992/1993
: 260 ha.
o
Tahun 1993/1994
: 593 ha.
Sistim penanaman yang dilaksanakan adalah sistem jalur dengan lebar 2-3 meter dan jarak tanam 5 meter. Arah jalur adalah Timur-Barat dengan jarak antar jalur adalah 7 meter. Berdasarkan pengamatan di lapangan, ternyata jalur tanam dengan cepat tertutup oleh tanaman sehingga harus dilakukan penebasan 3 bulan sekali agar tanaman dapat memperoleh cukup sinar matahari. Sistem jalur ini dilaksanakan sampai tahun tanam 1993/1994. Teknik penanaman tersebut telah dilakukan pengamatan yang berkaitan dengan besaran intensitas cahaya dengan hasil sebagai berikut : 1. Areal hutan setelah berumur 8 tahun sesudah penebangan dimana tidak ada lagi pohon komersial, kondisi cahaya : -
Ketinggian 1 meter dari tanah Ketinggian 5 meter dari tanah
: 4% : 9%
2. Pembuatan jalur selebar 5 meter dan tegakan sisa petak diberi perlakuan, kondisi cahaya menjadi: -
Ketinggian 1 meter dari tanah Ketinggian 5 meter dari tanah
: 20% : 40%
3. Pembuatan jalur selebar 5 meter dan tegakan sisa pohon yang tingginya di atas 20 meter ditebang, maka kondisi cahaya menjadi : -
Ketinggian 1 meter dari tanah Ketinggian 5 meter dari tanah
: 38% : 70%
4. Pembuatan jalur selebar 10 meter dan tegakan sisa tidak diberi perlakuan, kondisi cahaya menjadi: -
Ketinggian 1 meter dari tanah Ketinggian 5 meter dari tanah
: 38% : 70%
5. Pembuatan jalur selebar 10 meter dan tegakan sisa pohon yang tingginya 20 meter ke atas ditebang, maka kondisi cahaya menjadi : -
Ketinggian 1 meter dari tanah Ketinggian 5 meter dari tanah
: 55% : 85%
248
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Pada jalur-jalur yang dicoba dalam berbagai lebar yaitu 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 meter, dilakukan penanaman. Pengamatan pada tanaman umur 18 bulan menunjukkan bahwa makin lebar jalur, makin cepat pertumbuhan Jelutung. Berdasarkan hasil percobaan tersebut, pembuatan tanaman tahun 1994/1995 dilakukan dengan jalur selebar 100 meter dan jarak tanam 5 x 5 meter. Areal berikutnya, pada jalur 100 meter, dibuat jalur sempit dengan jarak antar jalur 5 meter yang tegak lurus jalur dan ditanam dengan jarak 5 x 5 meter. Upaya ini dilakukan dalam rangka konservasi sebagian areal serta untuk mempertahankan heterogenitas tegakan pada kawasan konsesi. Sistim di atas tidak dapat diterapkan lagi karena sebagian besar areal terbakar pada tahun 1997 dan untuk selanjutnya dilakukan penanaman sistem (seperti) THPB. Begitu pula karena tidak adanya lagi bahan kayu untuk bantalan rel lori, maka untuk angkutan pekerja dan bibit diganti melalui kanal yang dibangun kemudian. Persemaian 1.
Lokasi Dikarenakan areal konsesi merupakan areal rawa, maka cukup sulit untuk mendapatkan lokasi persemaian di dalam areal HPHTI. Areal di pinggir Sungai Batanghari pernah mengalami kebanjiran, sedangkan areal yang agak tinggi umumnya sudah menjadi pemukiman penduduk. Lokasi persemaian seluas 2 hektar yang ada saat ini berada di pinggir Sungai Batanghari bersebarangan dengan areal konsesi. Untuk menghindari terendam air apabila terjadi banjir, maka bedeng tabur dan bedeng sapih ditinggikan/ditimbun terlebih dulu. Namun demikian sewaktu banjir besar (puncak banjir), persemaian masih sempat terendam dan sebagian anakan hanyut. Dari pengamatan lapangan selama banjir, anakan Jelutung hanya dapat bertahan terendam air selama 10 hari.
2.
Pengadaan Benih Benih Jelutung diperoleh dengan cara mengumpulkan buah dari pohon yang sehat baik dari areal sendiri, kebun penduduk maupun dari Taman Nasional Berbak. Pohon Jelutung mulai berbuah pada bulan Maret dan akan masak petik pada bulan Juli sampai September. Buah Jelutung yang baik mampunyai ciri antara lain sudah tidak bergetah, belum pecah, dan warna kulit buah coklat tua kehitaman. Bentuk buah memanjang 20-30 cm dan daging buah tipis. Biasanya buah masak tidak serentak, walaupun pada pohon yang sama. Namun demikian ada yang berpendapat bahwa apabila dalam satu pohon sudah ada buah yang masak, maka secara biologis semua buah dalam pohon tersebut dapat dikatakan sudah masak meskipun warnanya masih hijau. Untuk memperoleh kepastian tentang hal ini, kiranya masih diperlukan pengumpulan informasi lebih banyak serta konfirmasi dari para ahli. Selanjutnya buah Jelutung dijemur sampai kulitnya terbuka untuk dikeluarkan bijinya. Bentuk biji pipih dan bersayap. Tiap buah terdapat 12 sampai 18 butir biji dan setelah diseleksi bisa diperoleh biji 8-10 butir yang baik. Benih disimpan dalam wadah keranjang tertutup yang terbuat dari kawat kasa nyamuk. Benih ini harus segera ditabur paling lambat 2 minggu setelah pengunduhan untuk mendapatkan persentase tumbuh yang tinggi. Pada saat panen raya buah Jelutung, perusahaan mengalami kesulitan dikarenakan belum diketahui cara penyimpanan benih yang baik untuk mempertahankan persentase tumbuhnya agar tetap tinggi.
249
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
3.
Penaburan Benih Bak tabur dibuat dengan ukuran 4 x 1 meter dan diisi media berupa tanah gambut dan ditaburi serbuk gergaji pada lapisan atas. Benih ditancapkan sedalam 2/3 bagian biji dengan bagian bakal akar (buntut) ke dalam tanah dengan jarak antar biji 5 cm. Penyiraman dilakukan setiap pagi dan sore hari. Dalam keadaan normal, benih akan berkecambah dalam waktu sekitar 15 hari dengan persentase tumbuh rata-rata 80%. Setelah berumur 2-3 bulan atau mempunyai daun 4-6 lembar, anakan dapat disapih.
4.
Penyapihan Polybag yang digunakan berdiameter 14 cm., tinggi 22 cm. dan ketebalan 0,3 mm. dengan jumlah lubang sebanyak 24 buah. Media yang digunakan untuk penyapihan adalah tanah gambut ditambahkan pupuk urea secukupnya. Pada akhir bulan pertama, anakan disiram dengan Gandasil-O dengan dosis 30 cc/15 liter air. Selama di bedeng sapih dilakukan dua kali pemupukan, yaitu : -
Akhir bulan kedua diberi pupuk NPK sebanyak 3-4 butir/polybag Akhir bulan keenam diberi NPK sebanyak 5-6 butir/polybag.
Anakan dipelihara di bedeng sapih dengan naungan (shading net) 60% selama 6 bulan hingga mencapai tinggi 15 - 20 cm. Selanjutnya dilakukan seleksi dan dipindahkan dari bedeng sapih ke tempat yang lebih terbuka untuk penyesuaian sebelum ditanam. Anakan siap ditanam dengan tinggi 20-30 cm. Penanaman 1.
Pembagian Areal Areal konsesi merupakan lahan rawa yang pada umumnya rata, sehingga pembagian blok, petak dan anak petak dapat dilaksanakan dengan relatif mudah. Dalam pembagian areal, diawali dengan menetapkan dahulu jalan rel sebagai jalan/poros utama. Areal penanaman ditetapkan 1 km. kiri kanan jalan rel. Untuk pembuatan tanaman seluas 1.000 ha. diperlukan jalan rel sepanjang 5 km., yaitu blok kiri 5.000 m. x 1.000 m. dan blok kanan 5.000 m. x 1.000 m. Blok dibagi menjadi petak dengan luas 100 ha. (1.000 m. x 1.000 m.), yang kemudian dibagi menjadi anak petak berukuran masing-masing 100 m. x 1.000 m. Dengan demikian batas anak petak akan menjadi “pal Hm” dan batas petak menjadi “pal Km” pada titik-titik di jalan rel. Biaya pembuatan jalan rel di areal rawa jauh lebih mahal daripada di tanah keras. Pembuatan jalan rel di tanah rawa lebih banyak menggunakan kayu, baik untuk pancang maupun galang-galang yang harus selalu ditambah atau diganti. Penggantian atau penambahan paku penguat juga harus sering dilakukan. Sebagian besar kayu terbakar pada kebakaran tahun 1997, termasuk kayu-kayu yang selama ini digunakan untuk pembangunan rel. Mendatangkan kayu dari luar areal diperkirakan akan sangat mahal. Oleh karena itu pembangunan rel tidak diteruskan, sebagai gantinya dibuat kanal sebagai sarana angkutan. Kanal dibuat dengan lebar 6 meter dan kedalaman 3-4 meter.
2.
Persiapan Lapangan Penebangan dilakukan pada anak petak dengan tebang habis kecuali terhadap tanaman Jelutung dan Pulai. Semua kayu hasil penebangan dikeluarkan dari areal. Tahap berlikutnya adalah pemasangan ajir dengan jarak 5 m. x 5 m.
250
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Pada areal yang telah siap tanam, lebih dahulu ditanami dengan pakis yang berfungsi sebagai cover crop. Pada areal jalur sempit tidak dilakukan penanaman pakis secara khusus, tapi hanya dari tanaman pakis yang ada disekitarnya. 3.
Pengangkutan Bibit Dari persemaian di seberang sungai, bibit diangkut menggunakan pompong/motor boat yang berkapasitas ± 300 batang. Setelah dibongkar dari pompong, bibit lebih dahulu diseleksi. Bibit yang bagus diangkut dengan lori ke tempat terdekat dengan lokasi penanaman. Sedangkan bibit yang kurang baik atau rusak, dipelihara terlebih dahulu di pinggir sungai sebelum diangkut ke tempat penanaman.
4.
Pembuatan lubang Tanaman Ditempat ajir yang telah terpancang, dibuat lubang tanam dengan ukuran 30 cm. x 30 cm. dan kedalaman 30-40 cm. Lubang tanam diupayakan dibuat ditempat yang tidak terlalu berair. Apabila pergeseran pembuatan lubang tidak memungkinkan, maka dapat dibantu dengan penimbunan dengan tanah yang ada disekitarnya.
5.
Penanaman Bibit yang sudah berada di pingggir rel utama diangkut secara manual/tenaga manusia. Jika memungkinkan dibantu dengan membuat “jalan injakan” dari kayu-kayu yang ada di lapangan. Hal ini cukup sulit dan berat untuk dilakukan, apalagi pada lokasi yang gambutnya dalam. Sebagai akibatnya, produktifitas penanaman akan rendah jika dibandingkan dengan penanaman di lahan keras. Penanaman dimulai dari lubang tanam yang terjauh dari jalan rel. Penanaman dilakukan dengan melepas kantong plastik dan memasukkan anakan ke dalam lubang tanam dan tanahnya di padatkan. Pada lubang tanam yang airnya relatif banyak atau pada keadaan tertentu, batang anakan perlu diikatkan pada ajir. Pengamatan harus dilakukan terus menerus selama 3 bulan pertama, terutama pada areal yang dipengaruhi oleh pasang surut, karena tanaman dapat terganggu oleh air pasang/surut. Setelah tiga bulan, pada umumnya tanaman sudah stabil dan sebagian besar areal tertutup oleh pakis.
Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan tanaman berupa pembersihan dan pembebasan dari tanaman pengganggu dilakukan 3 kali dalam setahun. Adapun penyulaman dilakukan pada tahun berjalan dan tahun pertama. Secara umum, volume kegiatan penyulaman relatif kecil. Serangan hama atau penyakit belum/tidak dijumpai. Gangguan terhadap tanaman yang dijumpai adalah kerusakan pucuk tanaman oleh kera yang sedang bermain terutama di pinggir rel lori, sedangkan tingkat kerusakannya dapat diabaikan. Keberhasilan Tanaman Berdasarkan hasil pengamatan pada plot ukur tanaman tahun 1991/1992 dan 1993/1994 dapat disimpulkan bahwa rata-rata persentase tumbuh tanaman adalah 94,76%. Sedangkan persentase tumbuh pada areal tanaman 1994/1995 sebesar 91,62%. Pada penanaman tahun-tahun berikutnya, meskipun belum dilakukan pengukuran, namun dari pengamatan lapangan menunjukan bahwa persentase tumbuhnya cukup baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa walaupun tanpa disertai pedoman penanaman kayu Jelutung yang baku, apa yang telah dilakukan oleh PT DHL termasuk cukup memadai. Pada keadaan tertentu, misalnya pada intensitas cahaya cukup, memberikan pertumbuhan Jelutung yang baik.
251
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
PERTUMBUHAN TANAMAN Angka definitif riap tanaman Jelutung berdasarkan hasil penelitian ilmiah masih belum tersedia. Namun demikian, berdasarkan pengamatkan pohon Jelutung hasil penanaman tahun 1992, diperkirakan riap diameternya 2 cm./tahun. Pedoman dan referensi tentang getah Jelutung juga masih sangat terbatas, terutama yang berkaitan dengan umur mulai disadap, cara penyadapan terbaik serta produksinya. Berdasarkan keterangan dari penduduk setempat yang telah biasa menyadap getah secara tradisional, pasaran getah Jelutung cukup baik. Oleh karena itu, dengan dibantu oleh Balai Penelitian Hutan Tanaman (BALITTAMAN) Palembang pada saat ini sedang dilakukan penelitian mengenai hal tersebut di atas. Dari penelitian ini juga diharapkan dapat diperoleh informasi tentang pengaruh penyadapan terhadap pertumbuhan/riap tanaman Jelutung. Selain itu, PT. DHL juga telah menyiapkan areal tanaman Jelutung sebagai tegakan benih. Bantuan dan bimbingan dari Balai Benih Departemen Kehutanan sangat diharapkan agar dapat diperoleh benih yang baik dan unggul di masa yang akan datang.
PENGAMANAN TANAMAN Sejak tahun 1990 sampai dengan 2003 areal HTI PT. Dyera Hutan Lestari telah mengalami dua kali kebakaran, yaitu : 1. Pada tahun 1997, dari kawasan HTI seluas 8.000 ha, yang terbakar seluas 7.000 ha. termasuk di dalamnya 1.769 ha. areal yang telah ditanami. Kebakaran dimulai dari areal di dekat HPH PT. Kamiaka Surya yang jaraknya kurang lebih 30 km. dari areal PT DHL. Dikarenakan musim kemarau yang panjang dan kering, menyebabkan kebakaran tidak terkendali dan pada bulan Oktober api menjalar ke areal PT. DHL. 2. Tahun 2003 areal HTI PT. DHL terbakar lagi. Api berasal dari pembakaran limbah sawmill yang dilakukan dengan kurang hati-hati. Lokasi sawmill berada di pinggir Sungai Batanghari atau sekitar 1 km. dari batas HTI. Karena panas terik dan angin bertiup cukup kencang, menyebabkan api tidak terkendali sehingga kebakaran meluas sampai ke areal PT. DHL dan Kawasan Lindung Gambut. Tanaman yang terbakar seluas 1.777,5 ha. Sampai sedemikian jauh, ketidakberhasilan penanam Jelutung PT. DHL adalah disebabkan kebakaran hutan. Oleh karena itu mutlak diperlukan cara pencegahan yang efektif guna menyelamatkan tanaman di rawa gambut, setidaknya sampai tanaman berumur 5 tahun.
HAMBATAN 1. Pengumpulan buah Jelutung dirasakan cenderung semakin sulit. Dari hasil pengalaman, nampaknya ada tahun panen kecil (sedikit) dan ada tahun panen raya (banyak). Musim panen raya terjadi pada tahun 1993 dan baru kemudian terjadi lagi pada tahun 1997. Dapat ditarik kesimpulan bahwa panen raya buah Jelutung terjadi 4-5 tahun sekali. Sampai saat ini belum diketemukan cara terbaik menyimpan benih Jelutung agar dapat bertahan lama. Sehingga apabila musim buah tiba, benih harus segera disemaikan. 2. Karena areal PT. DHL adalah berawa sehingga sangat sulit menemukan lahan untuk persemaian. Lokasi persemaian seluas 2 ha. yang ada saat ini berlokasi di pinggir sungai, sehingga pada saat
252
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia sungai banjir banyak bibit yang hanyut atau mati terendam air. Anakan Jelutung hanya dapat bertahan maksimum ± 10 hari terendam air. 3. Pembuatan jalan angkutan utama dengan jalan rel pada lahan rawa memerlukan biaya tinggi dan banyak membutuhkan kayu landasan untuk pancang dan urug melintang. Jalan rel juga harus dipelihara secara intensif seperti perbaikan/penambahan paku dan galang-galangnya. 4. Pengangkutan bibit Jelutung secara manual (dipikul) untuk ditanam di lahan rawa jelas lebih sulit dan berat karena tempat injakan yang dalam dan tidak stabil.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Walaupun belum ada pedoman tentang penanaman jenis Jelutung dan keterbatasan referensi, upaya penaman yang telah dilakukan oleh PT. DHL kiranya hasilnya cukup memadai. 2. Dengan perhatian yang sedikit lebih intensif, upaya penanaman pada areal rawa dapat dilakukan dengan hasil yang cukup baik. 3. Pembuatan jalan rel untuk kegiatan HTI di areal rawa membutuhkan biaya pembangunan dan pemeliharaan yang besar. Disarankan untuk melakukan percobaan menggunakan saluran air seperti yang digunakan oleh masyarakat Sulawesi Selatan, Kuala Tungkal, Muara Sabak atau di Nipah Panjang. PT DHL melakukannya dengan membuat kanal selebar 6 meter setelah terjadinya kebakaran hutan tahun 1997. Salah satu faktor yang mendorong pembuatan kanal ini adalah sulitnya mendapatkan kayu yang dibutuhkan dalam pembangunan jalan rel. 4. Untuk mengadakan bibit Jelutung sampai siap tanam dibutuhkan waktu sekitar satu tahun. Oleh karena itu, perencanaan kegiatan dan penyediaan dana harus dilakukan dengan sistem multi years dan tepat waktu dalam pencairannya. 5. Perlu dilakukan penelitian yang mendalam untuk mengetahui sejak umur berapa tanaman Jelutung dapat disadap getahnya dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman. Begitu pula untuk mendapatkan benih unggul, perlu dilakukan perlakuan-perlakuan terhadap tegakan yang telah disiapkan untuk kebun bibit. 6. Perlu dicari metode pencegahan kebakaran hutan secara dini yang efektif pada lahan/hutan gambut, karena secara umum lahan gambut sangat mudah terbakar pada musim kemarau. Kebakaran merupakan faktor dominan terhadap ketidakberhasilan tanaman Jelutung.
253
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PROMOTING BEST AGRICULTURE PRACTICES FOR PEATLANDS CONSERVATION AND INCOME GENERATING ACTIVITIES Gusti Anshari1, Fadjar Rianto2, Arie Mirjaya3, and Fransiska Nelly4 1
Faculty of Agriculture, Tanjungpura University Jl A Yani Pontianak 78124, Kalimantan Barat Tel/Fax: (62)-561-740191, Email:
[email protected] 2
Faculty of Agriculture, Tanjungpura University Jl A Yani Pontianak 78124, Kalimantan Barat Tel/Fax: (62)-561-740191
3
International Organization for Migration (IOM), Surya Building 12 A Floor Suite 12A-03 Jl M.H. Thamrin Kav. 9 Jakarta 10350, Tel (62) 21-39838529, Fax (62) 21-39838528, Email:
[email protected] 4
Yayasan Konservasi Borneo. Jl. Paris 2, Perumahan Bali Mas 2 No.5B Pontianak 78124, Kalimantan Barat, Tel/Fax; (62)-561-711919, Email:
[email protected]
Abstract Internally Displaced Persons (IDPs), resulting from the ethnic riots in West Kalimantan have been resettled by the Provincial Government in peatland areas. It seems that the resettlements of IDPs in peatland area are the cheapest option, but this policy would have created new problems in the long term. Peat is an extremely marginal resource for agriculture, and undervalued for its environmental functions. All new settlers have little or no experience at all in practicing peatland agriculture. The common and current method of peatland agriculture is the use of fire in order to gather woody and peat ash, which plays an important role in improving peat fertility. Although the use of fire is found to be beneficial in short term, it would not conserve the peatlands. Through the European Union’s Humanitarian Aid Office-funded, a Land Rehabilitation and Capacity Building project is being implemented by International Organization for Migration (IOM) in Pontianak, of which the use of ocean mud, as an alternative for peat amelioration, has been introduced. This paper presents a best peatlands agriculture practice, dissemination strategies and difficulties, and major factors that influence IDPs to adopt the introduced management scheme. It is expected that peatlands conservation would secure income-generating activities and would allow the targeted beneficiaries the opportunities for sustainable and environmentally-friendly livelihoods. Keywords: peatlands agriculture, ocean mud, dissemination techniques and strategies
255
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia INTRODUCTION In West Kalimantan, it is estimated that the total size of tropical peatlands ranges from 1.1 to 4.6 millions hectares. This peatlands is mostly situated along the coast of the districts of Ketapang, Pontianak, and Sambas. The formation of this coastal peat is probably in line with the formation of peat in northern Borneo. Anderson and Muller (1975) provided evidence that coastal peat in this region occur on mangrove, and freshwater swamp forests. It is also common that these swamps contain pyrites and sulphidic soil. On other hand, interior peatlands is originally from kerangas (heath) and kerapah forests. Tropical peat is partially decomposed biomass of woody vegetation that deposits under waterlogged environment. Factors affecting peat accumulation are slow respiration rate resulting from waterlogged condition, highly acidic environment, and high content of vegetation fibers. Nutrients in peatland forests are greatly derived from floods and rains. Peatland vegetation species has special tools and mechanisms to uptake and retain nutrients in the closed peatland ecosystem. Since tropical peatland forest is unique, the ecosystem is extremely fragile. The general aim of the project is to develop sustainable peatland agriculture based on peoplecentered development. The objectives of this project are to promote best management scheme for peatland agriculture, involving the use of marine sediment or ocean mud as an ameliorant. Next, the improvement of peat fertility would allow the development of sustainable agriculture, which is expected to decelerate peat oxidation and to generate decent livelihoods.
Project site and methods The project is located in Sungai Asam, Kecamatan Sungai Raya, Pontianak District. The convenient way to go to the site is the use of water transportation. From Sungai Durian, about 20 km from Pontianak (the capital of West Kalimantan Province), it takes about 30 minutes to arrive at Sungai Asam with a 40 PK speedboat. A dirt road to the site is poorly accessible. It takes about 1½ hours to go to Sungai Asam by a motorcycle. Figure 1 shows the location of project site. The site is mostly dominated by deep peat deposit. It is estimated the depth of peat in this location ranges between 6 and 8 meters. Since the site is still covered by over-logged peatland forest, farmers find very difficult in removing dead stumps and logs from the cultivated site. Land clearing is commonly done by fire. Drainage channels are built by the government. Weirs are not constructed, creating overdrainage in dry season. A total of almost 400 households are recorded, consisting of mainly IDPs and local inhabitants. Recently, it was determined that families from Aceh have been transmigrated by the Department of Manpower and Transmigration to the sites. In this ECHO-funded project, the expected beneficiaries are between 365 and 400 households. The participation procedure of this project is voluntary, cooperative, and puts emphasis on the participants’ sense of responsibility towards their own survival, and the environmental conservation. The potential beneficiaries were asked to register and comply with the project requirements although all those who have decided to join have provided inputs and agreed with the plan of action, including the methodologies to be adopted. In this case, the application of ocean mud has been agreed to be mandatory. The use of woody and peat ash is neither prohibited nor encouraged. In return, for adopting the application of ocean mud, all beneficiaries are appropriately trained, and provided technical assistance (through capacity building activities and daily monitoring), seeds, fertilizers, chicken manures, EM4 solution, and other agricultural inputs.
256
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia The land rehabilitation project consists of three cycles. The first stage is to build demonstration plots, managed by community groups. In these plots, the application of ocean mud is compared with the current practice, the use of woody and peat ash. All plots are also fertilized with fermented chicken manures. The crops are mixed, consisting of king grass, maize, and kinds of vegetables. The second stage is to promote the application of ocean mud on individual site of beneficiaries. It is expected that each beneficiary would cultivate at least 500 m2 of peatlands, and plant with vegetables and annual crops selected in community workshop, deemed to be most appropriate for the soil conditions. The purpose of this stage is still noncommercial, but would augment the incomes of the beneficiaries through the sale of some crops harvested. The final stage of the project, which has been designed Figure 2. Project site, showing the present relocation settlements on disturbed and open peat swamp forest to be on a bigger and commercial scale, would involve a private sector in marketing the products, particularly corn. The project intends to ensure that the beneficiaries will have sustainable sources of livelihood by project completion. In West Kalimantan, corn kernels are highly demanded by chicken farms. This crop has been proven to grow well on peatland (Anshari et al. 2003)
Figure 1.
Ocean mud at Pantai Kijing, about 75km away from Pontianak
The project has already facilitated the selection of a businessman to form a win-win partnership scheme with IDPs. To achieve this, the project would provide post-harvest and basic technical assistance. The selected private sector would guarantee the market by purchasing the harvest, as stated in the agreement. In all stages, the project is essentially based on “learning by doing”
257
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia approach. Both beneficiaries and project staff are expected to work together and learn from project activities. The management of the project consists of IOM (International Organization for Migration), with full technical assistance from Agriculture Faculty of Tanjungpura University and guidance from the Provincial Department of Agriculture. Funds for the project implementation have been received from European Commission Humanitarian Aid Office (ECHO). The duration of the project is one year. It is very important to move from humanitarian stage into regional development phase. Major assistance given to IDPs in the form of humanitarian aids, such as free distribution of foods, and agricultural tools and inputs does not result in the establishment of self-reliant development model. In the case of the IDPs in West Kalimantan, it has been observed that humanitarian aid seemed to have increased the dependency level of IDPs on support from the government and international donors. Hence, the project is working towards an increase in capacity building and the promotion of existing resource use. It is expected that a culture of dependence would disappear among beneficiaries. Current Practice in Peatlands Agriculture Initially, almost all peat swamp forests in West Kalimantan were logged in 1970s, and then opened and reclaimed for agriculture and human settlements. Consequently, no intact peatland forest could be found, except in remote location, i.e. customary peatland forest in Danau Sentarum National Park. For agriculture purposes, peat is treated as an enemy. Peatland reclamation is initially conducted by the removals of peat and organic acids. The reduction of peat deposit is substantially done by burning and lowering water table. Drainage canals are built in order to wash organic acids and accelerate the rate of peat oxidation. Lime is also commonly promoted to improve soil acidity. The use of volcanic ash was ever introduced, too. As a matter of facts, all introduced techniques are not proved to be suitable to current socio-economic condition of peatlands farmers. The current practice is the use of woody ash, rotten fish and shrimps. Woody ash is gathered from sawmills, and the burning of top deposit, dry layer of peat. An integrated vegetables farming on peatland is found, and mainly practiced by Chinese farmers. In this case, most farmers largely depend upon the use of ash derived from saw woods and peat, some rotten fish, and manures (both solid and liquid forms) mainly from pigs and chicken. For years, these vegetable farmers are successful in producing green vegetables and controlling the market. A marketing network and distribution channels have been well established by Chinese traders and farmers. The present practice seems to face uncertainty since the supply of ash from saw mills rapidly declines, following the decline of timber industry in this region. Without ash input, peatland agriculture would collapse because many crops are not tolerant to low pH, which also may cause the retention of major nutrients. This evidence clearly shows that the use of ash in peatland agriculture has some disadvantages. As a major source of ash is from sawmills, this practice indirectly discourage the save of timber. Farmers may also cut more trees from secondary peatland forest, and then burn the logs. When logs are difficult to find, farmers are very likely to burn the top layer of cultivated peat. The removal of peat by fire and oxidation substantially reduce peat depth, and potentially causes the emergence of sulphidic soil, and pyrites. Peat fire produces haze that endangers human health and the environment and disturbs the flow of both aerial and surface transportation. Depending on drainage condition, peatland areas are greatly influenced by rain water. During rainy season, floods may occur. On the other hand, water level would significantly drop during low rain periods, creating favorable environment for peat fire. Ocean mud as an ameliorant Ocean mud is good ameliorant for improving peat fertility. The technology is very simple. Ocean mud is collected freely at coastal areas. The material is then mixed with water. The solution of ocean mud is poured on the seedbed, and properly blended with surface peat. The planting can be done after 10 – 14 days of application. For one hectare, it requires 15-20 tons of ocean mud, or equals to 5% of estimated peat weight (Rianto et al 1996). The cost of ocean mud application is cheaper than the cost of lime or volcanic ash. Our calculation shows that the use of ocean mud costs less Rp. 80,000 – 100,000 than the use of lime per tons, based on the present price in Pontianak. .
258
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Ocean mud has dual functions, as an ameliorant and fertilizer. Adding minerals would improve the properties of peat. The chemical properties of ocean mud are rich in major cations, low in cation exchange capacity, and may contain some microelements.
Table 1. Chemical properties of ocean mud from Pantai Kijing
Variables
Results
pH (H2O)
8.2
pH (KCl)
7.9
P Bray-1
5.6 ppm
N-total
0.2 %
Major Cations : ¾
Potassium (K)
5.4 me/100gr
¾
Sodium (Na)
45.9 me/100 gr
¾
Calcium (Ca)
62.0 me/100 gr
¾
Magnesium (Mg)
12.4 me/100 gr
Extraction of KCl 1 N: ¾
Aluminum (Al)
¾
Hydrogen (H)
nd 0.4 me/100 gr
Cation Exchange Capacity (CEC) Base Saturation
17.5 100%
nd = not detectable Source: Soil Laboratory of Agriculture Faculty, Tanjungpura University, 1998 This ocean mud also contains microelements, such as Zn (43.1 me/100gr), Cu (22.8 me/100gr), and Mn (306.8 me/100 gr). The content of Fe is relatively high, reaching 159.6 me/100 gr. The fractions of ocean mud consist of sand (9%), clay (10%), and dust (81%). The conductivity is recorded to be around 2.4 ms/cm. The expected effects of ocean mud application are to increase pH and base saturation, to improve peat fertility, and change the physical properties. Table 1 shows chemical contents of ocean mud collected from Pantai Kijing, in Kabupaten Pontianak. Major difficulties and challenges Beneficiaries, who are still in doubt to apply the ameliorant, do not currently demand the introduced ocean mud. Although research results have shown that ocean mud is proved to increase peat fertility, the application of ocean mud is still limited in experimental conditions conducted by agronomists (Latief 2003; Maulidia, 1995; Pujianto 1993, Suyadi, 1995 ). To mention a few, the use of ocean mud as an ameliorant is largely promoted by Saeri Sagiman, the current dean of Agriculture Faculty of Tanjungpura University.
259
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia To encourage the adoption of ocean mud, all demonstration plots are designed to show the benefits of ocean mud. Farmers are offered with alternatives, and required to do a simple analysis by comparing the effects derived from the application of ocean mud and ash. An important fact that has been highlighted was that the use of ash for three years in the sites has not done much to contribute on the improvement of soil conditions and have not yielded abundant harvest. Farmers consider the application of ocean mud to be laborious, comparing to the current practice. In contrast, the use of fire is so simple. Farmers, when dry periods occur, just burn the peatlands, Figure 3. The application of ocean mud has been and then plant the crops in the place where ash is conducted by IDPs in the demonstration considered enough to support the growth of crops. plots, and shown positive influence on the growth of maize (Seedbed mixed with In this practice, the planting space follows the ocean mud in the left, and seedbed accumulation pattern of woody and peat ash. The without ocean mud in the right). Photo: G application of ocean mud is suggested to follow Anshari, 2003 planting rows, particularly in the place where the seed will be planted. The application of ocean mud in prepared seedbeds is considered to be time consuming and extremely arduous. In addition, the promotion of ocean mud application is indirectly discouraged, when other organizations elsewhere, and NGOs working in peatland site still favor the use of woody and peat ash. The distribution of cultural techniques in peatlands agriculture is greatly influenced by successful examples learnt from other peatland agriculturists. Supports given by other donor agencies to promote, either indirect or direct ways, to use woody ash are discouraging the adoption of ocean mud. Another major reason that makes IDPs to be unenthusiastic to be engaged in the best agricultural practice is the inaccessibility to market. It is still difficult for most farmers to supply the demanded product in marketable quality, and quantity. To solve this problem, IDPs are asked to form a task group for assessing market requirements and establishing marketing network. The project has also tried to facilitate the direct communication between private sector and farmers. Discussions and conclusions The introduction of best agriculture practice in peatland area is a complex task. The problems are varied, not only in relation to technical but also socio-economic factors. It seems most farmers are very likely to wait and see the results of ocean mud application before they decide to join the project scheme. As in most situations, the introduction of a new technology and methodology that involves change of practices is always meet with resistance until proven effective. This attitude poses additional challenges and requires extra tasks for project management to persuade, ensure and promote the behavior change among beneficiaries, particularly IDPs. To counter the resistance and doubts, the project staff is made available everyday for consultation and helps to solve many problems related to agriculture practices. In many cases, IDPs wants to receive cash rather than agricultural inputs. This attitude is partially formed by former activities of NGOs, which have provided emergency assistance in the forms of foods and other physical materials. Figure 4. Assistance for building a place of incineration, locally called ash hut, is an example of fire promoting practice in peatland agriculture
260
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia It is a big challenge for the project management to keep motivation consistently at a high level and develop an integrated program for the IDPs. It is common for IDPs to have different opinions, views, and aspirations. Information is commonly distorted because the application of ocean mud is not properly understood by IDPs. As the project goes on, many IDPs raise a common concern whether the promoted activities would sustain, particularly after the project ends. IDPs argue it is difficult for them to gain ocean mud. Although ocean mud is plentiful and free of charge, it bears transportation costs and labor. It is impossible for IDPs to transfer ocean mud from Pantai Kijing, about 75 Km. away from Pontianak, to project site without any help. It is ideal if the Government of West Kalimantan would have a program that provides subsidy for accessing ocean mud. As the estuary of Kapuas River is annually dredged, it is possible for the Government of West Kalimantan to make ocean mud easily available. In addition, the project will work towards forming a cooperative with revolving funds that members can borrow from to cover costs associated with using environment-friendly agricultural practices after project completion. In the field, it is common to have misconception between land clearing and the development of sustainable peatland agriculture. Most farmers and many NGOs are trapped in the issue of fire use during land clearing. It is true that fire is the cheapest method for land clearing, but fire would not guarantee the sustainability of peatland agriculture. When land is cleared, and seedbeds are properly established, all activities in peatland agriculture should focus on the management of cultivated peat layer. If fire is still in use, all peat layer would be oxidized and finally disappear. As a consequence, the most destructive impact of fire use in peatland agriculture is the removal of peat. Hence, this consequence would keep all peatland communities living under poverty line and in unhealthy environment. Reference Anderson, J.A.R, and Muller, Jan. 1975. Palynological study of a Holocene peat and a Miocene coal deposit from NW Borneo. Rev. Paleobot., and Paly. 19: 291-351 Anshari, Gusti., Gafur, Sutarman., Kusnandar, Dadan., Mulki, Gusti Zulkifli., Jafar, Fariastuti., and Komari, Nurul 2003. Pengembangan pertanian di wilayah Singbebas Plus yang berorientasi pasar, pemberdayaan komunitas petani dan perlindungan lingkungan. Laporan akhir. JICA bekerjasama dengan UNTAN dan Bappeda Prop. Kalimantan Barat. Latief, Abdul. 2003. Pengaruh Lumpur laut tehadap pertumbuhan dan hasil tanaman Paprika (Capsicum annum var. grossum) pada tanah alluvial. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Tanjungpura Maulidia, Risma. 1995. Pengaruh pemberian Lumpur laut terhadap pertumbuhan produksi beberapa varietas sawi (Brassica spp) pada tanah gambut. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Tanjungpura Pujianto. 1993. Pengaruh pemberian lumpur laut terhadap beberapa sifat kmia tanah dan produksi kedelai (Glycine max (L) Merril) pada tanah gambut (tropohemist). Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Tanjungpura. Rianto, Fadjar. Suyadi., Gunawan, Joni, Khaidir, and Rachmat. 1996. Penggunaan Lumpur laut dan bakteri bintil akar dalam upaya peningkatan produksi Kedelai di lahan gambut. Laporan penelitian. Lembaga penelitian Universitas Tanjungpura bekerjasama dengan Agricultural Research Management Project II. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Suyadi, 1995. Influence of coastal sediment and lime in peat chemical properties in relation to soybean cultivation. Magister Thesis. Inst Agron in the tropics gric: Georg August Univ. Goettingen. Germany
261
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Acknowledgements The authors specially thank to IDPs who have worked and collaborated with us, and learned together. Marites dela Cruz is fully appreciated for reviewing the draft of this paper. The Land Rehabilitation project is being implemented with financial assistance from ECHO (European Commission for Humanitarian Office). Finally, we also need to mention that application of ocean mud as an ameliorant in peatland agriculture is originated from research results chaired by Dr Saeri Sagiman of Agriculture Faculty, Tanjungpura University.
262
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Working with Internally Displaced People to Develop Sustainable Agriculture Activities on Peatlands in West Kalimantan, Indonesia Catholic Relief Services – Gemawan
INTRODUCTION Background of the crisis in 1999 in Sambas, West Kalimantan Beginning in the mid-1960s, people from overpopulated areas of Indonesia began moving to West Kalimantan through the government-sponsored transmigration program. One major ethnic group that participated in this program was the Madurese, from the island of Madura, near Java. The Madurese, however, had difficulty integrating themselves into the local community, consisting of Dayak, Malay and Chinese ethnic groups. Furthermore, they achieved some economic success in West Kalimantan, a fact that engendered interethnic resentment. With Suharto’s removal from power in 1998 and the subsequent weakening of the central government, added to the stresses of the economic crisis, the rising interethnic tensions turned into a spate of violence with nothing to check its development. During the Sambas riots in 1999, the Chinese, Dayaks and Malays turned on the Madurese, killing over 200 people and expelling approximately 78,000 people from their homes. The Madurese fled to Pontianak, the provincial capital of West Kalimantan. In Pontianak, they created makeshift camps in public spaces, where some lived for as long as 2 years. The large influx of people strained the city infrastructure and created conflict with city residents. Solution of relocation camps Finally, the government developed a solution for the problem of resettling the Madurese Internally Displaced People. The government began building a series of camps, located approximately 20 – 40 km. outside of the city. Twelve camps were built with a total of over 5,500 houses. Not all of the houses are occupied however, as some IDPs considered the soils at these sites to be unsuitable for agriculture and the distance from the city would have made it difficult to work outside the camps. Some took the alternative option offered by the government, IDR 5,000,000 “empowerment fund” for them to obtain housing and begin a new life in a place of their choosing. However, many did decide to move to the relocation sites and began settling there in 1999. A number of international and local NGOs began working with IDPs to help them adjust to life in the relocation sites. In mid-2002, Catholic Relief Services began operations in the camps working with a local NGO, Gemawan, and funded by the United States Agency for International Development, the United Nations Office of Coordination of Humanitarian Affairs and distributions of rice from the World Food Programme. Through agriculture, peace-building, health and infrastructure activities, the emergency assistance program aims to assist the IDPs to develop sustainable livelihood strategies. While many IDPs do supplement their incomes through employment as laborers, they cannot rely on it entirely as it can require them to travel far from their homes and it may be temporary or seasonal in nature. Consequently, agriculture is considered the mainstay of their livelihoods, in particular because more than 80% of them depended on agricultural activities prior to displacement. Institutional Profiles Catholic Relief Services is an international relief and development organization founded in 1943, serving the poor in more than 90 countries worldwide. CRS works to alleviate human suffering, promote the development of people and foster charity and justice in the world. CRS has worked in Indonesia since 1957 and currently has projects in sustainable agriculture, peace-building, capacitybuilding, emergency assistance, microfinance and health. CRS/Indonesia has offices in Jakarta, Kupang (East Nusa Tenggara), Yogyakarta (Central Java), and a sub-office in Pontianak (West Kalimantan).
263
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Gemawan, Lembaga Pengembangan Masyarakat Swadaya dan Mandiri (Institute for the Development of an Independent and Self-supporting Community), is based in West Kalimantan and was founded in 1999. Its mission is to strengthen civil society through political awareness, community organization, advocacy, humanitarian assistance and promotion of social justice and economic independence. Gemawan has projects in humanitarian assistance, anti-corruption, gender empowerment, and education located in various sites in West Kalimantan.
DESCRIPTION OF THE SITES CRS and Gemawan work in 6 of the relocation camps, assisting approximately 1,800 families (an estimated 9,000 people). All of the sites are located in the Kabupaten (regency) of Pontianak. Five are located in Kecamatan (subdistrict) Sungai Raya. One, Pulau Nyamuk, is located in Kecamatan Sungai Kakap. The sites are all located less than 1º south of the equator and fall in the Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ). The average rainfall per year is 2597.3 mm., with an average monthly rainfall of 216.4 mm. The rainfall is fairly evenly distributed throughout the year. June, July and August are the driest months and the lowest average monthly rainfall is 132.1 mm. (August). Most of the sites are classified as B1 according to the Oldeman agroclimate classification system. This means that there are more than 8 continuous months with an average rainfall of over 200 mm. per month. The IDP population is primarily Madurese and previously most lived in the Sambas region to the north of Pontianak. The soils in that area are very different from the soils in the relocation sites, so they do not have experience managing peatland soils. Previously, many grew corn as their staple crop and raised cattle. As a result of the riots, the IDPs either lost or were forced to leave behind most of their possessions and livestock. Consequently, the IDPs are not able to resume their traditional agricultural practices and have to learn new techniques for cultivating different types of crops on a different type of land. Furthermore, they are more dependent on cash crops now and are not familiar with the market system in Pontianak. While the IDPs cultivate rice in all of the sites, yields are not sufficient to meet consumption needs and they depend on the sale of cash crops to purchase needed food items. According to the plans for the sites, the IDPs were supposed to receive at least 1 ha total in the agricultural sites but because of land conflicts with local residents, many IDPs have access to little more than 0.5 ha. Tebang Kacang – Satuan Permukiman (SP) I This is the oldest of the relocation sites, built in 1999. There are approximately 496 families (estimated 2480 people) living in this relocation site. Each family is allotted 1.75 hectares - 0.25 hectares for the house and garden area surrounding the house and 1.5 hectares for cropping. Prior to land clearing, approximately 60% of the land was covered in tertiary forest and 20% with shrubs. According to the contractor’s survey undertaken prior to the construction of the relocation site in 1999, the area includes several soil types. The main area is covered by peatland soil of varying thicknesses, from 50 to greater than 250 cm. in depth. Other soil types include Gleisol Tonik and Aluvial Gleik. Table 1 below shows the land classification categories used by the Indonesian government and corresponding classifications from other taxonomic systems. Table 2 shows the soil types and areas of land in each type. Table 1. Correspondence of soil classifications
No. 1. 2. 3.
Pusat Penelitian Tanah (1983) Aluvial Gleik Gleisol Tionik Organosol Hemik
FAO/UNESCO (1985) Gleyic Fluvisol Dystric Gleysol Dystric Histosol
264
USDA (1987) Typic Fluvaquent Typic Sulfaquent Typic Tropohemist
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Table 2. Soil types in SP I
Soil Type Gleisol Tionik Aluvial Gleik Organosol Hemik, 50-100 cm Organosol Hemik, 100-150 cm Organosol Hemik, 150-200 cm Organosol Hemik, 200-250 cm Organosol Hemik, > 250 cm Total
Area in hectares 59.9 324.1 267.9 426.3 366.9 250.2 188.7 1884
Source: Penyusunan Rencana Teknis Satuan Pemukiman for SP 1 and SP 2 (1999/2000)
The pH was measured at less than 4 on average. The report estimated that 3.8-4.4 tons of lime per hectare to raise the pH to 4.8, the minimum pH required for the suggested crops. At this rate, it would cost the farmer over 6 million rupiah (4.200 kg. x 1.500 rupiah per kg. retail price including transport) to raise the pH on 1 hectare to a minimum level suitable for cropping. This is a cost that the Madurese farmers, many of whom lost or left behind most of their possessions during the riots, would not be able to afford. Consequently, ash is often the only alternative for farmers to raise the pH on their land. A soil specialist from Balai Pengkajian Teknologi Pertanian surveyed the site in May 2003 and classified the land as alluvial sulfide peatland (HSM, alluvial bersulfat bergambut, from Widjaja-Adhi classification system for peatlands, 2000). While the investigation conducted in 2003 was not as extensive as that conducted in 1999, there are important differences between the results of the two surveys. The soil specialist found that the peat layer is shallow (20-25 cm. in depth) and the measured pH was between 5 and 5.5. The pyrite layer was discovered to be very near the surface, less than 10 cm. in depth. The primary vegetation found at this site is Alang-alang (Imperata cylindrica). The differences between the two sets of data may reflect the agroecological changes that have occurred over the last 4 years of agricultural use of the land, namely the subsidence of the peatland, the exposure of the pyrite layer and the increase in pH. The people at this site are able to cultivate rice on this land, one or two crops per year. They also grow vegetables, Corn, Cassava and Pineapple. As this is the most established of all the relocation sites, there are various types of fruit trees growing around the houses. The other sites, by comparison, are more exposed and do not have well-established perennial plants growing. This site is located approximately 42 km. from Pontianak, accessible by car and by boat via canals. Tebang Kacang – SP II This is one of the newer sites. The total number of families in this site is 283 (approximately 1415 people). Each family has access to 600 m2 for home gardens and 0.5 ha. for cropping. Previously, the land was primarily tertiary forest (80%) and shrubs (15.3%). The soils are essentially organosols of varying thicknesses. The pH was measured at approximately 4 on average. The contractor’s report estimated that about 4.2-4.5 tons of lime per hectare would be needed to raise the pH to 4.8. Table 3 shows the soil types and the areas in each soil type found in SP II. Table 3. Soil types in SP II
Soil Type Organosol Hemik, 50-100 cm Organosol Hemik, 100-150 cm Organosol Hemik, 150-200 cm Organosol Hemik, 200-250 cm Total
Area in hectares 95.2 417.2 588 197.6 1298
Source: Penyusunan Rencana Teknis Satuan Pemukiman for SP 1 and SP 2 (1999/2000)
Investigations in May 2003 showed that the land at this site can be classified as very deep peatland, with the peat layer exceeding 3 meters in depth. It should be noted that there is a 1992 presidential
265
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia decree prohibiting development of peatlands over 3 m in depth that has not been widely observed. The pH was measured at 4-4.5, which may reflect the effects of the application of the lime that was distributed through this project in late 2002 in addition to ash produced from burning to clear the land. This site is not as accessible as SP I or SP III. The road is passable by car up until Bhakti Suci. From Bhakti Suci to SP II, the road is only passable by car during the dry season, essentially 3 months of the year. Most of the time, only motorcycle transportation can get through. Tebang Kacang – SP III This site is located close to SP I, has relatively good access by road and is located 42 km. from Pontianak. There are approximately 400 families in this relocation site (an estimated 2000 people). Each family has 600 m2 for home gardens and 0.5 ha. for cropping. Soil surveys in May 2003 indicated that the land at this site can be classified as alluvial sulfide peatland (HSM, alluvial bersulfat bergambut, from Widjaja-Adhi classification system for peatlands, 2000), like the land at neighboring SP I. Essentially, the peat layer is shallow (20-25 cm. in depth) and the measured pH was between 5 and 5.5. The pyrite layer was found to be very near the surface, less than 10 cm. in depth. This area experiences periodic flooding from tidal flows and rain. The primary vegetation found at this site is ferns. The people at this site are able to grow rice in addition to other vegetable crops, cassava and corn. Parit Haji Ali This is also one of the newer sites. People have occupied the houses there for less than 2 years. Currently, there are approximately 61 families (305 people) at this site, though the site has a capacity for 200 families. In Parit Haji Ali, previously most of the land was under secondary forest (91.7%). This land borders protected peatland forest. This presents a problem for farmers in this site, as primates and other animals from the forest have become pest problems, damaging their crops. Table 4 below shows the types of soil and their distribution. Table 4. Soil types in Parit Haji Ali
Soil Type Organosol Hemik, 75-150 cm Organosol Hemik, 150-225 cm Organosol Hemik, 225-300 cm Total
Area in hectares 565 98 22 685
From Penyusunan Rencana Tata Ruang Desa for Parit Haji Ali (2001) The 2001 soil survey showed that the pH at this site was less than 4 on average and would need 3.94.2 tons of lime per hectare to raise the pH to acceptable levels. As in SP II, which is located close to Parit Haji Ali, the soil investigation in 2003 showed that the soil can be classified as very deep peatland, with the peat layer exceeding 3 m. The survey in 2001 did not find a peat layer in excess of 3 m. and this may reflect different survey methodology or site selection. The pH was measured between 4 and 4.5, a slight increase from 2001 levels. As Parit Haji Ali and SP II have the deep peatland soils, farmers encounter more difficulties cultivating their land. Consequently, there are many empty houses in both of these sites, as people either refused to move there in the first place or simply gave up after attempting to farm there. Each family received 600 m2 for home gardens and 0.5 ha for cropping. Because the land was in secondary forest, it has been more difficult for the farmers to clear the land. Consequently, some have not been able to fully utilize their land.
266
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Bhakti Suci This site is the closest to Pontianak, only 25 km. by a relatively good road. This site is classified as non-agriculture and the people at this site are expected to derive their livelihoods from off-site employment, primarily at the plywood factory nearby. However, many people at this site were previously farmers. Each of the 349 families has 600 square meters around the house for home gardens and many use this land to grow cash crops. Others who live in this site have worked out arrangements to utilize land to grow crops. Some have a sharing agreement with the local population, borrowing and cultivating the land and sharing the harvest with the landowner. Others at Bhakti Suci have purchased land from local people. According to the contractor, the soil in this site was classified as aluvial gleik, with a pH of less than 4. The Bhakti Suci site is adjacent to peatland areas and some of the land sharing or purchase agreements include peat soils. An investigation in 2003 showed that the land in this site can be classified as shallow alluvial sulfide soil. There is a shallow top layer of peat, between 10-20 cm. in thickness. A pyrite layer was discovered at less than 50 cm. from the surface of the soil. The pH of the soil was measured at 5.5 to 6, an increase from previous pH levels. Pulau Nyamuk This site is the most remote and as the name (pulau means island) indicates, it is not accessible by land. From Pontianak, it is 20 km. to the river port, from where it is a 1-hour trip to the island by boat. The relocation site borders protected forest. It is located on the coast and consequently seawater intrusions occasionally occur. The community does have a water gate but it does not regulate the water flow well. Table 5 below shows the various types of soils found at Pulau Nyamuk.
Table 5. Soil types in Pulau Nyamuk
Soil Type Gleisol Tionik Organosol Saprik, 0-75 cm. Organosol Hemik, 75-150 cm. Total
Area in hectares 196.4 216.6 48 461
Source: Penyusunan Rencana Tata Ruang Desa for Parit Sumber Bahagia 1, Parit Sumber Bahagia 2 (Parit Sidomulyo) and Pulau Nyamuk (2000)
The relocation site has the capacity for 118 families but currently only 57 families live there. The relative isolation of this site and the lack of public schools and other facilities are disincentives and some families were not willing to live there. However, the land at this site is relatively fertile and plentiful. Each family is allowed 0.25 hectare of land for home gardens (lahan pekarangan) and 1.5 hectares for cropping (lahan usaha), but effectively there is more land available because there are so few families who live there. The pH at Pulau Nyamuk ranges from 6 to 6.5 (according to testing in 2003), so it is not as acid as the soil found at other sites. Farmers are able to cultivate rice at this site, in addition to vegetables, Watermelon, Banana and Cassava.
SIANTAN HULU MODEL North of Pontianak is an area of peatland that has been successfully exploited by Chinese farmers for a number of years. They have evolved an agricultural system to effectively manage the peatlands for high productivity. This area produces the majority of vegetables and other produce that are sold in Pontianak markets. In addition to vegetables, Aloe vera, Papaya, Orchids and Pineapple are often
267
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia cultivated on peat soils. This model was adapted for use in the design of the agricultural extension plan for the IDPs in the relocation sites. To correct the soil pH, farmers in this region use ash, at the rate of 6 kg. per square meter. Ash is an alternative to lime as a soil ameliorant. It is preferred because it can be produced by the farmers and doesn’t require expenditure of money. The required quantities of lime can be too expensive for small farmers and there are no other readily available alternatives. To produce the ash, they construct pondok abu (ash huts), which are simple 4m. x 4m. or larger roofed but unenclosed structures. The huts provide a place for controlled burning, reducing the danger of peat fires. Farmers collect shrubs, grass, weeds, or crop residues to burn. In addition, some farmers will scrape off the top layer of driedout peat soil to burn also. The vegetable production is integrated with pig, chicken or other livestock production. The animal manure is used as an organic fertilizer for the vegetables. Raising pigs or other livestock is also a riskmanagement strategy, an alternative source of income in case of failures in the marketing of the vegetables. Furthermore, if some vegetables are not marketable or are not sold in a timely manner, they can become fodder for the pigs or other livestock. Other soil amendments include waste products from shrimp and salt-fish processing, which can be obtained from local markets. Pig-raising and the use of pig manure would not be culturally appropriate for the Madurese IDPs, who are observant Muslims. Traditionally, the Madurese raise cattle so the integration of cattle-raising would be a more culturally appropriate intervention. However, because they lost their livestock during the riots and currently do not possess cattle, a more likely alternative is to integrate the use of chickens and their manure into the agricultural system. The farmers in Siantan make a series of raised planting beds (bedengan). The beds measure approximately 1-1.7 m wide by 10- 20 m long and at least 10 cm high. There is a 50 cm space between the planting beds. The beds are oriented along a North-South line. They use a staggered planting system to ensure continuous production for the markets. For vegetable crops, they might have a 20-bedengan system so that they are harvesting a bedengan every day to sell. As for drainage, it is recommended to have secondary drainage channels (parit antara) every 50 meters along the primary drainage channel (parit induk). The recommended dimensions for the secondary channel are 1 m wide and 1 m. deep and 200 m. long. Each channel has a pool (kolam) that serves as a reservoir and farmers fill watering cans there to irrigate their crops. There are also tertiary drainage channels (parit lintang) to drain water from the fields.
PROJECT DESCRIPTION Pre-project conditions At the start of the project in September 2002, the conditions for agriculture in the relocation sites were not good. Drainage was not optimal and some areas were partially flooded during certain times of the year. Some lands had not been fully cleared – remaining trees and tree stumps hindered full cultivation of the agricultural land. Furthermore, many lacked adequate tools and other inputs (seeds, soil amendments, etc.) to practice agriculture effectively. The people also lacked knowledge of effective peat soil cultivation methods. They were encountering severe disease and pest problems and were not getting good yields. Uncontrolled burning of felled trees and other brush was common. Phase I – August to September 2002 During the first, 3-month phase of the project, emphasis was given to improving the basic agricultural conditions. To help people clear and cultivate their land, tool kits including axes, machetes, hoes and rakes were distributed to 1,900 families. To correct the soil acidity, families in 5 of the 6 relocation sites were given 100 kg. each of lime. Families in Pulau Nyamuk did not receive lime because the soil pH there was already within an acceptable range. To improve soil fertility, 150 kg. of organic fertilizer (animal manure) were distributed each family in all 6 relocation sites. Finally, the IDPs participated in community work efforts to deepen and improve drainage canals, which reduced flooding and improved
268
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia the field conditions. This was a Food-for-Work activity, so participant families were recompensed with monthly distributions of 50 kg. of rice. Seeds were also distributed to farmers. Relatively short-term crops were chosen for quick return, marketability, and appropriateness to agroecological conditions. Seeds for corn, string beans, chili and cucumber were distributed to the families. Phase II – February to December 2003 The second phase of the project began in February 2003 and will finish in December 2003. With a longer time frame, there was an opportunity for a greater emphasis on agricultural development and extension as opposed to emergency relief. While inputs were still needed, there was sufficient time to focus on the principal information and capacity-building needs of the people. The plan for the second phase of the project included workshops on land preparation, natural control of pests and diseases, marketing, post-harvest and plant nursery preparation (for perennial plants). The plan also included distributions of more seeds, tools, lime and chicken manure. To further improve the regulation of water, water gates have been planned for some of the sites. The farmers are organized into farmer groups, each of which chooses 2-3 kaders (leaders). The kaders attend the workshops and are responsible for training the other members of their groups. The extension model also includes the use of demonstration and experimental plots for farmers to try out and compare different techniques or varieties of crops. The topic of the first workshop was land preparation and management of peatland soils. The facilitators for the workshop were a soil specialist involved in agricultural research and an experienced farmer from the Siantan Hulu area. Essentially, the facilitators focused on how to correct the low fertility and acidity of the soil. Farmers were shown how to make compost, using crop residues, animal manure and Effective Microorganisms. Because lime can be expensive for the farmers, ash was promoted as a cheaper and more accessible alternative. Because of the danger of uncontrolled burning on the peat soils, it was recommended to localize burning only in specific areas. The workshop also touched on effective water management practices and the risks of excessive drainage and irreversible drying of the peat soils. Finally, farmers were shown how to check for the pyritic layer and how to manage it. Farmers in the relocation sites prefer to use chemical fertilizers, as they have always done in the past, however organic fertilizers were recommended instead, as chemical fertilizers can cause further acidification of the soil. The land preparation workshop was key because without adequate soil management, the crops are more vulnerable to nutrient deficiencies/toxicities and attack by pests and diseases. The second workshop dealt with natural control of pests and diseases. Farmers have reported many pest and disease problems with their crops. Just as they prefer to use chemical fertilizers, the farmers also prefer chemical pesticides to control disease problems. They are not as accepting of organic alternatives, particularly when the disease problems they face are more severe than what they faced in the Sambas region. The workshop focused on understanding the agroecology and the relationships between organisms. The importance of regular monitoring and observation was stressed, as farmers can learn a lot directly from the environment through this process. The dangers and negative impacts of chemical pesticides were illustrated. Farmers learned some basic principles of integrated pest management and practiced making various types of organic pesticides. The other planned workshops will deal with marketing, post-harvest and plant nursery maintenance. Marketing of their vegetable produce has been problematic as they have difficulty accessing the market (it is a relatively closed system in Pontianak) and obtain low prices. The plant nursery maintenance workshop is intended to help the farmers propagate and raise perennial plants. Some possibilities include papaya, jackfruit, avocado, cashew, soursop, neem and some N-fixing trees. Cultivation of these types of crops will help diversify the agricultural system and may provide alternative sources of income. The N-fixing plants can provide much needed nutrients for the soil. Also during the second, 9-month phase of the project more agricultural inputs were distributed. Farmers received a second distribution of 25 to 175 kg. of lime, depending on the size of their landholdings; those in Bhakti Suci, the non-agriculture site with only a 600 square meter planting area per family, received the least, while those with more than 1 ha. received the most. As before, those in
269
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Pulau Nyamuk did not receive lime because the soil acidity was not a problem there. Farmers also received between 25 and 175 kg. of chicken manure and as above, quantities depended on the size of the landholdings. Various types of seeds were also distributed, with different types distributed to different locations, depending on the agroecological conditions and requests from the people. Seeds included soybeans, peanuts, mung beans, bitter melon, stringbeans, cowpeas, cucumber, amaranth, tomato, mustard greens, kangkung, chili and eggplant. Agriculture tools distributed included shovels, rakes, hoes and watering cans. A few manual saws were given to people at Parit Haji Ali, who were still having trouble clearing their land of trees and tree stumps.
PROSPECTS/PLANS FOR THE FUTURE The basic challenge of this project is to assist people who have no experience with peatlands and few resources to manage a resource that requires high levels of inputs and knowledge to cultivate. Additionally, these are people who are somewhat traumatized and dispirited by their experiences as victims of ethnic conflict, forced from their homes and losing many of their possessions. We have been able to supply some of the required inputs and some of the required technical knowledge but one year is not enough time. For instance, one basic challenge has been how to correct the low fertility and acidity of the soil. While we can supply lime and chicken manure in the short term, the farmers will have to find their own means to improve soil fertility and correct soil acidity in the future. Lime is expensive for the farmers in the quantities required and would be difficult to transport, especially to certain sites which are inaccessible by car for most of the year. The next best alternative is ash, which would exacerbate the haze problem, encourage further deforestation and present a risk of peat soil fires. As for soil fertility, farmers do have access to vegetative materials that can be used in composting but for the most part, do not have access to large quantities of animal manures because livestock ownership is low. Some farmers are using urea and other chemical fertilizers, which can exacerbate the soil acidity problem, but not all are able to afford these materials. While this project will end in December, we are planning to continue working with the IDPs in 2004. We will need to continue assisting the IDPs with the technical knowledge on how to sustainably cultivate the peatlands. We will need to focus on more effective land and water management strategies, working with the community to develop long-term resource management plans. Some ideas for future activities include integration of a livestock component (possibly poultry) to diversify the agriculture system, provide alternative sources of income and nutrients for the soil. Further promotion of N-fixing plants will also help to improve soil fertility. We will also need to improve marketing, increasing access to markets and investigating alternative cash crops. As rice cultivation is not possible at some of the sites, farmers depend on the sale of cash crops to purchase rice.
270
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia BIBLIOGRAPHY Penyusunan Rencana Tata Ruang Desa (RTRD) Relokasi, Laporan Akhir. 2000. Propinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Pontianak, Lokasi Parit Sumber Bahagia 1, Parit Sumber Bahagia 2 (Parit Sidomulyo), Pulau Nyamuk. Prepared by Konsultan PT. Sari Yasa Renjana untuk Kantor Wilayah Transmigrasi Kalimantan Barat, Proyek Pembinaan Transmigrasi dan Mobilitas Penduduk, Propinsi Kalimantan Barat. Penyusunan Rencana Tata Ruang Desa (RTRD) Relokasi, Laporan Akhir. 2001. Propinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Pontianak, Kecamatan Sungai Raya, Desa Tebang Kacang, Lokasi Bhakti Suci (Non-pertanian). Prepared by Departemen Pendidikan Nasional, Universitas Tanjung Pura, Lembaga Penelitian untuk Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat, Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Kependudukan, Proyek Penyiapan Pengerahan Penempatan dan Pemberdayaan Kawasan Transmigrasi. Penyusunan Rencana Tata Ruang Desa (RTRD) Relokasi, Laporan Akhir. 2001. Propinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Pontianak, Kecamatan Sungai Raya, Desa Kuala Dua, Lokasi Parit Haji Ali. Prepared by Departemen Pendidikan Nasional, Universitas Tanjung Pura, Lembaga Penelitian untuk Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat, Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Kependudukan, Proyek Penyiapan Pengerahan Penempatan dan Pemberdayaan Kawasan Transmigrasi. Penyusunan Rencana Teknis Satuan Pemukiman (RTSP), Tahap III A dan Rencana Teknis Jalan (RTJ) Pola TU-TPLB (Hemat Lahan), Draft Laporan Akhir, Volume 1, Laporan Utama (1999/2000). Propinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Pontianak, Lokasi Tebang Kacang, SP 1 dan 2. Prepared by Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Tanjungpura, Lembaga Penelitian untuk Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan R.I., Direktorat Jenderal Permukiman, Bagian Proyek Pemukiman Kembali Korban Kerusuhan Sambas, Propinsi Kalimantan Barat.
271
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia CONTROLLED BURNING PRACTICES IN PEATLAND AREAS (A CASE STUDY IN WEST KALIMANTAN, INDONESIA) Lailan Syaufina Lecturer in Department of Forest Management, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University, PO Box 168 Bogor 16001, INDONESIA. Tel./Fax: 62-251-621244, E-mail:
[email protected]/
[email protected]
Abstract Peatland areas is a unique and fragile ecosystem in which needs wise management practices. Fire as a tool is often used in land preparation in peatland areas. It often causes great impacts on the global environment, since peat fire is dominated by smoldering combustion which produce eight times greater particulate matters when compared with flaming combustion into the atmosphere. Peat fires also emit greenhouse gases which is contributing to global warming. Therefore, control burning could be one of the alternatives in peatland best management practices. In West Kalimantan, most cultivators in peatland are permanently cultivating peatland. They have traditional way on how to minimize the impacts of peat fire which are implemented in several steps of cultivation. Keywords: peatland, smoldering, greenhouse gases, control burning
INTRODUCTION In South East Asia, forest fires have become more common and have destroyed large forest areas since the last few decades. The forest fire mainly occurred in Indonesia and Malaysia. In 1982/1983, wildfires in Borneo left behind more than 5 millions ha. of burned primary and secondary rain forest (Goldman and Seibert 1990). Again, in 1997/1998, ASEAN region were in flame. In Indonesia, about 10 millions of forest and land had burned out and about 70 millions people were affected. Whereas, about 3,225 of forest and land areas burned in Peninsular Malaysia during the fire episode (Samsudin et al. 1999). The impacts of the fires were worsened by the occurrences of peat fires of which the trans-boundary haze pollution problem appeared. In Malaysia, about 99.1 % of fire in 1998 occurred in peat forest areas (Ainuddin and Saidy 1998). Among forest fire types, surface fire and crown fire, ground fire in which peat fire is categorized is the most dangerous one. It spreads underground slowly, without flame. Therefore, peat fire is very difficult to be detected and controled. Since smoldering process dominates peat fire combustion, particulate matters emitted by the fire is almost ten fold when compared with flaming combustion. The high production of particulate matters will then mix with high water vapor content as a result of combustion process in the atmosphere. As consequence, possibility of haze formation becomes higher in smoldering combustion. On the other hand, peat fires also contribute to greenhouse gases emission. Syaufina et al. (2003) indicated that peat fire produce CO2, CO, NOx and CH4 in which affected by moisture content of peat significantly. Peat fires occur mostly caused by intentional activities of human being. Land preparation for plantation, forestry practices, agriculture and other cultivation are among the activities. Burning is recognized as the simplest and the cheapest way in land clearing for millennia, though, uncontrolled and extensive burning in peat lands will cause great impacts to the environment. Therefore, an environmentally sound controlled burning policy need to be applied in peat areas.
273
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia As in some other places, people in West Kalimantan have cultivated peatland areas by using fire for decades. In practices, they have their own traditional way in conducting control burning which implemented in several steps of cultivation.
NATURE OF PEAT FIRE Peat fire is classified as ground fire with a constant tendency of self-penetration (Artsybashev 1983). It occurs in subsurface organic fuels, such as duff layers under forest stands, arctic tundra/taiga and organic soils of swamps/bogs and peat (Brown and Davis 1973). They burn underneath the surface by smouldering combustion with no flame and little smoke and most often ignited by surface fire, depending on the moisture content of the organic layers (Pyne et al. 1996). With further combustion, the fire penetrates (Artsybashev 1983) into the peat horizon of the soil, burning out funnel-shaped pits and then spreads in a horizontal manner (Figure 1). Since the root-holding layer of soil burns in a peat fire, trees are deprived of root support, and are uprooted with the tree crowns usually toppling in the burnt area. Peat fire is dominated by smoldering combustion, the fire is self-sustaining at very low rates from a few decimetres to tens of metres per day (Artsybashev 1983) or for weeks at rates of less than 1.5 g. per square meter per hour or 0.025 cm. depth reduction per hour (Chandler et al. 1983a). Based on burning depth, peat fires can be classified into three classes, namely weak, medium and intense with burning depths < 25 cm, 25 – 50 cm and > 50 cm respectively (Artsybashev 1983). The factors that may affect the rate of peat burning are the moisture and inorganic content of the duff and its organic bulk density (Frandsen 1991a). Both the moisture and the inorganic content hinder the smouldering process and therefore are viewed as slowing down the rate of burning. Increasing the bulk density may slow down the supply of oxygen to the combustion interface and also slow the rate of burning.
Organic matter Ignition point
Mineral Layers (A)
Organic matter
Mineral Layers (B) Glowing Zone Heat Ash
Pyrolysis Zone Drying Zone Organic Matter
Mineral Layers (C) Figure 1: Combustion pattern of peat fire (DeBano et al. 1998)
CONTROLLED BURNING PRACTICES Definition and Benefits Controlled burning is defined as the controlled use of fire on fuel material in the forest, where the fuel is either in natural or modified condition, at specific environmental condition, which allows the fire to burn only areas with predetermined size and boundaries, while at the same time produce the heat intensity needed for the planned management of the land or forest. In other words, controlled burning is the wise use of fire by using a certain techniques, on the basis of knowledge of fire behaviour in a certain predetermined site, during appropriate weather condition to achieve predetermined results.
274
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia There are some benefits of controlled burning, such as follows: • Controlled burning is the cheapest and most efficient way for land preparation. • Controlled burning is a technique to restore soil fertility • Controlled burning can be used to clear the land from litters of slashing and tree felling in the form of twigs, branches and tree stems • Controlled burning can be used to kill plants which are still alive in the prospective farm land • Controlled burning can be used to suppress weed growth when the prospective farmland has been planted with food crops, so that this will reduce the works needed for weeding. • By controlled burning, farming and cultivation activities become regular and orderly in terms of schedule, location and area size. • By controlled burning, haze production from the burning, could be minimized. With proper drying, fuels will be perfectly burned. • Controlled burning will also able to assist the control of plant disease and pest.
Controlled burning practices in West Kalimantan 1.
Permanent agriculture in the area of Sungai Selamat, District of Pontianak, West Kalimantan Permanent agriculture in this area comprise land preparation and planting with the following steps: a. Land preparation •
Site selection for planting area in the form of bush and scrub land with level topography and area size between 1000 – 5000 m2
•
Slashing. Activities to cut shrubs, undergrowth vegetation and trees with diameter up to ± 10 cm, by using machetes. Fuel produced from the slashing activities was laid out evenly through out the planting area.
•
Drying. Drying process of fuel was conducted for 5 days up to 1 week, depending on weather condition. The drier the weather, the quicker was the process of drying.
•
First burning. Burning activity was initiated with constructing fire break around the area of prospective farm land, with width of 1 – 2 m, where fuel in this strip was cleared so that fire could not spread to other area. Period of burning was between 14.00 – 15.00 hours. The burning used ring firing techniques, as shown in the following figure :
275
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
XXXXXXXXXXXXXXXXX X X X X Wind direction X XXXXXXXXXXXXXXXXX
X X X X X
A B
Fire break Note: X : Ignition point A,B : Fire crew
Figure 1. Technique of ring firing.
•
Hoeing. The burnt area was subsequently hoed for leveling clumps of soil. Weeds and other plant remains were gathered in other location called ashing house.
•
Construction of bed. For planting purpose, beds were constructed, measuring 1.5 m x 10 m x 15 cm each.
•
Second burning. Weeds and plant remains were gathered in ashing house, and were subsequently burnt into ashes.
•
Ash spreading (broadcasting). Ash produced from the burning was broadcast (spread) throughout the whole bed to improve soil fertility in the planting site.
b. Planting
2.
•
Sowing of seeds. Seeds of crops such as Sawi (Brassica sp), Lettuce, Kangkung (Ipomoea, sp.), Spinach and Kucai, were sown on the bed. For protecting the growth of seeds, beds were covered with alang-alang or palm leaves.
•
Planting. Seeds which had become seedlings were afterwards transplanted to other beds which had been covered with ashes. Each planting hole was given additional fertilizer in the form of animal manure (chicken manure) or shrimp heads. On the other hand, for the planting of Kangkung or Spinach, transplanting was not conducted so that the plants were left to grow in the nursery area.
•
Planting period. It was conducted the whole year.
Permanent agriculture in the village of Rasau Jaya Umum, Regency of Pontianak a. Land preparation •
Site selection of planting area in the form of bush and scrub land which had level topography and area size of between 1 –2 ha.
•
Slashing. Activities to cut shrubs, undergrowth vegetation and trees with diameter up to 10 cm by using machetes. Fuels produced from the slashing were laid evenly throughout the whole planting area. Slashing was usually conducted between July – August.
276
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia •
Drying. Fuel drying process was conducted for about 10 days depending on weather condition. The drier the weather, the quicker was the process of drying.
•
Construction of fire break. Fire break was constructed along the boundary of planting area with width of 1 – 2 m.
•
Construction of ditches and water pond. Ditch as wide as 50 cm and about 60 cm deep was constructed to maintain the balance of water in the peat land. At each distance of 10 m, water pond measuring 1 m x 1 m x 1 m was made for water storage as a reserve during dry season for watering the plant.
•
Firing (burning). Firing period was between 14.00 – 16.00 hours. Firing was usually conducted in August. This firing activity was conducted not at one time, but was conducted in stages. If there was a land of 2 ha which would be burnt, then the land was divided into four parts. Burning activity was conducted communally (employing mutual services provided by all members of the community), where each working group consist of ± 30 personnel.
•
Hoeing. Area which had been burnt was then hoed for leveling the soil clods. Hoeing was conducted for planting of Aloe vera, pineapple and yam.
•
Construction of bed. For planting purpose, beds were constructed measuring 1.5 m x 10 m x 15 cm each.
•
Drilling of seed hole (dibbling). Drilling of seed hole in the burnt area were conducted by making planting holes with dibble sticks for corn planting.
•
Firing technique can be in the form of back firing as shown in the following figure.
Wind direction Ditch / canal
Other land
Burnt land
Fire break
x x x x x x
Other land
Pond for water storage
Direction of crew movement during the firing
Note: : Fire guard
X
: Firing point
Figure 2. Technique of controlled burning using back firing in peat land with canal.
277
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia b. Planting activity
3.
•
Corn seeds were directly planted at planting holes which had been dibbled (drilled). Harvesting of corns were three times a year.
•
Planting stocks of Aloe vera, Pineapple and Yam were directly planted in holes of each bed.
Permanent agriculture in the village of Rasau Jaya III, District of Pontianak a. Land preparation •
Site selection of planting area in the form of bush and scrub land which had level topography and area sizes between 1 – 2 ha.
•
Slashing. Migrants (newcomers from Java Island) conducted the slashing by cutting shrubs, undergrowth vegetation and trees with diameter of up to ± 10 cm by using machetes, for a period of approximately 3 days. Fuels produced from slashing were spread (leveled) throughout the whole planting area. Slashing was usually conducted on July – August.
•
Herbicide spraying. Local people tended to use herbicide (polaris and round-up) for clearing their land from weeds.
•
Drying. Drying process of the fuel was conducted for about 10 days, depending on weather condition. The drier the weather, the quicker was the process of drying.
•
Construction of fire breaks. Fire breaks were made along the boundary of the planting area with width of 1 – 2 m.
•
Construction of ditch and water pond. Ditch as wide as 50 cm. and about 60 cm. deep was made to maintain the balance of water in the peat land. At 10 m. intervals, water ponds measuring 1 m. x 1 m. x 1 m. each, were constructed as a reserve for watering the plant in dry season.
•
Burning (firing). Firing period was between 14.00 – 16.00 hours. The firing technique is back firing, as shown in Figure 3. Burning was conducted only during August. This burning activity was conducted not at one time, but in stages. If there was land of 2 ha. which would be burnt, the land was divided into four parts. Burning activity was conducted communally (mutual services provided by all members of the community), where each group comprised about 30 personnel.
•
Hoeing / plowing. The burnt area was subsequently hoed/plowed to level soil clods/ clumps
b. Planting activity •
Rice planting stocks were directly planted in planting holes. conducted once in a year.
278
Rice plantings were
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia CONCLUSIONS Peat fire is a very dangerous threat on the environment of South East Asia region. The nature of the fire causes the problem of trans-boundary haze pollution which has a great impact to the human life and their environment. Peat fire is also a major threat to the existence of peat land ecosystem. Therefore, some efforts need to be executed if peat fire control is a must. Controlled burning could be one of the alternatives of land preparation using fire in peatland areas. As an integrated cultivation activity, controlled burning practices can be implemented in several steps, including site selection, slashing, drying, burning, hoeing/plowing and planting activities.
REFERENCES Ainuddin, A. N. and M. Saidy M. Yusof. 1998. Forest fire management in Malaysia: current practices. In Tropical forest fire, prevention, control, rehabilitation and transboundary issues. Proceeding International Cross Sectoral Forum on Forest Fire Management in South East Asia. Jakarta, December 7 – 8. BAPPENAS-JICA-ITTO. Indonesia. pp. 108-314. Andriesse, J. P. 1988. Nature and management of tropical peat soils. FAO Soils Bulletin 59. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, Italy. 165 pp. Artsybashev, E. S. 1983. Forest fires and their control. K. Badaya Trans., V. Pandit ed., Oxonian Press Pvt. Ltd., New Delhi. 160 pp. Brown, A. A. and K. P. Davis. 1973. Forest fire control and use. McGraw-Hill (inc.) Book Company. N. Y. USA. 686 pp. Chandler, C., P. Cheney, P. Thomas, L. Trabaud, D. Williams. 1983. Fire in Forestry. Vol. I. John Wiley and Sons, Inc. Canada. 450 pp. De Bano, L. F., D. G. Neary and P. F. Ffolliot. 1998. Fire’s Effects on Ecosystem. John Wiley and Sons. USA. 303 pp. Goldammer, J. G. and B. Seibert. 1990. The impacts of droughts and forest fire on tropical lowland rain forest of East Kalimantan. in. J. g. Goldammer ed., fire in the Tropical Biota. Ecosystem Processes and Global Challenges Ecological Studies 84. Springer-Verlag. Berlin. Germany. pp. 11-31. Samsudin, M., M. P. Dahlan, Wan Mohd Shukri, S. Ibrahim, R. Barizan, S., A. Hassan, I. Harun and I. Parlan. 1999. Forest fire in Peninsular Malaysia: A new and recurring threat. in H. Suhartoyo and T. Toma eds., Proceedings 3rd International symposium on Asia Tropical Forest Management. Samarinda, Indonesia, September 20-23, 1999. Pusrehut special publication No. 8. tropical Forest Research Center, Mulawarman University and Japan International Agency. Indonesia. pp. 62-71. Syaufina, L. 2002. The effects of climatic variations on peat swamp forest condition and peat combustibility. Doctoral Thesis of Faculty of Forestry Universiti Putra Malaysia. Malaysia. 258 pp. Syaufina, L. , B. H. Saharjo, T. Tiryana. 2003. The estimation of greenhouse gases emission of peat fire. Final Report. Osaka Gas Foundation and Bogor Agricultural University. Syaufina, L., E. A. Husaeni, O. Rusdiana and A. D. Nurhayati. 2003. The study on controlled burning practices in Indonesia. Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University.
279
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PROSES AWAL PEMULIHAN HUTAN GAMBUT KELAMPANGAN KALIMANTAN TENGAH PASCA KEBAKARAN HUTAN DESEMBER 1997 DAN SEPTEMBER 2002 (Early Process of Recovery of Peat Swamp Forest at Kelampangan-Central Kalimantan after Forest Fires December 1997 and September 2002) Herwint Simbolon Research Center for Biology-Indonesian Institute of Sciences Jl. Juanda 18, Bogor 16122-Indonesia E-mail:
[email protected]
Summary Two 1-ha (100m. by 100m.) plots were established at a peat swamp forest of Kelampangan, Central Kalimantan on May 2002. One plot was established at a forest that has been started to regenerate after forest fire in December 1997 (PK) and another one at the unburnt natural forest (HAG). Both plots were separated by artificial canal, about 300m away to southwest (HAG) wards and to northeast wards (PK) of the canal. All trees with stem girth at 130cm. height of more than 15cm. (or about 4.8 cm. in diameter) within the plots were enumerated and measured in May 2002 and re-measured again in May 2003. HAG plot was consisted of 3074 tree individuals grouped into 80 species (Fishers'α = 15.02) with total basal areas of 33.19 m2/ha., dominated by (top five in BA, from higher to lower): Callophyllum canum, Combretocarpus rotundatus, Campnosperma squamatum, Ctenolophon parvifolius and Cratoxylum glaucum. Species with higher number of individual were: C. canum (515 individuals), Cp. squamatum (355), Ct. parvifolius (350), Elaeocarpus petiolatus (183) and Cr. glaucum (125). PK plot consisted of 1158 individuals, 103 species (Fishers'α = 27.3) and total basal areas were 7.43 m2/ha., dominated by Co. rotundatus, Cratoxylum arborescens, Palaquium gutta, Shorea teysmaniana and Syzygium ochneocarpum. Species with higher number of individuals were C. arborescens (256 individuals), S. teysmaniana (104), Sy. ochneocarpum (50), Horsfieldia crassifolia (47) and Cp. squamatum (46). Based on its tree diameter and growth rate, most of the trees (1102 individuals) within PK plot were grown after forest fire December 1997, while the rest 56 trees with higher stem diameter were escaped from forest fire December 1997, mostly belong to C. canum, Co. rotundatus, Dyera lowii, and P. gutta. Based on the species number and total basal areas, the recovery rate of peat swamp forest at PK plot after first forest fire December 1997 were categorized as very high. In September 2002, PK plot was burnt again while HAG remain unburnt, and in May 2003, only 2 individuals of Dyera lowii were found to produce new leaves after escaped from the fire, one laid stem of Co. rotundatus produced new shoot and one standing dead tree of Cr. arborescens produced sprouts from the base of the stem. Growth rate relative, mortality rate and recruitment rate of trees at natural un-burnt forest of the HAG plot were also discussed. Key words: peat swamp forest, canal, after fire, recovery, growth rate, mortality and recruitment.
281
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PENDAHULUAN Indonesia diperkirakan memiliki 27 juta ha. gambut yang tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luasan ini merupakan 60% dari total gambut kawasan tropis. Secara ekologi kawasan gambut dianggap unik dan penting karena berperan dalam mengatur tata air dan merupakan gudang terpendamnya karbon, yang dikenal sebagai unsur gas rumah kaca. Akan tetapi, dalam dua dekade terakhir kawasan gambut telah banyak dikeringkan dan dirubah fungsinya menjadi lahan pertanian. Usaha konversi gambut banyak mengalami kegagalan sehingga memperluas lahan kritis, kehilangan biodiversitas dan kerusakan lingkungan. Kegagalan pemanfaatan dan pengelolaan gambut juga telah menyebabkan kawasan gambut menjadi rentan terhadap kebakaran hutan. Dalam beberapa tahun terakhir, kebakaran hutan terjadi hampir setiap tahun dan menjadi ancaman utama konservasi biodiversitas dan penurunan kualitas lingkungan (Simbolon, 2000). Salah satu sorotan utama dalam kebakaran hutan adalah kebakaran gambut karena menghasilkan kabut asap pekat yang menyebabkan polusi udara, dan diperkirakan sekitar 60% kabut asap yang terjadi selama kebakaran hutan 1997-1998 berasal dari kebakaran gambut (ADB, 1998). Selain menyebabkan polusi, kerusakan ekosistem dan kehilangan biodiversitas, kebakaran gambut juga menyebabkan penurunan permukaan gambut dan gangguan tata air tanah. Keadaan ini pada gilirannya menyebabkan pemulihan ekosistem gambut pasca kebakaran melalui proses suksesi alami menjadi terganggu dan bahkan terhambat. Naskah ini bertujuan untuk melaporkan hasil pemantauan dinamika perkembangan keadaan hutan gambut alam sekitar kanal Kelampangan, Kalimantan Tengah pasca kebakaran Desember 1997 dan September 2002 serta proses pemulihannya. Naskah secara rinci akan membahas komunitas awal dan proses suksesi pemulihan pasca kebakaran, mortalitas dan laju pertumbuhan pohon hutan gambut. Informasi ini berguna sebagai salah satu masukan untuk arahan pemilihan jenis dan tindakan pengelolaan dalam proses pemulihan atau rehabilitasi gambut pasca kebakaran.
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Penelitian dilakukan di kawasan hutan sekitar stasiun Kerjasama Penelitian JSPS-LIPI Kelampangan, Kalimantan Tengah. Kawasan ini terletak diantara Sungai Sebangau dan Sungai Kahayan, sekitar 40km. sebelah tenggara Palangkaraya, ibukota Kalimantan Tengah (Gambar 1). Hutan gambut di sekitar Kelampangan adalah hutan sisa tebang pilih tahun 1970-1980-an. Kawasan ini termasuk kedalam kawasan lahan sejuta hektar, suatu kegiatan mega proyek pada awal tahun 1990-an yang berencana mengubah hutan rawa gambut menjadi sawah padi dan lahan pertanian lainnya. Untuk mewujudkan rencana tersebut, telah digali kanal-kanal untuk mengalirkan (mengatur) air dari hutan rawa gambut kawasan tersebut. Semenjak pembangunan kanal hingga sekarang, permukaan air tanah gambut kawasan ini terus menurun (H. Takahashi, pers. comm.) sehingga tidak ada lagi periode tergenang sekalipun pada waktu musim hujan sebagaimana umumnya hutan rawa gambut. Kanal-kanal ini tidak saja berfungsi untuk mengalirkan air tanah tetapi juga sebagai alat transportasi. Sampai kira-kira 1997, pohon hutan jenis komersil, khususnya ramin (Gonistylus spp.) berukuran relatif besar di sekitar kawasan penelitian telah dibalak dan kayu gelondongannya ditarik melalui rel-rel kayu menuju kanal yang kemudian dihanyutkan lewat air kanal ke tempat tertentu untuk selanjutnya diangkut. Setelah mega proyek terhenti, kanal dibendung di beberapa tempat sehingga debit dan laju aliran air dalam kenal menurun dan tidak dapat digunakan lagi sebagai alat angkut kayu gelondongan. Sekalipun demikian, karena permukaan air kanal lebih rendah dari permukaan gambut di sekitarnya maka penurunan permukaan air tanah hutan gambut sekitarnya masih terus berlangsung hingga sekarang dan lahan gambut kawasan ini menjadi lebih kering khususnya pada saat musim kemarau. Sebagian kawasan hutan di sekitar Kelampangan telah dibuka dengan tebang bersih dan dibakar pada waktu musim kemarau. Pada musim kemarau panjang yang dipengaruhi oleh El Nino Southern Oscillation (ENSO) 1997-1998, banyak lahan gambut di kawasan ini diubah fungsinya menjadi lahan pertanian dengan cara tebang dan bakar. Pada Desember 1997, api untuk pembersihan lahan
282
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia gambut yang sudah ditebang bersih menjadi tidak terkontrol sehingga meluas ke hutan sekitarnya dan menyebabkan kebakaran hutan yang hebat, dimana dampaknya tidak saja berupa kerusakan bidoiversitas hutan tetapi juga kerusakan lingkungan dan sosial. Kejadian ini adalah merupakan kebakaran hutan pertama di kawasan gambut daerah penelitian.
Gambar 1. Citra Landsat daerah penelitian pada 7 Februari 2000. Warna hijau memperlihatkan kawasan tak terbakar sedang warna kuning kemerahan sampai kuning kehijauan memeprlihatkan areal yang terbakar pada Desember 1997 (PK: petak penelitian di areal pasca kebakaran; dan HAG: petak penelitian hutan alam di kawasan yang tidak terbakar).
Kebakaran hutan di sekitar areal penelitian khususnya terjadi di bagian timur kanal Kelampangan kearah jalan Palangkaraya-Banjarmasin, sedangkan hutan gambut di bagian barat kanal ke arah Sungai Sebangau tidak terbakar (Gambar 1). Pada waktu penelitian dilakukan (Mei 2002), kawasan hutan pasca kebakaran Desember 1997 sudah mulai mengalami pemulihan secara alami, dan banyak tumbuhan pohon telah mencapai diameter batang setinggi dada lebih dari 5 cm. Akan tetapi, setelah kemarau 2002, pada September 2002, kawasan gambut Kelampangan, termasuk petak yang sudah terbakar pada Desember 1997, terbakar lagi. Pada saat ini, kawasan hutan gambut yang tidak terbakar pada Desember 1997, termasuk petak penelitian tetap tidak terbakar hingga pada penelitian Mei 2003, tetapi terus berkembang secara alami.
CARA KERJA Setelah mengadakan pengamatan umum terhadap hutan di sekitar kawasan Kanal Kelampangan, ditetapkan dua lokasi pembuatan petak penelitian masing-masing berukuran 1-ha (100 m. x 100m.), satu petak terletak di hutan gambut pasca kebakaran Desember 1997 (plot PK) dan satu petak lagi di hutan alam gambut yang tidak terbakar (plot HAG). Kedua petak penelitian dipisahkan oleh kanal buatan, masing-masing sekitar 300 m. ke arah barat daya (HAG) dan timur laut (PK) kanal Kelampangan (Gambar 1). Secara geografis petak PK terletak pada 02o 20’ 32” LS; 114o 02’ 20” BT
283
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia sampai 02o 20’ 32” LS; 114o 02’ 23” BT dan 02o 20’ 30” LS; 114o 02’ 23” BT sampai 02o 20’ 28” LS; 114o 02’ 21” BT. Masing-masing petak 1-ha. dibagi lagi menjadi 100 buah anak-petak berukuran 10 x 10 m. Pada Mei 2002, semua pohon yang berukuran lingkar batang setinggi 130cm. dari permukaan tanah lebih dari 15cm dicacah, diberi nomor aluminium, diukur lingkar batangnya, diambil spesimen herbariumnya, diidentifikasi jenisnya, dan diukur posisinya di dalam anak petak. Spesimen yang diambil kemudian diproses dalam alkohol dan dikirimkan ke Herbarium Bogoriense, Puslit Biologi-LIPI Bogor untuk diidentifikasi lebih lanjut. Petak yang sama kemudian dicacah lagi pada Mei 2003. Hasil pencacahan individu dan pengukuran lingkar batang setiap pohon kemudian digunakan untuk menghitung basal area, dominansi dan demografi pohon dalam kedua petak penelitian. Keanekaragaman jenis masing-masing petak dihitung dengan Index Fisher (lihat Suzuki et al., 1997) sedangkan laju pertumbuhan relatif tahunan (rGR) dihitung seperti diterangkan Kohyama & Hotta (1986), dan laju mortalitas dihutung mengikuti rumus Sheil et al., (1995).
HASIL Setelah kebakaran hutan Desember 1997, hutan di sekitar plot PK menjadi sangat terbuka karena pepohonan yang telah mengering selama musim kemarau panjang musnah terbakar. Di kawasan hutan sekitar plot PK terlihat beberapa batang pohon masih berdiri tegak meranggas tanpa daun dan sebagian besar lainnya tumbang. Sebagian pohon yang berdiri tegak telah mati dan sebagian lagi masih hidup dan mengeluarkan daun baru. Pada penelitian Mei 2002 pohon yang bertahan hidup pasca kebakaran juga tercacah, yang dicirikan oleh diameter batang yang relatif besar. Pepohon yang berdiameter relatif kecil yang tercacah dalam plot PK adalah pohon yang tumbuh dan berkembang setelah pasca kebakaran Desember 1997.
Struktur dan Komposisi Petak HAG dan PK pada Mei 2002
% of individuals
Petak HAG tersusun atas 3014 individu yang tergolong dalam 80 jenis pohon dengan indeks keanekaragaman jenis Fishers'α sebesar 15,02 dan total basal area sebesar 33,19 m2 per ha. (lihat Gambar 2 untuk distribusi kelas diameter pohon penyusun). Petak ini didominasi oleh (lima besar BA, dari tertinggi ke terendah): Callophyllum canum, Combretocarpus rotundatus, Campnosperma squamatum, Ctenolophon parvifolius dan Cratoxylum glaucum. Jenis pohon dengan jumlah individu terbanyak adalah: C. canum (515 individu), Cp. squamatum (355), Ct. parvifolius (350), Elaeocarpus petiolatus (183) dan Cr. glaucum (125), distribusi kelas diameter masing-masing 7 jenis utama disajikan pada Gambar 3. 75
HAG
60
PK
45 30 15 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 Diameter class (cm)
Gambar 2. Distribusi kelas diameter batang pohon di petak PK (pasca kebakaran) dan plot HAG (hutan alam gambut).
284
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Petak PK tersusun atas 1158 individu yang tergolong kedalam 103 jenis pohon dengan indeks keanekaragaman jenis Fishers'α adalah 27,3,dengan total basal area sebesar 7,49 m2 per ha. (lihat Gambar 2 untuk distribusi kelas diameter pohon penyusun). Jumlah individu dan total basal area petak PK ini jauh lebih kecil daripada petak HAG, akan tetapi jumlah jenis dalam petak pasca kebakaran lebih tinggi daripada petak HAG. Petak PK didominasi oleh (lima besar BA, dari tertinggi ke terendah): Co. rotundatus, Cratoxylum arborescens, Palaquium gutta, Shorea teysmaniana dan Syzygium ochneocarpum. Jenis yang paling banyak jumlah individunya adalah C. arborescens (256 individu), S. teysmaniana (104), Sy. ochneocarpum (50), Horsfieldia crassifolia (47) dan Cp. squamatum (46), distribusi kelas diameter masing-masing 7 jenis utama disajikan pada Gambar 3.
No. of individuals
250 200 150
210
No. of individuals
HAG-main sp
300
Ccanu Crotun Csqua Cparfi Cglauc Steysm Epetio
100 50 0 10
20
Cglauc 30
40
50
60
Pgutt
150
Steys Sochne
120
Dlowii
90
Csquat
60 30
Csquat 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Diameter class (cm)
Diameter class (cm)
Carbo
180
0
Ccanu
Crotun
PK-main sp.
Steys Crotun
Gambar 3. Distribusi kelas diameter jenis utama di plot HAG (kiri) dan PK (kanan): (Ccanu: Callophyllum canum, Crotun: Combretocarpus rotundatus, Csqua: Campnosperma squamatum, Cparfi: Ctenolophon parvifolius, Cglau: Cratoxylum glaucum, Dlowii: Dyera lowii, Epetio: Elaeocarpus petiolatus, Pgutt: Palaquium gutta, Steys: Shorea teysmaniana and Sochne: Syzygium ochneocarpum).
Distribusi kelas diameter pohon di hutan bekas terbakar plot PK terkonsentrasi pada kelas diameter kecil sedangkan pada plot yang tidak terbakar HAG juga tersebar pada kelas diameter yang lebih besar (Gambar 2). Pada petak PK, lebih dari 70% pohon penyusun hutan tersebut adalah pohon dengan kelas diameter terendah yaitu kelas 5-10 cm, sedangkan di hutan HAG kelas diameter pohon paling rendah tersebut lebih kecil daripada 60%. Hubungan persentase total individu dengan kelas diameter batang pohon di plot HAG terlihat lebih landai daripada plot PK (yang terlihat sangan curam). Hal ini dapat dimengerti karena pohon yang tercacah di plot PK sebagian besar adalah pohon berukuran kecil yang tumbuh dan berkembang setelah kebakaran hutan Desember 1997.
Laju Pertumbuhan, Mortalitas dan Rekrutmen Pada Mei 2003 petak HAG keadaannya terlihat masih tetap sama seperti pada Mei 2002. Laju pertumbuhan diameter batang pohon penyusun petak HAG selama Mei 2002-Mei 2003 disajikan dalam Tabel 1 dan semua jenis memperlihatkan kurva hubungan diameter batang dengan laju pertumbuhan rGR berbentuk “J” terbalik seperti yang direpresentasikan oleh beberapa kelompok suku utama pada Gambar 4.
285
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Anno Clusia Dipter Elaeoc
0.20
0.12
0.16 0.12
rGR
rGR
0.16
M yrtac Rhizop Sapota Thymel
0.20
0.08
0.08
0.04
0.04
0.00
0.00 0
5 10 15 20 25 30 35 40
0 5 10 15 20 25 30 35 40 Diameter (cm)
Diameter (cm)
Gambar 4. Laju pertumbuhan relatif beberapa suku utama petak HAG (Kiri - Anno: Annonaceae, Clusia: Clusiaceae, Dipter: Dipterocarpaceae dan Elaeoc: Elaeocarpaceae; Kanan – Myrtac: Myrtaceae, Rhizop: Rhizophoraceae, Sapota: Sapotaceae dan Thymel: Thymeleaceae).
1 0
0
0 10 20 30 40 50 60 Diameter class
490 560
2
350 420
3
210 280
4
35 30 25 20 15 10 5 0 70 140
5
Mortality (%)
Mortality (%)
6
Nos. of individuals
Gambar 5. Hubungan antara diameter batang (kiri) dan jumlah individu (kanan) dengan mortalitas
100 90 80 Baris: 1 - 10
70 60 50 40 30 20
100
90
80
60
50
40
30
20
0
10
0
70
1997 2003 Sprouting 2003
10
Lajur A - J
Gambar 6. Distribusi pohon yang terhindar dari kematian akibat kebakaran hutan Desember 1997 dan September 2002.
286
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Selama periode Mei 2002-Mei 2003 di petak HAG pohon yang mortal tercatat 96 individu yang tergolong dalam 23 jenis dan total basal area 0,92 m2/ha., sedangkan yang rekrut adalah 68 individu tergolong dalam 28 jenis dengan total basal area 0,15 m2/ha. Jenis yang paling banyak mortal adalah C. canum, P. cochlorifolium, Ct. parvifolius dan Tristania whiteana sedangkan jenis yang paling banyak rekrut adalah C. canum, H. crassifolia, Lithocarpus leptogyne dan Garcinia sp. Hubungan antara mortalitas dengan diameter dan jumlah individu awal disajikan dalam Gambar 5, sedangkan laju pertumbuhan beberapa jenis utama dalam petak HAG disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Laju pertumbuhan beberapa jenis utama petak HAG (N=jumlah individu, D diameter dalam cm dan dD pertambahan diamter dalam mm/tahun selama Mei 2002-Mei 2003.
No
Species
Family
N
mean D
stdv D
mean dD
stdv dD
1
Campnosperma squamatum Boerl.
Anacardiaceae
39
2
Cyathocalyx havilandii Boerl.
Annonaceae
3
Disepalum anomalum J. D. Hooker
Annonaceae
4
Xylopia fusca Maing.
Annonaceae
46
9.41
5.08
2.35
2.81
5
Dyera lowii Hook. f.
Apocinaceae
31
11.97
6.65
1.12
2.32
6
Santiria griffithii (Hook. f.) Engl.
Burseraceae
32
8.87
4.74
1.23
2.12
7
Lophopetalum beccarianum Pierre
Celastraceae
39
11.18
5.04
1.17
1.97
8
Calophyllum biflorum H & W-S
Clusiaceae
23
13.91
10.98
3.22
4.38
9
Calophyllum canum Hook. f.
Clusiaceae
493
9.07
4.03
1.81
1.97
10
Cratoxylum glaucum Korth.
Clusiaceae
149
12.19
6.77
1.26
2.28
11
Garcinia microcarpa Pierre
Clusiaceae
39
7.73
4.44
2.81
1.87
12
Shorea teysmaniana Dyer.
Dipterocarpaceae
77
12.81
7.07
4.09
6.98
13
Diospyros dajakensis Bakh.
Ebenaceae
60
9.71
4.82
0.91
1.82
14
Diospyros maingiayi (Hiern.) Bakh.
Ebenaceae
17
7.04
2.12
0.78
1.88
15
Elaeocarpus petiolatus Wall
Elaeocarpaceae
179
8.74
2.80
0.79
1.47
16
Lithocarpus leptogyne (Korth.) Soepadmo
Fagaceae
32
8.15
2.04
3.58
2.72
17
Ctenolophon parvifolius Oliv.
Linaceae
341
9.54
5.29
1.99
5.11
18
Aglaia cf rubiginosa (Hiern.) Pannell.
Meliaceae
12
7.94
2.93
2.06
2.10
19
Horsfieldia crassifolia (Hook. f. et Th.) Werb.
Myristicaceae
220
9.43
3.47
1.30
2.35
20
Syzygium clavatum (Korth.) Merr & Perry
Myrtaceae
73
11.88
6.35
2.26
2.25
21
Syzygium fusciculiferum Ridl.) Merr & Perry
Myrtaceae
51
8.45
3.42
1.12
1.43
22
Syzygium garcinifolium (King.) Merr & Perry
Myrtaceae
42
11.63
6.15
2.37
2.39
23
Tristania bakhuizeni Van Steenis
Myrtaceae
15
9.65
4.01
3.35
1.91
24
Tristania whiteana Griff.
Myrtaceae
63
11.29
5.90
1.82
2.91
25
Carallia brachiata (Lour) Merr
Rhizophoraceae
22
7.21
2.46
3.42
1.85
26
Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser
Rhizophoraceae
36
37.27
16.07
1.35
2.56
27
Tretractomia obovata Merr.
Rutaceae
80
7.04
2.17
1.65
1.73
28
Nephelium maingayi Hiern
Sapindaceae
13
6.57
1.80
1.87
1.78
29
Palaquium cf cochlorifolium
Sapotaceae
344
11.26
5.32
1.42
1.99
30
Palaquium leiocarpum Boerl.
Sapotaceae
43
11.53
5.47
4.15
2.83
31
Ternstroemia magnifica Staft
Theaceae
14
9.31
4.85
1.04
0.83
32
Tetrameristra glabra Miq.
Theaceae
31
9.68
5.57
1.15
1.41
33
Gonystylus bancanus Miq.
Thymelaeceae
31
9.97
7.66
0.57
1.24
287
9.18
6.77
1.81
2.06
76
7.15
2.26
0.69
2.09
42
11.02
4.77
1.05
3.18
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Pada Mei 2002 atau sekitar 5 tahun pasca kebakaran Desember 1997, dari antara 1158 pohon dengan total basal area 7,45 m2/ha. yang tercacah dalam petak PK tercatat 56 individu tergolong dalam 22 jenis yang mempunyai diameter lebih dari 15cm. dengan total basal area 3,15 m2/ha. Kelompok ini diperkirakan merupakan individu pohon yang terhindar dari kematian akibat kebakaran Desember 1997. Dengan demikian, 1102 individu pohon dengan total basal area 4,30 m2/ha. diperkirakan adalah tumbuhan yang berkembang selama periode Desember 1997 sampai Mei 2002. Akan tetapi pada pencacahan Mei 2003 dari seluruh pohon yang tercacah pada Mei 2002 hanya 2 pohon yang terlihat masih hidup, yaitu D. lowii, satu pohon tumbang Co. rotundatus menghasilkan tunas baru dan satu pohon mati berdiri tegak Cr. arborescens menghasilkan trubus dari pangkal batang. Distribusi pohon yang terhindar dari kematian akibat kebakaran Desember 1997 dan September 2002 disajikan dalam Gambar 6. Pada penelitian Mei 2003 atau sekitar 8 bulan setelah kebakaran September 2002, selain tunas dan trubus pohon tersebut diatas, lantai hutan penelitian mulai terlihat ditumbuhi oleh pionir paku, herba dan seedling pohon. Jenis yang mulai terlihat tumbuh mengawali proses suksesi pasca kebakaran adalah paku-pakuan, seperti Nephrolepis sp., Nephrolepis falcata, Stenochlaena palustris, Blechnum orientale; herba, seperti Psychotria sarmentosa, Nepenthes sp., Adenanthera pavonina; trubus pohon, seperti Cratoxylum arborescens, Myristica sp. dan semai Macaranga caladifolia, Knema sp., Calophyllum sp., Duabanga sp., Garcinia sp., Pternandra sp., dan masing-masing satu semai yang belum teridentifikasi dari suku Euphorbiaceae, Fabaceae dan Rubiaceae.
PEMBAHASAN Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pohon di petak hutan gambut alam dan pasca kebakaran tergolong rendah dibandingkan dengan indeks keanekaragaman tipe ekosistem lain di dataran rendah hutan hujan tropik. Indeks ini hanya setara dengan hutan pegunungan bahkan lebih rendah daripada hutan sub-pegunungan dan kerangas (Suzuki et al., 1997; Simbolon, 2002). Hal ini sudah sering dikaitkan dengan kondisi edafik dan lingkungan lain dalam ekosistem gambut yang ekstrim seperti keadaan asam, tergenang dan keterbatasan ketersediaan hara sehingga hanya sedikit jenis yang mampu beradaptasi. Kerapatan pohon hutan alam gambut Kelampangan tergolong sangat tinggi jika dibandingkan dengan hutan lain, bahkan dengan hutan kerangas yang sudah umum diketahui tinggi. Sebagian besar pohon tersusun dari pohon yang berdiameter kecil yang diduga selain berkaitan dengan kondisi lingkungan hutan gambut yang ekstrim, juga berkaitan dengan kawasan hutan sisa tebang pilih. Karena petak hutan alam gambut ini tersusun atas pohon berukuran kecil, total basal area petak penelitian juga termasuk kecil hanya sebanding dengan hutan kerangas tetapi lebih rendah dari hutan gambut alam di Lahei (Suzuki et al., 2000, Simbolon, 2002) dan hutan pegunungan (Suzuki et al., 1997). Perbandingan kerapatan dan total basal area pohon penyusun hutan gambut alam dan hutan pasca kebakaran memberikan gambaran yang nyata tentang dampak kebakaran hutan terhadap struktur dan komposisi hutan. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa kebakaran hutan Desember 1997 telah menyebabkan hutan Kelampangan kehilangan sebagian besar, bahkan sampai 92% individu atau 97.8% total basal area dan kehilangan jenis (setidaknya untuk sementara) sampai 72.5%. Angka tersebut memperlihatkan gambaran betapa hebatnya kebakaran hutan Desember 1997 di kawasan ini. Kehilangan individu dan total basal area akibat kebakaran bahkan lebih tinggi dari dampak yang dialami oleh hutan dipterocap campuran di Kalimantan Timur akibat kebakaran hutan 1982 (Riswan et al., 1984, Riswan & Yusuf, 1986) dan kebakaran hutan 1997-1998 (Simbolon, 2001). Pemulihan hutan pasca kebakaran 1997 di hutan gambut kelampangan tergolong cepat. Dalam kurun waktu 5 tahun setelah kebakaran, pada Mei 2002 tercatat sekitar 1102 pohon berdiameter batang setinggi dada antara 5-15 cm dengan total basal area 3.15 m2/ha. Apabila kondisi ini digunakan sebagai titik awal pemulihan, maka dengan memperhitungkan kecepatan pemulihan maka petak pasca kebakaran diperkirakan hanya memerlukan sekitar 57 tahun untuk pulih menjadi seperti hutan alam petak HAG. Akan tetapi apabila indeks kecepatan pertumbuhan relatif Mei 2002 - Mei 2003 petak HAG yang digunakan sebagai dasar perhitungan maka waktu yang diperlukan untuk pemulihan hutan pasca kebakaran menjadi seperti hutan HAG akan sangat lama, yaitu 994 tahun.
288
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Berbeda dengan kerapatan dan total basal area, jumlah jenis penyusun hutan gambut pada periode 5 tahun pasca sekali kebakaran bahkan melebihi jumlah jenis hutan alam dan komposisinya juga memperlihatkan indeks kesamaan jenis yang cukup tinggi, yaitu 38.6%. Perubahan kondisi edafik hutan, khususnya menjadi tidak tergenang dan kenaikan pH tanah segera setelah kebakaran hutan 1997 diduga berperan dalam menyebabkan bertambahnya jenis tumbuhan yang dapat beradaptasi, selain daripada jenis yang sudah terdapat sebelum kebakaran. Akan tetapi sebelum hutan pasca kebakaran Desember 1997 berkembang lebih lanjut, hutan ini sudah terbakar lagi pada September 2002. Kejadian berulang ini memberi petunjuk bahwa pengeringan gambut terus berlangsung oleh kanal buatan sehingga pada musim kemarau menjadi rentan terhadap kebakaran. Hutan bekas terbakar cenderung lebih mudah terbakar lagi pada periode kemarau berikutnya khususnya bila residu kayu kebakaran periode sebelumnya atau bahan organik berupa serasah banyak terdapat di lantai hujan. Dampak yang ditimbulkan oleh kebakaran yang berulang terhadap biodiversitas juga cenderung semakin besar dan dengan demikian waktu yang diperlukan untuk proses pemulihan juga akan lebih lama. Pada kebakaran hutan pertama pada Desember 1997, di petak PK pohon berukuran lebih dari 5cm. yang terhindar dari kebakaran diperkirakan masih 56 pohon/ha., akan tetapi pada kebakaran kedua pada September 2002, yang terhindar dari kematian akibat kebakaran hanya 2 pohon Dyera lowii. Keadaan ini mengindikasikan bahwa frekuensi terjadinya kebakaran juga berperan dalam menentukan intensitas kebakaran dan dampaknya terhadap kehidupan tumbuhan penyusun hutan serta waktu yang diperlukan untuk proses pemulihan biomasa dan komposisi selanjutnya pasca kebakaran (lihat juga Tagawa et al., 1988; Ngakan, 1999; Mirmanto, 2001). Waktu yang diperlukan hutan gambut ini untuk proses pemulihan setelah mengalami dua kali kebakaran masih belum dapat diperkirakan dari data yang sudah terkumpul. Karena intensitas dan frekwensi kebakaran yang meningkat maka diperkirakan waktu yang diperlukan untuk proses pemulihan akan lebih lama daripada perkiraan waktu pemulihan hutan yang sekali terbakar seperti disebut di atas. Di hutan gambut Kelampangan, proses pemulihan hutan pasca kebakaran kedua diawali oleh berkecambahnya spora beberapa jenis paku-pakuan Neprolepis sp., Nephrolepis falcata, Stenochlaena palustris, Blechnum orientale dan jenis herba merambat Psychotria sarmentosa, Nepenthes sp., dan Adenanthera pavonina. Paku-pakuan dan herba ini diperkirakan akan terus berkembang dan meluas menutupi permukaan lantai hutan yang terbuka, karena jenis-jenis ini umumnya tergolong tumbuhan pionir yang dapat tumbuh pada lahan kritis dan menyukai cahaya. Sementara itu beberapa jenis pohon, khususnya jenis yang sudah terdapat sebelum kebakaran mengeluarkan trubus, seperti Co. rotundatus, Cr. arborescens, Myristica sp., jenis dari suku Annonaceae dan Rubiaceae. Bersamaan dengan trubus, beberapa jenis pohon yang berkecambah dari biji juga mulai berkembang seperti M. caladifolia, Knema sp., Calophyllum sp., Duabanga sp., Garcinia sp. dan Pternandra sp. Tumbuhan yang berkecambah dari biji ini belum dapat diidentifikasi jenisnya, tetapi diperkirakan adalah jenis yang terdapat sebelum kebakaran. Sebagian dari jenis ini adalah merupakan jenis sekunder di hutan gambut seperti M. caladifolia dan Cr. arborescens sedangkan sebagian lagi merupakan jenis yang umum ditemui di hutan gambut alam yang sudah berkembang. Tumbuhan yang berkembang dari trubus diperkirakan akan lebih cepat dibandingkan dengan tumbuhan yang berkembang dari perkecambahan biji. Dengan demikian, komunitas tumbuhan yang didominasi oleh paku dan herba merambat mengawali suksesi lahan gambut pasca kebakaran, kemudian akan beralih dengan komunitas pohon dari trubus dan jenis pionir yang selanjutnya diikuti oleh jenis asli gambut. Laju pertumbuhan total basal area di petak HAG tergolong rendah, jumlah individu dan total basal area yang mortal juga relatif lebih tinggi daripada yang rekrut. Laju pertumbuhan relatif tertinggi tercatat pada jenis: Palaquium leicocarpum, Shorea teysmaniana, Carallia brachiata dan Tristania bakhuizeni (Tabel 1). Lebih rendahnya jumlah individu yang rekrut dibandingkan dengan yang mortal pada periode yang sama di petak hutan alam berkaitan erat dengan laju pertumbuhan relatif pohon yang rendah, kerapatan pohon yang tinggi dan pola mortalitas pohon. Pola mortalitas pohon petak ini berkaitan dengan diameter batang dan persaingan antar jenis (Gambar 5). Pohon-pohon yang berdiameter kecil cenderung mempunyai tingkat mortalitas yang lebih tinggi daripada pohon yang berdiameter lebih besar. Tingkat mortalitas yang tinggi pada jenis dengan jumlah individu yang lebih kecil daripada jenis dengan jumlah individu yang lebih banyak memperlihatkan bahwa persaingan antar jenis lebih terkait dengan mortalitas pohon daripada persaingan dalam jenis.
289
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PUSTAKA ADB (Asian Development Bank), 1999. Planning for Fire Prevention and Drought Management Project. ADB Report. Kohyama, T. and Hotta, 1986. Growth analysis of Sumatran Monophyllaea, possessing only one leaf throughout perennial life. Pl. Sp. Biol. 1: 117-125. Mirmanto, E., 2001. Penelitian pendahuluan pemulihan hutan rawa gambut setelah terbakar di Kalimantan Tengah. Laporan Teknik Puslit Biologi-LIPI. Ngakan, P. Oka, 1999, Recovery Process of Forest Eleven Years After Great Fire in Kutai National Park, East Kalimantan. Paper presented on the International Forest Fire Management In Indonesia, 2nd International Workshop on Forest Fire Control and Suppression Aspects. Bogor, 16-18 February 1999. Riswan, S. and R. Yusuf, 1986. Effects of forest fires on trees in lowland dipterocarp forest of East Kalimantan, Indonesia. Forest Regeneration in South East Asia. BIOTROP Special Publication No. 25: 155-163. Riswan, S., R. Yusuf and Purwaningsih, 1984. Effects of fires on the tree of mixed dipterocarp forest East Kalimantan. Technical Report 1983-1984: 148-152. Sheil, D., D. F. R. P. Burslem and D. Alder, 1995. The interpretation and misinterpretation of mortality rate measures. Journal of Ecology 83: 331-333. Simbolon, H., 2000. Forest and land fires in Indonesia: A serious threat to the conservation of Biodiversity. In H. Shimizu (editor): Global Environmental Research on Biological and Ecological Aspect, Center for Global Environmental Research, NIES, Japan. Vol 1: 25-34 pp. Simbolon, H. and Edi Mirmanto 2000. Check list of plant species in the peat swamp forests of Central Kalimantan, Indonesia. Proceedings of the International Symposium on: Tropical Peat Lands. GSEES-Hokkaido University and RDCB-Indonesian Institute of Sciences. 179-190 pp. Simbolon, H., Siregar, M., Wakiyama. S., Sukigara, N., Abe, Y., & Shimizu 2002. Impacts of Dry Season and Forest Fire 1997-1998 Episodes on Mixed Dipterocarp Forest at Bukit Bangkirai, East Kalimantan. In T. Dawson (ed.) Minimizing the impact of Forest Fire on Biodiversity in ASEAN. Proceedings of a workshop, Brunei Darussalam 20-23 March 2001, ASEAN Regional Centre for Biodiversity Conservation. 71-81 pp. Simbolon, H., 2002. Impact of the drought due to El Nino 1997-1998 cycle on the growth of abundant tree species grown in peat swamp and heath forests of Central Kalimantan. Paper disajikan dalam Seminar gambut TROPEAT 2, Bali 19-20 September 2002. Suzuki, E., M. Yoneda, H. Simbolon, A. Muhidin and S. Wakiyama, 1997. Establishment of two 1-ha permanent plot in Gunung Halimun National Park for study of vegetation structure and forest dynamics. In M. Yoneda, J. Soegardjito & H. Simbolon: Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Vol. II. The Inventory of Natural Resources in Gunung Halimun National Park. A Joint Project with LIPI, PHPA and JICA, Bogor. 36-55 pp. Suzuki, E., T. Kohyama, and H. Simbolon, 1999. Vegetation of fresh water swampy areas in West and Central Kalimantan. Berita Biologi 5(3):273-276. Tagawa, H., E. Suzuki, N. Wirawan, N. Miyagi, P. O. Ngakan, 1988. Change of vegetation in Kutai National Park: A research on the process of earlier recovery of tropical rain forest after large scale of fire in Kalimantan Timur, Indonesia. In Tagwa, H. and N. Wirawan: Occasional aper No. 14: 12-50, Kagoshima University Research Center for the South Pacific.
290
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PERTANIAN DI LAHAN GAMBUT: MASA LALU, KINI DAN BESOK Mohamad Noor dan Muhrizal Sarwani Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa, Jl. Kebun Karet, Loktabat, Kotak Pos 31 Banjarbaru, Kalsel
Abstrak Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian bukanlah pilihan, melainkan tuntutan karena laju pertambahan penduduk dan pengalihan fungsi lahan terus meningkat pesat. Upaya pemerintah membuka lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah merupakan catatan hitam masa lalu. Kontroversi pendapat dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian sering diperdebatkan karena sifat gambut di satu sisi banyak dimanfaatkan oleh penduduk lokal secara turun temurun untuk penghasil kebutuhan hidup berupa pangan seperti padi, sagu, dan ikan; papan seperti kayu, rotan; dan obat-obatan seperti tanaman temu-temuan (jahe, kencur, temulawak), pasak bumi, madu, sarang burung dan lain sebagainya. Di sisi yang lain gambut harus dipertahankan karena fungsi lingkungannya sebagai lumbung air, pemendam karbon, pelindung dan penawar pencemaran serta kekhasan warisan cagar alam hayatinya yang unik. Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian memerlukan formulasi yang adil dan bijak antara fungsi produksi sebagai lahan budidaya dan fungsi lingkungannya sebagai penyangga lingkungan dan komunitasnya. Gatra (aspek) yang saling berlawanan antara sisi produksi dan sisi lingkungan ini sejatinya dipadukan secara kompensatif. Pemanfaatan gambut untuk pertanian memerlukan pengetahuan dasar tentang gambut itu sendiri. Sistem pengelolaan lahan gambut harus berlandaskan pada sifat dan watak gambut untuk menghindari terjadinya degradasi lahan.
291
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PENDAHULUAN Mega Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah sewindu yang lalu (Keppres No. 82/1995) merupakan catatan hitam masa lalu dalam sejarah pengembangan lahan gambut. Sejak awal proyek ini hampir mendapat sorotan melalui berbagai media, baik yang pro maupun kontra. Pemerintah beralasan, pembukaan lahan gambut sejuta hektar dimaksudkan untuk penyelamatan pangan nasional agar dapat meraih kembali swasembada pangan 1984 yang hilang sejak tahun 1989. Sejak tahun 1989 Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras, tercatat impor beras membengkak menjelang Mega Proyek tersebut diatas dari 0,6 juta ton tahun 1994 menjadi 1,8 juta ton 1995. Konon pembukaan lahan gambut secara luas, sejuta hektar, ini hanya berani dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Harapan besar dibalik potensi lahan gambut yang bermasalah menjadikan Mega Proyek ini akhirnya berhadapan dengan sejuta masalah. Prof. Dr. Bostang Radjagukguk dalam Pidato Pengukuhannya sebagai Guru Besar UGM, 6 Agustus 2001 menyebut proyek ini mempunyai alasan benar, tetapi salah tempat. Desakan dari beberapa lembaga internasional meminta proyek ini untuk dikaji kembali. Pemerintah kemudian membentuk Tim Kaji Ulang untuk melakukan peninjauan. Secara resmi proyek dihentikan pemerintah dengan dikeluarkannya Keppres 80/1999 oleh Presiden B.J. Habibie. Rencana pemerintah selanjutnya disebutkan sebagai upaya “penyelamatan”, karena pembukaan secara teknis telah terlanjur menggali sepanjang 917 km. saluran primer dan sekunder serta 11.839 km. saluran tersier. Selain itu, telah ditempatkan sebanyak 13.500 Kepala Keluarga transmigran dari sebanyak 350.000 KK yang direncanakan semula dalam kurun lima tahun. Sekarang warga transmigran yang tersisa di lokasi tidak lebih dari 50% dari jumlah semula. Kini lahan mega proyek ini mengalami pengatusan dan sebagian menjadi hutan terlantar. Lahan Mega Proyek ini mengalami kebanjiran di musim hujan, banjir mencapai ketinggian 1,5 meter pada tahun 2002 lalu sehingga menenggelamkan sekitar 40.000 hektar tanaman padi (Kompas, 3 Mei 2002). Selain itu, juga mengalami kekeringan pada musim kemarau karena debit air menyusut. Ketinggian pasang tidak mencapai lahan persawahan dan penyusupan air laut (intrusi) lebih jauh masuk ke pedalaman sehingga warga pedalaman kesulitan mendapatkan air tawar untuk rumah tangga di musim kemarau (Kalimantan Post, 11 Oktober 2001). Tulisan ini ingin mengemukakan tentang sejarah pembukaan lahan gambut secara sekilas, sifat dan kesuburannya untuk pertanian, terlepas dari masalah yang dihadapi pada kasus Mega Proyek Sejuta Hektar diatas. Tulisan ini juga mencoba menguraikan tentang kunci-kunci pengelolaan meliputi air, tanah, dan tanaman dalam pertanian lahan gambut secara berkelanjutan. SEJARAH PEMBUKAAN LAHAN GAMBUT Orang pertama yang menemukan gambut di Indonesia adalah Koorders. Hasil pengamatannya dilakukan di hutan rawa pantai timur Sumatera pata tahun 1895. Koorders memperkirakan 1/5 dari luas Sumatera yang merupakan kawasan rawa adalah lahan gambut. Penemuan gambut di kawasan tropika ini telah mematahkan pendapat sebelumnya yang menyatakan bahwa gambut hanya terbentuk berkenaan dengan akibat iklim dingin (temperate) yang dibatasi oleh ketinggian tempat dari permukaan laut sebagaimana umumnya gambut lumutan atau gambut Sphagnum (Notohadiprawiro, 1997). Penelitian tentang gambut ini di Indonesia secara intensif mulai dilakukan oleh Polak antara tahun 1930-1950 yang kemudian dilanjutkan oleh peneliti di beberapa perguruan tinggi dan Pusat Penelitian Tanah (sekarang Puslitbangtanak). Upaya pemerintah membuka lahan rawa dan gambut untuk pertanian pada dasarnya berbekal dari keberhasilan penduduk lokal di Kalimantan dan Sumatera. Lahan gambut dimanfaatkan oleh penduduk lokal secara turun temurun untuk menghasilkan kebutuhan hidup berupa pangan, seperti padi, sagu, dan ikan; papan seperti kayu, rotan; dan obat-obatan seperti tanaman temu-temuan (jahe, kencur, kunyit, temulawak), pasak bumi, madu, sarang burung dan lain sebagainya. Pembukaan gambut pertama secara terencana dilakukan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1936 di wilayah Tamban, Kalsel/Kalteng dalam rangka kolonisasi, dengan membuat saluran kanal (anjir) yang menghubungkan Sungai Kapuas Murung dengan Sungai Barito. Collier et al (1982) menilai pembukaan lahan gambut ini berhasil dengan baik. Jauh sebelumnya tahun 1920-an dibuka lahan
292
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia gambut di kawasan antara Banjarmasin-Banjarbaru (km 15) yang dikenal sekarang dengan Kecamatan Kertak Hanyar dan Gambut, Kalsel sampai sekarang menjadi kawasan penghasil padi. Pengembangan gambut selanjutnya berkenaan dengan pembukaan secara besar-besaran rawa yang di mulai tahun 1969-1970 yang dikenal dengan Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S). Keberhasilan pengembangan rawa, khususnya gambut sangat tergantung pada sistem pengelolaan lahan meliputi air, tanah dan tanaman. Beberapa wilayah pembukaan kawasan rawa atau gambut mengalami perkembangan pesat sehingga menjadi kota, ibukota kecamatan atau kabupaten yang sebelumnya merupakan daerah rawa monoton (Yudohusodo, 1998). Namun di beberapa lokasi setelah pembukaan, petani mengeluh tidak diperolehnya hasil yang memuaskan seperti di Pangkoh (Kalteng), Rasau Jaya (Kalbar), Siak (Riau), Air Sugihan (Sumsel), dan Wendang (Jambi), sehingga terpaksa diadakan pemindahan kembali (relokasi) para transmigran ke pemukiman yang lain. Menurut Prof. Dr. Azwar Maas dalam Pidato Pengukuhannya sebagai Guru Besar UGM pada tanggal 19 Juli 2003 lalu menyatakan ditaksir terdapat sekitar 70% lahan rawa, termasuk di dalamnya lahan gambut Mega Proyek, menjadi lahan terlantar (bongkor). Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dapat secara berkelanjutan dan akrab lingkungan apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan kerjasama yang baik antara petani dengan pemangku kepentingan (stakeholder), yaitu diantaranya pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat sebagai mitra pemerintah. KARAKTER GAMBUT DAN KESUBURANNYA Gambut yang disebutkan disini terbatas untuk gambut tropika saja yang umum terdapat di kawasan Asia, termasuk Indonesia (Kalimantan, Sumatera dan Papua). Karakter gambut tropika yang dikenal sebagai gambut kayuan berbeda dengan gambut di daerah iklim sedang yang umum termasuk gambut lumutan. Gambut mempunyai tingkat kesuburan beragam dipengaruhi oleh lingkungan fisiknya, meliputi (1) ketebalannya yang berhubungan dengan ketinggian tempat, topografi, kematangannya; (2) tata airnya yang berhubungan dengan tipe luapan, mintakat (zone) air tawar/payau, jeluk muka air tanah, reklamasi atau sistem tata air; dan (3) penyusun substratum, yaitu marint/pasir. Gambut tebal kurang atau tidak subur, umumnya berada di puncak (kubah) gambut, dan bersifat mentah (fibrik). Gambut yang berada pada tipe luapan D, umumnya kurang subur dibandingkan dengan tipe C atau B, umumnya tebal, dan masih bersifat mentah. Gambut yang di lapisan bawahnya pasir bersifat kurang subur, sedang yang di bawahnya marin (pirit) mempunyai risiko menjadi tanah sulfat masam. Gambut yang mendapat luapan pasang (tipe B dan C) lebih subur dibandingkan gambut tadah hujan (tipe D). Gambut yang berada di mintakat payau lebih kaya Na dan Mg dibandingkan dengan gambut di mintakat air tawar. Gambut yang mendapatkan luapan dari daerah (DAS) vulkanis lebih baik kesuburannya dibandingkan dengan DAS non-vulkanis seperti hutan galam. Keberagaman sifat dan lingkungan fisik lahan gambut ini memberikan konsekuensi suatu pengelolaan air, tanah, dan tanaman yang semestinya dilakukan dalam skala lokal (Notohadinegoro, 1996). Unit pengembangan ideal antara 2.000-5.000 hektar atau paling luas 10.000 hektar (Maas, 2003) agar terhindar dari ketidaksamaan sifat dan kesuburannya. Keadaan diatas juga memberikan isyarat pentingnya suatu perencanaan dalam pembukaan lahan gambut diawali lebih dahulu dengan penelitian identifikasi dan karakterisasi lahan secara rinci karena keberagaman lahan gambut yang sangat tinggi. KUNCI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT Pertama, kunci utama dari pengembangan pertanian di lahan gambut adalah pengendalian atau pengelolaan air (Sarwani et al., 1994). Sejatinya, sejak awal reklamasi tindakan mempertahankan tinggi muka air perlu dilakukan, tetapi sebaliknya yang terjadi pada kebanyakan lahan gambut, baik di Kalimantan maupun Sumatera, setelah reklamasi terjadi pengurasan air (over drainage) yang tak dapat terhindarkan, seperti yang sekarang dialami lahan Mega Proyek Sejuta Hektar, karena jaringan saluran primer inti (sepanjang 62 km) dibuat melintas dan memotong kubah gambut (peat dome), sementara pintu-pintu air belum keseluruhan dibangun. Upaya pengelolaan air ini dimaksudkan juga
293
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia untuk mempertahankan agar gambut tetap lembab, karena apabila kering maka akan bersifat hidrofob (benci air). Gambut yang bersifat hidrofob mengalami perubahan kimia antara lain lemah dalam penjerap (adsopsi) hara (Masganti et al., 2003). Gambut yang kering atau terbakar berubah menjadi hidrofob tidak lagi bersifat sebagaimana semula dan daya serap airnya tinggal 50%. Kedua, lahan gambut mempunyai sifat marginal (piasan) sehingga memerlukan masukan (input) berupa pupuk dan amelioran lainnya agar kesuburan lahan dapat dipertahankan. Bertanam di lahan gambut, terutama gambut tebal sama dengan bertanam dengan sistem hidroponik (Notohadiprawiro, 1994 dalam Maas, 2003). Sistem pengembalian sisa tanaman (jerami) ke lahan dalam budidaya padi (lokal) yang disebut sistem tajak-puntal-hambur merupakan sistem pengawetan (konservasi) lahan yang terbukti dapat mempertahankan kesuburan lahan (Noor, 1996). Pembakaran untuk mendapatkan abu untuk menyuburkan lahan gambut perlu dihindarkan karena hanya bersifat sementara. Kerugian karena kehilangan lapisan gambut atau berubahnya sifat gambut lebih besar daripada peningkatan hasil akibat pemberian abu gambut. Pembakaran gambut pada luas 1 meter persegi dan tebal 1 meter menghasilkan abu hanya sekitar 5 kg. Netralitas 5 kg. abu gambut setara dengan 5 kg. dolomit atau kapur lainnya (Maas, 2003). Harga 5 kg. abu hanya sekitar Rp. 5.000, tetapi kerusakan atau kehilangan gambut 1 m3 untuk mengembalikannya memerlukan waktu ratusan tahun. Kebutuhan bahan amelioran atau pupuk sangat tergantung pada tingkat kesuburan lahan dan jenis tanaman yang dibudidayakan. Secara pukul rata untuk tanaman pangan kebutuhan pupuk berkisar 45-90 kg. N/hektar (setara 90-180 kg. urea per hektar ), 30-90 kg. P2O5/hektar (setara 80-160 kg. SP36 per hektar) dan 25-60 kg. K2O/hektar (setara 40-100 kg. KCl per hektar), dan dimana perlu ditambahkan pupuk mikro 5 kg. Cu/hektar. Lahan gambut yang telah berubah masam diperlukan tambahan 0,5-2,0 ton kapur/hektar. Sebaiknya selain pemakaian pupuk anorganik diatas diimbangi dengan pupuk organik sehingga jumlah pupuk anorganik yang disarankan diatas dapat dikurangi. Ketiga, lahan gambut tidak hanya cocok untuk tanaman pangan, berbagai tanaman hortikultura, tanaman industri, tanaman keras (perkebunan) dapat tumbuh apabila dilakukan pengelolaan secara sungguh-sungguh. Misalnya, tanaman lidah buaya yang banyak dibudidayakan oleh petani lahan gambut di Kalimantan Barat telah menjadi komoditas ekspor. Kelapa sawit sudah lama menjadi andalan Malaysia dibudidayakan di lahan gambut secara luas. Tanaman karet rakyat di Kalimantan Tengah tumbuh dengan baik di lahan gambut. Dengan demikian, untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik maka diperlukan diversifikasi tanaman bahkan dapat juga diversifikasi usahatani misalnya dengan usaha perikanan atau ternak. KESIMPULAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Mega Proyek Sejuta Hektar merupakan catatan hitam dalam sejarah pembukaan lahan gambut diharapkan tidak akan terulang lagi.
2.
Keberhasilan pengembangan rawa, khususnya gambut sangat tergantung pada sistem pengelolaan lahan, meliputi air, tanah dan tanaman.
3.
Lahan gambut mempunyai sifat marginal (piasan) sehingga memerlukan masukan (input) berupa pupuk dan amelioran lainnya agar kesuburan lahan dapat dipertahankan.
4.
Pembakaran lahan gambut sangat merugikan dalam jangka panjang oleh karena itu sebaiknya dihindarkan.
5.
Sistem usaha tani di lahan gambut memerlukan diversifikasi tanaman dan diversifikasi usahatani, misalnya dengan usaha perikanan atau ternak untuk meningkatkan pendapatan petani.
6.
Untuk mencegah kerusakan lahan gambut, baik karena dimanfaatkan untuk pertanian atau akibat alam, diperlukan kerjasama antara petani dengan pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat yang lebih intens.
294
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia DAFTAR PUSTAKA Collier, W.L. 1982. Lima puluh tahun transmigrasi spontan dan transmigrasi pemerintah di tanah rawa Kalimantan. Dalam J. Hardjono (ed). Transmigrasi dari Kolonisasi Sampai Swakarsa. Gramedia. Jakarta. Kalimantan Post, 2001. Sulitnya Air di Kota Air. Kolom Opini penulis Muhammad Noor, terbitan tanggal 11 Oktober 2001. Kompas, 2002. Wagub akan pimpin evakuasi warga eks PPLG yang kebanjiran, terbitan tanggal 3 Mei 2002 Ma’as, A. 2003. Peluang dan konsekuensi pemanfaatan lahan rawa pada masa mendatang. Makalah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta, 19 Juli 2003. Masganti, Notohadikusomo, T., Maas, A., dan Radjagukguk, B. 2001. Hydrophobicity and its impact on chemical properties of peat. Dalam J. Rieley dan S.E. Page (eds). Proc. of Jakarta Symp. Peatland for People: Natural Resources Function and Sustainable Management, 22-23 August 2001. pp. 109-114. Noor, M. 1996. Padi Lahan Marjinal. Penebar Swadaya. Jakarta. 213 hlm. Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Kendala dan Peluang. Kanisius. Yogyakarta. 174 hlm. Notohadinegoro, T. 1996. Perspektif pengembangan lahan basah : Maslahat dan Mudarat. Makalah pada Seminar Nasional Peringatan Setengah Abad Fakulats Pertanian UGM. Yogyakarta, 2526 September 1996. Notohadiprawiro, T. 1997. Twenty-five experience in peatland development for agriculture in Indonesia. Dalam J. Rieley dan S.E. Page (eds.). Proc. of the Int. Symp. on Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and Peatland. UK. pp. 301-310. Radjagukguk, B. 2001. Perspektif permasalahan dan konsepsi pengelolaan lahan gambut tropika untuk pertanian berkelanjutan. Makalah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta, 6 Agustus 2001. Sarwani, M., Noor, M. dan Maamun, M.Y. 1994 (penyunting). Pengelolaan Air dan Produktivitas Lahan Rawa Pasang Surut: Pengalaman dari Kalimantan Selatan dan Tengah. Balittan. Banjarbaru, 155 hlm. Yudohusodo, S. 1998. Transmigrasi : Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk Heterogen dengan Persebaran yang Timpang. Jurnalindo Aksara Grafika. Jakarta. 256 hlm.
295
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia KONDISI AWAL KUALITAS PERAIRAN DI SALURAN PRIMER INDUK (SPI) EKS-PLG 1 JUTA HEKTAR DAN WILAYAH DUSUN MUARA PUNING, KALIMANTAN TENGAH Kembarawati Lilia Consultant to Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia (CCFPI) Project Wetlands International – Indonesia Programme
PENDAHULUAN Luas perairan umum di Kalimantan Tengah sekarang ini tercatat sekitar 2.267.800 ha., yang terdiri dari danau seluas 132.800 ha., sungai seluas 323.500 ha. dan rawa seluas 1.811.500 ha. Lokasi rawa tersebut sebagian besar berada diantara Sampit – Palangka Raya kearah timur hulu Sungai Kapuas, Kabupaten Kapuas (daerah eks-PLG dan sekitarnya) dan sampai daerah Barito Selatan (Muara Puning dan sekitarnya). Sebagian besar daerah rawa tersebut dimanfaatkan untuk usaha-usaha perikanan rakyat, misalnya beje dan sebagai daerah penangkapan ikan. Pembukaan lahan rawa yang dulunya bertujuan untuk pengembangan budidaya pertanian, khususnya sebagai daerah persawahan, melalui Proyek Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar di Kalimantan Tengah, telah dikerjakan secara bertahap mulai tahun 1996, dengan pembuatan jaringan irigasi yang memotong atau menghubungkan sungai utama (Sungai Kapuas) dan Sungai Barito serta anak-anak sungainya. Pembuatan jaringan irigasi ini telah mengakibatkan perubahan pola tata air dan kualitasnya. Terbongkarnya lapisan gambut menyebabkan timbulnya senyawa pirit yang bersifat racun terhadap ikan serta menyebabkan penurunan pH perairan. Kondisi ini menyebabkan turunnya nilai kualitas air, sehingga berdampak terhadap turunnya produksi perikanan di wilayah Kalimantan Tengah secara umumnya. Di daerah Dusun Muara Puning, adanya kanal kecil/parit yang dibuat oleh masyarakat tertentu untuk memudahkan kegiatan ilegal logging, juga telah berdampak buruk bagi kondisi perairan. Bertolak dari hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan rehabilitasi kondisi perairan di wilayah eks-PLG dan di Dusun Muara Puning. Bila pembukaan kanal/parit telah menyebabkan terganggunya sistem hidrologi, tanah, dan kualitas air, maka uji coba penutupan kanal/canal blocking, atau dalam istilah lokal disebut tabat, dilakukan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pemulihan kondisi perairan. Tujuan dan Manfaat Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi awal kualitas perairan di daerah kanal eks-PLG dan perairan di Sungai Puning. Diharapkan terjadi perubahan yang baik antara kondisi awal dengan kondisi perairan pada saat dilaksanakannya uji coba canal blocking/tabat. Lokasi dan Waktu Lokasi pengumpulan dan pengukuran data awal dilaksanakan di Saluran Primer Induk (SPI) atas hulu Sungai Mantangai yang merupakan rencana lokasi canal blocking dan di muara kanal yang berhubungan langsung dengan Sungai Mantangai. Di Dusun Muara Puning data diperoleh dari parit-parit penduduk yang akan disekat serta dari muaramuara parit yang berhubungan langsung dengan Sungai Puning. Kegiatan pengumpulan dan pengukuran data dilaksanakan pada tanggal 3 s/d 11 September 2003
297
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
METODE PENELITIAN Contoh air yang diperoleh dari kegiatan survey dianalisa di lapangan dan di laboratorium serta kemudian disajikan dalam bentuk tabulasi data yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan rumus-rumus yang berlaku. Secara lengkap kedua lokasi pengumpulan dan pengukuran data kualitas air tersebut terdapat pada Gambar 1 dan 2. Letak atau lokasi pengambilan titik contoh atau stasiun pengamatan disesuaikan dan dianggap mewakili tujuan survey, yaitu sebagai berikut :
Gambar 1. Sketsa Lokasi Stasiun Pengamatan Kualitas Air Perairan di Kanal SPI I Eks-PLG Keterangan: a. Stasiun 1 : terletak di daerah hulu kanal SPI eks-PLG b. Stasiun 2 : terletak dibagian tengah kanal, antara hulu dan muara kanal atau antara stasiun 1 dan stasiun 3 c. Stasiun 3 : terlatak di muara kanal yang berhubungan langsung dengan Sungai Mantangai (anak Sungai Kapuas)
298
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Dan letak lokasi pengamatan dan pengukuran data di Dusun Muara Puning adalah sebagai berikut :
Gambar 2. Sketsa Lokasi Stasiun Pengamatan Kualitas Air Perairan Di Dusun Muara Puning Keterangan : a. Stasiun 1 b. Stasiun 2 c. Stasiun 3 d. Stasiun 4 e. Stasiun 5 f. Stasiun 6 g. Stasiun 7 h. Stasiun 8 i. Stasiun 9
: : : : : : : : :
terletak di hulu Sungai Ramania (parit) terletak diantara hulu Sungai Ramania (stasiun 1) dan muara Sungai Ramania (Stasiun 3) terletak di muara Sungai Ramania yang berhubungan langsung dengan Sungai Puning terletak di hulu Sungai Balunuk (parit) terletak antara hulu Sungai Balunuk (stasiun 4) dan muara Sungai Balunuk (stasiun 6) terletak di muara Sungai Balunuk yang berhubungan langsung dengan Sungai Puning terletak di hulu Sungai Kalamper (parit) terletak antara hulu Sungai Kalamper (stasiun 7) dan muara Sungai Kalamper (stasiun 9) terletak di muara Sungai Kalamper dan berhubungan langsung dengan Sungai Puning
Metoda Analisa Evaluasi terhadap analisis contoh air yakni sifat fisik kimia dan biologi dianalisis secara kuantitatif. Parameter, Indikator, Satuan, Metode Pengukuran dan Alat Analisis terdapat pada Tabel 1 berikut ini.
299
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Tabel 1. Parameter, Indikator, Satuan, Metode Pengukuran dan Alat Analisis
Parameter A.
B.
C.
Fisik
Kimia
Biologi
Indikator
Satuan
Metode Pengukuran
Alat
Temperatur
ºC
Insitu
Thermometer
Kecerahan
cm
Insitu
Secchi disk
Turbidity
NTU
Lab
Spektro
DHL
µmhos/cm
Lab
Spektro
TSS
mg/l
Lab
Spektro
Substrat
-
Insitu
Manual
DO
mg/l
Insitu
Teskit
Nitrat
mg/l
Lab
Spektro
CO2
mg/l
Insitu
Teskit
Sulfide
mg/l
Lab
Spektro
Phosphate
mg/l
Lab
Spektro
Fe
mg/l
Lab
Spektro
Plankton
Ind/l
Insitu dan
Plankton Net dan
Lab
Mikroskop
Insitu dan
Eckman Grab dan
Lab
Mikroskop
Insitu
Kuisioner
Bentos
Ind/m
Nekton
Ekor
2
HASIL PENELITIAN Kualitas Air di Dalam dan Sekitar Kanal Saluran Primer Induk (SPI) Eks-PLG 1 Juta Hektar Hasil pengamatan, pengukuran dan analisa sifat fisik dan kimia perairan pada masing-masing stasiun pengamatan terdapat pada Tabel 2 berikut : Parameter Kimia - Fisik 1.
Kekeruhan/Turbidity Nilai turbidity berkisar antara 3,20-7,5 NTU. Nilai kekeruhan tertinggi terdapat di daerah hulu kanal eks-PLG dan daerah tengah kanal nilai kekeruhannya relatif rendah di bandingkan dengan daerah muara kanal yang berhubungan langsung dengan Sungai Mantangai (anak Sungai Kapuas). Hal ini diduga karena kondisi perairan pada saat pengamatan cukup dangkal dan dari pengamatan di lapangan, kekeruhan air Sungai Kapuas juga cukup tinggi.
300
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Tabel 2. Hasil Analisa Kualitas Fisik dan Kimia Perairan di Kanal Eks-PLG
No.
PARAMETER /SATUAN
St. 1
St. 2
St. 3
7,35
3,20
4,22
FISIKA 1
Kekeruhan (NTU)
2
Kecerahan
3
TSS
4
Daya Hantar Listrik (Umhos/cm)
4,4
3,7
3,9
5
Subtrat Dasar
Srh
Srh
Srh
6
Suhu
34
34
30
3,98
4,08
4,05
34
36
35
0,120
0,072
0,066
KIMIA 1
pH
2
DO
4,80
4,63
4,92
3
CO2
12,48
9,99
8,74
4
Phosfat
0,184
0,280
0,094
5
Nitrat (NO3)
1,060
0,600
0,420
6
Fe
0.973
0.667
0.706
7
Sulfida
1,440
2,720
0,960
8
COD
67,50
76,824
76,436
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium UNPAR Tahun 2003
2.
Kecerahan Nilai kecerahan di seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 34-36 cm. Nilai ini relatif rendah, tapi mengingat pada saat pengamatan dilaksanakan pada musim kemarau dan perairan juga cukup dangkal, maka nilai tersebut masih memungkinkan untuk terjadinya proses fotosintesis .
3.
Total Suspended Solid (TSS) Nilai Total Padatan Tersupensi (TSS) berkisar antara 0,066 - 0.120 mg/l. Nilai ini cukup rendah mengingat perairan dalam keadaan dangkal dan menunjukan kurangnya padatan yang tersuspensi dalam air. Padatan Tersuspensi Total dipengaruhi oleh bahan-bahan tersuspensi sepeti lumpur, pasir, bahan organik dan anorganik, plankton serta organisme mikroskopik lainnya (Hariadi, 1992). Selanjutnya menurut Cholik (1991), padatan tersuspensi total menunjukan kadar bahan yang melayang-layang dalam air yang mengganggu masuknya sinar matahari.
4.
Daya Hantar Listrik (DHL) DHL adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk menghantarkan arus listrik. Nilai DHL berkisar antara 3,7 – 4,4 µmhos/cm. Nilai DHL perairan sangat rendah, hal ini menunjukkan rendahnya kemampuan perairan untuk pulih secara alami dan bereaksi secara kimia. Hal ini diduga karena air miskin akan mineral-mineral terlarut karena rendahnya pH perairan akibat tingginya bahan organik diperairan dan tingginya kadar sulfat masam (> 0,05 mg/l). Nilai DHL yang baik untuk mutu air golongan C adalah 150-400 µmhos/cm.
5. Substrat Dasar Substrat dasar perairan di daerah lokasi sampel terdiri dari lumpur dan serasah. Substrat dasar berlumpur dan serasah merupakan habitat yang cocok bagi sebagian organisme dasar. Banyaknya serasah yang terdapat di dasar perairan diduga berasal dari vegetasi yang mati dan belum mengalami proses dekomposisi yang sempurna sedangkan adanya substrat liat berkaitan dengan tekstur tanah dasar perairan.
301
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
6. Suhu Nilai suhu berkisar antara 30 – 34ºC. Nilai suhu perairan ini relatif tinggi mengingat suhu air yang ideal adalah antara 25-30ºC (Asmawi, 1986). Hal ini diduga karena pada saat pengamatan suhu air dilakukan pada siang hari di musim kemarau dan di tempat yang terbuka sehingga sinar matahari dapat langsung mencapai perairan. 7. pH pH (derajat keasaman) merupakan ukuran dari konsentrasi ion hidrogen positif yang menunjukan suasana air. Nilai pH berkisar antara 3,98 – 4,05. Ini berarti perairan di muara kanal dan di kanal eks-PLG bersifat asam, dan diduga berasal dari dekomposisi lapisan gambut yang berada disisi kanal. Kisaran pH yang baik bagi kehidupan organisme adalah 5 – 9 (SK Gubernur Kalteng No.3 tahun 1995). 8.
Dissolve Oxygen (DO) DO perairan berkisar antara 4,63 – 4,92 mg/l. Nilai ini relatif rendah, tapi masih dapat ditolerir oleh organisme yang biasa hidup dalam kondisi minimal. Rendahnya kadar DO perairan diduga karena tingginya bahan organik yang ada diperairan yang memerlukan kadar oksigen yang tinggi untuk proses dekomposisi bahan organik tersebut.
9. Karbondioksida (CO2 ) Nilai CO2 berkisar antara 8,74 – 12,48 ppm, nilai kisaran ini cukup baik untuk mendukung kehidupan dalam perairan. Hampir semua jenis ikan dapat hidup pada air yang mengandung CO2 sebesar 60 ppm. Berdasarkan standar baku mutu kualitas air CO2 yang memenuhi syarat untuk perikanan adalah 12 ppm. 10. Phosphat Kadar phosphat barkisar antara 0,094 – 0,280 ppm. Nilai ini cukup baik untuk mendukung pertumbuhan plankton di perairan. Kadar phosphat perairan yang dianjurkan adalah 0,5 ppm. 11. Nitrat Kadar nitrat berkisar antara 0,600 – 1,060 mg/l, kisaran nilai ini cukup baik untuk mendukung pertumbuhan plankton di perairan. Berdasarkan standar baku mutu perairan kadar nitrat yang dianjurkan maksimum 10 mg/l. 12. Fe Kadar Fe berkisar antara 0,667 – 0,973 mg/l, nilai ini cukup tinggi untuk perairan walaupun nilai maksimum yang dianjurkan adalah 0,1 - 1 mg/l. Tingginya kadar besi di perairan diduga berasal dari pembongkaran lapisan pirit yang ada pada bagian dalam tanah gambut yang melepas Fe ke perairan. 13. Sulfida Nilai Sulfida berkisar antara 0,960 – 2,720 mg/l, nilai ini cukup tinggi. Kadar maksimum yang dianjurkan adalah 0,05 ppm untuk peruntukan air golongan A dan 0,1 ppm untuk golongan B. Tingginya nilai sulfat di perairan juga diduga berhubungan dengan pembongkaran lahan gambut tebal yang ada disisi kanal dan dari dasar perairan itu sendiri. 14. Chemical Oxygen Demand Nilai COD berkisar antara 67,50 – 76,436 mg/l, ini menunjukkan tingginya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik secara kimia di perairan. COD menyatakan
302
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan organik yang terdapat di perairan, menjadi CO2 dan H2O. Nilai COD akan meningkat sejalan dengan meningkatnya nilai bahan organik di perairan. Tingginya nilai COD juga menunjukkan tebalnya lapisan bahan organik yang ada di perairan sehingga dapat menyebabkan rendahnya kadar oksigen terlarut di perairan yang dibutuhkan oleh organisme untuk respirasi. Plankton, Benthos dan Nekton Hasil analisa untuk kelimpahan dan nilai indeks keragaman dan dominansi untuk phytoplankton dan zooplankton di kanal eks-PLG secara lengkap terdapat pada Tabel 3 dan Tabel 4 berikut ini : Tabel 3. Hasil Analisa Phytoplankton di Perairan Kanal Eks-PLG
No. 1.
Hasil Analisis
St. 1
St. 2
St. 3
9
7
10
Jumlah Taksa
2.
2
Kelimpahan (Ind/m )
2911
449
5319
3.
Indeks Diversity (H’)
1,563
1,456
1,385
4.
Indeks Keseragaman (E)
0,712
0,748
0,602
5.
Indeks Dominasi (D)
0,334
0,337
0,356
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Perikanan UNPAR Tahun 2003 Tabel 4. Hasil Analisa Zooplankton di Perairan Kanal Eks-PLG
No.
Hasil Analisis
St. 1 8
St. 2 4
St. 3
1.
Jumlah Taksa
3
2.
Kelimpahan (Ind/m2)
746
168
298
3.
Indeks Diversity (H’)
1,969
1,149
0,868
4.
Indeks Keseragaman (E)
0,947
0,829
0,790
5.
Indeks Dominasi (D)
0,156
0,383
0,500
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Perikanan UNPAR Tahun 2003
Nilai kelimpahan phytoplankton dan zooplankton berkisar antara 449 - 5319 ind/l dan 168 – 746 ind/l. Menurut Soegianto (1994), kelimpahan dengan nilai < 1.000 ind/l termasuk rendah, kelimpahan antara 1,000 – 40.000 ind/l tergolong sedang, dan kelimpahan lebih besar dari 40.000 ind/l tergolong tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kelimpahan phytoplankton tergolong rendah – sedang dan zooplankton tergolong rendah di perairan kanal PLG. Nilai indeks diversity phytoplankton berkisar antara 1,385 – 1,563 dan zooplankton berkisar antara 0,868 – 1,569. Menurut Odum (1994), nilai indeks diversity (H’) dikatakan rendah bila H’< 1, sedang bila 1< H’ < 3, dan tinggi bila H’ > 3, sehingga makin tinggi nilai H’ berarti makin banyak organisme yang dapat hidup di perairan tersebut. Ini berarti bahwa keragaman phytoplankton termasuk sedang dan zooplankton termasuk rendah sampai sedang. Menurut Odum (1994) nilai indeks dominansi berkisar antara 0 – 1 dan jika nilai indeks mendekati atau bernilai 1, maka perairan didominasi oleh spesies tertentu dan sebaliknya. Nilai dominansi phytoplankton 0,334 – 0,356 dan zooplankton 0,156 – 0,500 ini menunjukkan bahwa rata-rata tidak terjadi dominansi spesies. Hasil analisa terhadap benthos pada masing-masing stasiun di daerah kanal eks-PLG terdapat pada tabel 5 berikut ini :
303
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Tabel 5. Hasil Analisi Benthos di Perairan Kanal Eks-PLG
No.
Hasil Analisis
St. 1
St. 2
St. 3
1.
Jumlah Taksa
6
6
3
2.
Kelimpahan (Ind/m2)
649
584
260
3.
Indeks Diversity (H’)
3,32
2,42
1,5
4.
Indeks Keseragaman (E)
0,89
0,94
0,95
5.
Indeks Dominasi (D)
0,24
0,21
0,38
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Perikanan UNPAR Tahun 2003
Nilai kelimpahan benthos berkisar antara 260 – 649 ind/m2, dengan nilai indeks diversity berkisar antara 1,5 – 3,32 dan termasuk kisaran sedang sampai tinggi. Hal ini berarti bahwa cukup banyak jenis benthos yang dapat hidup di perairan kanal eks-PLG yang dapat mendukung kehidupan ikan yang memanfaatkan benthos sebagai makanan alami. Dari nilai indeks dominansi yaitu yang berkisar antara 0,21 – 0,38 menunjukkan bahwa tidak ada jenis yang mendominansi perairan kanal eks-PLG. Ikan Jenis-jenis ikan yang hidup di daerah muara kanal eks-PLG atau di Sungai Mantangai (anak Sungai Kapuas) lebih bervariasi, tidak hanya ikan yang biasa hidup di sungai tapi juga merupakan jenis ikan yang biasa hidup di rawa. Jenis ikan yang dapat hidup di perairan kanal eks-PLG lebih sedikit jenisnya bila dibandingkan dengan di daerah sungai, dan rata-rata merupakan jenis ikan rawa dengan adanya alat bantu pernafasan. Secara lengkap jenis-jenis ikan yang hidup di Sungai Mantangai dan di kanal eks-PLG terdapat pada Tabel 6 dan Tabel 7 berikut ini : Tabel 6. Jenis-Jenis Ikan yang Hidup di Sungai Mantangai
No. 1
Nama Jenis
Sungai Mantangai Hulu
Gabus (Chana striata)
+
2
Betok (Anabas testudineus)
+
3
Saluang (Rasbora sp)
+
4
Sepat (Trichogaster sp)
+
5
Baung (Mystus nemurus)
+
6
Patin (Pangasius sp)
+
7
Jelawat (Leptobarbus sp)
+
8
Fuhing (Osateuchilus sp)
+
9
Tambakan (Helostoma sp)
+
10
Belida (Notopterus sp)
+
11
Lais (Kryptopterus sp)
+
12
Lele (Clarias sp)
+
Jumlah Jenis
12
Sumber : Hasil Survey Lapangan September 2003 Catatan : Alat tangkap yang digunakan, rengge, pancing dan jala.
304
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Tabel 7. Jenis-Jenis Ikan yang Hidup Di Kanal Eks-PLG
No.
Organisme
Canal PLG
1
Gabus (Chana striata)
+
2
Betok (Anabas testudineus)
+
3
Kapar
+
4
Sepat (Trichogaster sp)
+
Jumlah Jenis
4
Sumber : Hasil Survey Lapangan September 2003 Catatan : Alat tangkap yang digunakan, pancing dan jala.
KUALITAS AIR DI DALAM DAN SEKITAR PARIT DI SUNGAI PUNING Hasil pengamatan, pengukuran dan analisa sifat fisik dan kimia perairan pada masing-masing stasiun pengamatan terdapat pada Tabel 8 berikut : Tabel 8. Hasil Analisa Sifat Fisik dan Kimia Perairan di Muara Puning No.
PARAMETER /SATUAN
St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
St. 5
St. 6
7,52 12
St. 7
St. 8
St. 9
16,71
-
8,66
10,44
10
30
10
20
4,60
-
83,44
66,55
20
10
5
0,066
0,116
0,086
0,006
25
0,246
0,204
0,128
0,248
0,130
5,0
3,8
10,1
9,4
3,7
4,7
4,8
2,8
FISIKA 1
Kekeruhan (NTU)
2
Kecerahan (cm)
3
TSS (mg/l)
4
Daya Hantar Listrik (Umhos/cm)
7,8
5
Subtrat Dasar
Srh
Srh
Psr
Srh
Srh
Liat
Liat
Srh
Liat
6
Suhu ( C)
0
28
28,5
32
34
31
30
35
33
32 5,90
KIMIA 1
PH
3,82
4,52
6,30
4,01
3,97
6,47
5,23
4,55
2
DO (mg/l)
1
1,6
3,7
2,2
2,1
4,1
3,7
3,4
1,4
3
CO2 (mg/l)
23,97
31,96
9,99
29,96
27,97
7,99
2,996
31,96
17,98
4
Phosfat (mg/l)
0,529
0,770
0,551
0,880
0,854
0,614
1,195
1,362
0,440
5
Nitrat (NO3) (mg/l)
2,300
0,480
0,220
1,520
1,780
0,280
1,620
1,320
0,670
6
Fe (mg/l)
0,668
0,836
1,116
0,618
0,642
1,310
0,35
0,42
2,016
7
Sulfida (mg/l)
1,280
2,240
2,240
0,880
0,800
0,640
0,800
0,720
1,120
8
COD (mg/l)
76,824
76,048
25,220
74,884
75,272
72,204
76,436
76,048
53,932
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium UNPAR tahun 2003
Parameter Kimia - Fisik 1.
Kekeruhan (Turbidity) Nilai kekeruhan berkisar antara 4,60-83,44 NTU. Kekeruhan terendah berada di muara Sungai Balunuk yang berhubungan langsung dengan Sungai Puning dan tertinggi berada antara hulu parit dan muara Sungai Kalamper. Rata-rata kekeruhan lebih rendah untuk stasiun pengamatan yang berada di muara sungai yang berhubungan langsung dengan Sungai Puning, hal ini diduga karena ada pencampuran massa air di parit dengan Sungai Puning sehingga air relatif jernih dan
305
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia rendahnya nilai kekeruhan di hulu parit karena pendangkalan dan penumpukan sedimen di hulu ujung parit. 2.
Kecerahan Nilai kecerahan di seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 5 – 30 cm. Nilai kecerahan tertinggi berada di muara-muara parit yang berhubungan langsung dengan Sungai Puning hal ini dapat terjadi karena perairan di sekitar muara parit cukup dalam dan mendapat aliran dari Sungai Puning. Nilai terendah berada di hulu parit yang telah mengalami penumpukan sedimen. Menurut Asmawai (1993), nilai kecerahan perairan yang baik untuk kelangsungan organisme yang hidup di dalamnya adalah lebih besar dari 45 cm. Bila kecerahan lebih kecil dari 45 cm, maka pandangan ikan akan terganggu. Kecerahan perairan berdasarkan standar baku mutu perikanan lebih besar dari 45 cm.
3.
Total Suspended Solid (TSS) Nilai TSS berkisar antara 0,006 – 0,248 mg/l. Nilai TSS terendah berada di stasiun 4, yaitu di hulu Sungai Balunuk (parit) hal ini diduga berhubungan dengan rendahnya nilai kelimpahan phytoplankton di stasiun tersebut. Nilai TSS tertinggi ada di stasiun 8, yaitu antara hulu dan muara Sungai Kalamper (parit) yang juga memiliki nilai kekeruhan tertinggi. Nilai Padatan Tersuspensi Total dipengaruhi oleh bahan-bahan tersuspensi sepeti lumpur, pasir, bahan organik dan anorganik, plankton serta organisme mikroskopik lainnya (Hariadi 1992). Selanjutnya menurut Cholik (1991), padatan tersuspensi total menunjukan kadar bahan yang melayanglayang dalam air yang mengganggu masuknya sinar matahari.
4.
Daya Hantar Listrik (DHL) DHL adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk menghantarkan arus listrik. Nilai DHL berkisar antara 2,8 – 10,1 µmhos/cm kisaran nilai ini sangat rendah. Ini menunjukan rendahnya jumlah unsur-unsur yang terlarut diperairan yang berbentuk ion, sehingga perairan memiliki kemanpuan yang relatif rendah untuk memperbaiki diri secara alami. Rendahnya nilai DHL juga diduga karena tingginya kadar sulfat masam diperairan dan rendahnya pH perairan sehingga mempengaruhi kelarutan mineral-mineral air. Nilai DHL yang baik untuk mutu air golongan C adalah 150 – 400 µmhos/cm.
5.
Substrat Dasar Substrat dasar perairan di daerah lokasi sampel terdiri dari seresah, pasir, dan liat. Substrat dasar perairan dengan kandungan seresah yang sangat tinggi/tebal relatif tidak disukai oleh organisme benthos untuk hidup, karena benthos memerlukan substrat dasar yang lunak untuk hidup dan berkembang biak. Substrat dasar berlumpur menyediakan banyak makanan bagi benthos dan merupakan habitat yang baik untuk bertelur dan meletakkan telur. Banyaknya seresah yang terdapat di dasar perairan diduga berasal dari vegetasi yang mati dan belum mengalami proses dekomposisi yang sempurna sedangkan adanya substrat liat berkaitan dengan tekstur tanah dasar perairan.
6.
Suhu Suhu air pada masing-masing stasiun berkisar antara 28 – 35ºC pada. Suhu air yang optimal untuk kehidupan dan metabolisme ikan berkisar antara 25 – 30 0C (Asmawi, 1986). Tingginya suhu perairan di beberapa stasiun pengamatan diduga karena pengukuran dilakukan pada siang hari dan lokasi stasiun merupakan wilayah yang terbuka, sehingga sinar matahari dapat langsung mencapai perairan tapi nilai tersebut masih dapat ditoleril oleh ikan.
7.
pH pH (derajat keasaman) merupakan ukuran dari konsenterasi ion hidrogen positif yang menunjukan suasana air. Nilai pH perairan berkisar antara 3,82 – 6,47. Nilai pH di lokasi yang berhubungan langsung dengan Sungai Puning rata-rata memiliki nilai yang tinggi, hal ini diduga
306
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia karena adanya pencampuran massa air dari Sungai Puning dan dapat ditolerir oleh organisme yang hidup didalamnya. Rata-rata nilai pH perairan di hulu parit bernilai rendah dan bersifat masam, ini dapat terjadi karena pembongkaran bahan-bahan organik tebal ditepi parit sehingga kurang dapat mendukung kehidupan organisme yang hidup didalamnya. Kisaran pH yang baik bagi kehidupan organisme adalah 6 – 9 (SK Gubernur Kalteng No.3 tahun 1995). 8.
Disolved Oxygen (DO) DO perairan berkisar antara 1 – 4,1 mg/l. Rata-rata nilai DO di lokasi pengamatan bernilai rendah, rendahnya kadar DO di perairan diduga berhubungan dengan tingginya bahan organik di perairan, sehingga memerlukan oksigen yang besar dalam proses dekomposisi bahan organik tersebut, yang dapat menyebabkan defisit oksigan. Tapi beberapa jenis ikan tertentu yang mempunyai alat bantu pernafasan masih dapat hidup dalam kondisi tersebut, dan dari hasil wawancara dan pengamatan dilokasi menunjukkan bahwa sebagian besar ikan yang teridentifikasi merupakan ikan-ikan rawa yang mampu hidup dalam kondisi DO minimal. Kadar DO minimal yang dianjurkan untuk kegiatan budidaya perikanan adalah 3 ppm. Pernyataan ini didukung cholik (1986) menyebutkan kadar oksigen terlarut 0,1 – 0,3 ppm ikan hanya dapat hidup dalam waktu singkat (bisa mematikan).
9.
Carbondioksida (CO2 ) Ikan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap konsentrasi CO2 lebih rendah dari 5 ppm. Hasil pengamatan menunjukan bahwa CO2 berkisar antara 2,996 – 31,96 ppm. Hampir semua jenis ikan dapat hidup pada air yang mengandung CO2 sebesar 60 ppm. Berdasarkan standar baku mutu kualitas air CO2 yang memenuhi syarat untuk bidang perikanan adalah 12 ppm.
10. Phosphat Nilai phosphat berkisar antara 0,440 – 1,362 ppm. Kadar phosphat perairan relatif cukup tinggi untuk pertumbuhan plankton yang merupakan produser primer di perairan. Kadar phosphat perairan yang dianjurkan adalah 0,5 ppm. 11. Nitrat Nilai nitrat berkisar antara 0,220 – 2,300 mg/l. Rata-rata nilai ini relatif baik untuk mendukung pertumbuhan plankton di perairan. Kadar nitrat yang baik untuk perairan berkisar antara 2 – 5 mg/ (Boyd, 1991). Perairan di lokasi pengamatan tergolong kesuburan sedang sampai sangat subur. 12. Fe Nilai Fe berkisar antara 0,618 – 2,016 mg/l nilai maksimum yang dianjurkan adalah 1 mg/l untuk penggolongan air golongan B. Kadar Fe tertinggi berasal dari contoh air dari muara parit yang berhubungan langsung dengan Sungai Puning. Hal ini diduga karena didaerah muara, parit yang dibuat cukup dalam sehingga membongkar lapisan pirit yang ada di dalam tanah gambut disekitar parit. 13. Sulfida Nilai Sulfida berkisar antara 0,800 – 2,240 mg/l. Kadar Sulfida di lokasi pengamatan relatif tinggi yang diduga berasal dari pembongkaran bahan-bahan organik yang ada di perairan, terutama pembongkaran lapisan tanah gambut. Nilai sulfida maksimum yang dianjurkan adalah 0,002 mg/l. 14. Chemical Oxygen Demand (COD) Dari hasil pengukuran nilai COD berkisar antara 25,220 – 76,048 mg/l. COD menyatakan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan organik yang terdapat di perairan secara kimia, menjadi CO2 dan H2O. Nilai COD akan meningkat sejalan dengan meningkatnya nilai bahan organik di perairan. Tingginya nilai COD di perairan, menunjukkan 307
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia tingginya bahan-bahan organik yang berada di perairan yang berasal dari lapisan gambut yang cukup tebal di sekitar parit. 15. Plankton, Benthos dan Nekton Hasil pengamatan dan analisa phytoplankton pada masing-masing stasiun pengamatan terdapat pada Tabel 9 berikut : Tabel 9. Hasil Analisa Phytoplankton Pada Masing-Masing Stasiun di Sungai Puning No. 1.
Hasil Analisis
St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
St. 5
4
17
12
2
3
Jumlah Taksa 2
448
4385 7525
261
St. 6 St. 7 St. 8 14
11
St. 9
7
4
2.
Kelimpahan (Ind/m )
3.
Indeks Diversity (H’)
6873 20783 22512 2931
186
4.
Indeks Keseragaman (E) 0,722 0,645 0,572 0,749 0,525 0,808 0,297 0,464 0,985
5.
Indeks Dominasi (D)
1,001 1,827 1,421 0,519 0,577 2,133 0,712 0,903 1,366 0,448 0,286 0,344 0,663 0,630 0,158 0,699 0,467 0,260
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium UNPAR Tahun 2003 Hasil analisa zooplankton pada masing-masing stasiun di daerah Sungai Puning terdapat pada Tabel 10 berikut ini : Tabel 10. Hasil Analisa Zooplankton Pada Masing-Masing Stasiun di Sungai Puning No.
St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
St. 5
St. 6
St. 7
St. 8
1.
Jumlah Taksa
Hasil Analisis
2
7
3
5
8
4
12
5
St. 9 2
2.
Kelimpahan (Ind/m2)
56
396
93
187
356
434
541
150
224
3.
Indeks Diversity (H’)
0,637 1,834 1,099 1,523 1,808
1,386
2,355
1,494 0,689
4.
Indeks Keseragaman (E)
0,918 0,943 1,000 0,946 0,869
1,000
0,948
0,250 0,994
5.
Indeks Dominasi (D)
0,556 0,180 0,333 0,235 0,208
0,250
0,106
0,928 0,504
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium UNPAR Tahun 2003
Kelimpahan phytoplankton di daerah Puning berkisar antara 186 – 22.512 ind/l. Untuk kelimpahan zooplankton berkisar antara 56 – 541 ind/l. Menurut Soegianto (1994), kelimpahan dengan nilai 1000 ind/l termasuk rendah, kelimpahan antara 1.000 – 40.000 ind/l tergolong sedang, kelimpahan lebih besar dari 40.000 ind/l tergolong tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kelimpahan plankton di daerah Sungai Puning untuk phytoplankton tergolong rendah - tinggi, dan zooplankton tergolong rendah. Menurut Odum (1994), nilai indeks diversity (H’) dikatakan rendah bila H’< 1, sedang bila 1< H’ < 3, dan tinggi bila H’ > 3, sehingga makin tinggi nilai H’ berarti makin banyak organisme yang dapat hidup di perairan tersebut. Dari hasil analisa maka untuk tingkat keanekaragaman phytoplankton 0,519 – 2,13, zooplankton berkisar antara 0,637 – 2,355 dari nilai indeks diversity menunjukkan bahwa perairan di lokasi pengamatan tergolong diversity rendah – sedang. Hal ini diduga berhubungan dengan cukup tingginya nilai phopsphat perairan, sehingga menjadi pembatas bagi pertumbuhan jenis plankton yang tidak dapat hidup pada kondisi perairan dengan kadar phosphat yang tinggi, misalnya jenis dari Clorophyta. Menurut Odum (1994) nilai indeks dominansi berkisar antara 0 – 1 dan jika nilai indeks mendekati atau bernilai 1, maka perairan didominasi oleh spesies tertentu dan sebaliknya. Nilai dominansi phytoplankton 0,158 – 0,699, zooplankton 0,106 – 0,926 dari hasil analisa terhadap indeks dominansi di perairan Sungai Puning dan di dalam parit menunjukkan bahwa rata-rata tidak terjadi dominansi spesies, hanya pada stasiun 8 nilai indeks dominansi mendekati satu dan ini diduga terjadi karena pada stasiun 8 memiliki kadar phosphat tertinggi.
308
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Hasil analisa terhadap benthos pada masing-masing stasiun di daerah Sungai Puning terdapat pada Tabel 11 berikut ini : Tabel 11. Hasil Analisa Banthos Pada Masing-Masing Stasiun di Sungai Puning No.
Hasil Analisis
St. 1
St. 2
St. 3
5
14
9
1.
Jumlah Taksa
2.
Kelimpahan (Ind/m2)
2728 9676 11301
3.
Indeks Diversity (H’)
1,44
3,41
1,78
St. 4
St. 5
St. 6
St. 7
St. 8
St. 9
2
12
14
17
13
5
130
4481
4611
9547
6819
2987
1
2,81
2,78
3,15
3,48
0,81
4.
Indeks Keseragaman (E)
0,62
0,89
0,56
1
0,78
0,73
0,77
0,94
0,35
5.
Indeks Dominansi (D)
0,49
0,27
0,46
0,5
0,24
0,26
0,23
0,21
0,76
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium UNPAR Tahun 2003
Kelimpahan benthos berkisar antara 130 – 1.101 ind/l dan nilai indeks keragaman berkisar antara 1 – 3,48. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Sungai Puning dan di parit tergolong sedang sampai tinggi keragaman jenis benthos yang hidup didalamnya, dan substrat dasar perairan cukup mendukung kehidupan organisme benthos. Dari nilai indeks dominansi yang berkisar antara 0,21 – 0,76 menunjukan tidak adanya dominansi spesies yang hidup di perairan. Jenis-jenis ikan yang hidup di Sungai Puning relatif beragam yaitu jenis ikan sungai yang biasa hidup di dasar perairan, misalnya baung, patin, belida dan lais. Secara lengkap hasil pengamatan dan interview terhadap jenis-jenis ikan yang terdapat di daerah Sungai Puning terdapat pada Tabel 12 berikut ini : Tabel 12. Jenis-Jenis Ikan yang Terdapat Di Sungai Puning No.
Sungai Puning
Organisme
1
Saluang (Rasbora sp)
+
2
Baung (Mystus nemurus)
+
3
Patin (Pangasius sp)
+
4
Jelawat (Leptobarbus sp)
+
5
Puhing (Osateuchilus sp)
+
6
Tambakan (Helostoma sp)
+
7
Belida (Notopterus sp)
+
8
Lais (Kryptopterus sp)
+
Jumlah Jenis
8
Sumber : Hasil Survey Lapangan Tahun 2003 Catatan : Alat tangkap yang digunakan, rengge, pancing dan jala.
Jenis-jenis ikan yang terdapat di parit-parit penduduk merupakan jenis ikan rawa yang relatif tahan terhadap rendahnya nilai kualitas air. Rata-rata jenis ikan ini merupakan jenis ikan yang memiliki alat bantu pernafasan. Secara lengkap jenis-jenis ikan yang huidup di parit-parit penduduk terdapat pada Tabel 13 berikut ini :
309
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Tabel 13. Jenis-Jenis Ikan yang Terdapat di Parit Penduduk No.
St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
St. 5
St. 6
St. 7
St. 8
St. 9
1
Gabus (Chana striata)
+
+
+
+
+
+
+
+
+
2
Betok (Anabas testudineus)
+
+
+
+
+
+
+
+
+
3
Sepat (Trichogaster sp)
+
+
+
+
+
+
+
+
+
4
Lele (Clarias sp)
+
+
+
+
+
+
+
+
+
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Organisme
Jumlah Jenis
Sumber : Hasil Survey Lapangan tahun 2003 Catatan :Alat tangkap yang digunakan, pancing dan jala.
BUDIDAYA PERIKANAN Contoh lain dari usaha budidaya ikan dengan sistem air deras adalah budidaya ikan dalam parit. Sistem ini memanfaatkan parit atau saluran air untuk usaha budidaya ikan. Sistem budidaya ikan di parit biaya pelaksanaannya relatif murah selain itu dapat memberikan beberapa keuntungan bagi petani karena : 1. Biaya pelaksanaan relatif rendah dan keuntungannya cukup tinggi. 2. Keuntungan yang diperoleh akan meningkatkan kemampaun keluarga petani untuk memenuhi kebutuhan gizinya. 3. Sekat yang berfungsi sebagai pembatas ruang gerak ikan secara tidak langsung akan menahan sampah yang terdapat di parit atau saluran air sehingga mudah dibersihkan. 4. Sisa-sisa makanan dan kotoran hasil metabilosme akan segera terbuang dan terurai menjadi unsur-unsur yang dapat berguna bagi tumbuhan tanaman. 5. Karena prinsipnya sama dengan kolam air deras, maka ikan dapat dipelihara dengan tingkat kepadatan yang lebih tinggi. Parit atau saluran air yang cocok untuk usaha budidaya ikan mempunyai debit air antara 100 sampai 125 liter setiap detiknya. Sementara itu, kedalaman air tidak kurang dari 40 cm dan tidak lebih dari 1 meter. Akan tetapi, seandainya tidak tersedia parit atau saluran air yang memenuhi syarat seperti diatas, dapat juga dipergunakan parit atau saluran lain, dan tentu saja hasilnya akan sedikit berbeda. Penggunaan benih dan jenis unggul dianjurkan, karena mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat jika dibandingkan dengan ikan yang bukan jenis unggul tapi harus merupakan jenis ikan yang tahan terhadap kondisi perairan yang tidak terkontrol. Kepadatan benih ikan yang ditebarkan akan mempengaruhi produksi ikan yang dihasilkan. Jika kepadatan terlalu rendah, maka produksi akan rendah meskipun ukuran setiap ekornya relatif lebih besar sedangkan benih yang ditebar terlalu padat, maka ukuran setiap ikan menjadi kecil meskipun produksinya secara total akan lebih tinggi. Kepadatan ikan yag ditebarkan tergantung pada jenis dan ukuran ikan. Seandainya luas parit yang akan dipergunakan untuk memelihara ikan adalah 10 m2 dan ikan yang ditebarkan mempunyai ukuran 100 gr setiap ekornya, maka padat penebaran yang optimal adalah antara 40 sampai 100 kg. Panen dapat dilakukan apabila ikan telah mencapai ukuran sesuai dengan yang diinginkan. Biasanya ikan akan dipanen setelah dipelihara selama 3 sampai 6 bulan. Lamanya waktu pemeliharaan juga tergantung pada jenis ikan yang dipelihara dan ukuran awal dari benih ikan yang ditebarkan. Untuk budidaya ikan di parit daerah Sungai Puning dapat juga dilakukan seperti hal tersebut di atas oleh setiap pemilik parit dan status kepemilikannya sama dengan status kepemilikan Beje.
310
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia KESIMPULAN Kualitas air di perairan kanal SPI Eks-PLG dan parit di Muara Sungai Puning menunjukan nilai yang minimal untuk kehidupan organisme perairan yang hidup di dalamnya. Rendahnya pH dan oksigen terlarut, serta tingginya kadar besi, sulfida dan COD menunjukan hanya ikan-ikan jenis tertentu yang dapat hidup pada kondisi tersebut terutama jenis ikan yang memiliki alat pernafasan tambahan, misalnya gabus, betok, sepat dan lele. Kegiatan budidaya ikan dapat saja dilakukan di kanal eks-PLG dan parit penduduk, tapi dengan terlebih dahulu dilakukan upaya-upaya untuk perbaikan kualitas air, agar kegagalan dapat diminimalkan. Salah satu upaya perbaikan kualitas air ialah dengan menanam tumbuhan air jenis apuapu, kumpai, rasau, nipah atau jenis tumbuhan air lainnya yang dapat menyaring kekeruhan dan perakarannya dapat mengikat zat beracun dalam perairan. Jenis ikan yang dapat dibudidayakan di kanal eks-PLG adalah jenis ikan lokal yang tahan terhadap kondisi kualitas air yang minimal, misalnya papuyu, sepat dan gabus.
DAFTAR PUSTAKA Afrianto, 1994. Beberapa Metode Budidaya Ikan. Haryadi. 1992. Metode Analisa Kualitas Air. Odum E.P, 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Gajahmada University Press, Yogyakarta. Soeseno. 1974. Limnologi. Departemen Pertanian Direktorat Jendral Perikanan SUPM.
Bogor.
Sumantadinata. 1983. Pengembangan Ikan-ikan Peliharaan di Indonesia. Soegianto. 1994. Ekologi Kuantitatif Metode Analisa Populasi dan Komunitas. Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah No. 3 Tahun 1995 Tentang Baku Mutu Air. Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah No. 96 Tahun 1995 Tentang Penggolongan Perairan. Wetzel, R.G. 1975 Limnology. Saunder College Publishing, New York
311
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
REDUCE HAZE BY CONVERTING FUEL MATERIALS Bambang Hero Saharjo Forest Fire Laboratory, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University PO.BOX 168 Bogor 16001, West Java E-mail
[email protected]
Abstract During fire episode in Indonesia where smoke problems occurred in entire burnt area as it occurred in Sumatra and Kalimantan, shifting cultivation will be blamed. Unfortunately it has been found that the smoke produced during burning comes from the land preparation activity using fire where mostly (6080%) rooted from an oil palm and industrial forest plantation illegally while rest of it was believed made by shifting cultivation. Traditional slash-and-burn been used successfully for centuries and is an integral part of farming and land clearing techniques in the tropics. Behind of that success story there is a problems on smoke and haze especially during the dry seasons as it can been seen at least last five years. The answer to controlling the smoke and haze that the fires produces seems not drastically to ban burning outright but gradually changing through reasonable activity such as expanding technological options and make policy changes that will prevent another environmental disaster the next time. One of the most realistic ways to be adopted by small farmers not to use fire for the land preparation is to utilize the fuel (logs, branching, bark, grass, and shrubs) that usually burned to be something that can benefit them such as charcoal and fertilizers. Our research results through demonstration plot in Pontianak, West Kalimantan, shown that the local people seems give a good response, because they can take a benefit from end product. Beside that through charcoal and organic fertilizers making, they helped to cut off greenhouse gases emission and particle and minimize smoke problems, because the site in demonstration plot that have 44 ton/ha of fuel load will produce 3.5 ton CO2, 0.04 ton CH4, 0.0014 ton NOx, 0.04 ton NH3 and 0.64 ton O3, and 0.8 ton particle if it burn, fortunately due to they did not burn it means they save the greenhouse gas. Without burning the community protect their land from peat destruction due to heat penetration downward, save from leaching, and take a benefit from charcoal and fertilizers price that vary from Rp.500-Rp.1000/kg. With this input they do not have to use fire for their land preparation anymore and help to create better life. Keywords: Fire, fuel, charcoal, fertilizers, smoke, haze
313
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
INTRODUCTION Fire is a significant source of gases and particulate to the atmosphere: environmentally important gases produce by fire includes carbon dioxide, carbon monoxide, methane, non-methane hydrocarbons and oxides of nitrogen. Fire also produces large amounts of small, solid particles or “particulate matter”, which absorb and scatter incoming solar radiation, and hence the impact of our planet as well as provoking a variety of human health problems (Levine et al., 1996). Fire can therefore be considered one of the local points of the multiple relationships between humans and the environmental changes in fire patterns can be taken as indicator of change in land-use patterns and overall environmental conditions (Malingreau and Gregorie, 1996). Burning peat is especially detrimental because it release carbon into the atmosphere that has been in storage for thousands of year, and smoke from peat fires contain high levels of Sulfur oxide (Sweithelm, 1998), and it was estimated that peat fires in Indonesia in 1997/1998 could release more carbon dioxide than the annual contribution from cars and power stations in western Europe (WWF, 1997), and contributed 22% of worlds carbon dioxide where over 700 million tones was released that elevating Indonesia to one of the largest polluters of carbon in the world (UNCHS, 1999). In 1997/1998 forest fires at least 20 million of Indonesian peoples were directly and indirectly affected by fire. Black smokes contain many air pollutants: CO, CO2, SO2, NO(x) and NH4 and bacteria such as Streptococcus causes many diseases such as diarrhea, pneumonia, bronchitis and brain disturbance. Thousand of people in Riau, Jambi, South Sumatra, and Central, West and East Kalimantan were hospitalized for medical treatments. Black smokes that continued for at least two months in southern Sumatra at which time the lack of sunshine reduced food production and caused many peoples to seek emergency food sources. Hundreds of peoples also died in Irian Jaya because the transportation of food and other supplies could not reach their areas due to smoke. In Kutai National Park (East Kalimantan), it was observed that Rusa sambar (Cervus unicolor) and Kancil (Tragulus javanicus) were found killed and burned because of forest fire. A total of 30 female of Orangutans (Pongo pygmaeus pygmaeus) have died as a result of the fires in Kalimantan, while 29 orphaned Orangutans have been found in several villages and alongside the road after escaping from the forest search for food and water (WWF 1997). Oil palm and rubber are both likely to be depressed with price rises. Many industries have suffered temporary closure due to smog, particularly if they rely on clean conditions such as electronic industries, and some transnational companies are apparently considering pulling out of the area. Dust particles in the air in Palangkaraya, Central Kalimantan, have also been reported as causing problems with electricity generators, through clogging air filters, leading to the overheating of generators, reducing their output by around 50 % (Dudley 1998). BIOMASS BURNING Our planet and global environment are witnessing the most profound changes in the brief history of the human species. Human activity is the major agent of these changes: depletion of stratospheric ozone, the threat of global warming, deforestation, acid precipitation, the extinction of species, and others that have not become apparent (Levine, 1996). They are caused and significantly enhanced by biomass burning. Biomass burning is the burning of the worlds living and dead vegetation, including grasslands, forests and agricultural lands following the harvest for land clearing and land-use change (Levine, 1996). Biomass burning is a significant global source of gaseous and particulate emissions to the atmosphere. The impact of biomass burning on the atmospheric chemistry and biogeochemical cycles has been widely exposed in recent years (Crutzen and Andreae, 1990), it is through interactions with the atmosphere that biomass burning acquires its truly global character. Changes or trends in emissions, transport, chemical transportation and deposition of biomass burning gaseous are thus important to asses (Malingreau and Gregorie, 1996). Based on existing data, it has been predicted that biomass burning is responsible for 20-40% of the total anthropogenic CO2 emitted into the atmosphere (Levine, 1990). Burning release large amounts of CO2 into the atmosphere, some of which is re-incorporated into the terrestrial biosphere over the course of months to years.
314
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Reincorporation occurs during the period of re-growth following the annual burning of certain ecosystem, primarily grassland (Kambis and Levine, 1996). Not only does climate influence fire, but fire activity also can influence climate. Regionally, large fires with their change in albedo and removal of vegetation with the accompanying drop in evapotranspiration, can influence the energy budget and climate. Recent evidence suggests that local to regional changes in the land surface characteristics can significantly alter the climate of that region (Couzin, 1999). In addition to climatic influences on the fire regime, other factors such as ignition agents, length of the fire season, vegetation characteristics and human activities, such as fire management policies and landscape fragmentation, may greatly influence the fire regime in the next century. Ignition probabilities may increase in a warmer world due to increased cloud-to-ground lightning discharges with warming (Price and Rind, 1994). BEHIND THE HAZE Fire is a significant source of gases and particulate to the atmosphere: environmentally important gases produced by fire include carbon dioxide, carbon monoxide, methane, non-methane hydrocarbons and oxides of nitrogen. Fire also produces large amounts of small, solid particles or “particulate matter”, which absorb and scatter incoming solar radiation, and hence the impact of our planet as well as provoking a variety of human health problems (Levine et al., 1996). Fire can therefore be considered as one of the local points of the multiple relationships between humans and the environmental changes in fire patterns can be taken as indicator of change in land-use patterns and overall environmental conditions (Malingreau and Gregorie, 1996). Trans-boundary haze pollution, due to the smokes from land preparation using fire, become big problem in Indonesia every years, especially when the dry season come, since the last 10 years. It has been found that the smoke of fire rooted from land preparation using fire, mostly (60-80%) from oil palm and industrial forest plantation which practiced illegal burning, and the rest of it to be believed made by shifting cultivation which, unfortunately, usually blamed for the occurred smokes. When fire broke up, many people blame shifting cultivators as cause of it. Shifting cultivators used a fire for they land preparation, because it was cheap and easy to do, and it was done for thousands years ago (Goldammer, 1993) without any environmental problems like it happens currently. Shifting agriculture systems in their early practice and extends use largely determined by low human population pressure on the forest resources. They provided a sustainable base of subsistence for indigenous forest inhabitants, and their patch impacts had little effects on overall forest ecosystem stability (Nye and Greenland, 1960). By burning they will took a free mineral from ash that rich of organic-carbon, phosphorus, magnesium, potassium, and sodium. The nutritional value increase temporarily after burning, however, when rainy comes, it will be leached and decline (Garren, 1943; Jordan, 1985 and Saharjo, 1995). Especially in the high-risk area of forest fire in Sumatra and Kalimantan, it has been found that the smoke problems emerge from land preparation belong to the communities. Due to that reasons, the smoke problems by shifting cultivation activities should be reduced and it cannot be directly postponed or prohibited, because previous experience shown that banning of using fire for the land preparation belong to the communities resulted more fires and damages. Therefore, it must be found a clear solution to solve the problem, which still give opportunity to the communities to get the money from their land for daily life and also they can manage the land. EMISSIONS REDUCTION Smoke management practices include reducing fuel loads, improving combustion efficiency, igniting fire effectively, and mopping-up efficiently. The specific practices used in a local or region depend largely on the fire management objectives to be satisfied and the types of fuel to be burned (Debano et al., 1998). Emissions reductions involve the use of fuel management practices to reduce smoke when fire occurs. Burning less fuel reduces smoke and particulate emissions. Nearly 50 percent of the emissions from prescribed burning can result from logging residue. Something as simple as lowering the wood-utilization standards and as a result, harvesting more residues can significantly reduce smoke emissions (Debano et al., 1998). Isolating large pieces of wood residue (such as stump) that are prone to smolder for long periods can also lower the level emissions. Burning smaller parcels of
315
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia land and keeping soil and forest floor material out of slash piles can also reduce emissions. Prescribed burns conducted when small fuel moisture is low, large fuel moisture is high, and forest floor moisture is high will also substantially reduce emissions by making less fuel available for combustion. Prescribed fire can have a wide range of particulate emissions factors, with magnitudes of these factors depending on whether the fire is dominated by flaming combustion’s or smoldering. Smoldering fires have the greatest emissions factors for nearly all combustion products (Debano et al., 1998). Avoidance of potential smoke problems is achieved by scheduling burning during the season when fuel moisture and meteorological conditions are likely to result in reduced smoke emissions or movement into urban areas. Dilutions involve controlling emission rate by fire management techniques or scheduling prescribed fire when atmospheric processes favor unstable conditions and therefore maximum mixing of the lower atmosphere. A key good smoke dilution and dispersal is accurate weather forecasts on wind speeds and direction, atmospheric stability and mixing heights (Debano et al, 1998). CONVERTING FUELS TO CHARCOAL BRICQUITTE, ORGANIC FERTLIZER AND FEED ANIMAL (Case study in Kuala Dua, Pontianak, West Kalimantan) In order to reduce haze problem which usually emerge in the dry season, where most land preparation using fire conducted by shifting cultivators as well as company (illegally), a research collaboration with forest fire directorate, Ministry of Forestry, has been conducted. The research was focused on the fuels’ conversion with the main objective to reduce haze and provides local communities better life options. The research involved local community group that have perception that fires should be used at minimum level in order to prevent soil destruction and to reduce haze problems. Demonstration plot was established in Kuala Dua village, Sungai Raya sub-distric, Pontianak district, West Kalimantan Province. The site located near the road, which has high accessibility by guest to see and learn what happened in the plot. Demonstration site was established in 1000 m2 plot on the total area of 1 ha where fuel load was 44 ton/ha. One of the reason why this place chosen because during dry seasons this area become one of the biggest sources of smoke that usually create big problems to the Supadio airport. The smokes rooted from the local people who use fire for their land preparation for agricultural purposes. Most of the land in Kuala Dua village covered by fibric peat type, which has 6-8 m depth, pH 2-3, slope between 0 - 5 %, and the site was dominated by burnt peat area species, pioneer, and shrubs. During the last 10 years, the average of annual rainfall was 3158 mm and rain-days was 197 days. Daily maximum temperature ranged between 31-35ºC, minimum daily temperature ranged between 20.3-24.3ºC, relative humidity ranged between 49-98 % and based on the Schmidt-Fergusson criteria the site has A type. Dry season usually occurred during June until August, land clearing using fire during July until August and planting period was during September until October every year. Field Implementation Minimizing forest fire threats through fuel reduction can be done by utilization of left fuel which usually have potency around 100 ton/ha. Left fuel consist of stump, branches, logs and litter which usually used as fuel for land preparation activities, can be used for better and beneficial purposes such as charcoal and organic fertilizers as end product. This effort is important because it can reduce fire risk and fuel can be used for raw material in the production of charcoal and organic fertilizers. Local community is the most important stakeholders in this case because without their participation and understanding, the chance to have better life condition through fire reduction will never be realized. This means that there should be a mechanism, which can link their role in fire reduction through participatory process and the local government (village) and the institution which can keep their activity works and continued. Without this mechanism, it seems unlikely that local communities can reach new innovation technology clearly and adopt it for their daily activities. Due to that reasons, coordinated works should be developed between local communities, who will receive and adopt technology, and local government (village) and institution, who deal with these activities.
316
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Charcoal (briquette) and organic fertilizers making To increase the local communities’ knowledge and experience on how to produce charcoal and organic fertilizers, then short course and field practicing was conducted. Through field practicing, the local communities have a chance to produce charcoal and organic fertilizers by themselves, under the supervision of some experts. The training was focused on the use of simple technique that can be directly applied by the communities, so that following the short course and field practicing then the communities were able to practice it by themselves. The local communities were very surprised and very satisfied to realize that ferns and logs left, which were usually used as fuel for burning in their land preparation, can then be easily used as material for production of charcoal and organic fertilizers, which in the end can provide them another income. CONCLUSION 1.
A total of 3.465 ton CO2, 0.036 ton CH4, 0.0014 ton NOx, 0.044 ton NH3, 0.0367 ton O3, 0.641 ton CO of Greenhouse gases and 0.77 ton of particle are not emitted to the atmosphere through the conversion into charcoal, organic fertilizers and animal food. The quality of charcoal briquette and animal food produced from the site is quite good as it can be seen in Appendix 1 and 2,
2.
Land preparation without burning can reduce peat destruction as it happened with using fire, means that the land can be used longer,
3.
The local communities can earn better income from selling their product derived from the production of charcoal, organic fertilizers and animal food,
4.
Through the production of charcoal and organic fertilizers, local communities started to minimize green house gasses emission, create better environmental condition and also taking benefit from the price of both end products.
ACKNOWLEDGMENT Thanks to Forest Fire Directorate, Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation, Department of Forestry, who sponsored and helped us in implementing the project. REFERENCES Couzin, J. 1999. Landscape changes make regional climate run hot and cold. Science 283: 317-318 Crutzen, P.J and M.O. Andreae. 1990. Biomass burning in the tropics: Impact on atmospheric chemistry and biogeochemical cycles. Science 250: 1669-1678 Debano, L., D.G. Neary and P.F. Ffolliott. 1998. Fire’s effects on ecosystems. John Wiley and Sons, Inc. 319 pp. Dudley, N. 1998. The year the world caught fire. WWF International. 35 pp. Goldammer, J. G. 1993. Fire Management. In : Pancel, L. (ed.). Tropical forestry handbook. Vol. 2 : 1221 - 1267. Garren, K.H. 1943. Effects of fire on vegetation on the Southern United Sates. Bot.Rev.9(9): 617-1654 Jordan, C.F. 1985. Nutrient cycling in tropical forest ecosystem. John Wiley and Sons. 190 p. Kambis, A.D and J.S.Levine. 1996. Biomass production of carbon dioxide: A numerical study. In: Levine, J.S (eds.). Biomass burning and global change. Vol.1. The MIT press. P:170-192
317
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Levine, J.S. 1996. Introduction. In: Levine, J.S (eds.). Biomass burning and global change. Vol.1. The MIT press. Pp;1 Malingreau, J.P and J.M. Gregorie. 1996. Developing a global vegetation fire monitoring system for global change studies; A frame work. In: Levine, J.S (eds.). Biomass burning and global change. Vol.1. The MIT press.pp: 14-24 Nye, P.H and Greenland, D.J. 1960. The soil under shifting cultivation. Technical communication 51. Commonwealth bureau of soils. UK. Saharjo, B.H. 1995. The changes in soil chemical properties following burning in a shifting cultivation area in South Sumatra. Wallaceana 75: 23-26 Schweithem, J. 1998. The fire this time : An overview of Indonesia's forest fire in 1997/1998. UNCHS. 1999. Inter-agency report on Indonesian forest and land fires and proposal for risk for reduction in human settlements. UNCHS (Habitat), UNDP, UNHD and ADPC. 36 pp. WWF. 1997. Indonesias fire: 30 Orangutans dead, other species threatened. WWF press release. 2pp.
318
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Appendix 1. Charcoal chemical analysis based on type and kiln construction from several countries
Country
Japan Japan USA Europe Europe Indonesia
Kiln type
Eathe Kiln Stone Kiln Brick Kiln Miller Kiln Retort Volca Kiln
Max. temp (ºC) 700 1000 500 600 600 550
Charcoal composition Water (%)
Ash (%)
6-8 8-10 6 6 6 4.96
3 3 3 3 3 11.06
Volatile matter (%)
Fixed carbon (%)
10-20 5-10 10-30 20-30 20-30 -
70-80 80-85 60-80 60-70 60-70 46.11
Appendix 2. Nutrient composition for animal feeding made from Pakis in demonstration site Nutrient value Dry material (%) Ash (%) Crude protein (%) Fiber (%) Fat (%) Extract material without N (%) Ca (%) P (%) Bruto energy (Kal/gr.)
Pakis Paku Pakis Lembiding 82.12 83.45 7.62 4.3 9.96 8.21 30.85 41.14 1.16 1.09
Pakis Resam 86.19 4.05 10.83 34.84 2.03
Pakis Uban 86.62 4.33 8.7 37.7 0.78
32.53
30.71
34.44
35.11
1.15 0.47 4.291
0.37 0.41 4.185
0.27 0.54 4.296
0.72 0.43 4.262
319
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PENGARUH PENURUNAN MUKA AIR TANAH TERHADAP KARAKTERISTIK GAMBUT Teguh Nugroho dan Budi Mulyanto Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Abstrak Indonesia memiliki lahan rawa yang cukup luas dan sebagian besar lahan rawa tersebut merupakan gambut yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Tanah gambut terbentuk oleh lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi hampir sepanjang tahun. Tanah gambut di Indonesia belum dikelola dengan baik karena pemahaman atas karakteristik ekosistem rawa belum diketahui secara utuh. Aktivitas penebangan dan pengangkutan kayu serta pembukaan lahan rawa gambut untuk pertanian dilakukan dengan membuat saluran drainase untuk mengatur muka air tanah. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan muka air tanah dan perubahan ekosistem rawa, sehingga mengakibatkan perubahan karakteristik lahan gambut. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh penurunan muka air tanah terhadap karakteristik tanah gambut sehingga dapat diketahui sejauh mana perubahan yang terjadi. Pengamatan dilakukan pada lapisan gambut di atas dan di bawah muka air tanah dan analisis yang dilakukan pada penelitian ini antara lain meliputi (1) sifat morfologi, termasuk tingkat kematangan/ dekomposisi, yang dilakukan dengan metode cara cepat di lapangan, metode McKinzie dan metode suntikan dan (2) karakteristik kimia, meliputi nilai pH gambut yang ditetapkan dengan pH meter; kadar C-organik dan N-total yang ditetapkan dengan CHNS analyzer; kandungan basa-basa dapat dipertukarkan dan kapasitas tukar kation yang ditetapkan dengan ekstraksi NH4Oac pH 7. Secara umum telah kita ketahui bahwa penurunan muka air tanah menyebabkan terjadinya proses dekomposisi yang lebih lanjut pada lapisan di atas muka air tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetapan tingkat kematangan gambut dengan ketiga metode yang digunakan belum dapat menjelaskan perbedaan tingkat dekomposisi yang terjadi pada lapisan gambut di atas dan di bawah muka air tanah, karena seakan-akan tidak terdapat perbedaan tingkat kematangan antara lapisan di atas dan di bawah muka air tanah. Oleh sebab itu diperlukan pendekatan lain, yaitu nisbah C/N, dimana pada lapisan gambut di atas muka air tanah cenderung memiliki nisbah C/N yang lebih rendah daripada lapisan gambut di bawah muka air tanah. Hal ini mengindikasikan bahwa pada lapisan gambut di atas muka air tanah memiliki tingkat dekomposisi yang lebih lanjut daripada lapisan gambut di bawah muka air tanah, sehingga dapat dikatakan bahwa penurunan muka air tanah menyebabkan tingkat dekomposisi pada lapisan di atas muka air tanah lebih lanjut. Proses dekomposisi yang lebih lanjut pada lapisan gambut di atas muka air tanah juga menyebabkan perubahan berbagai karakteristik tanah gambut.
Kata Kunci: Gambut (Peat), Muka Air Tanah (Water Table), Nisbah C/N (C/N ratio), Kematangan Gambut (Peat Ripening)
321
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PENDAHULUAN Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan rapuh, karena lahan tersebut berada pada suatu lingkungan rawa, yang terletak di belakang (Backswamp) tanggul sungai (Levee). Oleh karena dalam lingkungan rawa, maka lahan tersebut senantiasa tergenang dan tanah yang terbentuk pada umumnya merupakan tanah yang belum mengalami perkembangan, seperti tanah-tanah alluvial (Entisols) dan tanah-tanah yang berkembang dari tumpukan bahan organik, yang lebih dikenal sebagai tanah gambut atau tanah organik (Histosols). Indonesia memiliki lahan rawa yang cukup luas dan sebagian besar lahan rawa tersebut merupakan gambut yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Tanah gambut terbentuk oleh lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi hampir sepanjang tahun. Tanah gambut di Indonesia belum dikelola dengan baik karena pemahaman atas karakteristik ekosistem rawa belum diketahui secara utuh. Aktivitas penebangan dan pengangkutan kayu serta pembukaan lahan rawa gambut untuk pertanian dilakukan dengan membuat saluran drainase untuk mengatur muka air tanah. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan muka air tanah dan perubahan ekosistem rawa, sehingga mengakibatkan perubahan karakteristik lahan gambut. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh penurunan muka air tanah terhadap karakteristik tanah gambut sehingga dapat diketahui sejauh mana perubahan yang terjadi.
BAHAN DAN METODE Pengambilan contoh tanah dilakukan di 3 lokasi, yaitu Desa Sungai Rambut, Desa Sungai Aur dan Desa Sungai Mendahara Ulu, Jambi (Gambar Lampiran 1), sedangkan analisis karakteristik tanah gambut dilakukan di Laboratorium Jurusan tanah, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan contoh tanah gambut dipisahkan berdasarkan lapisan di atas dan di bawah muka air tanah, sedangkan analisis karakteristik tanah gambut yang dilakukan meliputi: penetapan tingkat kematangan dilakukan dengan 3 metode, yaitu: 1.
Metode cepat di lapangan, yaitu berdasarkan kadar serat yang tahan dihancurkan atau serat yang tertinggal di dalam tangan (tingkat kematangan fibrik bila serat >2/3 volume, hemik bila serat berkisar antara 1/3-2/3 volume dan saprik bila serat <1/3 volume).
2.
Metode perbandingan jumlah serat dalam suntikan, yaitu dengan cara menentukan sejumlah contoh tanah dalam volume suntikan tertentu sebagai V1, kemudian contoh tanah tersebut disaring dengan saringan 100 mesh lalu ditetapkan kembali volumenya sebagai V2 (gambut memiliki tingkat kematangan fibrik bila V2/V1>66%, hemik bila V2/V1 antara 33%-66% dan saprik bila V2/V1<33%).
3.
Metode McKinzie, yaitu dengan cara menentukan warna gambut hasil dari penambahan larutan Na-pirofosfat untuk mendapatkan nilai indeks pirofosfat yang merupakan hasil dari selisih antara nilai value dan khroma, yang dihubungkan dengan hasil analisis kadar serat, serta kriteria yang dikemukakan oleh McKinzie (1974). Kriteria McKinzie dapat dilihat pada Gambar 1.
Untuk analisis kimia, contoh tanah gambut dikering udarakan, dihaluskan dan disaring menggunakan saringan 2 mm. Karakteristik kimia yang diamati meliputi: Penetapan pH H2O dilakukan dengan pH meter; Penetapan C-organik dan N-total yang dilakukan dengan menggunakan alat CHNS analyzer; Penetapan basa-basa yang dapat dipertukarkan dan kapasitas tukar kation yang dilakukan dengan ekstraksi N NH4Oac pH 7.
322
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
COP
Indeks Pirofosfat
Fibrik
Hemik Saprik
Kadar Serat (% volume) Gambar 1. Kriteria Tes laboratorium untuk indeks pirofosfat dan persentase kadar serat (McKinzie, 1974). Tabel 1. Kondisi Lokasi Pengambilan Contoh Tanah dan Sebaran Kedalaman Gambut *) Lokasi Sungai Rambut
Sungai Aur
Jenis Penggunaan Lahan Hutan alami (belum pernah dibuka)
Hutan terbakar pada tahun 1997 (bekas HTI PT. DHL)
Sungai Mendahara Ulu Lahan pertanian masyarakat, pembukaan dilakukan dengan pembakaran dan dilakukan pengolahan serta pemupukan
Titik Pengamatan
Ketebalan Muka air gambut tanah Lapisan (cm) (cm)
SR 1
139
47
SR 2
183
45
SR 3
193
50
SA 1
92
39
SA 2
527
75
SA 3
825
90
SM 1
76
42
SM 2
132
32
SM 3
170
53
Kedalaman (cm)
Atas
0-47
Bawah
47-139
Atas
0-45
Bawah
45-183
Atas
0-50
Bawah
50-193
Atas
0-39
Bawah
39-92
Atas
0-75
Bawah
75-527
Atas
0-90
Bawah
90-825
Atas
0-42
Bawah
42-76
Atas
0-32
Bawah
32-132
Atas
0-53
Bawah
53-170
*) Pola penampang lahan gambut secara lengkap dapat dilihat pada Gambar Lampiran 2.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kematangan Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa tingkat kematangan gambut di Desa Sungai Rambut dan Desa Sungai Mendahara Ulu memiliki tingkat kematangan hemik, sedangkan di Desa Sungai Aur memiliki tingkat kematangan fibrik dan hemik. Data penetapan tingkat kematangan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.
323
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Tabel 2. Tingkat Kematangan Tanah Gambut Hasil Penetapan Metode Cepat di Lapangan, Metode McKinzie dan Metode Suntikan Lokasi
Titik Pengamatan
S. Rambut
SR 1 SR 2 SR 3
S. Aur
SA 1 SA 2 SA 3
S. M. Ulu
SM 1 SM 2 SM 3
Lapisan Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah
Metode penetapan cepat dilapangan Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Fibrik Hemik Fibrik Hemik Fibrik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik
Metode McKinzie
Metode Suntikan
Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Fibrik Hemik Fibrik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik
Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Fibrik Hemik Fibrik Hemik Fibrik Fibrik Fibrik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa penetapan tingkat kematangan dengan ketiga metode yang digunakan sebagian besar memiliki hasil yang sama. Namun, terdapat beberapa perbedaan hasil penetapan tingkat kematangan antara metode warna, metode suntikan dan metode cepat di lapangan. Hal ini dapat dilihat pada titik pengamatan SA1 lapisan atas, SA3 lapisan bawah dan SM1 lapisan atas. Perbedaan ini disebabkan karena bahan serat pada gambut tersebar secara acak sehingga mengakibatkan penetapan tingkat kematangan mendapatkan hasil yang berbeda. Selain itu, perbedaan juga dapat disebabkan karena kesalahan yang terjadi pada saat dilakukan penetapan volume contoh tanah gambut dalam suntikan karena gaya penekanan yang dilakukan berbeda-beda, dan kesalahan ini dapat terjadi juga pada metode McKinzie ketika dilakukan penetapan volume contoh tanah gambut yang dilakukan dengan gelas ukur, sehingga dapat mengakibatkan kesalahan penetapan volume contoh tanah gambut yang mempengaruhi perbandingan jumlah serat yang diamati. Secara umum, lapisan gambut di atas muka air tanah memiliki tingkat dekomposisi yang lebih lanjut daripada lapisan gambut di bawah muka air tanah. Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil penetapan tingkat kematangan dengan ketiga metode yang digunakan belum dapat menjelaskan adanya perbedaan tingkat dekomposisi pada lapisan di atas dan di bawah muka air tanah. Hal ini dapat terlihat dari tidak adanya perbedaan tingkat kematangan antara lapisan di atas dan di bawah muka air tanah. Meskipun tingkat kematangan gambut di atas dan di bawah muka air tanah relatif sama, tetapi sebetulnya mempunyai perbedaan yang cukup jelas apabila dilihat dari nisbah C/N. Dari hasil analisis yang dilakukan, dapat dilihat bahwa lapisan di atas muka air tanah memiliki nisbah C/N yang lebih rendah daripada lapisan gambut di bawah muka air tanah. Data pengamatan nisbah C/N secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 3.
324
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Tabel 3. Data pengamatan C, N dan C/N ratio Lokasi Sungai Rambut
Titik pengamatan SR1 SR2 SR3
Sungai Aur
SA1 SA2 SA3
Sungai Mendahara Ulu
SM1 SM2 SM3
Lapisan Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah
CHNS analyzer C (%) 51.3000 51.3150 50.8150 51.6750 50.9300 51.5300 45.3700 45.7000 48.4450 50.0650 49.8550 53.2550 45.8800 47.6950 46.6400 47.4600 45.1900 48.7050
N (%) 1.5626 1.2425 1.3530 1.2310 1.3940 1.5585 1.4475 1.3190 1.7975 1.0700 1.7385 1.3805 1.3155 1.1400 1.5275 1.0990 1.6545 1.2500
C/N ratio 32.8299 41.2998 37.5573 41.9781 36.5352 33.0638 31.3437 34.6475 26.9513 46.7897 28.6770 38.5766 34.8765 41.8377 30.5336 43.1847 27.3134 38.9640
Menurut Noor (2001), nisbah C/N yang tinggi (C/N >20) mengindikasikan tingkat dekomposisi yang belum lanjut, semakin tinggi nisbah C/N maka semakin rendah tingkat dekomposisi yang terjadi. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa lapisan gambut di atas muka air tanah memiliki tingkat dekomposisi yang lebih besar daripada lapisan gambut di bawah muka air tanah. Pada tanah gambut di Desa Sungai Aur ditemukan fenomena menarik, dimana hasil penetapan tingkat kematangan dengan menggunakan ketiga metode yang digunakan, lapisan gambut diatas muka air tanah pada lokasi ini memiliki tingkat kematangan fibrik sedangkan lapisan dibawah muka air tanah memiliki tingkat kematangan hemik. Hal tersebut disebabkan karena akibat kebakaran pada lokasi ini yang menyebabkan terjadinya pemanasan pada tanah gambut. Pemanasan tersebut menyebabkan tanah gambut kehilangan kelembaban dan timbul sifat penolakan terhadap air serta sifat kering tidak dapat balik. Akibatnya tanah gambut membentuk apa yang disebut dengan pasir palsu (Pseudo sands). Pasir palsu ini memiliki kemampuan memegang air yang sangat rendah. Hal ini yang menyebabkan contoh tanah gambut tersebut tidak terlarut dengan air ketika dilakukan penyaringan dengan menggunakan air yang mengalir pada penetapan tingkat kematangan, akibatnya tanah tersebut terlihat seperti memiliki kadar serat yang tinggi. Hal ini yang menyebabkan tanah gambut di Desa Sungai Aur memiliki tingkat kematangan fibrik pada lapisan di atas muka air tanah. Selain itu, kebakaran tanah gambut juga dapat menyebabkan hancurnya bahan organik sehingga tersedia hara yang cukup besar, namun dapat terjadi juga kehilangan hara akibat volatilisasi (Djajakirana, 2002). Berdasarkan hasil analisis nisbah C/N pada tanah gambut di Desa Sungai Aur, didapatkan nilai yang lebih rendah pada lapisan gambut di atas muka air tanah. Hal ini menjelaskan bahwa pada lapisan di atas muka air tanah tidak terjadi penimbunan bahan baru. Penurunan kandungan C-organik pada lapisan diatas muka air tanah terjadi karena kebakaran yang mengakibatkan teroksidasinya sebagian C-organik. Hal ini mengakibatkan turunnya kandungan C-organik yang diikuti pula dengan penurunan nisbah C/N pada lapisan ini. Kelemahan dari ketiga metode penetapan tingkat kematangan disebabkan karena pengklasifikasian tingkat kematangan didasarkan pada perbandingan jumlah serat atau bahan yang lebih kasar. Hal ini dinilai kurang relevan karena perbandingan jumlah serat dapat berubah akibat proses tertentu, salah satu contohnya adalah peristiwa kebakaran. Kelemahan ini yang menyebabkan ketiga metode diatas kurang dapat menjelaskan perbedaan tingkat dekomposisi yang terjadi.
325
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Karakteristik Kimia Gambut Tanah gambut pada lokasi pengambilan contoh, termasuk kedalam gambut pedalaman dimana pembentukan dan perkembangannya didominasi oleh pengaruh air tawar dan juga merupakan areal yang tergenang oleh air hujan dan luapan air sungai. Dari hasil analisis karakteristik kimia dapat diketahui bahwa tanah gambut pada lokasi penelitian memiliki reaksi tanah yang masam, KTK yang tinggi dan rendahnya kejenuhan basa. Hasil analisis karakteristik kimia tanah gambut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai pH, Kandungan Basa-basa dapat dipertukarkan, Total Basa-basa, KTK dan KB Titik pH Lapisan pengamatan H2O SR1
Basa-basa yang dapat dipertukarkan (me/100 gr) Ca
Mg
K
Na
Jumlah KTK KB basa-basa (me/100 gr) (%)
Atas
3.43
4.22
3.10
2.21
2.09
11.62
Bawah
3.78
3.08
1.73
0.98
2.09
7.88
101.20
7.79
Atas
3.70
2.46
3.03
0.72
2.00
8.21
113.60
7.23
Bawah
3.50
2.14
2.57
0.62
2.44
7.77
107.60
7.22
Atas
3.54
2.94
2.87
1.39
2.79
9.99
130.60
7.65
Bawah
3.56
3.65
2.59
1.03
2.18
9.45
108.60
8.70
SA1
Atas
3.59
4.03
2.00
0.46
2.09
8.58
110.20
7.79
Bawah
3.37
3.27
1.71
0.56
2.18
7.72
94.00
8.21
SA2
Atas
3.54
2.89
1.73
0.46
1.83
6.91
102.60
6.73
Bawah
3.29
1.16
1.40
0.57
1.92
5.05
89.00
5.67
SA3
Atas
3.84
4.00
2.39
0.87
1.83
9.09
118.80
7.65
Bawah
3.68
4.17
2.09
0.56
1.83
8.65
87.80
9.85
Atas
3.68
7.15
4.70
0.72
1.83
14.40
155.40
9.27
Bawah
3.61
5.10
3.81
0.57
2.09
11.57
100.40 11.52
Atas
3.85
4.81
3.78
0.67
2.70
11.96
110.00 10.87
Bawah
3.65
4.61
3.51
1.08
1.92
11.12
100.00 11.12
Atas
3.67
6.86
4.54
1.23
2.27
14.90
105.40 14.14
Bawah
3.78
5.33
5.08
0.77
2.44
13.62
121.60 11.20
SR2 SR3
SM1 SM2 SM3
110.00 10.56
Hasil pengamatan terhadap karakteristik kimia tanah gambut menunjukkan bahwa penurunan muka air tanah yang terjadi menyebabkan terjadinya peningkatan karakteristik kimia pada lapisan diatas muka air, antara lain peningkatan kadar N, jumlah total basa-basa dapat dipertukarkan dan kapasitas tukar kation, sedangkan kadar C-organik cenderung menurun akibat terjadinya proses oksidasi bahan organik yang lebih besar pada lapisan di atas muka air tanah. Kemasaman tanah gambut sangat dipengaruhi oleh keberadaan asam-asam organik. Ion H+ dalam tanah gambut berada dalam bentuk gugus fungsional asam-asam organik terutama dalam bentuk gugus karboksilat (-COOH) dan gugus hidroksil dari fenolat (-OH). Gugus tersebut merupakan asam lemah yang dapat terdissosiasi menghasilkan ion H+, dan mampu mempertahankan reaksi tanah terhadap perubahan kemasaman tanah (Riwandi, 2001). Nilai pH pada lapisan gambut di atas dan di bawah muka air tanah tidak begitu berbeda dan tidak menunjukkan adanya pola penurunan atau peningkatan pH pada lapisan tersebut. Hal ini terjadi karena kemampuan gambut yang dapat mempertahankan reaksi tanah terhadap perubahan kemasaman tanah. Penambahan basa-basa hasil dekomposisi bahan organik dan pemupukan akan menyebabkan terjadinya peningkatan pH, hal ini akan menyebabkan terdissosiasinya gugus karboksilat dan fenolat yang akan menghasilkan ion H+ dan akan mengakibatkan nilai pH mendekati pH awal. Hal ini yang mengakibatkan pada lapisan di atas dan di bawah muka air tanah tidak memiliki perbedaan yang terlalu besar.
326
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Lapisan gambut di atas muka air tanah cenderung memiliki kandungan C-organik yang lebih rendah daripada lapisan gambut yang berada di bawah muka air tanah. Hal ini disebabkan karena terjadi oksidasi bahan organik yang lebih besar pada lapisan diatas muka air tanah. Keadaan yang oksidatif mengindikasikan ketersediaan O2 yang lebih besar yang dapat mengakibatkan terjadinya tingkat dekomposisi yang lebih lanjut sehingga laju mineralisasi C-organik lebih cepat, dimana bahan gambut menghasilkan CO2. Kandungan N-total pada contoh tanah gambut di lokasi pengambilan contoh berada pada kisaran sedang. Rata-rata kandungan N-total cenderung lebih tinggi pada lapisan di atas muka air tanah dimana terjadi tingkat dekomposisi yang lebih besar dan aktivitas perakaran serta mikroorganisme yang cukup intensif pada lapisan ini. Kadarnya cenderung lebih rendah pada lapisan di bawah muka air tanah. Menurut Andriesse (1988), dengan meningkatnya umur dan pembukaan gambut, kandungan N akan meningkat dan berkorelasi dengan tingkat dekomposisi. Tingginya muka air berpengaruh terhadap jumlah N yang dilepaskan, karena mempengaruhi zone perakaran, aerasi dan temperatur. Semakin tinggi muka air, jumlah N yang tersedia bagi tanaman semakin rendah. Nilai KTK tanah gambut pada lapisan di atas muka air tanah cenderung lebih tinggi daripada lapisan gambut di bawah muka air tanah. Hal ini terjadi karena lapisan di atas muka air tanah memiliki tingkat dekomposisi yang lebih lanjut. Terdekomposisinya bahan organik akan menyebabkan semakin banyaknya tapak-tapak jerapan yang terbentuk dan mengakibatkan peningkatan KTK (Gandini, 1998). Kejenuhan basa pada ketiga lokasi pengambilan contoh tanah memiliki nilai yang tergolong rendah. Tidak terdapat pola peningkatan atau penurunan kejenuhan basa pada lapisan gambut di atas dan di bawah muka air tanah. Namun, jumlah total basa-basa pada lapisan di atas muka air tanah cenderung lebih besar daripada lapisan di bawah muka air tanah, walaupun pada beberapa titik pengamatan antara lapisan di atas dan di bawah muka air tanah kandungan basa-basa tersebut juga dapat bervariasi. Tingkat perombakan yang cenderung lebih besar pada lapisan di atas muka air tanah menyebabkan terjadi pengembalian unsur yang lebih cepat pada lapisan ini sehingga jumlah basabasa pada lapisan ini cenderung lebih besar. Variasi kandungan basa-basa antara lapisan di atas dan di bawah muka air tanah yang terjadi pada beberapa titik pengamatan disebabkan karena sejumlah unsur dapat tercuci bersama air yang mengalir keluar (Mulyanto dan Nurhayati, 2002). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Penurunan muka air tanah menyebabkan lapisan gambut di atas muka air tanah mengalami proses dekomposisi yang lebih lanjut daripada lapisan gambut di bawah muka air tanah. 2. Penurunan muka air tanah mengakibatkan proses dekomposisi berlangsung lebih cepat pada lapisan di atas muka air tanah, sehingga mempengaruhi karakteristik kimia. Perubahan karakteristik kimia yang terjadi, antara lain peningkatan kadar N-total, jumlah total basa-basa dan kapasitas tukar kation pada lapisan di atas muka air tanah, sedangkan kadar C-organik cenderung lebih rendah akibat mineralisasi yang berlangsung lebih cepat pada lapisan di atas muka air tanah. Saran Diperlukan adanya pendekatan baru penetapan tingkat kematangan yang dapat menjelaskan perbedaan tingkat dekomposisi dan perubahan perbandingan jumlah serat yang terjadi. Ucapan terima kasih diberikan kepada Wetlands International-Indonesian Programme (WI-IP) dan Canadian International Development Agency (CIDA) atas bantuan dan kerjasama yang telah diberikan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.
327
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia DAFTAR PUSTAKA Andriesse, J. P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. FAO Soils Bull. 59. Rome. Djajakirana, G. 2002. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Kualitas Tanah Mineral dan Gambut. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Gandini, T. 1998. Perubahan Sifat dan Klasifikasi Tanah Gambut Setelah 23 Tahun Penggunaan Lahan Untuk Pertanian Di Delta Berbak, Jambi. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Lynn, W. C., W. E. McKinzie and R. B. Grossman. 1974. Field Laboratory Test for Characterization of Histosol. Soil Science Society of America Journal. 6: 11-20. Mulyanto, B. and Nurhayati. 2002. Perubahan Karakteristik Lahan Gambut Setelah Lebih 15 Tahun Pembukaan Lahan di Kalimantan Tengah. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. VIII: 76-81. Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut Potensi dan Kendala. Kanisius. Yogyakarta. 174 hlmn. Riwandi. 2001. Kajian Stabilitas Gambut Tropika Indonesia Berdasarkan Analisis Kehilangan Karbon Organik, Sifat Fisiko Kimia dan Komposisi Bahan Gambut. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Widjaja Adhi, I. P. G. 1988. Physical and Chemical Characteristics of Peat Soils of Indonesia. Paper Presented at Third Meeting of The Cooperative Research on Problem Soils. On August 22-26. 1988, at CRIFC. Bogor.
328
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Lampiran 1. Peta Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Gambut
329
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Lampiran 2. Pola Penampang Lahan Gambut di Desa Sungai Rambut (Kawasan Taman Nasional Berbak)
Lampiran 3. Pola Penampang Lahan Gambut di Desa Sungai Aur (Lahan Bekas HTI PT. DHL)
330
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Lampiran 4. Pola Penampang Lahan Gambut di Desa Sungai Mendahara Ulu (Kawasan pertanian masyarakat, Parit Sinar Wajok) Lampiran 5. Data Tingkat Kematangan Gambut Dengan Metode McKinzie Lokasi
Warna
Kadar Serat
Tingkat Kematangan
Lokasi
Warna
Kadar Serat
Tingkat Kematangan
SR1A1
10 YR 3/4
4/10
Hemik
SA2B1
10 YR 3/4
3/10
Hemik
SR1A2
10 YR 3/2
4/10
Hemik
SA2B2
10 YR 3/4
6/10
Hemik
SR1B1
10 YR 3/4
4/10
Hemik
SA3A1
10 YR 4/4
9/10
Fibrik
SR1B2
10 YR 3/4
4/10
Hemik
SA3A2
10 YR 5/6
9/10
Fibrik
SR2A1
10 YR 3/4
4/10
Hemik
SA3B1
10 YR 5/8
6/10
Hemik
SR2A2
10 YR 3/4
5/10
Hemik
SA3B2
10 YR 5/8
7/10
Hemik
SR2B1
10 YR 4/6
5/10
Hemik
SM1A1
10 YR 3/2
4/10
Hemik
SR2B2
10 YR 4/6
6/10
Hemik
SM1A2
10 YR 3/4
4/10
Hemik
SR3A1
10 YR 4/4
5/10
Hemik
SM1B1
10 YR 4/4
5/10
Hemik
SR3A2
10 YR 3/2
4/10
Hemik
SM1B2
10 YR 3/4
5/10
Hemik
SR3B1
10 YR 5/4
4/10
Hemik
SM2A1
10 YR 3/2
5/10
Hemik
SR3B2
10 YR 3/2
6/10
Hemik
SM2A2
10 YR 4/4
4/10
Hemik
SA1A1
10 YR 4/6
3/10
Hemik
SM2B1
10 YR 3/4
5/10
Hemik
SA1A2
10 YR 3/2
6/10
Hemik
SM2B2
10 YR 5/6
3/10
Hemik
SA1B1
10 YR 3/3
3/10
Hemik
SM3A1
10 YR 3/4
4/10
Hemik
SA1B2
10 YR 3/4
3/10
Hemik
SM3A2
10 YR 4/4
4/10
Hemik
SA2A1
10 YR 5/6
9/10
Fibrik
SM3B1
10 YR 4/6
6/10
Hemik
SA2A2
10 YR 4/6
9/10
Fibrik
SM3B2
10 YR 4/6
3/10
Hemik
331
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Lampiran 6. Data Tingkat Kematangan Gambut Dengan Metode Suntikan Lokasi
V1
V2
%
SR1A1
15
5
33.33
Tingkat Kematangan Hemik
SR1A2
13
5
38.46
Hemik
SR1B1
13
9
69.23
SR1B2
10
5
50.00
SR2A1
16
9
56.25
SR2A2
13
5
38.46
SR2B1
13
7
53.85
SR2B2
20
10
50.00
Hemik
SM1A2
13
10
76.92
Fibrik
SR3A1
18
7
38.89
Hemik
SM1B1
17
10
58.82
Hemik
SR3A2
18
9
50.00
Hemik
SM1B2
17
8
47.06
Hemik
SR3B1
15
8
53.33
Hemik
SM2A1
17
7
41.18
Hemik
Lokasi
V1
V2
%
SA2B1
15
8
53.33
Tingkat Kematangan Hemik
SA2B2
15
7
46.67
Hemik
Fibrik
SA3A1
12
10
83.33
Fibrik
Hemik
SA3A2
13
9
69.23
Fibrik
Hemik
SA3B1
14
10
71.43
Fibrik
Hemik
SA3B2
13
9
69.23
Fibrik
Hemik
SM1A1
12
9
75.00
Fibrik
SR3B2
17
10
58.82
Hemik
SM2A2
13
7
53.85
Hemik
SA1A1
14
11
78.57
Fibrik
SM2B1
15
8
53.33
Hemik
SA1A2
10
7
70.00
Fibrik
SM2B2
15
9
60.00
Hemik
SA1B1
14
8
57.14
Hemik
SM3A1
17
9
52.94
Hemik
SA1B2
17
10
58.82
Hemik
SM3A2
14
10
71.43
Fibrik
SA2A1
10
7
70.00
Fibrik
SM3B1
13
7
53.85
Hemik
SA2A2
12
9
75.00
Fibrik
SM3B2
16
8
50.00
Hemik
332
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia BEBERAPA CATATAN TENTANG PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI KALIMANTAN TENGAH: PELUANG PENGEMBANGAN TEKNOLOGI SECARA PARTISIPATIF Some Notes On Peat Land Management At Central Kalimantan: The Possibilities Of Participatory Technology Development On Peat Land Sustainable Agriculture
CARE International Indonesia
Ringkasan Masyarakat Kalimantan Tengah tumbuh berkembang di sekitar aliran sungai dari hilir sampai hulu. Seperti umumnya kehidupan manusia di seluruh penjuru dunia, masryarakat Kalimantan Tengah memanfaatkan sungai untuk berbagai keperluan dari mulai konsumsi air hingga sarana transportasi. Masyarakat yang tinggal di wilayah hilir aliran sungai terutama sungai Katingan, Kahayan dan Kapuas adalah masyarakat yang tumbuh berkembang bersama lahan gambut. Sejalan dengan sejarah mereka hidup serasi dengan alam. Mampu memenuhi kebutuhannya secara berkelanjutan. Mereka bukan tipe masyarakat yang tergantung pada bantuan luar. Mereka kelola lahan gambut secara berkesinambungan karena mereka tahu petak danum (Tanah air) mereka itulah untuk hari ini dan masa depan generasinya. Hingga akhirnya berdatangan intervensi pihak luar yang mengatasnamakan kesejahteraan, mereka lakukan berbagai “proyek” lahan gambut yang diduga kurang memperhatikan kearifan local. Sebagai akibatnya masyarakat local tercerabut dari budayanya, tercerabut dari mata pencahariannya karena ilmu dan pengalaman mereka (Kearifan local) tidak sesuai lagi dengan keadaan lahan gambut yang telah “ditata”. Kearifan local (Indigenous Knowledge/IK) perlu digali dalam mengelola lahan gambut Kalimantan Tengah. Kearifan local menyangkut pemahaman, penghargaan dan pemanfaatan sumberdaya genetic oleh masyarakat, pengelolaan sumberdaya lahan, penataan air, pengelolaan tanaman, pengelolaan perikanan, hewan ternak, dan sebagainya. Disamping itu juga kearifan local dibidang pranata social budaya perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan lahan gambut di Kalimantan Tengah. Seluruh kearifan local ini dijadikan sumber teknologi utama dalam pengelolaan lahan gambut secara bijaksana dan berkelanjutan melalui pengembangan teknologi secara partisipatif. Pengembangan teknologi secara partisipatif memadukan IK dengan pilihan teknologi dari luar melalui prose pengambilan keputusan oleh masyarakat. Masyarakat diajak menelaah permasalahan utama yang mereka hadapi melalui dialog setara. Selanjutnya dilakukan inventarisasi IK yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi. Tidak tertutup kemungkinan diupayakan teknologi dari sumber lainnya sebagai pilihan untuk pemecahan masalah. Pemecahan masalah dengan teknologi terpilih dilakukan melalui prose uji coba. Uji coba dilakukan secara berkelompok didasarkan pada kesamaan masalah, agroekosisitem atau social budaya. Hasil uji coba akan menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat. Pengembangan teknologi terpilih untuk skala usahatani keluarga dilakukan oleh masyarakat sendiri tentu dengan dukungan dari pemerintah atau lembaga lain. Jadi pihak luar hanya akan mengembangkan teknologi yang telah diuji oleh masyarakat. Dalam hal ini masyarakat
333
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia memiliki kemampuan untuk membuat keputusan dan dapat menyampaikan suaranya kepada pihak terkait sehingga pembangunan pertanian di wilayahnya sesuai dengan daya dukung agroekosistem dan selaras dengan social budaya. Pengembangan teknologi secara partisipatif merupakan siklus yang tiada henti sejalan dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat
LATAR BELAKANG Kalimantan sebagai pulau terbesar ke dua di Indonesia mempunyai lahan rawa pasang surut dan rawa lebak seluas 11,77 juta ha. Tanahnya terdiri dari tanah gambut seluas 6,07 juta ha dan tanah mineral seluas 5,64 juta ha. Tanah gambut umumnya dan khususnya di Kalimantan Tengah terkait erat dengan sifat rawa pasang surut. Kaitan antara tipologi lahan gambut dan tipe pasang surut serta saran pengelolaannya digambarkan Widjaya Adhhi (1995) sebagai berikut : Tabel 1. Tipologi lahan gambut dan tipe luapan serta saran penataan Tipologi lahan Gambut Gambut dangkal (50-100 cm) Gambut Sedang (100 – 200 cm) Gambut dalam (200 – 300 cm) Gambut sangat dalam (> 300 cm)
Tipe luapan A Sawah
B Sawah/surjan
Konservasi
Konservasi/ perkebunan Konservasi/ perkebunan Konservasi
Konservasi Konservasi
C Tegalan berdrainase dangkal Tanaman tahunan/ pekebunan Tanaman tahunan/ pekebunan Konservasi
D Tegalan berdrainase dangkal Tanaman tahunan/ pekebunan Tanaman tahunan/ pekebunan Konservasi
Keterangan tipe luapan : A, lahan yang selalu terluapi air pasang, baik pasang besar maupun pasang kecil, B, lahan yang hanya terluapi oleh pasang besar, C, lahan yang tidak pernah terluapi walau pasang besar, air tanah < 50 cm D, lahan yang tidak terluapi, air tanah lebih dalam dari 50 cm
Ekosistem lahan gambut merupakan ekosistem yang sangat penting dan sekaligus juga sangat rentan terhadap penanganan yang tidak tepat. Lahan gambut sangat dikenal sebagai gudang karbon. Lahan gambut terbentuk dari bahan organik berupa bahan jenuh air dengan kandungan karbon organik sebanyak 12-18% atau bahan tidak pernah jenuh air dengan kandungan karbon organik sebanyak 20% atau lebih. Ditinjau dari biofisik lahan gambut memiliki kendala: • • • • • •
Penurunan permukaan gambut (subsidence) jika di drainase; Kering tak balik jika kekeringan (irreversible); Mudah terbakar; pH rendah; Kahat hara makro: P dan K; Kahat hara mikro: Zn, Cu dan B.
Pada lahan seperti ini sebagian masyarakat Dayak dan Banjar telah menyatu hidupnya secara turun temurun dan berkesinambungan. Mereka memanfaatkan hasil hutan gambut non kayu seperti getah dan rotan sebagai sumber mata pencaharian utama. Mereka mengembangkan berbagai tanaman
334
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia lokal yang beradaptasi baik dengan keadaan agroekosistemnya. Budidaya berbagai komoditas mereka lakukan pada lahan bergambut atau gambut dangkal dengan membuat saluran penata air sederhana yang disebut handil. Mereka membuat kolam yang bisa terluapi selama musim hujan dan dengan sendirinya ikan dari sungai masuk. Pada musim kemarau ikan tinggal memanen dengan hasil tonan setiap kolam yang mereka sebut beje. Dan banyak lagi kearifan local yang mereka kembangkan dan kini hampir tidak ada lagi sejalan dengan upaya pemanfaatan lahan gambut terutama panen kayunya dan disertai drainase raksasa yang kurang mengarah pada penataan air. Kini lahan gambut Kalimantan Tengah sebagian besar hanya ditutupi semak belukar bahkan sebagian terbuka vulgar tanpa vegetasi yang berarti dengan drainase yang intensif. Bagi pemerhati yang peduli akan lahan gambut gambaran ini dapat memberi petunjuk betapa rawannya lahan gambut Kalimantan Tengah ditinjau dari segi kebakaran maupun daya dukungnya untuk kehidupan masyarakat serta masa depan lahan gambut itu sendiri. Menurut pemantauan CIFOR titik api pada tanggal 28 Oktober – 3 November 2002 sebanyak 276 titik (83.14%) berada wilayah lahan basah yaitu pada hutan bakau sekunder (4.22%), hutan rawa sekunder (31.33%), hutan belukar lahan basah (38.55%) dan rawa (9.04%). Tabel dan citra terlampir. Keadaan ini memperparah mata pencaharian keluarga di lahan gambut. Tercatat beberapa kasus kesulitan masyarakat dalam mengelola lahan gambut saat ini. Di desa Sanggang, Pantik dan Gadabung mengalami kegagalan panen selama tiga tahun terakhir setelah saluran sekunder di keruk/di dalamkan. Hal serupa terjadi di berbagai desa dan yang paling serius adalah di desa persiapan seperti blok G1 Dadahup. Nampaknya pembangunan dan perawatan tata air makro tersebut tidak memperhatikan tipologi dan ketinggian lahan, sehingga dinamika air pasang dan surut yang menjadi ciri khas tipe lahan ini tidak dapat dimanfaatkan oleh petani. Pada lokasi seperti ini, para petani melakukan pengolahan lahan dalam bentuk sawah tadah hujan yang sampai saat ini mereka belum merasakan keberhasilan panen. Perlu kesamaan pemahaman yang jelas tentang proses ekologis dan fungsi sumber daya alam lahan gambut serta pemahaman tentang pengaruh pengembangannya dengan perhatian khusus pada nilainilai sosial dan ekonomi. Sehingga perlu dikembangkan teknik pengelolaan lahan gambut secara partisipatif dengan menumbuhkan sinergi antara kearifan lokal dengan teknologi adopsi yang sesuai dengan keadaan agroekososio-kultural masyarakat. Hal ini harus menjadi dasar strategi pengembangan lahan gambut Kalimantan Tengah secara berkesinambungan (Lestari). Pertanian berkelanjutan melalui upaya Pengembangan Teknologi Partisipatif pada lahan gambut Kalimantan Tengah diantaranya sedang dirintis CARE International Indonesia dengan mengedepankan konsep Less External Inputs Sustainable Agriculture (LEISA).
PERTANIAN BERKELANJUTAN Pertanian berkelanjutan di lahan gambut yang sedang mulai dilaksanakan Care di Kalimantan Tengah berorientasi pada prinsip berikut:
335
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia 1.
Mantap Secara Ekologis. Pada saat mengelola sumber daya alam (SDA) kualitas lingkungan dipelihara bahkan diupayakan untuk ditingkatkan. Sehingga daya dukung sumberdaya alam dapat dipertahankan.
2.
Menguntungkan Secara Ekonomi. Disamping sumberdaya lahan dipertahankan, hasil usahatani harus menguntungkan secara ekonomi. Sekurang-kurangnya hasil cukup dan stabil minimal untuk kebutuhan sendiri dengan tingkat resiko sesuai kemampuan petani
3.
Berkeadilan Sosial. Petani memiliki kesamaan peluang mengelola SDA, modal, informasi dan pasar, tanpa membedakan status sosial, gender, agama maupun kesukuan.
4.
Manusiawi. Semua kehidupan (Tanaman, hewan, manusia dan mahluk hidup lainnya) , dihargai keberadaannya dan dijaga kelestariannya.
5.
Luwes. Masyarakat mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terus terjadi seperti kebijakan pemerintah, laju pertumbuhan penduduk dan, permintaan pasar.
Prinsip pertanian berkelanjutan tersebut didekati dengan konsep penggunaan bahan lokal secara maksimal dan menekan penggunaan bahan dari luar, low external inputs sustainable agriculture (LEISA).
LOW EXTERNAL INPUT SUSTAINABLE AGRICULTURE (LEISA) Konsep LEISA berupaya memadukan pengelolaan kesuburan tanah, melalui integrasi ternak – tanaman. Efisiensi unsur hara, air dan energi dilakukan secara maksimal. Daur ulang selalu diupayakan, kehilangan hara dan pencemaran selalu dihindarkan. Kebutuhan input pertanian diupayakan dengan memanfaatkan bahan lokal, bahan luar hanya digunakan untuk mengatasi kekurangan bahan lokal. Praktek bertani lokal yang telah berhasil dikembangkan. Sedangkan orientasinya berwawasan produksi yang stabil dan berkesinambungan
Dasar-dasar LEISA Meniru Alam Tanah selalu tertutupi tanaman dimana dedaunan yang jatuh atau serasah membusuk menutupi permukaan tanah. Pelepasan unsur hara oleh mikroba tanah sejalan dengan kebutuhan tanaman . Sebagian besar hara disimpan dalam bentuk tumbuhan dan ternak. Dari segi perakaran diupayakan menanam tanaman yang menyebar merata di tanah pada berbagai kedalaman. Konsep agroforestry dan penggunaan mulsa merupakan sebagian contoh konsep meniru alam Penganekaragaman Tanaman dan Ternak: Konsep LEISA berupaya memanfaatkan sinergi berbagai komoditi seperti pemilihan tumpang sari yang saling mendukung dalam memanfaatkan ruang, hara, air dan enerji surya. Integrasi ternak – tanaman selalu diusahakan sepanjang hal itu memungkinkan. Tanaman atau limbah tanaman
336
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia dijadikan pakan ternak dan limbah ternak dalam bentuk urine, sisa pakan dan kotoran ternak dijadikan bahan untuk pupuk organik sebagai upaya untuk mengembalikan kesuburan tanah baik secara fisik maupun kimiawi. Budidaya campuran berbagai varietas atau jenis diupayakan selain untuk tujuan tersebut di atas juga untuk mengurangi resiko kegagalan. Budidaya padi dengan ikan secara terintegrasi (Mina padi) merupakan praktek yang mendukung keberlanjutan. Penganekaragaman sumber hara terutama yang berasal dari bahan organik yang tersedia secara lokal menjadi salah satu ciri upaya mempertahankan keberlanjutan. Mempertahankan Kehidupan Tanah Perlu diyakini bahwa nyaris tidak ada kesuburan fisik tanah tanpa kehadiran mikro organisme tanah. Sehubungan dengan hal ini maka selalu diupayakan untuk menciptakan kondisi tanah agar menunjang kehidupan mikroorganisme tanah. Dalam praktek, hal ini sangat sederhana seperti pemanfaatan mulsa, tanaman penutup tanah (Covercrops), menahan erosi pada lahan miring misalnya dengan penanaman searah kontur, penanaman tanaman penahan erosi seperti rumput sabuk gunung. Disamping itu pemberian bahan organik kedalam tanah merupakan praktek nyata memasukan mikro organisme sekaligus menjamin perkembangannya. Penggunaan pestisida hayati dan pestisida nabati disamping mengurangi bahaya keracunan kepada manusia juga lebih menjamin kehidupan mikro organisme tanah dibandingkan penggunan pestisida kimiawi. Pola Daur Ulang Pada ekosistem alam hampir tak ada hara yang hilang. Kehilangan hara diminimalkan dengan penutupan vegetasi, pemanfaatan tanaman berakar dalam, pengendalian erosi, perbaikan cara pengumpulan, penyimpanan dan penggunaan limbah tanaman, ternak dan rumah tangga. Contoh pola daur ulang: • • •
Penggunaan limbah tanaman untuk pakan ternak Pengomposan kotoran ternak Penanaman tanaman berakar dalam
Dalam kenyataan, prinsip LEISA ini sangat dekat dengan praktek yang biasa dilakukan petani. Bahkan sebagian besar teknologi sudah dikembangkan oleh petani. Oleh karena itu pengembangan konsep LEISA dilakukan melalui proses pengembangan teknologi secara partisipatif (PTP) atau participatory technology development (PTD)
337
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PARTISIPATIF/PARTICIPATORY TECHNOLOGY DEVELOPMENT (PTP/PTD) PTD didasarkan pada pemikiran bahwa • •
•
• • •
Inovasi tingkat petani telah banyak terjadi tanpa campur tangan luar Ada kecenderungan spesialisasi dalam pengembangan teknologi pertanian, dalam hal ini institusi penelitian digambarkan sebagai institusi inovasi, institusi penyuluhan bertugas menyampaikan teknologi, sedangakan petani sebagai pengadopsi Oleh karena itu konsep PTD berupaya mengedepankan peran petani dalam inovasi dan perubahan didukung institusi formal (Penelitian – penyuluhan). Petani pembuat keputusan, pihak luar memberikan kontribusi dilakukan melalui dialog setara Masyarakat dalam banyak hal dapat mengidentifikasi dan memodifikasi jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan mereka. Petugas hanya mendukung daya inovasi, menguji dan mengembangkan sistem usahatani berkelanjutan. Masyarakat perlu meningkatkan kendali terhadap SDA dan kontrol terhadap pengambilan keputusan yang berpengaruh terhadap usahatani mereka
Kerangka Dasar PTD PTD pada dasarnya mengedepankan proses pengambilan keputusan oleh masyarakat atas masalah dan potensi yang mereka miliki melalui proses ujicoba tingkat petani, oleh petani dan untuk petani. Kerangka dasar PTD terdiri atas: •
• • • • •
Persiapan mencakup penentuan lokasi, pengumpulan informasi yang tersedia, inventarisasi kelembagaan yang ada di masyarakat dan yang terkait dengan masyarakat, menentukan team PTD, serta membangun kepercayaan dan komitmen antara masyarakat dengan team PTD Analisa keadaan desa secara partisipatif untuk memahami masalah dan peluang Mencari dan menentukan topik uji coba untuk pemecahan masalah Mendorong masyarakat untuk melakukan uji coba tingkat petani Berbagi hasil uji coba sebagai wujud penyuluhan berbasis petani Mempertahankan proses PTD agar menjadi bagian dari proses usahatani mereka.
Persiapan PTD Penetuan lokasi diupayakan oleh masyarakat bukan oleh petugas PTD dengan dasar pertimbangan bahwa teridentifikasi ada kebutuhan pada kelompok masyarakat, ada kepedulian masyarakat akan masalah tersebut dan sudah ada upaya untuk bertindak. Disamping itu perlu dilihat potensi kerjasama dengan masyarakat dan juga potensi SDA serta lingkungan. Untuk ini diperlukan informasi mengenai wilayah kerja. Langkah persiapan selanjutnya adalah pengumpulan informasi dan dokumen yang tersedia.
338
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Data sekunder yang berkaitan dengan wilayah dan masyarakat sangat diperlukan. Data ini bisa dalam bentuk peta, laporan sensus, data iklim, renstra, propeda, hasil penelitian, informasi antropologisosiologi dsb. Disamping itu interview terfokus pada personal terpercaya seperti tokoh masyarakat dapat membantu kelengkapan informasi tentang masyarakat dan wilayah pengembangan. Informasi juga perlu digali dari kelembagaan yang ada di masyarakat. Perlu dilakukan inventarisasi kelembagaan yanga ada di masyarakat besrta programnya untuk melihat kemungkinan perannya dalam PTD. Kelembagaan yang ada diantaranya lembaga pemerintahan, kelompok tani, lembaga adat, koperasi, penyuluhan, lembaga penelitian, NGO dsb. Untuk pelaksanaan proses PTD perlu dibentuk team dengan anggota 1 sampai 4 orang. Pada saat kunjungan pertama mungkin cukup satu orang saja, pada saat pemahaman pedesaan (PRA) sekitar 4 orang sedangkan pada proses pelaksanaan PTD cukup 1 atau 2 orang. Team perlu memiliki pengetahuan teknis, ekonomi, sosial dan budaya. Hal yang paling penting pada tahap persiapan adalah perlunya membangun kepercayaan dan komitmen. Perlu saling memahami dan saling percaya antara team PTD dg masyarakat. Hal ini dapat ditempuh antara lain melalui penjelasan tentang organisasi, bentuk kegiatan, penjelasan tentang harapan bantuan, memperhatikan saran masyarakat, penjelasan rencana tindak lanjut setelah kunjungan pertama ini. Dalam tahap persiapan juga sangat penting memperhatikan kelompok masyarakat yang betul-betul memerlukan bantuan. Setelah membangun komitmen bersama masyarakat, selanjutnya diperlukan kesamaan pemahaman antara team PTD dengan masyarakat tentang kendala dan peluang yang ada melalui pemahaman desa secara partisipatif.
Analisa Keadaan Desa Secara Partisipatif/Participatory Rural Appraisal (PRA) Analisa desa secara partisipatif perlu dilakukan agar team PTD (Terutama) dan masyarakat lebih memiliki kesamaan pemahaman kendala dan peluang yang ada, dapat membangun ide untuk kegiatan kerjasama, memperkuat kemampuan petani menganalisa keadaan, memberikan dasar kemampuan masyarakat dalam kegiatan partisipatif dimasa yang akan datang. Dalam proses PRA, team PTD harus sadar bahwa Masyarakat tidak homogen, sehingga harus peduli dan sadar siapa berbuat apa di masyarakat. Dalam hal ini perlu memperhatikan keragaman masyarakat secara sungguh-sungguh. Upaya ini akan mendorong proses penggalian masalah dan peluang melalui pertukaran fikiran untuk mendata masalah, mencari penyebab masalah (Pohon masalah), menentukan prioritas masalah. Perlu membedakan antara gejala dan masalah misalnya hasil panen terus menurun mungkin gejala dari menurunnya kesuburan lahan. Disamping itu juga perlu dihindari daftar masalah dan perlu dihindari juga bias misalnya memilih lokasi karena mudah dijangkau, bias kelompok elit, bias gender, bias produksi dsb.
339
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Analisa keadaan desa diupayakan dilakukan oleh masyarakat bersama team PTD. Perlu disepakati metoda yang sifatnya mudah, cepat, fokus pada keperluan, peka terhadap isu sosial dan gender, informal, group dan individual. Dalam pelaksanaannya metodanya dilakukan secara interaksi misalnya dengan cara berpartisipasi dalam kehidupan pedesaan, observasi langsung, semi struktur interview, interview terstruktur dan survey dan diagnosa masalah kelompok. Beberapa tehnik yang dapat dipertimbangkan antara lain:
Diagram: ruang (peta, transek), waktu (kalender musim), masalah,dll
Model nyata fisik lapangan seperti DAS
Ranking
Sejarah kejadian penting
Analisa desa secara partisipatif diharapkan dapat mengangkat masalah utama yang dihadapi masyarakat dan menyadari potensi serta peluang yang ada untuk berusaha memecahkan masalah tersebut melalui proses pengujian ditingkat masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Uji Coba Petani Pada dasarnya petani selalu melakukan uji coba dalam proses usahataninya. Oleh karena itu dalam kerangak pemikiran uji coba tingkat petani perlu : •
Menelaah cara uji coba petani yang ada
•
Memberdayakan uji coba petani
•
Merangsang kelompok tani penguji coba
•
Meningkatkan pencatatan dan analisa proses serta hasil uji coba
Perlu Menelaah cara uji coba petani yang ada karena petani secara terus menerus melakukan ujicoba karena berbagai alasan seperti rasa ingin tahu, ingin mencoba memecahkan masalah atau karena berupaya mengadopsi teknologi pada lingkungannya. Uji coba petani selanjutnya dibandingkan dengan penelitian pihak luar dalam hal perencanaan, keputusan, pelaksanaan, dan relevansi hasilnya. Menelaah uji coba petani dapat dilakukan melalui identifikasi penelitian petani. Dalam hal ini perlu diperhatikan petani inovatif yang mengutamakan proses penemuan bukan petani agresif yang juga melakukan uji coba tapi hanya karena kemampuan finansial bukan terlalu didasari pemikiran penemuan. Identifikasi petani inovatif dapat ditempuh melalui observasi, interview berantai, pemilihan bertingkat, dan rekonstruksi inovasi. Perlu diperhatikan bahwa pendekatan petani terhadap uji coba mencakup aspek teknis, ekonomis, sosial dan budaya. Untuk memberdayakan uji coba petani perlu dipelajari alasan petani melakukan uji coba, perencanaannya, hipotesa yang dikembangkan, perlakuan dan kontrolnya, tata letak dan waktu
340
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia pelaksanaan, pengumpulan data dan pengolahannya. Selanjutnya perlu dilakukan penghargaan terhadap penelitian petani, misalnya melalui: •
Kisah nyata penelitian petani
•
Rekonstruksi inovasi
•
Media komunikasi (tradisional-modern)
•
Pendidikan lokal
•
Sosialisasi
Memberdayakan uji coba petani Strategi dasar untuk pemberdayaan uji coba petani adalah pelajari uji coba petani kemudian berikan dukungan antara lain dengan memperkaya pilihan teknologi untuk memecahkan masalah dan mengupayakan perbaikan rancangan uji coba yang sudah biasa mereka lakukan. Uji coba petani di dorong supaya lebih sistimatis mulai penetapan masalah, hipotesa dan tujuan, pengulangan, perancangan, pelaksanaan dan evaluasi. Pengulangan uji coba dapat dilakukan melalui pembentukan kelompok penguji coba. Kelompok tani penguji coba Kelompok tani penguji coba penting dibentuk dalam proses PTD untuk memperdalam analisa situasi dan identifikasi masalah, mengembangkan pemahaman bersama tentang kendala dan peluang, meningkatkan skala dan ulangan, memudahkan hubungan dengan institusi pendukung, dan untuk lebih memperkuat saran terhadap kebijakan pemerintah. Pembentukan kelompok penguji coba dilakukan sendiri oleh masyarakat karena kesamaan kepentingan. Pembentukannya kemungkinan besar secara bertahap sehingga akhirnya terbentuk kelompok tani penguji coba mandiri. Kelompok mandiri yang berhasil dicirikan dengan adanya: • Kesamaan perhatian dan kepentingan • Kordinator dipilih sendiri • Pertemuan berkala di lokasi uji coba • Mengorganisir kegiatan bersama • Pertemuan disiapkan dengan baik • Mencatat hasil pertemuan dan diedarkan • Evaluasi mandiri secara berkala
341
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Kelompok tani penguji coba mandiri dengan dukungan tim PTD diharapkan bukan hanya mampu menelaah masalah dan melaksanakan uji coba tapi juga mampu melakukan pengamatan dan pencatatan data serta analisa data hasil uji coba. Analisa data mencakup data biofisik dan nilai ekonomi serta pengaruhnya terhadap sistem usahatani yang mereka kembangkan saat ini. Analisa data dilakukan secara sederhana sehingga dapat dipelajari petani baik untuk pengembangan usahatani maupun untuk merencanakan uji coba berikutnya. Melalui proses uji coba tersebut di atas saat ini CARE International Indonesia sedang bekerjasama bersama masyarakat untuk memhamai potensi dan permasalahan yang ada di masyarakat. Diharapkan petani dapat mengembangkan usahatani dengan teknologi yang paling tepat dengan agro-sosio- kultural merka. PERKEMBANGAN KEGIATAN Hingga saat ini CARE International Indonesia sedang berupaya menggali potensi dan permasalahan yang ada di 25 desa tersebar di Kabupaten Kapuas dan Pulangpisau. Potensi yang cukup menarik adalah adanya kesadaran akan keanekaragaman hayati yang dimiliki dan keinginan untuk mencoba mengatasi masalah melalui konsep uji coba. Ada kecenderungan preferensi komoditas yang akan mereka kembangkan dan ada kecenderungan untuk memanfaatkan jenis lokal yang mereka rasakan cukup unggul. Desa yang didominasi masyarakat Dayak ada kecenderungan untuk mengembangkan tanaman tahunan seperti karet. Sedangkan desa yang didominasi masyarakat Banjar dan transmigran cenderung mengembangkan tanaman padi dan tanaman sayuran lainnya. Sebagian masyarakat semula masih selalu megatakan bahwa apapun komoditas yang akan dikembangkan selalu mengacu pada jenis unggul yang diintroduksi. Setelah pembahasan dan diskusi tentang pengalaman masyarakat, mereka menyadari bahwa disekitar mereka banyak komoditas yang dapat dikembangkan dan sudah beradaptasi baik di lingkungannya bahkan ada yang diakui sebagai tanaman asli milik mereka. Uji coba pengembangan komoditas ini disesuaikan dengan permasalahan utama yang dihadapi. Masalah utama yang secara umum dihadapi masyarakat sekitar lahan gambut adalah kurang baiknya tata air, kesuburan dan kualitas lahan semakin menurun, hama penyakit tanaman, kurangnya bimbingan teknis, dan kekompakan kerja dalam kelompok masih kurang. Rekapitulasi masalah utama di 25 desa kerja dapat dilihat pada tabel berikut.
342
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Rekapitulasi Masalah Utama Bidang Pertanian Di Desa Sasaran Kalimantan Tengah
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Desa Palangkai Murungkeramat Basarang Anjir P.pisau Pangkalan rekan P Mambulau Mampai Pantik Badirih Sakalagun Kalumpang Tarantang Purwodadi Teluk palinget Sei tatas Bungamawar Dadahup Gadabung Simpur Buntoi Sanggang Sei kapar Gandang Jabiren Gohong Jumlah desa mengalami masalah (Persen)
Kesuburan tanah menurun
Tata air
√
√ √ √ √
√ √ √ √ √ √
√ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √
Masalah Utama Hama Penyuluh dan tidak penyakit ada/tidak tanaman aktif √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √
√ √
√ √
√
Kelompok tani tidak ada/tidak berfungsi
Kurang pengetahuan
√
√
√ √
√
√ √ √ √ √
√ √ √ √
√
√
√ √
√
√
√ √
√ √ √
√
15
17
20
17
15
11
60
68
80
68
60
44
343
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Hotspot Distribution Over Land Cover in Central Kalimantan 28 October - 3 November 2002 Land Cover
Number of Hotspot
Primary Dry Land Forest
Percentage 0
Secondary Dry Land Forest Primary Swamp Forest
0.00%
14
4.22%
3
0.90%
Timber Plantation
0
0.00%
Shrub
2
0.60%
Non Timber Plantation
2
0.60%
Urban
0
0.00%
Bare Soil Cloud Water
1
0.30%
11
3.31%
0
0.00%
14
4.22%
Secondary Swamp Forest
104
31.33%
Wetland Shrub
128
38.55%
Secondary Mangrove
Dry Land Agriculture
5
1.51%
12
3.61%
Transmigration
0
0.00%
Mining
0
0.00%
Swamp
30
9.04%
(blank)
6
1.81%
332
100%
Mixed Dry Land Agriculture
Grand Total
344
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
345
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia AIR HITAM LAUT WATERSHED MANAGEMENT A REVIEW IN THE CONTEXT OF BERBAK NATIONAL PARK CONSERVATION Aswandi Head Study Center for Watershed and Water and Soil Resources Jambi University Dipa Satriadi Rais Research Staff Study Center for Watershed and Water and Soil Resources Jambi University
WATERSHED Watershed or river (drainage) basin or catchment area can be defined as a hydrology unit. A watershed usually consists of tens or hundreds of sub-watersheds. Theoretically, earth surface has wholly been divided or split up into millions of watersheds. Therefore the term watershed does not merely refer to protection area, instead, refers to the overall system occurring within watershed boundary including upstream and downstream area. Physically, a watershed is a basin shape area within natural topographic boundary appearing as hill slopes or mountainous barriers, within which area rainwater flows into creek(s), stream(s) and river(s) then to the sea, carrying sediment load across. Ecologically, watershed can also be thought of as an ecosystem within which all existing subsystems [soil, water, air, living creatures (including human being) elements] interact each other in term of dynamic interdependency. By this integrated view, watershed management, in turn, obtained its definition as a kind of rational management of all natural resources within a watershed boundary (and also possibly within its vicinity), which means as processes directing and organizing land use and natural resources utilization in order to optimizing goods and services production. These optima can only be achieved by considering much of land and other natural resources capabilities. Watershed plies an important role in water cycle and is a physical unit whose processes occurring within the system determined landscape formation. Many features within a watershed unit, such as climate characteristics, could be put into evaluation based on properties of matter and energy cycle. One among watershed properties is a tendency of broadening area by means of sedimentation process at downstream area, including meander formation on coastal plains and delta formation at orifices. This indicated watershed as a dynamic geomorphology unit originated by fluviatil processes and is ascribed its characteristics through joint process of agradation at the downstream and degradation at the upstream. One important result of such morphogenesis is soil space formation, i.e. specific soil distribution every watershed usually exhibits. In respect to this important role watershed plies it is imperative to conduct watershed management as a measure of sustaining natural resources such as soil, water and forest as well as their own ecosystem functions by means of appropriate allocation for conservation and expoitation-utilisation areas. Clarity of watershed boundary and morphology is also included as one of its internal structure parameters. Assuming watershed as a water resource unit it can also be treated as a resource utilization unit.
CONCEPT OF INTERDEPENDENCY OF WATERSHED There usually occurs an interdependency of elements found in a watershed, by which an implication resulted. Water is natural resource by whose properties flows without any administration restriction. In turn, there are consequences should take into account in term of decentralization of water resource management:
347
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia 1.
Water resource utilization within upstream (administrative) area diminishes its utility within downstream (administrative) area (opportunity value);
2.
Pollution occurred within upstream (administrative) area imposes an impact (as social cost) to those who live within downstream (administrative) area (externality effect);
3.
Those who live within upstream (administrative) area can play a role in sustaining water resource and can provide some benefits to those who live within downstream (administrative) area.
Based on this concept emerged an issue, how to build a model on watershed and water resource management of Air Hitam Laut Watershed?. Cost and benefit shall be rightly-proportionally shared among corresponding local government, local community and stakeholders.
WATERSHED SYSTEM Watershed system passes three main steps (Fig.1): 1. Input system; 2. Working structure system; 3. Output system.
Input System (Precipitation )
Output System (water yield, sediment yield, water quality, timing)
Working Structure System (Watershed Characteristics)
Figure 1. Watershed system
Watershed characteristics (working structure) determines how the input system to go on and how the output system to be. This included interception, depression storage, infiltration and evapotranspiration. The system will not properly function if watershed have already been disturbed, indicated by a high flow rate fluctuation (Fig.2) Good Disturbed
Flow
Time Wet season
Dry season
Figure 2. Good and disturbed comparison of watershed function
348
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Watershed management does refunctioning depraved variable(s) of disturbed watershed. It meant that the watershed was empowered up to control input water, infiltrated-percolated input water into ground water and slowly driven it out into stream(s)/river(s). By this buffering effect on discharge, input water is kept in storage for longer period after raining (which of most important in dry season) (Fig 3).
Rain
Surface run off
Subsurface run off Base flow
Figure 3. Discharge system
GEOGRAPHIC AND ADMINISTRATIVE POSITION Air Hitam Laut watershed lies to the east of Jambi Province, ca. 172,000 hectares area approximately stretches 112 km. southwest to northeast. Upstream area lies in Muaro Jambi Residence, downstream area lies in Tanjung Jabung Timur Residence. Physiography and topography Air Hitam Laut catchment area is relatively flat (ca. 1% slope), within altitude range of 0-20 m. msl. There is no high variability in landscape. There are two major physiography of Air Hitam Laut catchment area. One is directly related to marine condition as well as in formation processes and formation materials. The other is directly related to fluvial condition. Marine physiographic of Air Hitam Laut catchment area included tidal plain along the coast and tidal plain behind (back swamp) the coast. Tidal plain behind the coast is commonly forest area. Transition areas to the coast are commonly some bare lands. The areas which directly related to fluvial conditions are several levee of rivers included Batanghari levee, Kumpeh levee and Air Hitam Dalam levee.
GEOLOGY AND PARENT MATERIAL According to LREP I Description Book (1990) Air Hitam Laut catchment area is part of a large swamp of flood of East Sumatra flood plain. Geologically this swamp area is a part of a basin laid parallel to a sincloronium positioned approximately near Jambi town today, filled in by volcanic tuff sediments eroded in Bukit Barisan Mountain. Near the coast area these sediment stuff was overlaid by marine sediment stuff. Pedologically this area is a part of Batanghari and Berbak Delta, which is mainly composed of delta and alluvial sediments of Batanghari River. Parent materials of soil of this area could be multilayered sand and clay. Parent material formation processes included denudation within upstream area of Batanghari River. Sediment load had been deposited on sea bed, formed barrier bars eventually emerged as sand beaches. The area within coastline and sand beaches boundary became a lagoon. Sedimentation continued to happen within the lagoon shifted to fluviomarine plain or tidal flat or tidal swamp. Anaerobic condition remained to occur to the recent sediment causes pedological process to form Aquents soils. Organic matter deposition in anaerobic condition, in turn, emerged Histosols.
349
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Sedimentation process continued to happen periodically. Differences in sediment load materials and rate of sedimentation contributes to multilayered pattern of sediments profile, while anaerobic condition occurred contributes to gleyic and hidromorphic properties of soils, and classified into tropoquents.
HYDROLOGY AND MORPHOLOGY According to LREP I Description Book (1990) hydrology of Air Hitam Laut catchment area is highly correlated to saltwater intrution into nearly overall catchment area within coastline vicinity that could reach ca. 5 km. Sampling taken at several villages ca. 4 kms from coastline indicated that saltwater intrution could reach 2 - 4.5 m from soil surface. Flow rate of Air Hitam Laut river is highly dependent to season and upstream vegetation coverage. Current condition indicated occurrence of disturbances within upstream area that could be recognized from high flow rate fluctuation. In dry season the flow rate is too low, while it is too high in wet season. In general Air Hitam Laut catchment area has somewhat an ideal morphology, designated to lengthwidth ratio close to unity. By this ideal morphology it is possible for the catchment area to efficiently collect and keep in storage rainwater falling within the area. The characteristics of Air Hitam Laut catchment area also indicated all properties related to its position that lied behind Batanghari river levee. Concerning slope of Air Hitam Laut River it is to be noted that the steeper gradient of upstream area to the middle does have an important role as drive factor on flow rate related to tidal behavior. It is also an effect that the flow velocity higher in the upstream than the downstream. Air Hitam Dalam river flows on peat mass within Berbak National Park area. Upstream area plays an important role as recharge area. It has been an increasing rate of uncovering the upstream area especially by the highly demanding oil plantation estates. It looks like a parody that Air Hitam Laut river flow rate is highly dependent on the stage of seasonal weather condition as well as this up stream’s vegetation coverage. It is imperative to take some attention then that seasonal flow rate fluctuation of Air Hitam Laut River has been increasing.
CLIMATOLOGY Rainfall data (1989-1999) available at several weather stations in vicinity of Air Hitam Laut catchment area shows that annual rainfall ranged from 1534 mm/yr to 1811 mm/yr; somewhat less than commonly found average figure of Sumatra Island (2000 mm/yr). Despite, this can still be classified into tropical rainforest climate. Average temperature and relative humidity are quite high, whether wind speed varies considerable. Important weather data of Air Hitam Laut catchment area are listed in Table 1. Table 1. Average figure (1989-1997) of important weather data of Air Hitam Laut catchment area vicinity
Rain depth (mm) Rain Days (day) RH (%) Daily sunshine (hr) Wind speed (knots = 1.8 km/hr) Daily avg. temp (°C) Max. temp (°C) Min. temp (°C)
173.08 15.63 83.85 4.21 5.46 26.60 31.67 22.92
Source: Sultan Thaha Weather Station Jambi
350
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia CURRENT LANDUSE AND ITS TENDENCY Based on remote sensing analysis current remarkable land use within Air Hitam Laut catchment area has been recognized: •
Agriculture (annual crops) Common land use found for agriculture purpose within Air Hitam Laut catchment area paddy field (sawah) and unirrigated annual crop field (ladang). This land use is commonly found along the edge of catchment area. But it has also been a remarkable tendency of shifting annual crop fields to those perennial ones since last ten years. This is mostly true to occur to lands near settlement areas, which can be thought of as an indication of farmer’s preferential to perennial crops especially oil palm;
•
Agriculture (perennial crops) Most commonly found perennial crop is coconut, especially within the middle and downstream of the catchment area. All existing plantation crops are composed of local or hybrid coconut managed traditionally. Within the upstream area the most common perennial crop is oil palm. The plantation estates have been developed by several stakeholders in a kind of joint-share management with resettled villagers, which is also called PIR-TRANS. Even though, there are also scattered spots of small scale oil palm plantation run by local peasants. Here emerged a distinct pattern that spatial distribution pattern of the plantation estates follow that of inhabitation pattern;
•
Residential and settlement There are two settlement patterns found in Air Hitam Laut catchment area: linear and clustered (in groups). Linear pattern can be found along transportation lines (roads and rivers). Clustered pattern is the most common one in upstream area. One remarkable feature of the clustered pattern is that it can result inefficiencies in developing infrastructure and means of development;
•
Forest It looks like a huge forest area is still covering Air Hitam Laut catchment area. But one should be aware of rapid decrease of the forest area in recent years. The decrease is mainly due to increasing accessibility to the forest as well as poor inefficient regulation. Improper regulation had lead to improper allocation of resettlement area at Petaling, within upstream of Air Hitam Laut catchment area which is a major recharge zone. This then, in turn, had accelerated the establishment of oil palm plantation estates within this critical zone. Some disturbances have also happen directly deep into Air Hitam Laut catchment area. Logging concession owner (PT. Putra Duta Indah Wood-PDIW) has been logging out ample area closely near Berbak National Park buffer zone. Even nearby illegal loggers, facilitated by PDIW railroad, had reached deep into Berbak National Park area. Meanwhile, within middle-downstream area local agricultural activities have reach Berbak National Park borderline;
•
Shrub and bush Abandoned lands within Air Hitam Laut catchment are currently shifted into shrub and bushes. Parts of these lands are peat soils. Main reason of abandoning peat soils is the low fertility of soils. But there are no certain reasons for abandoning mineral soils.
ECONOMIC STATE AND THE ACCESSIBILITY INTO FOREST AREA Economic state of community inhabiting upstream of Air Hitam Laut catchment area is characterized by peasantry of traditional agriculture and the existent of oil palm plantation estates. The
351
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia establishment of new plantation estates is rapidly increasing. This can lead to accessibility enhancement including accessibility into forest area of Air Hitam Laut catchment area. It is estimated within next 2 years there will be a distinct improvement of inland access into forest area of upstream of Air Hitam Laut catchment area, posing danger to sustainability of Berbak National Park. Illegal logging activities of Pematang Raman villagers have also posed danger. All activities are well funded and organized in a patron-client manner by one among local public figure. Sociologically, it could possibly be an impact of one-sideness decisions (local) government takes to PDIW rather than to their community, that emerged then in form of social jealousy. There are also accesses into Berbak National Park area from Air Hitam Dalam River and Rantau Rasau village. These accesses are located in vicinity and the illegal loggers could use them alternately. Meanwhile, Berbak National Park Ranger’s guards and patrols in this area have been remarkably decreasing since last three years. It is imperative then to conduct a comprehensive community development programme in order to alter extractive-economic manner of these communities to a productive one. Without a comprehensive effort it is impossible to release Air Hitam Laut forest area, especially Berbak National Park and upstream area of Air Hitam Laut catchment area, from community subsistence pressure. Properties of Air Hitam Laut catchment area that should be taken into account: •
Low flow rate from the upstream High flow rate from the upstream occurs during rain time only that leads to insufficient recharge of peat soil aquifer system. Several recharging streams have not yet posed to disturbances originated by oil palm plantations drainage systems, but are not capable of normalizing those drainage effects occurring in the downstream area;
•
Flat slope of catchment area Having flat slope and low altitude causes Air Hitam Laut catchment area to be a flood plain, as long as recharge system from the upstream being maintained. Air Hitam Laut catchment area plays a role as a buffer system for Berbak National Park which is laid on a huge peat soil mass. In this concern it is necessary for the catchment area being kept stable;
•
Ample drainage in the middle and downstream area Ample drainage in the middle and downstream imposes two effects. It does a quick driven out effect that draws water quickly from the upstream flow. It also causes a quick sedimentation process occurring to suspended load during tide period. This effect is exaggerated by low flow rate from the upstream;
•
Tidal influence came from Batanghari River Tidal influence at Batanghari River poses an effect to properties of Air Hitam Laut catchment are. The rise of water level of Batanghari River plays a role in recharging aquifer system of Air Hitam Laut catchment area especially in dry season.
FUTURE STUDIES Future studies shall put emphasis on Air Hitam Laut catchment area as a whole system, including its dynamic properties as well as ecosystem concerns. It is possible to develop a distinct model for this catchment area, by which a certain wise management practice originates. It is imperative also that future studies not to be trapped in pitfalls leading to misinterpretations. Lack of available data has been common problem for existing studies. Comparisons to other similar studies could prove useful, but still local specific features of every study needs “art of handling”. An example of recovering missing data might be useful and is presented in this paper.
352
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia There is currently a study aiming to explore properties of Air Hitam Laut catchment area based on existing model. Properties to explore include hydrological components and peat subsidence related to scenarioed existing land use practices. In this study, ground water level is simply monitored through perforated PVC wells installed along transects line at several sites. It emerged then a problem of missing data caused by clogging of perforation holes. Field experiences proved that it was not easy to recognize the occurrence clogging screen, especially half-clogging. Rational thought disposed then: •
If time serial ground water level shows lack of response to rainfall, there must be then clogging occurrence;
•
Replication of wells within a close distance can recognize clogging occurrence through extreme differences.
A simple statistical procedure can recover the missing data caused by this clogging perforation holes: If:
H − H c ≤ SDH Then: The difference was not caused by clogging Then:
H adj = H c If:
H − H c > SDH Then: The difference was caused clogging Then:
H adj = H + ∆Arel H est =
∑H n
Where
H Hc SDH Hadj ∆Arel Hest n
: Average of measured ground water level data overall replications, not included clogged well(s) : Ground water level of clogged well : Standard of deviation of ground water level data overall replications, not included clogged well(s) : Readjustment of groundwater level of clogged well : Relative elevation difference between clogged well to averaged relative altitude of other well(s) : Estimated ground water level of the point represented by overall replications : Number of replications
353
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Figure 4. Perforated PVC well for monitoring ground water level of peat soil
Figure 5. Measuring ground water level at perforated PVC well using blowing pipe
354
00 3 S
er 6, 2 Se pte mb
us t2 Au g
us t1 Au g
Au g
0,00
7, 20 03
7, 20 03
,2 00 3 us t7
00 3 28 ,2 Ju ly
Ju ly
18 ,2
00 3
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Date
-20,00 -30,00 -40,00 -50,00
Ground Water Level (cm)
-10,00
BHA1 BHA1R BHA Est
-60,00
BHA Fix -70,00
Figure 6. Time serial representation of ground water level of two adjacent PVC wells (red and blue line), adjusted (white scatter plot), and estimated time serial (green line). Elevation difference = 0
REFERENCES Aswandi. 2003. Konsepsi Pengelolaan DAS. Materi Pelatihan Manajemen DAS. Kerjasama Pusat Studi DAS Universitas Jambi dengan Balai Pengelolaan DAS Batanghari. Departemen Kehutanan. Tanggal 23-27 Juni 2003. Jambi Schulz, E.F. 1980. Problems in Applied Hydrology. Department of Civil Engineering. Colorado State University. Fort Collins. Colorado. Prosiding Peringatan Hari Air Sedunia 2002 dan Forum Air Indonesia II: Water for Development. Jakarta 21 Maret 2002. Chow, V.T, D.R. Maidment and L.W. Mays. 1988. Applied Hydrology. Civil Engineering Series International Edition. McGraw-Hill.
355
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia BERTANAM SAYUR DI LAHAN GAMBUT Maslian Yayasan Pinang Sebatang (PINSE) Pendamping Lapangan CCFPI Jambi
Abstrak Gambut merupakan suatu ekosistim lahan basah yang dicirikan oleh adanya akumulasi bahan organik yang berasal dari sisa jaringan tumbuhan atau vegetasi alami pada masa lampau. Luas penyebaran lahan gambut di Indonesia seluruhnya diperkirakan sekitar 13.203 juta ha atau 7,0% luas dataran Indonesia (Puslitbangtanak, 2002). Lokasi terbesar tersebar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Bila dilihat dari sebaran gambut di pulau Sumatra, Propinsi Jambi memiliki luasan gambut yang cukup luas setelah Riau dan Sumatera Selatan. Isu yang menonjol sekarang ini, terutama di daerah-daerah yang kebetulan sebagian besar wilayahnya terdiri dari lahan gambut, adalah bagaimana memanfaatkan lahan gambut bagi kesejahteraan penduduk sekaligus dapat memberikan pendapatan bagi pemerintah dengan tetap menjaga tingkat produktifitas lahan agar tetap stabil. Banyak komoditi pertanian dan perkebunan yang dikembangkan di lahan gambut, dan yang sangat menonjol adalah Sawit. Masalahnya, apakah hanya sawit saja yang dapat diusahakan di lahan gambut? Adakah komoditi lainnya yang lebih terjangkau oleh kemampuan keterampilan dan kemampuan modal kebanyakan masyarakat di pedesaan? Dalam kesempatan ini penulis mencoba mengangkat salah satu bentuk pemanfaatan lahan gambut oleh petani di Jambi, tepatnya di Dusun Simpang Kayo Aro, Desa Pembengis, Kecamatan Tungkal Ilir, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, berupa tanaman sayur-sayuran. Kabupaten Tanjung Jabung Barat yang terletak di dekat daerah pengembangan ekonomi Sijori menyimpan potensi yang besar dalam pengembangan tanaman hortikultura, yaitu buah dan sayursayuran. Desa Pembengis adalah desa yang terletak di lintasan kota Jambi dengan Ibu Kota Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Di desa tersebut ada satu dusun yang bernama Dusun Simpang Kayo Aro. Sebanyak 13 orang di desa ini telah mengembangkan tanaman sayur-sayuran dalam pemanfaatan lahan gambut mereka. Jenis tanaman sayur-sayuran yang telah dikembangkan antara lain Kacang panjang, Cabe rawit, Cabe kriting, Mentimun, Gambas dan Kacang lendir. Berdasarkan pengalaman petani di dusun tersebut, pertanian di tanah bergambut memiliki keunggulan sekaligus memiliki banyak kendala. Keunggulan secara umum adalah karena lahan mudah ditanami dengan sistim tanpa olah tanah (TOT), sedangkan masalahnya adalah karena lahan mudah tergenang saat air pasang dan mudah kering pada saat air surut, lahan mudah teracuni pirit dan keasaman tanahnya tinggi. Permasalahan tersebut sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk diatasi. Menurut Pak Muhtar, salah seorang petani sayuran yang juga ditemui penulis di lahan tersebut, sesungguhnya dengan pembuatan saluran irigasi yang kedalamannya tepat (berdasarkan pengalaman mereka), sekitar 4050 cm untuk satu paritan yang agak besar dan 15-20 cm untuk kedalaman beberapa paritan yang kecil diantara celah-celah rimbunan sayur telah dapat mengurangi genangan air pada akar tanaman, juga perlu pembuatan tanggul-tanggul penahan air laut untuk menjaga keluar masuknya air. Untuk pengembangan tanaman sayuran di lahan gambut ada beberapa hal yang menjadi kendala yang ditemui dan alternatif pemecahannya, diantaranya: (1) sumber daya manusia, (2) sumber daya lahan menyangkut pekerjaan drainase, kontrol keasaman dan pemupukan, (3) modal usaha tani dan (4) peralihan tenaga sektor pertanian.
357
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia PENDAHULUAN Gambut merupakan suatu ekosistim lahan basah yang dicirikan oleh adanya akumulasi bahan organik yang berasal dari dari sisa jaringan tumbuhan atau vegetasi alami pada masa lampau. Secara umum lahan gambut mempunyai tingkat kesuburan yang rendah, hal ini karena kandungan unsur haranya yang rendah, dan reaksi tanah masam sehingga secara tidak langsung menyebabkan tingkat pertumbuhan tanaman bisa terganggu. Selain itu, lahan atau tanah gambut mempunyai potensi kandungan pirit yang bersifat racun bagi tanaman. Akan tetapi apabila lahan atau tanah gambut tersebut dikelola dengan perencanaan yang teliti, pemanfaatan dan penerapan teknologi yang sesuai dan tepat guna, maka tanaman perkebunan maupun tanaman hortikultura buah dan sayuran dapat dibudidayakan dengan hasil yang menguntungkan (anonim, 2002). Berdasarkan kualitasnya, tanah gambut dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu gambut Eutropik, Mesotropik, dan Oligotropik. Gambut Eutropik terdiri dari gambut topogenus, yaitu gambut yang terbentuk di daerah pedalaman daratan pantai atau dapat juga di daratan pasang surut, sehingga gambut ini relatif subur. Gambut topogenus dicirikan oleh akumulasi bahan organik yang tidak terlalu tebal, yaitu berkisar antara 0,5 – 2,0 m, dan biasanya dijumpai pada landform dataran gambut atau pada sisi kubah gambut. Gambut mesotropik dan gambut oligotropik terdiri dari gambut ombrogenus yang terbentuk dari tumpukan bahan organik yang tidak dipengaruhi oleh luapan air sungai dan biasanya membentuk kubah gambut (dome) serta memiliki ketebalan > 2 m. Adapun tingkat kesuburan lahan atau tanah gambut itu sendiri ditentukan oleh: 1. 2. 3.
Ketebalan lapisan gambut dan tingkat dekomposisi dari masing-masing lapisan; Keadaan tanah mineral yang ada dibawahnya ; Kualitas air sungai dan air pasang yang mempengaruhi lahan gambut dalam proses pematangannya.
Berdasarkan tipologi dengan pertimbangan tingkat karakteristik fisika-kimia serta karakteristik tanahnya, lahan gambut dapat dikelompokan menurut klasifikasi yang dikembangkan oleh WidjajaAdhi (1995) sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Tipologi Lahan Gambut
Kode HMS G-1 G-2 G-3 G-4 R/A - G1 R/G2 - G2
Tipologi lahan Aluvial bersulfida bergambut Gambut dangkal Gambut sedang Gambut dalam Gambut sangat dalam Rawa lebak, tanah aluvial – bergambut dangkal Rawa lebak, gambut dalam sampai sangat dalam
Ketebalan gambut <50 cm. diatas pemukaan tanah 50 – 100 cm. 100 – 200 cm. 200 – 300 cm. > 300 cm. 50 – 100 cm. 100 – 300 cm.
Sementara itu, luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 13.203 juta ha. atau 7,0% luas dataran Indonesia (Puslitbangtanak, 2002). Lokasi terbesar terdapat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Tabel 2 berikut ini data memuat penyebaran gambut di Sumatera. Tabel 2. Penyebaran Gambut di Pulau Sumatera
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Propinsi D.I. Aceh Sumatra Utara Sumatra Barat Riau Jambi Sumatra Selatan Bengkulu Lampung Total jumlah
Luas (1000 ha) 259 236 120 3.870 630 1.445 30 2 6.592
358
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Bila dilihat dari sebaran gambut di pulau Sumatera seperti pada Tabel 3 tersebut, Propinsi Jambi memiliki luasan gambut yang cukup luas setelah Riau dan Sumatera Selatan. Apabila dikaitkan dengan perkiraan tentang semakin menyempitnya lahan pertanian, terutama di Pulau Jawa yang sebagian besar lahannya digunakan bukan untuk usaha pertanian, maka lahan gambut di Provinsi Jambi mempunyai prospek pengembangan Pertanian di masa depan. Di negara agraris seperti Indonesia ini, lahan pertanian menjadi aset kehidupan yang sangat penting, sehingga banyak masalah kehidupan bersumber dari pemilikan dan penguasaan lahan tersebut. Kebijakan pemerintah dalam hal pengaturan lahan kadang-kadang menjadi isu yang sangat sensitif. Sejalan dengan itu kebijakan pun dapat mempengaruhi konservasi suatu lahan (tanah). Isu yang menonjol sekarang ini, terutama di daerah-daerah yang kebetulan sebagian besar wilayahnya terdiri dari lahan gambut, adalah bagaimana memanfaatkan lahan gambut bagi kesejahteraan penduduk sekaligus dapat memberikan pendapatan bagi pemerintah dengan tetap menjaga tingkat produktifitas lahan agar tetap stabil. Banyak komoditi pertanian dan perkebunan yang dikembangkan, dan yang sangat menonjol adalah Sawit. Masalahnya, apakah hanya Sawit saja yang dapat diusahakan di lahan gambut? Adakah komoditi lainnya yang lebih terjangkau oleh kemampuan keterampilan dan kemampuan modal kebanyakan masyarakat di pedesaan? Dalam kesempatan ini penulis mencoba mengangkat salah satu bentuk pemanfaatan lahan gambut oleh petani di Jambi tepatnya di dusun Simpang Kayo Aro, Desa Pembengis, Kecamatan Tungkal Ilir Kupaten Tanjung Jabung Barat berupa tanaman sayur-sayuran. Seperti kita ketahui, daerah produsen hortikulura buah dan sayur, di Indonesia umumnya dan Jambi khususnya, hampir sebahagian besar berasal dari daerah dataran tinggi, sedangkan sayuran dan buah dataran rendah (di mana umumnya gambut berada) lebih sedikit jumlahnya. Hal ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara daerah penghasil buah dan sayuran. Sebagaimana diketahui hampir semua kota besar di Indonesia terletak di dataran rendah yang juga merupakan konsumen terbesar dari produksi hortikultura tersebut. Besarnya potensi pengembangan hortikultura sayuran dan buah di Propinsi Jambi dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Luas Tanaman, Panen, dan Produksi Sayur-sayuran dan Buah Semusim di Propinsi Jambi Tahun 1999 – 2002
Kabupaten/Kota 1. Kerinci 2. Bungo 3. Tebo 4. Merangin 5. Sarolangun 6. Batanghari 7. Muara Jambi 8. Tanjung Jabung Barat 9. Tanjung Jabung Timur 10. Kota Jambi Jumlah Tahun 2001 Tahun 2000 Tahun 1999
Luas (ha) Tanam Panen 7.518 6.891 1.400 1.308 416 421 2.291 2.288 855 800 377 357 1.257 1.125 543 523 1.476 1.330 670 643 16.803 15.686 14.039 13.025 16.638 11.281 16.895 12.871
Produksi (ton) 74.242 5.340 2.170 16.845 2.470 1.308 6.420 2.037 5.580 3.762 120.174 83.782 70.682 66.831
Rata-rata hasil (kw/ton) 107,74 40,82 51,54 73,62 30,88 36,64 57,07 38,95 41,95 58,51 76,61 64,32 62,66 51,92
Dilihat dari Tabel 3 di atas terjadi peningkatan produksi dari tahun ketahunnya. Akan tetapi bila dikaitkan dengan geo ekonomi daerah SIJORI (Singapoe, Johor/Malaysia dan Riau/Batam; Tanjung Jabung Barat adalah daerah yang terdekat dengan daerah tersebut) yang permintaan pasarnya tinggi maka produksi tersebut masih belum seberapa. Oleh karena itu produksinya masih dapat
359
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitasnya. Artinya, potensi masih terbuka luas. KEADAAN WILAYAH Letak geografis Kabupaten Tanjung Jabung Barat terletak pada koordinat 0°48’ – 1°43’ dan 120° - 104° 30’ BT dengan batas wilayah sebagai berikut: • • • •
Sebelah Utara : berbatas dengan Selat Berhala dan Propinsi Riau; Sebelah Selatan: berbatas dengan selat Berhala dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur; Sebelah Barat: berbatas dengan kabupaten Tebo, Muara Jambi dan Riau; Sebelah timur: berbatas dengan laut Cina Selatan dan Selat Berhala.
Luas Penggunaan lahan Bentuk lahan sebahagian besar bertopografi dan bergelombang, di sebelah timur merupakan daerah rawa-rawa sedangkan di sebelah barat daerah berbukit. Kabupaten Tanjung Jabung Barat mempunyai luas 548.900 ha. yang terbagi atas 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Tungkal Ilir, Ibu kotanya Kuala Tungkal ; Kecamatan Betara, Ibu kotanya Teluk Sialang; Kecamatan Pengabuan, Ibu kotanya Teluk Nilau; Kecamatan Tungkal Ulu, Ibu kotanya Pelabuhan Dagang; dan Kecamatan Merlung, Ibu kotanya Merlung. Adapun klasifikasi penggunaan lahan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat sampai dengan tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Klasifikasi Penggunaan Lahan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tahun 2002
No. Jenis penggunaan Lahan
2
Penggunaan sawah Irigasi ½ teknis Irigasi desa Tadah hujan Pasang Surut Lebak 46.490 Bukan sawah Perkarangan Tegal/kebun Ladang/huma
Dimanfaatkan
Belum dimanfaatkan
Jumlah
1.009 175 596 19.016 1.523 46.490
582 23.077 522 46.490
1.591 175 596 42.093 2.023 46.490 9.690 62.014 2.561
Padang rumput Tidak diusahakan Hutan Rakyat Hutan negara Perkebunan Rawa tidak ditanami Lain-lain penggunaan
15 8.088 379 227.116 88.282 239 100.066
Tambak Kolam Jumlah Jumlah 1 dan 2
60 482 502.401 548.900
360
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Sementara itu, luas wilayah berdasarkan ketinggian tempat, kemiringan tanah dan jenis tanah di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dapat dilihat pada tebel Tabel 5, 6 dan 7 berikut. Tabel 5. Luas Wilayah Berdasarkan Ketinggian dari Permukaan Laut (DPL) Kabupaten Tanjung Jabung Barat
No 1. 2. 3. 4.
Kemiringan Tanah 0 – 10 11 – 40 41 – 100 101 – 500 Jumlah
Luas (Ha) 221.088 128.437 147.500 51.875 548.900
% 40,28 23,00 26,87 9,45 100
Sumber: Data tahun 2002, Dinas pertanian Tanjung Jabung Barat Tabel 6. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kemiringan Tanah di Kabupaten Tanjung Jabung Barat
No 1. 2. 3. 4.
Kemiringan tanah 0 - 4 4 - 15 15 - 40 > 40 Jumlah
Luas (Ha) 271.080 81.25 177.500 19.070 548.900
% 49,39 14,80 32,34 3,47 100
Tabel 7. Luas Penyebaran Jenis Tanah kabupaten Tanjung Jabung Barat
No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Tanah Glein Humus Orgonosol Podolik Merah Kuning Hidromorfik Rawang laut Aluvial Jumlah
Luas (Ha) 256.976 96.718 106.561 45.089 42.951 607 548.900
% 46,82 17,62 19,41 8,21 1,82 0,12 100
Sumber: Data tahun 2002, Dinas pertanian Tanjung Jabung Barat
Iklim Menurut perhitungan Schmidt dan Ferguson (1950), curah hujan yang ada di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dapat diklasifikasikan pada iklim type A atau sangat basah dengan curah hujan rata-rata 1.900 sampai 3.250 ml. per tahun. Suhu udara minimal 22.7 C serta kelembaban 82 %. Penduduk Jumlah penduduk di kabupaten Tanjung Jabung Barat Tahun 2002 berjumlah 221.671 jiwa. Dari keseluruhan penduduk tersebut yang berkerja disektor pertanian sebanyak 65.843 jiwa atau sekitar 29,7 %. Rincian jumlah penduduk berdasarkan umur, jenis kelamin dan yang bekerja dibidang pertanian dapat dilihat pada tabel 8. Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Umur di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Tahun 2002
No 1. 2. 3.
Golongan umur (tahun) 0 - 14 15 - 64 > 64 Jumlah
Jumlah penduduk 62.167 153.422 6.082 221.671
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Barat
361
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Tabel 9. Jumlah penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Tahun 2002
No 1. 2. 3. 4. 5.
Kecamatan Tungkal Ilir Betara Pengabuan Merlung Tungkal Ulu Jumlah
Laki-laki 38.845 14.888 23.150 14.823 24.010 115.716
Perempuan 36.650 14.045 21.517 12.881 20.862 105.955
Jumlah 75.495 28.933 44.667 27.704 44.872 221.671
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Barat Tabel 10. Penduduk usia 10 tahun Keatas menurut lapangan Usaha Utama di Kabupaten Tanjung Jabung Barat
No 1. 2. 3. 4. 5. 6 7. 8. 9.
Lapangan Usaha Utama Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik gas dan air minum Kontruksi Perdagangan Angkutan dan Komunikasi Keungan Jasa Jumlah
Jumlah Penduduk 65.834 176 2.894 131 2.623 9.087 3.067 324 6.805 90.941
Sumber Pusat statistik kabupaten Tanjung Jabung Barat
Potensi Wilayah dan Jenis Komoditas Kabupaten Tanjung Jabung Barat menyimpan potensi yang besar dalam pengembangan tanaman hortikultura, buah dan sayur. Ini bisa dilihat dari Tabel 4 di atas, yaitu banyaknya lahan-lahan yang tidak dimanfaatkan yang masih cukup luas. Potensi tersebut akan makin berkembang lagi kalau dilakukan perbaikan produksi yang telah ada melalui perbaikan teknik budidaya sampai dengan penanganan pasca panen. Pengembangan potensi tersebut tentunya harus memperhatikan lahan dan agroklimatnya, tidak terkena banjir atau tergenang, dekat sumber air serta mempunyai infra struktur yang memadai. Juga dengan mempertimbangkan beberapa aspek lainnya, seperti dari segi teknis dapat dilaksanakan, dari aspek ekonomis menguntungkan petani dan dari aspek sosial budaya dapat diterima oleh masyarakat. Menurut Subagyo (2002) jenis yang tanaman sayur-sayuran yang paling umum dan potensial dikembangkan di lahan gambut adalah Cabe rawit, Cabe kriting, Terong, Tomat, Mentimun, Bawang merah dan Bawang daun. Sementara itu, yang sudah dikembangkan oleh masyarakat di Dusun Kayo Aro baru Mentimun, Cabe rawit, Cabe kriting, Gambas, Kacang panjang, Kancang lendir dan Bayam. Produksi tanaman hortikultura sayuran selama ini lebih banyak diperuntukkan untuk pasar lokal, yaitu kawasan Jambi sampai Pulau Batam, dengan demikian pangsa pasar belum meluas sampai pada orientasi ekspor yang memperhatikan mutu atau kualitas, kesinambungan atau kontinuitasnya serta selera konsumen atau permintaan pasar. Model Pengembangan Tanaman Sayuran di Lahan Gambut Desa Pembengis adalah desa yang terletak di lintasan kota Jambi dengan ibu kota kabupaten Tanjung Jabung Barat. Di desa tersebut ada satu dusun yang bernama Dusun Simpang Kayo Aro. Di sela-sela tanaman Kelapa yang berumur muda, kurang lebih 13 orang petani mengupayakan menanam berbagai sayuran, diantaranya Kisik/Gambas, Kacang panjang, Mentimun, Kacang lendir dan Cabe. Sebagian besar lahan adalah berupa lahan bergambut, yang dapat dilihat dari banyaknya sisa bahan organik yang belum terdekomposisi secara sempurna walaupun tidak tebal, hanya sekitar kurang lebih 50 cm.
362
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Lahan gambut pasang surut ini memiliki keunggulan sekaligus memiliki banyak kendala. Keunggulan secara umum adalah karena lahan mudah ditanami dengan sistem tanpa olah tanah (TOT). Hal ini dibenarkan oleh Pak Ahmad, salah seorang petani yang ditemui penulis di lapangan. Menurutnya kalau lahan dicangkul malah tanaman sayurannya akan mati karena tanah menjadi padat. Sebaliknya, masalah pertanian sayur di lahan gambut juga ada seperti: • mudah tergenang pada waktu air laut sedang pasang besar yang menyebabkan kerusakan tanaman; • lahan mudah teracuni pirit; • keasaman tanah tinggi; • pengeringan lahan kalau saluran irigasi terlalu dalam; • pengenangan lahan dan tanaman oleh air laut (plasmolisis didalam sel dan jaringan tanaman dengan air laut menyebabkan sel tanaman rusak dan mati). Permasalahan tersebut sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk diatasi. Menurut Pak Muhtar, salah seorang petani sayuran yang juga ditemui penulis di lahan tersebut, sesungguhnya dengan pembuatan saluran irigasi yang kedalamannya tepat (berdasarkan pengalaman mereka), sekitar 4050 cm untuk paritan yang agak besar dan 15-20 cm untuk kedalaman beberapa paritan yang kecil diantara celah-celah rimbunan sayur, telah dapat mengurangi genangan air pada akar tanaman, juga perlu pembuatan tanggul-tanggul penahan air laut untuk menjaga keluar masuknya air pasang. Secara jelasnya, sebelum melakukan penanaman sayuran di lahan bergambut, petani melakukan penebasan rumput. Rumput yang telah ditebas, dibiarkan kering lalu dibakar. Setelah beberapa waktu kemudian lalu ditanami bibit sayuran. Pemupukan tidak terlalu menjadi penting bagi petani di dusun tersebut. Dari beberapa petani yang dijumpai mereka tidak terlalu antusias dengan rekomendasi pemupukan karena menurut mereka lahan mereka sudah cukup subur tanpa pupuk. Menurut mereka, yang penting adalah tersedianya insektisida dan pestisida untuk hama dan penyakit tanaman pada saat masa pembungaan, karena pada saat itu tanaman rentan diserang semut dan serangga. Pengapuran sama sekali tidak pernah dilakukan. Dari cara sederhana tersebut, Pak Warkijan, yang mengusahakan tanaman sayuran Kacang panjang, bisa menghasilkan 10 - 15 kali panen untuk ½ ha. dalam satu musim tanam. Total produksi rata-rata 7 kwintal per satu musim tanam atau 1,4 ton pertahun per setengah ha. Apabila harga per kilo Kanjang panjang rata-rata Rp. 3.000 maka penghasilan Pak Warkijan per tahun sebesar Rp. 4.2 juta hanya dari Kacang panjang. Harga dan pemasaran sama sekali tidak menjadi masalah bagi petani karena terkadang pedagangpedagang kota kabupaten yang datang mencari produk hasil pertanian sayur-sayuran. Dari menanam sayuran ini, petani tersebut bisa menyekolahkan anak-anaknya di Sekolah Lanjutan Atas Sayangnya, penghasilan Pak Warkijan ini tidaklah cukup menarik untuk diikuti oleh petani-petani di luar 13 orang tadi karena budaya masyarakat Tanjung Jabung Barat secara umumnya adalah berkebun. Diluar itu adakalanya orang lebih memilih jadi buruh bangunan untuk mengisi masa-masa senggang mereka. Produktivitas hasil yang diperoleh oleh pak Warkijan dan lain-lainnya mungkin bisa ditingkatkan apabila kearifan lokal (pengalaman mereka selama menanam sayur di lahan gambut) dipadukan dengan teknologi yang telah berkembang seperti dalam berusahatani, agribisnis serta penanaman yang berorientasi kepada pasar. Dalam pengembangan tanaman sayuran di lahan gambut ini ada beberapa hal yang menjadi kendala yang ditemui dan alternatif pemecahannya diantaranya: 1. Sumber daya manusia Mengingat sumber daya manusia di wilayah ini belum begitu intensif mengelola sayuran dan buah-buahan di lahan gambut, maka langkah awal yang perlu dilakukan adalah melakukan introduksi kepada masyarakat melalui pemilihan petani tertentu sebagai petani andalan. Mereka kemudian diharapkan dapat melaksanakan pilot proyek pengembangan sayuran dan buahbuahan di lahan gambut, dengan luas usaha berkisar antara 5 – 10 ha. untuk sayuran dan 50 – 100 ha. untuk buah-buahan.
363
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Disamping itu, perlu diadakan pelatihan kepada calon petani pelaksana mengenai bagaimana melakukan pengolahan lahan gambut agar bisa bermanfaat dan berhasil guna untuk produk pertanian hortikultura buah dan sayur. 2. Sumber Daya Lahan Lahan gambut dengan karakteristiknya yang khas, dimana reaksi tanahnya yang masam dan kesuburan tanah yang rendah, sangat ditentukan oleh manajemen usaha tani yang diterapkan. Pada prinsipnya pengelolaan tanah gambut agar berhasil baik untuk pertanian hortikultura buah dan sayur mencakup 3 tahap pekerjaan:
3.
a.
Drainase. Tujuannya adalah “mengeringkan” tanah gambut, dengan menurunkan permukaan air tanah, agar disamping dapat membuang air masam yang mengandung berbagai asam organik dan senyawa-senyawa yang bersifat racun, juga membuat lingkungan akar lebih aerob dan sesuai untuk pertumbuhan tanaman dengan kedalaman tertentu;
b.
Kontrol keasaman. Lahan gambut bereaksi masam (pH 3,5 atau kurang). pH ini terlampau rendah untuk pertumbuhan tanaman, untuk itu dianjurkan pengapuran yang bertujuan untuk menetralkan tanah;
c.
Pemupukan. Tanah/lahan gambut mempunyai kandungan N, P dan K tersedia yang rendah serta beberapa unsur mikro lainnya, oleh karena itu pemupukan, baik unsur hara makro (N, P dan K) maupun mikro khususnya Cu dan Zn perlu dilaksanakan (Subagyo, H., 2002).
Modal Usaha Tani Sebagian dari petani/kelompok tani hingga saat ini masih kurang kemandiriannya, karena terhimpit kebutuhan ekonomi, kurangnya usaha pemupukan modal dan bersifat konsumtif sehingga penggunaan sarana produksi seperi benih/bibit kurang berkualitas, serta pupuk dan pestisida kurang memadai. Alat dan mesin pertanian yang dibutuhkan untuk menangani pasca panen secara baik kurang/tidak memadai, sehingga kualitas hasil produksi jadi jelek dan kehilangan hasil pada saat panen tinggi. Untuk mengatasi persoalan modal dilakukan dengan penyuluhan secara intensif, baik oleh PPL, aparat desa, kecamatan dan seterusnya, untuk mengajak masyarakat/petani lebih meningkatkan usaha dan mengurangi pola hidup konsumtif, seperti pelaksaan pesta yang terlalu menguras uang. Disamping itu, mengajak petani mengiatkan usaha kelompok, termasuk dalam melaksanakan pembelian sarana produksi dan menjual hasil panen, meningkatkan peran serta pengusaha dalam sistim kemitraan dan bapak angkat serta program bantuan KIK, KUK dan KUT.
4.
Peralihan Tenaga Sektor Pertanian Permasalahan peralihan tenaga kerja pertanian terutama sub-sektor tanaman pangan dan hortikultura sudah cukup lama dihadapi. Persoalannya lebih berat lagi bila diikuti peralihan fungsi lahan dan keluarnya tenaga muda yang produktif dan terdidik kesektor lain. Untuk mengatasi persoalan ini, alternatifnya adalah dengan melakukan penyuluhan secara intensif tentang bagaimana menerapkan prinsip agribisnis yang baik dan menguntungkan, upaya peningkatan mutu dan harga hasil pertanian tanaman pangan dan hortikultura serta meningkatkan peran serta pemodal besar atau dunia usaha.
364
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia DAFTAR PUSTAKA Anonim.2003. Program Penyelengaraan Penyuluhan Pertanian Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tanjung Jabung Barat Tahun 2003 Anonim. Pengembangan Hortikultura di Provinsi Jambi. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi Anonim. 2002. Jambi dalam Angka tahun 2002. Biro Pusat Statistik Anonim. 2002. Bertanam Sayuran di Lahan Pasang Surut. Dinas Pertanian dan Petenakan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Agus B. 2002. Karakteristik dan Penyebaran Lahan Gambut di Indonesia. Balai Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian. Bogor. Subagyo, H. 2003. Penyebaran dan Potensi Tanah Gambut di Indonesia Untuk Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembanan Tanah dan Agroklimat. Bogor
365
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia ANALISIS STABILITAS LERENG UNTUK KONSERVASI TANAH DAN AIR DI KECAMATAN BANJARWANGI, KABUPATEN GARUT (Slope Stability Analysis for Soil and Water Conservation in Banjarwangi Sub-district Regency of Garut)
Mustafril Staf Pengajar Jurusan Teknik Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
Abstract The terrace development for soil and water conservation often experience the failure. It usually happens by landslide, like some of agriculture farm in Sub-district Banjarwangi, regency of Garut. Considering the problem, it then requires to conduct research on the analysis of slope stability, especially for the slope that have bench terrace. The slope morphology, physics and mechanics properties determining of analysis for slope stability. This research aim to analyse the slope stability at farm made by terraces, so that expected can give an recommendation to planning soil and water conservation to safe from landslide. This research done in field and laboratory with computer simulation. Result of analysis of slope stability at traditional terrace in Mulyajaya village, Sub-district of Banjarwangi shows that sliding happen by the rain (saturated land). The simulation result of slope stability at device of Hurni terrace C3 (stone cover of terrace riser) unstable at slope 30 - 70 % (circular rotational slips), whereas sliding translation at 34 - 70 % (saturated land). C2 type (grass cover of terrace riser) for circular rotational slips unstable at slope 22 - 30 % (unsaturated to saturated land), so translational slip unstable if saturated land.
Key word : terrace, landslide, slope stability
367
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
PENDAHULUAN Pembangunan teras sering mengalami kegagalan, seperti diakibatkan karena terjadinya longsor (landslide), sehingga meningkatkan erosi pada lahan pertanian, seperti yang terjadi di Desa Ngadirekso, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang, Jawa Timur (Carson, 1989). Longsor pada lahan terasering juga terjadi di Sub DAS Wiroko di bagian hulu DAS Solo seluas 404 ha (1,8 % dari 22.600 ha.) pada kemiringan lereng di atas 65 % (Fletcher, 1990). Longsor juga terjadi di lahan miring lainnya seperti pada beberapa desa di Kecamatan Banjarwangi, Peundeuy, dan Singajaya, Kabupaten Garut (FATETA, 2002). Penentuan parameter dimensi teras, terutama jarak vertikal (vertical interval = VI) didasarkan pada faktor kemiringan lahan (slope). Dari sekian banyak persamaan untuk menentukan VI, hanya beberapa persamaan saja yang mempertimbangkan sifat fisik dan mekanik tanah (ASAE, 1998; Suresh, 1993; Schwab et al., 1981; Hurni, 1980; Sheng, 1977). Rancangan teras tersebut belum ada yang mengacu kepada analisis stabilitas lereng. Memperhatikan permasalahan tersebut di atas, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap stabilitas lereng, terutama konservasi teras, dengan melakukan analisis faktor keamanan (Fs, safety factor). Stabilitas lereng dipengaruhi oleh sifat fisika dan mekanika tanah (Das, 1993). Suatu lereng dikatakan aman apabila mempunyai nilai faktor keamanan lebih dari 1,2. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis stabilitas lereng pada lahan berteras bangku, sehingga diharapkan dapat menghasilkan tindakan konservasi tanah dan air yang aman terhadap longsor.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan suatu studi kasus terhadap lahan pertanian di kawasan perbukitan (hillside zone). Lokasi penelitian di Kecamatan Banjarwangi, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat dan Laboratorium Fisika dan Mekanika Tanah Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : 1.
Pengukuran dan pengumpulan data • Dimensi dan kemiringan lereng; • Sifat fisik tanah: kadar air, densitas lapangan, permeabilitas, kedalaman tanah, distribusi ukuran partikel, dan konsistensi tanah; • Sifat mekanik tanah : kohesi (c) dan sudut gesek dalam (φ); • Curah hujan dan kondisi penutup lahan.
2.
Pembuatan program komputer untuk simulasi • Simulasi perancangan teras menurut Hurni; • Simulasi analisis stabilitas lereng untuk longsor rotasi (circular rotational slips) dan translasi (translational slips).
3.
Perancangan teras metode Hurni (1980)
Perencanaan teras bangku metode Hurni didasarkan kepada prediksi erosi dengan persamaan USLE. Teras bangku Hurni terdiri dari tiga tipe utama, yaitu: (a) saluran tanpa teras (C1), (b) teras dengan tampingan rumput (C2), dan (c) teras dengan tampingan batu (C3). Untuk menentukan tipe teras yang tepat diperlukan data berikut, yaitu : kemiringan lahan (S), faktor LS yang ditentukan dengan persamaan USLE, dan kedalaman tanah.(D). Untuk menentukan tipe teras digunakan nomogram Hurni (Lampiran 1) yang telah ditransfer ke dalam bentuk program komputer. Besarnya nilai LS dihitung dengan persamaan berikut:
368
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
LS =
T ………………………………………………. RKCP
(1)
dimana : T = jumlah erosi maksimum yang diperkenankan (ton/thn) R = erosivitas hujan (m.ton/ha) K = erodibilitas tanah (ton/ha/tahun) C = faktor pengelolaan tanaman P = faktor praktek konservasi yang diterapkan.
4.
Analisis stabilitas lereng
Untuk menentukan faktor keamanan lereng pada longsor, rotasi dilakukan dengan trial and error sehingga didapat nilai Fs yang kecil sebagai dasar penentuan stabilitas lereng. Untuk melakukan proses trial and error ini dapat dilakukan dengan membuat suatu program komputer. Faktor keamanan (Fs) dihitung berdasarkan Gambar 1. Kondisi tanah tidak jenuh, Fs sesuai dengan persamaan (2), sedangkan kondisi tanah jenuh sesuai persamaan (3) (Das, 1993).
Fs =
∑ c' l + W cosα tan φ ' ………………………………… ∑W sin α
(2)
Fs =
∑ c' l + (W cosα - ul ) tan φ ' ∑W sin α
(3)
………………………….
dimana : W = berat total irisan tanah (kgf/m3) l
= panjang segmen beban W (m)
u = tekanan air pori (kgf/m2)
φ’ = sudut geser dalam efektif (o) c’ = kohesi efektif (kgf/m2)
369
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
O
Permukaan air tanah n
2
1
Wn hw
α
Gambar 1. Diagram gaya analisis stabilitas lereng untuk kelongsoran rotasi
Analisis longsor translasi terhadap lereng kondisi tanah tidak jenuh menurut persamaan (4), sedangkan kondisi tanah jenuh menurut persamaan (5)(Das, 1993). Bentuk longsor translasi ditampilkan pada Gambar 2.
Fs =
Fs =
tan φ ' ……………………………… tan β
(4)
c' γ ' tan φ ' + ……………………… 2 γ sat H cos β . tan β γ sat tan β
(5)
c'
γH cos β . tan β 2
+
Dimana : H
= Kedalaman tanah efektif (m)
β
= Kemiringan lereng (o)
γ’
= γ - γw (kgf/m3)
γw = berat volume air (kgf/m3) γsat = berat volume tanah jenuh air (kgf/m3)
Kedalaman muka air tanah di lereng kondisi tanah jenuh didekati dengan metode Dupuit (Verruijt, 1970), yaitu : 2
(
2
h 2 = H1 − H1 − H 2
2
) Lx
……………………………………… (6)
370
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Dimana : h
= kedalaman muka air tanah pada titik yang ditinjau (m)
H1 = kedalaman muka air tanah di bagian hulu (m) H2 = kedalaman muka air tanah di bagian hilir (m) x
= jarak titik yang ditinjau dari hulu (m)
L
= panjang aliran yang ditinjau (m)
L
Permukaan air tanah sama dengan permukaan tanah
Arah rembesan Na
W
Tr Lapisan tanah keras
H
Ta
β
R
Nr
Gambar 2. Diagram gaya analisis stabilitas lereng untuk kelongsoran translasi
371
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Mekanika dan Fisika Tanah Analisis longsor diperlukan data berat isi tanah (γ), kohesi efektif (c’), dan sudut gesek dalam efektif (φ’). Nilai c’ dan φ’ didapat dengan melakukan pengukuran tekanan air pori (u) dengan uji triaksial dan selanjutnya dibuat diagram Mohr-Coulomb (Das, 1993). Hasil uji triaksial disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil uji traksial untuk sampel tanah di lokasi longsor Kampung Rinyem Lokasi Kondisi
Lereng atas
Lereng tengah
Lereng bawah
Rata-rata
Undisturb compact Undisturb compact Undisturb compact Undisturb
3
compact
γ (kgf/m )
13974
17670
14886
16788
13483
16749
14114
17069
c’ (kgf/m2)
2500
14000
350
2250
1500
5400
1450
7217
17,87
15,90
24,57
35,83
18,33
33,71
20,26
28,48
o
φ’ ( )
Berdasarkan klasifikasi Unified pada lahan sawah berteras bangku di lokasi studi merupakan pasir berliat (SC = clayey sand). Hasil uji proctor berat kering tanah maksimum 1,403 t/m3 pada kadar air optimum 28,48 %. Sifat fisika tanah disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. No.
Hasil pemeriksaan dan pengujian sifat fisika tanah Lereng atas
Sifat fisika tanah
1.
Kadar air, w (%)
2.
Spesifik gravity, Gs
Und.
Comp.
44,81
Lereng tengah Und.
28,14
51,02
2,701
Comp. 30,72
Lereng bawah Und. 47,63
2,749
Comp. 29,42
Rata-rata Und. 47,82
2,615
Comp. 29,43 2,69
Volume fase tanah (%) a. Volume udara, Vu 3.
14,40
5,64
6,60
4,96
14,72
5,87
11,91
5,49
b. Volume air, Va
52,23
46,88
65,11
51,60
51,82
45,67
56,39
48,05
c. Volume padat, Vs
33,37
47,48
28,29
43,44
33,45
48,46
31,70
46,46
Porositas, n (%)
66,63
52,52
71,71
56,56
66,55
51,54
68,30
53,54
Kejenuhan, S (%)
78,33
89,30
90,80
91,25
77,91
88,59
82,35
89,71
1,997
1,106
2,535
1,302
1,989
1,064
2,174
1,157
14,832
1,577
1,192
0,230
1,642
0,249
5,889
0,685
Angka pori, e 4.
Permeabilitas (mm/jam) Konsistensi tanah
5.
a. Batas cair, LL (%)
35,54
36,36
36,96
36,29
b. Batas plastis, PL (%)
32,40
36,16
36,88
35,15
3,14
0,20
0,08
1,14
27,87
30,10
28,52
28,83
c. Indek plastisitas, IP (%) Uji pemadatan standar (proctor test) 6.
a. wopt (%) 3
b. γmaks.(t/m )
1,443
1,373
1,394
1,403
7.
Kedalaman tanah, D(m)
0,9
0,9
0,9
0,9
8.
Kemiringan lahan, S (%)
25 (landai)
48 (curam)
27 (landai)
Klasifikasi tanah menurut United State Departement of Agriculture (USDA) (Das, 1993)
9.
Fraksi pasir (%)
26,380
45,260
32,602
34,747
Fraksi debu (%)
55,952
42,971
52,786
50,570
Fraksi liat (%)
17,668
11,769
14,612
14,683
Tekstur tanah
liat berdebu
liat
liat berdebu
liat berdebu
Klasifikasi tanah menurut Unified (Das, 1993) Tekstur tanah
Pasir berliat (SC) Pasir berliat (SC) Pasir berliat (SC) Pasir berliat (SC)
Keterangan : Und. = tidak terganggu; Comp. = dipadatkan
372
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Perencanaan teras metode Hurni Hasil simulasi perhitungan VI untuk berbagai kemiringan berdasarkan data erosivitas 1370 m.t/ha, erodibilitas 0,47 t/ha/th, lahan sawah beririgasi, faktor LS 0,95, dan kedalaman tanah 0,9 m disajikan pada Tabel 3. Kemiringan lahan 2 – 22 % terpilih teras tipe C1 (saluran tanpa teras), 22 – 30 % teras tipe C2 (tampingan rumput), dan 30 – 71 % teras tipe C3 (tampingan batu). Tabel 3.
S (%) 2 6 10 14 18 22 26 30 34 38
Hasil perhitungan VI teras Hurni untuk berbagai kemiringan lahan
VI
2,26 2,37 1,88 1,90 1,93
HI
10,26 9,13 6,26 5,59 5,07
Tipe C1 C1 C1 C1 C2 C2 C3 C3 C3
S (%) 42 46 50 54 58 62 66 70 71
VI 1,95 1,98 2,01 2,05 2,08 2,12 2,16 2,20 2,21
HI 4,65 4,31 4,02 3,79 3,59 3,42 3,27 3,14 3,11
Tipe C3 C3 C3 C3 C3 C3 C3 C3 C3
Analisis Stabilitas Lereng a.
Analisis stabilitas lereng aktual Longsor aktual yang terjadi merupakan kombinasi longsor rotasi dan longsor translasi. Hasil analisis stabilitas lereng teras aktual menunjukkan bahwa lereng mengalami longsor bila tanah jenuh akibat air hujan. Hasil perhitungan Fs tertera pada Tabel 4 serta tampilan programnya disajikan pada Gambar 3. Tabel 4. Hasil perhitungan faktor keamanan lereng (Fs) di lokasi longsor
Kondisi tanah sampel Tidak terganggu (undisturb) Dipadatkan (compaction)
Faktor keamanan (Fs) Tidak jenuh Jenuh 0,306 1.222 0,977 2,091
Gambar 3. Tampilan program analisis stabilitas lereng pada kondisi longsor aktual
373
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Hasil analisis pada Tabel 4 terlihat bahwa lereng tersebut tidak stabil pada saat terjadi hujan. Hujan menyebabkan tinggi muka air tanah dan berat isi tanah meningkat serta kohesi tanah menurun. b.
Simulasi analisis stabilitas lereng untuk longsor translasi Hasil simulasi analisis stabilitas lereng untuk longsor translasi pada kemiringan lahan tertentu dan kedalaman tanah 0,9 m tertera pada Tabel 5. Untuk kondisi tanah tidak terganggu (undisturb) lereng mulai tidak stabil pada kemiringan lahan 42 % - 102 (tidak jenuh) dan 22 – 102 % (jenuh). Sedangkan untuk kondisi tanah dipadatkan, semua kemiringan lahan menunjukkan stabilitas lereng aman. Tabel 5. Hasil analisis stabilitas lereng untuk translasi
S (%)
c.
Tidak terganggu (undisturb) Tidak jenuh
Jenuh
Dipadatkan (compaction) Tidak jenuh
S (%)
Jenuh
Tidak terganggu (undisturb) Tidak jenuh
Jenuh
Dipadatkan (compaction) Tidak jenuh
Jenuh
2
24,07
11,73
50,43
34,71
54
0,96
0,49
2,13
1,54
4
8,07
3,93
16,91
11,65
58
0,90
0,47
2,02
1,47
10
4,84
2,37
10,17
7,01
62
0,85
0,45
1,92
1,41
14
3,47
1,70
7,29
5,04
66
0,81
0,43
1,84
1,36
18
2,71
1,33
5,71
3,95
70
0,77
0,41
1,74
1,32
22
2,22
1,09
4,71
3,27
74
0,74
0,40
1,72
1,28
26
1,89
0,93
4,02
2,80
78
0,71
0,39
1,66
1,25
30
1,65
0,82
3,52
2,46
82
0,68
0,39
1,62
1,23
34
1,46
0,73
3,14
2,21
86
0,66
0,37
1,58
1,20
38
1,32
0,66
2,84
2,01
90
0,64
0,36
1,55
1,19
42
1,20
0,61
2,61
1,85
94
0,62
0,35
1,52
1,17
46
1,10
0,56
2,42
1,73
98
0,61
0,35
1,49
1,16
50
1,02
0,52
2,26
1,62
102
0,59
0,34
1,47
1,15
Analisis stabilitas lereng pada lahan rancangan teras Hurni Hasil simulasi analisis stabilitas lereng untuk rancangan teras Hurni disajikan pada Tabel 6. Simulasi menunjukkan bahwa terjadinya penurunan stabilitas lereng terhadap peningkatan kemiringan lereng. Teras tipe C3 untuk longsor rotasi mulai tidak stabil pada kemiringan lahan 30 % - 70 %, sedangkan untuk longsor translasi pada kemiringan lahan 34 – 70 % (tanah jenuh). Untuk tipe C2 pada longsor rotasi mulai tidak stabil pada kemiringan lahan 22 – 30 % (tanah tidak jenuh dan jenuh), demikian juga untuk longsor translasi (tanah jenuh).
374
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Tabel 6. Hasil simulasi stabilitas lereng pada lahan rancangan teras Hurni Kondisi tanah
Undisturb
Gs
H (m)
2,690
0,9 Angka pori, e
(t/m3)
1,439
'=
5221 c (kgf/m2)
sat- w
(kgf/m3)
14114
2,174
sat (kgf/m3)
15027 1450
o
( )
20,258
Faktor keamanan lereng (Fs) untuk lahan berteras bangku Longsor
Rotasi
Slope (%)
Tidak jenuh
Translasi Jenuh
Tidak Jenuh
Tipe Teras
Jenuh
Teras*) tradisional
2
*)
6
8,07
3,93
C1
10
4,84
2,37
C1
14
3,47
1,70
C1
18
2,71
1,33
C1
22
0,942
0,312
2,21
1,09
C2
Longsor
26
0,938
0,300
1,88
0,93
C2
Longsor
30
1,641
1,031
2,18
1,26
C3
Longsor
34
1,656
1,042
2,00
1,18
C3
38
1,675
1,058
1,86
1,12
C3
42
1,662
1,056
1,75
1,06
C3
46
1,681
1,072
1,66
1,03
C3
Longsor
50
1,700
1,088
1,59
1,00
C3
Longsor
54
1,711
1,101
1,53
0,97
C3
58
1,730
1,117
1,49
0,95
C3
62
1,760
1,136
1,45
0,95
C3
66
1,777
1,151
1,42
0,92
C3
70
1,806
1,172
1,39
0,92
C3
Hasil pengamatan dilapangan
Prosedur simulasi perancangan teras dan analisis stabilitas lereng dalam bentuk tampilan program komputer disajikan pada Lampiran 2.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Hasil pemeriksaan sifat fisika dan mekanik tanah rata-rata di Desa Mulyajaya, untuk analisis stabilitas lereng adalah berat isi 14114 kgf/m3, kohesi efektif 1450 kgf/m2 dan sudut geser dalam efektif 20,26o. 2. Hasil analisis stabilitas lereng di lokasi longsor Desa Mulyajaya menunjukkan bahwa lereng menjadi tidak stabil pada kondisi tanah jenuh air dengan nilai Fs 0,306, sedangkan tanah tidak jenuh lereng tetap stabil Fs 1,222. 3. Hasil simulasi stabilitas lereng pada rancangan teras Hurni tipe C3 (tampingan batu) tidak stabil pada kemiringan lahan 30 – 70 % (longsor rotasi), sedangkan longsor translasi 34 – 70 % (tanah 375
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia jenuh). Tipe C2 (tampingan rumput) untuk longsor rotasi tidak stabil pada kemiringan lahan 22 – 30 % (tanah tidak jenuh dan jenuh), demikian juga dengan longsor translasi lereng tidak stabil jika tanah jenuh. Saran Penelitian selanjutnya disarankan membuat model teras untuk dapat menentukan persamaan matematis perancangan teras yang stabil terhadap longsor. Data penelitian ini didapat dari kegiatan kerjasama antara Fakultas Teknologi Pertanian IPB dengan BAPPEKA Kabupaten Garut 2002.
DAFTAR PUSTAKA ASAE. 1998. Standard Engineering Practice Data. “Ed ke – 45”, ASAE. St. Joseph. USA. Carson, B. 1989. Soil Conservation Strategies for Upland Areas of Indonesia. Columbia. East-West Environment and Policy Institut Occasional paper No. 9. British. Canada. Das, B.M. 1993. Mekanika Tanah (Prinsip-prinsip Rekayasa Geoteknis). Diterjemahkan : Endah NM, Surya IBM. Jakarta.: Erlangga. Jakarta. FATETA, 2002. Laporan Akhir Indentifikasi Penyusunan Rencana Tindak Penanggulangan Daerah Rawan Bencana di Kabupaten Garut. IPB. Bogor. Fletcher, J. R. 1990. Land Resource Survey of The Wiroko Subwatershed Upper Solo Watershed. Central Java. Indonesia. (Published Jointly by DSIR Land Resource. New Zealand. Department of Scientific and Industrial Research and the Directories General. Reforestation and land Rehabilitation. Ministry of Forestry Indonesia). DSIR Land Resource Scientific Report 12. 157 ps. Hurni, 1980. A Nomograph for Design of Labour-Intensive Soil Conservation Measure in Rain Field Cultivations. Di dalam : Morgan RPC, editor. Soil Conservation Problem and Prospect. John Wiley and Son, Inc. New York p. 109-200. Schwab, G.O, R.K. Frevert, T.W. Edminster, K.K. Barnes. 1981. Soil and Water Engineering. John Wiley and Sons. New York Sheng, T.C. 1977. Protection of Cultivated Slopes. Terracing Step Slopes in Humid Region. FAO. Conservation Guide. Guidelines for Watershed Management Forest Conservation and Wildlife Branch. FAO-UN, Forestry Department, Forest Resources Division. Rome. Suresh, R. 1993. Soil and Water Conservation Engineering. Standard Publisher Distributors. Jakarta. Verruijt, A. 1970. Theory of Groundwater Flow. MacMillan. London.
376
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Lampiran 1. Nomogram Hurni
Pemilihan tipe teras berdasarkan nilai S (%), LS, dan D (m)
Sumber : Hurni (1980)
377
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Lampiran 2. a.
Tampilan perancangan teras Hurni dan analisis stabilitas lereng dengan simulasi program komputer
Tampilan perancangan teras Hurni
b. Tampilan perancangan sketsa teras Hurni
378
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Lampiran 2.
Lanjutan
c. Tampilan analisis stabilitas lereng untuk longsor rotasi pada teras Hurni
d. Tampilan analisis stabilitas lereng untuk longsor translasi pada teras Hurni
379